Saturday, February 25, 2017

Thought for the Day - 25th February 2017 (Saturday)

‘Ratri’ or Night signifies darkness. 'Shiva' means auspiciousness. So, ‘Shivarathri’ speaks of an auspiciousness which is inherent in darkness. It refers to the wisdom which exists in the midst of ignorance. Ignorance and wisdom are not distinct; they are basically the same. They are the opposite polarities of the same underlying principle. The state that transcends both wisdom and ignorance is Divinity (Paratatva). It is a stage which is not associated with any coming or going, where birth and death do not occur. So long as there is birth for the body, death has to follow. What is it that has taken birth? Is it the Atma? No. It is only the body which has taken birth. Remember, you are the eternal, never changing Atma. Light has value only when there is darkness. Therefore in times of trouble and sorrow, whenever problems arise, remember to evoke the principle of Divinity, which will shed illumination and light!


‘Ratri’ atau Malam menandakan kegelapan. 'Shiva' berarti keberuntungan. Jadi, ‘Shivaratri’ terkait dengan sebuah keberuntungan yang ada dalam kegelapan. Hal ini mengacu pada kebijaksanaan yang ada diantara kebodohan. Kebodohan dan kebijaksanaan bukanlah berbeda; pada dasarnya keduanya adalah sama. Keduanya adalah dua kutub yang berlawanan dari prinsip dasar yang sama. Keadaan yang melampaui keduanya baik itu kebijaksanaan dan kebodohan adalah Tuhan (Paratatva). Ini adalah keadaan dimana tidak terkait dengan datang atau pergi, dimana kelahiran dan kematian tidak terjadi. Selama masih ada kelahiran untuk tubuh, maka kematian akan mengikuti. Apa yang telah lahir itu? Apakah Atma yang lahir? Bukan. Ini hanya tubuh yang harus lahir. Ingatlah, engkau adalah kekal, Atma yang tidak pernah mengalami perubahan. Cahaya hanya memiliki nilai ketika ada kegelapan. Maka dari itu, pada saat ada masalah dan penderitaan, kapanpun masalah muncul, ingatlah untuk membangkitkan prinsip keillahian yang mana akan memancarkan penerangan dan cahaya! (Divine Discourse, 17 Feb 1985)

-BABA

Thought for the Day - 24th February 2017 (Friday)

On Shivaratri day you must try to establish friendship between your mind and God. Shivarathri is to remind you that the same Divinity is all-pervasive and is found everywhere. People believe Shiva lives in Kailasa. Where is Kailasa? Kailasa is your own joy and bliss. It signifies that Lord Shiva lives in the Kailasa of delight. If you develop joy and delight in your mind, then Shiva lives in you. How can you get this joy? It comes when you develop purity, steadiness and sacredness. Then your heart becomes filled with peace and bliss and is indeed Shiva’s Kailasa! Shiva will live in the sanctum sanctorum of your heart, within the temple which is your body. There is no use in just thinking of Shivaratri once a year. Every minute, every day, every night, you should think of Divinity and sanctify your time, for the Time Principle truly speaking is Shiva.


Pada hari Shivaratri engkau harus mencoba untuk menjalin persahabatan diantara pikiranmu dengan Tuhan. Shivarathri adalah juga mengingatkanmu bahwa keillahian yang sama yang meresapi semuanya dan ditemukan dimana saja. Orang-orang percaya bahwa Shiva tinggal di Kailasa. Dimana Kailasa itu? Kailasa adalah suka cita dan kebahagiaanmu sendiri. Ini menandakan bahwa Dewa Shiva tinggal di Kailasa penuh kegembiraan hati. Jika engkau mengembangkan suka cita dan kegembiraan di dalam pikiranmu maka Shiva tinggal di dalam dirimu. Bagaimana engkau bisa mendapatkan suka cita ini? Hal ini datang ketika engkau mengembangkan kemurnian, keteguhan hati, dan kesucian. Kemudian hatimu akan menjadi diliputi dengan kedamaian serta kebahagiaan dan hatimu sejatinya adalah Kailasa tempat Dewa Shiva! Shiva akan tinggal di dalam relung hatimu dalam tempat suci yaitu badanmu. Tidak ada gunanya dengan hanya memikirkan Shivaratri sekali dalam setahun. Setiap menit, setiap hari, setiap malam, engkau harus memikirkan Tuhan dan menyucikan waktumu karena sejatinya prinsip dari waktu adalah Shiva. (Divine Discourse, Feb 17, 1985)

-BABA

Thought for the Day - 23rd February 2017 (Thursday)

When a person gets rid of ignorance, one can experience this infinite Light, this spiritual flame, declared the ancient sages. Where did they experience this Divinity? Not in the external world. The sages regarded the human body as a shrine in which the Divine is the Indweller. Exploring the five life breaths and the five sheaths of the human body, they experienced the Light of the Spirit in their hearts within. They realised that those who love God can find Him nearer to themselves than anything in the world. To those who have no yearning for God, He is farther than the farthest object in the planet! Remember, every individual is a spark of the Divine. You are not just a fragment of the Nature or simply a combination of the five basic elements (earth, water, fire, air, ether). You are indeed verily a part (amsa) of the immortal Omni-Self.


Ketika seseorang menghilangkan kebodohannya maka ia dapat mengalami cahaya yang tidak terbatas, cahaya spiritual yang disampaikan oleh para guru suci zaman dahulu. Dimana mereka mengalami keillahian ini? Bukan di dunia luar. Para guru suci menghormati tubuh manusia sebagai tempat suci dimana Tuhan bersemayam di dalamnya. Dengan menyelidiki lima nafas kehidupan dan lima lapisan dari tubuh manusia, mereka mengalami cahaya jiwa di dalam hati mereka. Mereka menyadari bahwa mereka yang mencintai Tuhan dapat menemukan Tuhan lebih dekat dengan diri mereka daripada apapun juga di dunia ini. Bagi mereka yang tidak memiliki kerinduan pada Tuhan maka Tuhan berada lebih jauh daripada benda yang paling jauh di planet ini! Ingatlah, setiap individu adalah percikan dari keillahian. engkau tidak hanya bagian dari alam atau hanya sebuah gabungan dari lima unsur dasar (tanah, air, api, udara dan akasa). Engkau sejatinya adalah bagian (amsa) dari kepribadian yang kekal. (Divine Discourse, Feb 19 1987)

-BABA

Wednesday, February 22, 2017

Thought for the Day - 22nd February 2017 (Wednesday)

One may desire for something good, which is due to an inner prompting (Iccha Shakti). But one cannot fulfill that desire unless one proceeds according to a plan which can guarantee success. The desire has to be developed into a deed. This requires Kriya shakti or the power of action. Above all, realisation depends on Jnana shakti, or the force and clarity of Wisdom, the self-confidence that flows from the mastery of the situation. This is a gift of grace from God - the God installed in the heart. God is Omnipresent. The Gita asserts that His hands and feet are everywhere; so are His eyes, head and face. No one can deny God or ignore Him. When a person denies God, he is denying himself. You must foster faith in God and know that He exists in all. That faith will plant in you humility, courage and reverence. Whatever one plans and executes must be sublimated as an offering to God.


Seseorang mungkin menginginkan sesuatu yang baik. Itu disebabkan oleh dorongan dari dalam diri (Iccha Shakti). Namun seseorang tidak akan bisa memenuhi keinginannya kecuali menjalankan rencana yang dapat menjamin keberhasilan. Keinginan harus dikembangkan menjadi sebuah tindakan. Hal ini memerlukan yang namanya Kriya shakti atau kekuatan tindakan. Diatas semuanya, kesadaran tergantung pada Jnana shakti, atau kekuatan dan kemurnian kebijaksanaan, kepercayaan diri yang mengalir dari penguasaan situasi. Ini adalah karunia dari Tuhan – Tuhan yang bersemayam di dalam hati. Tuhan ada dimana-mana. Bhagavad Gita menyatakan bahwa tangan dan kaki Tuhan ada dimana-mana; begitu juga dengan mata, kepala, dan wajah-Nya. Tidak ada seorangpun yang dapat menyangkal Tuhan atau mengabaikan-Nya. Ketika seseorang menyangkal Tuhan maka itu berarti ia menyangkal dirinya sendiri. Engkau harus mengembangkan keyakinan pada Tuhan dan mengetahui bahwa Tuhan ada di dalam semuanya. Keyakinan ini akan menanamkan dalam dirimu kerendahan hati, keberanian, dan penghormatan. Apapun yang seseorang rencanakan dan lakukan harus dihaluskan sebagai persembahan kepada Tuhan. (Divine Discourse, 8 Feb 1987)

-BABA

Thought for the Day - 21st February 2017 (Tuesday)

For the wisdom of the ancient sages to dawn on every individual when they most need it, elders must set an example of discrimination (Viveka) and detachment (Vairagya). If they run after sensory pleasures with feverish excitement, how can the younger generation be blamed for their selfishness and greed? Elders must practice what they preach, show how divine life confers joy, mental poise, contentment and real happiness. They must spend some time every day in reciting the Lord’s name or in meditation, then the children too will imbibe that and acquire the means to attain peace for themselves. People say that there is nothing as sweet as the name of the Lord, but do not repeat it at all. The road is spoilt by neglect and wanton destruction, but they advise the children to walk along it. They will discover the hoax. As a matter of fact, the responsibility of any person who holds forth an ideal is great, for the person has to attempt to reach it oneself while advising others to adopt it.


Agar kebijaksanaan para guru suci zaman dahulu bisa mekar pada setiap individu ketika mereka memerlukannya, maka para orang yang lebih tua harus memberikan teladan dari kemampuan membedakan (Wiweka) dan tanpa keterikatan (Vairagya). Jika mereka yang lebih tua mengejar kesenangan sensual dengan penuh nafsu, lantas bagaimana generasi yang lebih muda disalahkan atas sifat mementingkan diri sendiri dan ketamakan yang mereka miliki? Mereka yang lebih tua harus menjalankan apa yang mereka nasihatkan, perlihatkan, bagaimana hidup spiritual dapat memberikan suka cita, ketenangan mental, kepuasan, dan kebahagiaan yang sejati. Mereka harus meluangkan beberapa waktu mereka dalam mengulang-ulang nama Tuhan dan meditasi, maka kemudian anak-anak juga akan menyerap itu dan memperoleh sarana untuk mendapatkan kedamaian bagi diri mereka sendiri. Orang-orang mengatakan bahwa tidak ada yang semanis nama Tuhan, namun mereka sama sekali tidak mengulang-ulang nama Tuhan. Jalan dihancurkan dengan kelalaian dan kecerobohan, namun mereka menasihati anak-anak untuk berjalan di atasnya. Anak-anak akan menemukan adanya tipuan atau kebohongan terkait  ini. Sejatinya, tanggung jawab dari siapapun yang memegang teguh yang ideal adalah hebat, karena ia harus berusaha mencapai idel itu dan juga menasihati yang lainnya untuk mengikuti ideal itu. (Divine Discourse, 14 Dec 1958)

-BABA

Monday, February 20, 2017

Thought for the Day - 20th February 2017 (Monday)

Education today highlights the accumulation of things. But giving up is equally needed. Renunciation is not a loss; it is highly profitable, as you acquire joy thereby. Renunciation means freedom, surrender to God and surrender to love. God is love. Love can be known only through expansion of love. When students leave schools and colleges and involve themselves in families, societies, communities and countries, they must set examples of simplicity, humility and mutual service. They must anchor their lives in Righteousness (Dharma) and wisdom (Jnana). So teachers and parents must imbibe it in themselves and instruct students. That will help them lead model lives and lead others to earn peace and calm. You must learn, more than anything else, discipline and patience. Life is an exercise in the sadhana of 'give and take.' Do not derive delight from 'taking' alone. 'Give' and you get the right to 'take'.


Pendidikan saat sekarang menyoroti tentang pengumpulan sesuatu. Namun meninggalkannya juga adalah sama-sama dibutuhkan. Melepaskan bukanlah sebuah kehilangan; kualitas ini adalah sangat menguntungkan karena engkau akan mendapatkan suka cita. Melepaskan berarti kebebasan, berserah diri kepada Tuhan dan berserah diri pada cinta kasih.Tuhan adalah kasih. Kasih dapat diketahui hanya melalui pengembangan dari kasih. Ketika pelajar meninggalkan sekolah dan bangku kuliah dan melibatkan diri mereka  di dalam keluarga, lingkungan masyarakat, dan bangsa, mereka harus memberikan contoh tentang kesederhanaan, kerendahan hati, dan saling melayani. Mereka harus menambatkan hidup mereka pada kebajikan (Dharma) dan kebijaksanaan (Jnana). Jadi guru dan orang tua harus meresapi dalam diri mereka dan menyampaikannya kepada pelajar. Itu akan membantu mereka dalam menempuh hidup sebagai teladan dan menuntun yang lainnya untuk mendapatkan kedamaian dan ketenangan. Engkau harus belajar lebih dari apapun juga, disiplin dan sabar. Hidup adalah sebuah latihan dalam sadhana dari ‘memberi dan mengambil.’ Jangan mendapatkan kesenangan dari ‘mengambil’ saja. ‘Memberi’ dan engkau mendapatkan hak untuk ‘Mengambil.’ (Divine Discourse, 8 Feb, 1987)

-BABA

Thought for the Day - 19th February 2017 (Sunday)

One always seeks happiness by trying to satisfy desires. If a desire is fulfilled, one feels joy, and when it is not, one feels grief. But the trouble is, desire is a bonfire that burns with greater fury, asking for more fuel. One desire leads to ten, and one is exhausted trying to exhaust the demands of desire. One has to be turned back from this path of never ending desire to the path of inner content and joy. One grieves because one has developed attachment toward the unreal. One cultivates an unreasonable affection for wealth, but is prepared to sacrifice the riches in order to save the lives of one’s children, for attachment to children is stronger than to the wealth that has been earned! One stoops so low as to neglect the children when the choice is between survival and the children’s welfare! But the bliss that is got when one dwells on the Atma is unbounded and imperishable. That is the real joy.


Seseorang selalu mencari kebahagiaan dengan mencoba memuaskan keinginan. Jika sebuah keinginan dipenuhi maka seseorang merasakan suka cita dan ketika keinginan tidak dipuaskan maka seseorang merasa kesedihan. Namun masalahnya adalah, keinginan itu adalah api unggun yang terbakar dengan amukan yang sangat besar dan sedang meminta lebih banyak bahan bakar. Satu keinginan akan menuntun pada sepuluh keinginan, dan manusia menghabiskan tenaganya dalam mencoba untuk melemahkan tuntutan dari keinginan. Seseorang harus berpaling dari jalan keinginan yang tidak pernah berakhir menuju pada jalan kepuasan dan suka cita di dalam diri. Seseorang merasakan kesedihan karena telah mengembangkan keterikatan pada sesuatu yang tidak nyata. Manusia meningkatkan rasa sayang yang tidak masuk akal pada kekayaan, namun siap untuk mengorbankan kekayaannya untuk menyelamatkan kehidupan anaknya, karena keterikatan pada anak itu lebih kuat daripada kekayaan yang telah dihasilkannya! Ia membungkuk begitu rendah seperti hendak mengabaikan anaknya ketika pilihan yang ada diantara kelangsungan hidupnya dan kesejahteraan anaknya! Namun kebahagiaan yang seseorang dapatkan ketika berdiam dalam Atma adalah tidak terbatas dan kekal. Itulah suka cita yang sejati. (Divine Discourse, 14 Dec 1958)

-BABA

Saturday, February 18, 2017

Thought for the Day - 18th February 2017 (Saturday)

Ego is deep rooted in every person from their countless previous lives. It grows very fast in this life too, seeking sensual pleasure, possessions in plenty, applause and appreciation, authority over others, fame and fortune. It can be removed only by relentless enquiry into your true Reality. When you are awake, you experience a variety of relationships. You are interested in a multiplicity of people, possession and problems. You pass through joy and grief, praise and ridicule, insult and injury. When you are dreaming, the entire outer world fades away. When you are awake, you experience pleasure and pain; you plunge into fear and throw yourself in despair. When asleep, you are no longer alert or active. You are alone with the Divine Soul (Atma), which is your reality. The Atma is with you through all the three stages, even though you ignored it and perhaps denied it! This Atma is the truth, “That Thou Art”! (Tat-Twam-Asi).


Ego berakar mendalam dalam diri setiap orang sejak dari kehidupan masa lalu mereka yang tidak terhitung. Ego ini tumbuh sangat cepat dalam hidup ini juga, mencari kesenangan sensual, lebih banyak harta, tepuk tangan dan penghargaan, kekuasaan pada yang lainnya, kemashyuran dan keberuntungan. Ini hanya dapat dilepaskan dengan penyelidikan tanpa henti pada kenyataanmu yang sejati. Ketika engkau sadar, engkau mengalami berbagai jenis hubungan. Engkau tertarik dengan banyaknya orang, kepemilikan dan masalah. Engkau melewati suka dan duka cita, pujian dan ejekan, hinaan dan penderitaan. Ketika engkau sedang bermimpi, seluruh dunia luar menjadi memudar. Ketika engkau terbangun, engkau mengalami kesenangan dan rasa sakit; engkau tenggelam dalam ketakutan dan melemparkan diri sendiri dalam keputusasaan. Ketika tertidur, engkau tidak lagi terjaga atau aktif. Engkau sendiri dengan jiwa illahi (Atma), yang merupakan jati dirimu yang sejati. Atma itu adalah dirimu melalui tiga tahapan, walaupun engkau mengabaikannya dan mungkin menyangkalnya! Atma ini adalah kebenaran, “engkau adalah Itu”! (Tat-Twam-Asi). (Divine Discourse, Jan 2, 1987)

-BABA

Thought for the Day - 17th February 2017 (Friday)

Divinity is inherent and immanent in every living being and the process of reminding man of that fact began with the very dawn of human history. What has to be done to lead the Divine Life is just the removal of the fog that hides the Truth and makes one imagine one is something else — something inferior, evanescent, material, and momentary. All are holy, pure, and part of eternity. But these things shine in each in proportion to their spiritual practices, just as bulbs spread illumination according to the wattage. There is no body that is not sustained by the Absolute; there is no name that does not indicate the Universal. All objects are suffused by that Principle; all names are attributes of its Glory. Divine Life is based on the quality of calm serenity (satwa guna), which must be cultivated.


Keillahian adalah bersifat melekat dan tetap ada di dalam setiap makhluk hidup dan proses dalam mengingatkan manusia akan kenyataan itu telah dimulai dari sejarah awal kehidupan manusia. Apa yang harus dilakukan untuk menempuh hidup illahi adalah hanya dengan melenyapkan kabut yang menyembunyikan kebenaran dan membuat seseorang membayangkan bahwa dirinya adalah sesuatu yang lain — sesuatu yang rendah, yang cepat berlalu, material, dan sementara. Semuanya adalah murni, suci, dan bagian dari keabadian. Namun semuanya hal ini akan bersinar dalam proporsinya masing-masing sesuai dengan latihan spiritualnya, seperti halnya bola lampu yang menyebarkan cahaya sesuai dengan tegangannya. Tidak ada seorangpun yang tidak ditopang oleh yang bersifat Absolut; tidak ada nama yang tidak menunjukkan Universal. Semua objek diliputi dengan prinsip itu; semua nama adalah menetapkan kemuliaannya. Hidup illahi didasarkan pada kualitas dari ketenangan (satwa guna), yang mana harus ditingkatkan. (Divine Discourse, 14 Dec, 1958)

-BABA

Friday, February 17, 2017

Thought for the Day - 16th February 2017 (Thursday)

Activity finds fulfilment when wisdom dawns. Sanctified action (Karma) is the path to attain spiritual wisdom (Jnana). Every worthwhile activity must result in purifying the mind. Therefore, no one, not even a recluse or monk can desist from engaging in good deeds. These deeds must originate spontaneously and should not leave any trace of pride in the mind. Nor should any attachment to the result of the deed lead to a craving for claiming it for oneself. Renunciation must be the only source of joy. The Gita recommends 'inaction in action' and asserts that 'inaction’ is the most rewarding ‘action' for those who strive for supreme peace. This attitude is named Karma Sanyasa (non-attachment to action). Action or activity is generally associated with the body only, but the mind is also busy with the world. The Atma alone is the unaffected witness. So, the secret of 'inaction in action' lies in taking refuge in the Atma and in recognising all living beings as fundamentally the Atma.


Kegiatan menemukan pemenuhan ketika kebijaksanaan muncul. Perbuatan suci (karma) adalah jalan untuk mencapai kebijaksanaan spiritual (Jnana). Setiap perbuatan yang bermanfaat harus menghasilkan dalam menyucikan pikiran. Maka dari itu, tidak ada seorangpun, bahkan seorang pertapa atau pendeta yang dapat berhenti dalam melakukan perbuatan yang baik. Perbuatan-perbuatan ini harus muncul secara spontan dan seharusnya tidak meninggalkan jejak kesombongan di dalam pikiran. Dan juga tidak terikat dengan hasil dari perbuatan yang mengarahkan pada hasrat untuk diri sendiri. Berkorban harus menjadi satu-satunya sumber suka cita. Gita menyarankan untuk 'tidak terikat dalam perbuatan' dan menyatakan bahwa 'tidak terikat’ adalah ‘perbuatan’ yang paling berharga bagi mereka yang berusaha untuk kedamaian yang tertinggi. Sikap ini disebut dengan Karma Sanyasa (perbuatan yang tanpa keterikatan). Perbuatan atau kegiatan umumnya hanya berhubungan dengan badan, namun pikiran adalah juga sibuk dengan dunia. Hanya Atma merupakan saksi yang tidak terpengaruh. Jadi, rahasia dari 'tidak terikat dalam perbuatan' terdapat pada berlindung pada Atma dan mengenali bahwa semua makhluk hidup pada dasarnya adalah Atma. (Divine Discourse, Jan 2, 1987)

-BABA

Thursday, February 16, 2017

Thought for the Day - 15th February 2017 (Wednesday)

In the journey of earthly life, people take some wealth for expenses and when they reach the goal, they hand over the balance to some trustworthy friend and sleep soundly. Everyone brings the wealth of love from the moment of his birth. In this Karmakshetra (field of activity) that is the world, it is difficult to safeguard the treasure of Prema (love). Therefore everyone should look for a faithful friend. Today, the only true friend is God. When you hand over the wealth of love to God, it will be easy for you to carry on a life of security and peace. There is no greater teacher than your heart. Time is the greatest preacher. The whole world is a scriptural text. God is the best friend. With full faith in these four, lead your life happily.


Dalam perjalanan hidup di dunia, manusia mengambil beberapa kekayaan untuk biaya pengeluaran dan ketika mereka mencapai tujuan, mereka menyerahkan saldo kepada teman yang dipercaya dan tidur dengan nyenyak. Setiap orang membawa kekayaan kasih dari saat kelahirannya. Dalam medan perbuatan (karmakshetra) yaitu dunia ini adalah sulit untuk menjaga harta kasih (prema). Maka dari itu setiap orang seharusnya mencari teman yang dapat dipercaya dan setia. Saat sekarang satu-satunya teman adalah Tuhan. Ketika tanganmu menyerahkan kekayaan kasih kepada Tuhan maka akan mudah bagimu untuk menjalani hidup dengan aman dan damai. Tidak ada guru yang lebih hebat daripada hatimu.Waktu adalah penceramah yang terhebat. Seluruh dunia adalah teks dari naskah suci. Tuhan adalah teman terbaik. Dengan penuh keyakinan pada keempat ini, jalani hidup dengan bahagia. (Divine Discourse, 17 July 1997)

-BABA

Wednesday, February 15, 2017

Thought for the Day - 14th February 2017 (Tuesday)

The whole world and the objects therein are interrelated by the bond of love. It is love that binds the human race together. The world cannot exist without love. God is love and resides in the heart of every one. Love is the natural possession of every human being. Love is the fruit of the tree of life. There are certain impediments to overcome before you enjoy the tasty fruit. First you must remove the skin and rind covering the pulp inside, and also cast off the seed. Similarly the fruit of love is also covered by the thick skin of ego. You must peel off this skin of ‘mine and thine’. You can then taste the sweet fruit and its nutritious juice. With pure love, you must establish unity with the Divine. The path of love is the straightforward road to realise the Divine. Vedas describe God as, “Raso Vai Saha” – the Supreme Sweet Essence. Endeavour to progress in this journey of life from ‘I’ to ‘We’ to ‘He’.


Seluruh dunia dan objek yang ada di dalamnya saling terkait satu dengan yang lainnya dalam ikatan kasih. Adalah kasih yang mengikat manusia bersama-sama. Dunia tidak akan bisa ada tanpa kasih. Tuhan adalah kasih dan bersemayam di dalam hati setiap orang. Kasih adalah kepemilikan alami dari setiap manusia. Kasih adalah buah dari pohon kehidupan. Ada beberapa rintangan yang  harus engkau atasi sebelum engkau menikmati buah yang lezat itu. Pertama engkau harus menghilangkan kulit buah yang menutupi isi yang ada di dalamnya dan juga membuang bijinya. Sama halnya buah kasih itu juga ditutupi dengan kulit yang tebal dari ego. Engkau harus mengupas kulit dari ‘milikku dan milikmu’. Engkau dapat merasakan rasa manis dari buah itu dan juga gizinya. Dengan kasih yang murni, engkau harus membangun kesatuan dengan Tuhan. Jalan kasih adalah jalan yang langsung menuju pada kesadaran pada Tuhan. Weda menjabarkan Tuhan sebagai, “Raso Vai Saha” – intisari yang paling manis. Mencoba untuk melangkah maju dalam perjalanan hidup ini dari ‘aku’ menuju ‘kami’ menuju ‘Beliau’. (Divine Discourse, 17 July 1997)

-BABA

Monday, February 13, 2017

Thought for the Day - 13th February 2017 (Monday)

In ancient times, the sages and saints sacrificed everything for the sake of the welfare of humanity. Even the youth of those times followed suit. They are remembered even today because of their spirit of selfless sacrifice. On the contrary, the youth of today are becoming exceedingly greedy and totally selfish and harbouring feelings of hatred and jealousy. While those in the ancient times were leading a life of Thyaga and Yoga (sacrifice and sense control) the present day youth want to lead a life of bhoga (worldly enjoyments and pleasures), which will only result in roga (diseases). So long as one goes on multiplying desires, one will continue to be in want. When the desires are controlled, prosperity is attained. Greed makes one unhappy and miserable. Only when greed and miserliness are given up can one have an enjoyable and peaceful life.


Pada zaman dahulu, para guru suci dan orang suci menyucikan semuanya untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia. Bahkan para pemuda pada masa itu mengikuti hal ini. Mereka diingat bahkan sampai hari ini karena semangat mereka tentang pengorbanan tanpa mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, para pemuda saat sekarang menjadi sangat serakah dan sepenuhnya mementingkan diri sendiri dan menyimpan perasaan benci dan cemburu. Sedangkan para pemuda di zaman dulu menjalani hidupnya dalam Thyaga dan Yoga (berkorban dan pengendalian indera) namun para pemuda saat sekarang menginginkan menjalani hidup dalam bhoga (kenikmatan duniawi dan kesenangan), yang mana hanya menghasilkan roga (penyakit). Selama seseorang berjalan dengan keinginan yang terus bertambah, maka ia akan terus menginginkannya. Ketika keinginan dikendalikan maka kesejahteraan akan didapat. Keserakahan membuat seseorang tidak bahagia dan menderita. Hanya ketika keserakahan dan kekikiran dilepaskan maka seseorang dapat memiliki hidup yang menyenangkan dan penuh kedamaian. (Divine Discourse, 17 July 1997)

-BABA

Thought for the Day - 12th February 2017 (Sunday)

The scriptures have declared that it is difficult to acquire a human body. Human life is the highest among all living beings in creation. With all these endowments if people lack jnana (wisdom), they are no better than an animal. It is wisdom that distinguishes man from other animals. In spite of possessing a human body with its sacred capacities, people pursue wrong paths and indulge in misdeeds, thereby degrading their precious heritage. One who ought to dedicate oneself to the pursuit of the Divine - Nivritti marga (the inward path) and experience bliss, makes oneself a slave of the senses and wastes one’s life in the pursuit of the external - Pravritti marga (the outward path). All efforts are directed towards the cultivation of sensual pleasures instead of aiming at realisation of the power of the Spirit within. It is this preoccupation with the mundane that is at the root of all the insecurity and unhappiness experienced by man.


Naskah suci telah menjelaskan bahwa adalah sulit untuk mendapatkan tubuh sebagai manusia. Hidup sebagai manusia adalah yang tertinggi diantara semua makhluk hidup ciptaan Tuhan. Dengan semua anugrah ini jika manusia kurang jnana (kebijaksanaan), mereka tidak lebih baik daripada dengan seekor binatang. Adalah kebijaksanaan yang membedakan manusia dengan binatang. Sekalipun memiliki tubuh manusia dengan kemampuan sucinya, manusia masih mengejar jalan yang salah dan terlibat dalam perbuatan yang salah, sehingga merendahkan warisannya yang sangat berharga. Seseorang yang mendedikasikan dirinya sendiri dalam pengejaran Tuhan - Nivritti marga (jalan ke dalam diri) dan mengalami kebahagiaan, namun dengan membuat dirinya sendiri menjadi budak dari indera dan menyia-nyiakan hidupnya dalam pengejaran ke luar diri - Pravritti marga (jalan ke luar diri). Semua usaha yang diarahkan pada peningkatan kesenangan sensual dan bukannya untuk mendapatkan kesadaran akan kekuatan dari jiwa yang ada di dalam diri. Adalah keasyikan dengan keduniawian yang menjadi akar dari semua perasaan gelisah dan tidak bahagia yang dialami oleh manusia. (Divine Discourse, 19 Jan, 1989)

-BABA

Saturday, February 11, 2017

Thought for the Day - 11th February 2017 (Saturday)

What is the root cause of discontentment? It is envy. This has been the besetting human vice from the beginning of time. Only when envy is eradicated from the heart will one have self-satisfaction. The contented person enjoys peace. How does envy arise? When one compares oneself with those who are better off, who hold higher offices, score higher marks or are more handsome. Thus, it arises when one suffers from a consciousness of one’s own inferiority; it is basically discontent over what one lacks. To get rid of this evil quality one has to look at those who are worse off than oneself. In due course one develops a sense of equal-mindedness both towards those who are better off and those who are worse. Such equal-mindedness is a Divine quality. There is nothing wrong in aspiring for higher positions. But one should not feel envious about those who are in such positions. It is a crime to entertain such feelings.


Apa akar penyebab dari ketidakpuasan? Ini adalah iri hati. Hal ini telah menimpa manusia dari permulaan zaman. Hanya ketika iri hati diberantas dari dalam hati maka seseorang akan memiliki kepuasan diri. Seseorang yang puas menikmati kedamaian. Bagaimana sifat iri hati itu muncul? Ketika seseorang membandingkan dirinya sendiri dengan mereka yang lebih baik darinya, yang menduduki jabatan yang lebih tinggi, mendapatkan nilai yang lebih tinggi atau yang lebih tampan. Jadi, iri hati muncul ketika seseorang menderita dari sebuah kesadaran bahwa ia adalah lebih rendah; ini pada dasarnya adalah ketidakpuasan pada apa yang kurang. Untuk menghilangkan sifat jahat ini maka seseorang harus melihat pada mereka yang lebih buruk dari diri mereka sendiri. Secepatnya seseorang mengembangkan perasaan pikiran yang sama pada keduanya pada mereka yang lebih baik dan mereka yang lebih buruk. Sifat pikiran yang sama adalah kualitas illahi. Tidak ada yang salah dalam mengharapkan posisi yang lebih tinggi. Namun seseorang harus tidak merasa iri hati pada mereka yang ada di posisi tersebut. Ini adalah kejahatan dengan memiliki perasaan seperti itu. (Divine Discourse, 19 Jan, 1989)

-BABA

Friday, February 10, 2017

Thought for the Day - 10th February 2017 (Friday)

The first quality that you have to cultivate is gratitude to the Divine. People are thankful for even small acts of service done to them. Is it not necessary to be grateful to the Divine who has provided us with so many essential benefits through Nature and the five elements? The air you breathe, the water you drink, and the earth on which you walk are all gifts of God. How grateful are you to the Sun, who provides light, which cannot be equalled by all the electric bulbs in the world? Can all the pumpsets in the world provide as much water as is offered in a single downpour of rain? Can all the fans in the world, provide as much breeze as you get when the wind blows? Without being grateful for these Divine gifts, man goes after the trivial and wastes his life. The great sages of yore who adored God in various ways considered devotion as a means of expressing gratitude to Providence.


Kualitas pertama yang harus engkau tingkatkan adalah rasa terima kasih kepada Tuhan. Manusia mengucapkan terima kasih bahkan pada tindakan kecil dari pelayanan yang diberikan kepadanya. Apakah tidak perlu untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah menyediakan kita begitu banyak manfaat penting melalui alam dan juga kelima unsur yang ada? Udara yang engkau hirup, air yang engkau minum, dan bumi tempat engkau jalan, semuanya itu adalah karunia dari Tuhan. Bagaimana engkau bersyukur kepada matahari yang memberikan cahaya yang mana tidak bisa disamakan dengan seluruh bola lampu di dunia ini? Dapatkah semua jaringan pipa di seluruh dunia menyediakan sebanyak air yang ditumpahkan oleh hujan yang lebat? Dapatkan semua kipas di dunia menyediakan sebanyak angin saat engkau mendapatkannya ketika angin berhembus? Tanpa adanya rasa beryukur dengan karunia Tuhan ini, manusia mengejar yang sepele dan menyia-nyiakan hidupnya. Guru suci yang agung zaman dahulu memuja Tuhan dengan berbagai cara dianggap sebagai bhakti untuk cara mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. (Divine Discourse, 14 Jan, 1989)

-BABA

Thought for the Day - 9th February 2017 (Thursday)

In any field, at anytime, anywhere, for a person endowed with the six precious qualities of zeal, courage, fortitude, intelligence, ability and valour (Utsaham, Sahasam, Dhairyam, Buddhi, Shakti, Parakramam), success is assured. These qualities will contribute to all-round well-being. However these qualities will challenge you with various difficulties that you must confront, from time to time. Just as a student must clear tests and examinations to receive a degree, these qualities are also subject to trials in the form of losses, troubles, pain, suffering and even calumny. Such trials should be regarded as stepping stones to your high achievements. One has to overcome these troubles with courage and self-confidence, and move ahead. When you face difficulties with courage, you are bound to succeed.


Dalam berbagai bidang apapun, kapanpun juga, dimanapun juga, bagi seseorang yang diberkati dengan enam kualitas yang berharga seperti semangat, keteguhan hati, ketabahan, kecerdasan, kemampuan, dan keberanian (Utsaham, Sahasam, Dhairyam, Buddhi, Shakti, Parakramam), maka keberhasilan akan dapat dipastikan. Kualitas-kualitas ini akan memberikan kontribusi pada kesejahteraan semuanya. Bagaimanapun juga kualitas-kualitas ini akan menantangmu dengan berbagai jenis kesulitan yang engkau harus hadapi dari waktu ke waktu. Sama halnya dengan pelajar harus bebas dari segala ujian untuk bisa menerima gelar sarjana, kualitas-kualitas ini juga menjadi tunduk pada cobaan dalam bentuk kehilangan, masalah, rasa sakit, penderitaan dan bahkan fitnah. Cobaan seperti itu harus diperhatikan sebagai batu loncatan untuk pencapaian yang lebih tinggi. Seseorang harus mengatasi masalah-masalah ini dengan keberanian dan percaya diri dan selanjutnya melangkah ke depan. Ketika engkau menghadapi kesulitan dengan keberanian, engkau dipastikan mendapatkan keberhasilan. (Divine Discourse, Jan 14, 1997)

-BABA

Thought for the Day - 8th February 2017 (Wednesday)

Cleanse your heart with the water of love, and the detergents of prayer and contrition so that the stains of desire are removed completely. Then God will pour His abundant Grace into it. If you yearn for God, you should give up Iokabhranti and dehabhranti (attachment to the external world and to the body). There is no use trying to have one foot in one boat and the other foot in another. You may be living in PrashantiNilayam for over 20 years, but if you worry more about your physical needs, then all your spiritual efforts are indeed futile; you have made no progress at all. The waving of the camphor flame at the end of a bhajan is only to remind you that your sensual cravings must be fully burnt away without leaving any trace behind, and you must offer yourself to God to be merged in Him and His glory.


Bersihkan hatimu dengan air kasih, sabun detergen dari doa, dan kesedihan dari dosa sehingga noda dari keinginan dapat dihilangkan sepenuhnya. Kemudian Tuhan akan mencurahkan rahmat-Nya secara berlimpah ke dalamnya. Jika engkau rindu akan Tuhan, engkau seharusnya melepaskan Lokabhranti dan dehabhranti (keterikatan pada dunia luar dan jasmani). Adalah tidak ada gunanya dengan mencoba dengan menaruh satu kaki di atas perahu dan satu kaki di tempat yang lain. Engkau mungkin tinggal di Prashanti Nilayam selama lebih dari 20 tahun, namun jika engkau lebih cemas dengan kebutuhan fisikmu, maka semua usaha spiritualmu adalah sia-sia; engkau tidak mendapatkan kemajuan sama sekali. Menyalakan kamper pada saat selesai bhajan adalah hanya untuk mengingatkanmu bahwa hasrat sensualmu harus sepenuhnya dibakar habis dan tidak meninggalkan jejak lagi, dan engkau harus mempersembahkan dirimu sendiri kepada Tuhan untuk menyatu dengan-Nya dan kemuliaan-Nya. (Divine Discourse 8-Sep-1966)

-BABA

Tuesday, February 7, 2017

Thought for the Day - 7th February 2017 (Tuesday)

Today, people are conducting themselves in such a manner that it appears they have no understanding at all of the need for self-confidence. Without self-confidence, one will not be able to achieve much, even if one has faith and devotion. Similarly, one may have confidence in one’s own self, but if there is no devotion and faith, that too will not help. Devotion and self-confidence are like the negative and positive. It is the combination of these two that will enable us to fulfil our sacred thought. The first thing we should do is to promote and strengthen our self-confidence. This confidence in one’s own self is like the foundation at the bottom. On the foundation of that confidence, we should build the wall of self-satisfaction, and then add the roof of self-sacrifice. In the mansion thus built, we should attain self-realisation.


Hari ini, orang-orang membimbing diri mereka sendiri seperti itu yang mana kelihatan mereka tidak memiliki pemahaman sama sekali yang diperlukan untuk kepercayaan diri. Tanpa adanya kepercayaan diri, seseorang tidak akan mampu untuk mencapai banyak, bahkan jika seseorang memiliki keyakinan dan bhakti. Sama halnya, seseorang mungkin memiliki kepercayaan pada dirinya sendiri, namun jika tidak adanya keyakinan dan bhakti maka hal itu juga tidak akan membantu. Bhakti dan kepercayaan diri adalah seperti negatif dan positif. Adalah kombinasi dari keduanya ini yang akan memungkinkan bagi kita untuk memenuhi ide-ide yang suci. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah meningkatkan dan menguatkan kepercayaan diri kita. Kepercayaan pada diri sendiri adalah seperti dasar di bagian paling bawah. Di dasar kepercayaan diri, kita harus membangun tembok kepuasan diri dan kemudian menambahkan atap pengorbanan diri. Dalam rumah yang kita bangun kita seharusnya mencapai yang namanya kesadaran diri. (Summer Showers in Brindavan, 1977, Ch 10)

-BABA

Monday, February 6, 2017

Thought for the Day - 6th February 2017 (Monday)

Only when the sacredness of the body and the sacredness of the mind come together, can divine strength be generated. With the help of the body, we should undertake sacred tasks. With the help of the mind, we should develop divine thoughts. This body is given to us and is intended for helping others. With the help of the body, we should be able to do good service and help the community. Whatever work we undertake, it should be done with a feeling that it is being done for the pleasure of the Lord. Hanuman was one who had such sacred ideas, and he always dedicated his work to the Lord. Our body is like the plastic cover on a wire. Our mind is like the copper wire inside. Along with the body, when the mind also joins, can divine strength flow into us.


Hanya ketika kesucian dari tubuh dan kesucian dari pikiran datang secara bersamaan maka kekuatan Tuhan dapat dibangkitkan. Dengan bantuan tubuh kita bisa menjalankan tugas yang suci. Dengan bantuan pikiran, kita seharusnya mengembangkan pemikiran illahi. Tubuh ini diberikan kepada kita dan ditujukan untuk membantu yang lainnya. Dengan bantuan tubuh, kita seharusnya mampu melakukan pelayanan yang baik dan membantu masyarakat. Apapun pekerjaan yang kita lakukan, maka pekerjaan ini harus dilakukan dengan perasaan bahwa hal ini dilakukan untuk menyenangkan Tuhan. Hanuman adalah seseorang yang memiliki gagasan yang suci, dan ia selalu mempersembahkan pekerjaannya kepada Tuhan. Tubuh kita adalah seperti plastik yang menutupi kabel. Pikiran kita adalah seperti tembaga dari kabel yang ada di dalamnya. Bersamaan dengan tubuh, ketika pikiran kita juga bergabung maka kekuatan Tuhan akan mengalir dalam diri kita. (Summer Showers in Brindavan, 1977, Ch 10)

-BABA

Thought for the Day - 5th February 2017 (Sunday)

Amongst messengers, there are three kinds. The first kind are those who take the orders of the Lord, disobey Him, and take to such actions which go contrary to the wishes of the Lord. The second kind are those who take what the Lord has said literally and follow without either adding or taking away anything. The results of such work is accepted by the Lord. The third kind are those who take the wishes of the Master and perform the task in such a way that the wishes of the Lord are fulfilled completely and at all costs. They take back to the Master the message of victory. Hanuman is an example of the third kind. This was because Hanuman at all times would only think of Rama, and as he knew very well the power of Rama, he always followed His footsteps. Hanuman’s devotion and faith helped him greatly to recognise the wishes of the Master.


Diantara para duta atau utusan, ada tiga jenisnya. Jenis yang pertama adalah mereka yang menerima perintah Tuhan, tidak mematuhi-Nya, dan menjalankan perbuatan yang bertentangan dengan harapan Tuhan. Jenis yang kedua adalah mereka yang menerima apa yang telah disampaikan oleh Tuhan secara harafiah dan mengikutinya tanpa menambahkan atau menguranginya. Hasil dari perbuatan seperti itu diterima oleh Tuhan. Jenis yang ketiga adalah mereka yang menerima perintah Tuhan dan menjalankannya seperti itu sehingga perintah Tuhan dapat dipenuhi sepenuhnya berapapun biayanya. Mereka kembali kepada Tuhan dengan berita keberhasilan. Hanuman adalah teladan dari jenis yang ketiga. Ini dikarenakan karena Hanuman sepanjang waktu hanya memikirkan Rama, dan karena Hanuman sangat tahu kekuatan dari Sri Rama, maka ia selalu mengikuti langkah kaki-Nya. Bhakti dan keyakinan dari Hanuman sangat membantunya untuk mengenali harapan dari majikannya. (Summer Showers in Brindavan, 1977, Ch 10)

-BABA

Saturday, February 4, 2017

Thought for the Day - 4th February 2017 (Saturday)

The kind of work which the wise do may appear to be the same as that done by an ordinary person. Although in appearance they may be the same, yet the result will be different in both. The work done by an unwise person is always accompanied by a feeling on one’s part that he or she is doing work for one’s own benefit. This kind of work is mixed up with ego; the feeling of selfish benefit will also lead to trouble and sorrow. The kind of work which a wise man does always carries a feeling which makes him identical with the divine aspect; he is aware that he is doing in the name and on behalf of God. He thinks that God is really doing the work, and that he is only an instrument. This will always give a good result and grant satisfaction to all.


Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh orang bijak kelihatan sama dengan yang dilakukan oleh orang biasa. Walaupun dalam penampilan keduanya kelihatan sama, namun hasilnya akan berbeda pada keduanya. Pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang tidak bijak adalah selalu diikuti dengan perasaan bahwa ia adalah yang sedang melakukan pekerjaan itu dan untuk keuntungannya sendiri. Pekerjaan jenis ini dicampurkan dengan ego; perasaan dari keuntungan mementingkan diri sendiri juga akan mengarahkan pada masalah dan penderitaan. Jenis pekerjaan yang orang bijak lakukan selalu membawa perasaan yang membuatnya sesuai dengan aspek Tuhan; ia menyadari bahwa ia sedang melakukannya atas nama Tuhan. Ia berpikir bahwa Tuhan yang sebenarnya melakukan pekerjaan itu, dan ia hanyalah alat saja. Ini selalu akan memberikan sebuah hasil yang baik dan memberikan kepuasan kepada semuanya. (Summer Showers in Brindavan, 1977, Ch 10)

-BABA

Friday, February 3, 2017

Thought for the Day - 3rd February 2017 (Friday)

There was an emperor who always asked the sages who visited his palace, “Who is the best among men? Which moment of time is most blessed? Which act is most beneficial?” He could not get satisfactory answers for a long time. Eventually his realm was invaded and he had to flee into the jungle. There he was captured by a tribe who selected him as an offering to their goddess. In this precarious condition, he was rescued by an ascetic who took him to his hermitage, where he and his students lovingly tended him back to health and happiness. Amidst that loving and serene environment, the king discovered the answers to his questions. The best amongst all is the one who has compassion. The most blessed time is the ‘present’ and the best act is to relieve another’s pain and grief. Do not postpone what you can do today, now, this very moment, to a future date!


Ada seorang kaisar yang selalu bertanya kepada guru suci yang mengunjungi istananya, “Siapakah yang terbaik diantara manusia? Kapan waktu yang paling diberkati? Apa bentuk perbuatan yang paling bermanfaat?” Sang kaisar tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan setelah dalam waktu yang lama. Dengan cepat negerinya diserang dan sang kaisar harus melarikan diri ke dalam hutan. Saat itu sang kaisar ditangkap oleh suku pedalaman dan dipilih sebagai persembahan bagi junjungan mereka. Dalam keadaan genting ini, kaisar diselamatkan oleh seorang pertapa dan membawanya ke pertapaannya, dimana sang pertapa dengan murid-muridnya dengan kasih merawat kaisar dan mengembalikan kesehatan serta kebahagiaannya. Tinggal dalam lingkungan yang penuh kasih dan tenang, kaisar menemukan jawaban dari pertanyaannya. Yang terbaik diantara semuanya adalah seseorang yang memiliki welas asih. Waktu yang paling diberkati adalah ‘saat sekarang’ dan perbuatan yang terbaik adalah meredakan rasa sakit dan kesedihan yang lainnya. Jangan menunda apa yang dapat engkau lakukan hari ini, sekarang, saat ini juga untuk masa yang akan datang! (Divine Discourse, 7 Sep, 1966)

-BABA

Thursday, February 2, 2017

Thought for the Day - 2nd February 2017 (Thursday)

Embodiments of Love, work alone brings out the true strength in an individual and shows others what one is capable of. Just as a mirror reflects to us our own face, so also the kind of work you do, describes your true qualities like a barometer. This barometer of work has the capacity to assess your condition and the state of your mind and will demonstrate the kind of qualities you possess (tamasik, rajasikorsatwik). Some people appear to be very calm and noble (satwik), but when they undertake work, we may see that, behind the cloak of satwikquality, is present an amount of harshness. Some people appear to be very harsh and cruel in their words, but when they undertake some work, they become soft and kind. Hence never judge others by their external appearance or by words alone. In fact, no test of human qualities is more stringent than the examination of the work one does.


Perwujudan kasih, hanya kerja saja yang bisa memberikan kekuatan yang sebenarnya dalam diri individu dan memperlihatkan apa kemampuan dari seseorang. Seperti halnya cermin yang memantulkan kepada kita bayangan wajah kita sendiri, begitu juga dengan jenis pekerjaan yang engkau lakukan, menjelaskan kualitas sebenarnya dirimu seperti halnya sebuah barometer. Barometer kerja ini memiliki kapasitas untuk menilai kondisimu dan keadaan pikiranmu dan akan menjalankan sifat yang engkau miliki (tamasik, rajasik, atau satwik). Beberapa orang kelihatan begitu tenang dan mulia (satwik), namun ketika mereka menjalankan pekerjaan, kita mungkin saja melihat bahwa dibalik selubung sifat satwik, terdapat kekerasan di dalamnya. Beberapa orang kelihatan sangat kasar dan kejam dalam perkataan mereka, namun ketika mereka menjalankan pekerjaannya maka mereka menjadi baik dan lembut. Oleh karena itu jangan menilai orang lain dari penampilan luarnya atau dari perkataannya saja. Sejatinya, tidak ada ujian dari sifat manusia yang lebih keras daripada ujian dari kerja yang dilakukannya. (Summer Showers in Brindavan, 1977, Ch 10)

-BABA

Thought for the Day - 1st February 2017 (Wednesday)

Life is like a flight of steps toward the Divine. Your foot is on the first step when you are born; each day is a step that must be climbed. So be steady, watchful and earnest. Do not count the steps ahead or exult over the steps behind. One step at a time, well climbed, is enough success to be satisfied with and to give you encouragement for the next one. Do not slide from the step you have reached. Every step is a victory to be cherished; every day wasted is a defeat to be ashamed of. Slow and steady — let that be your maxim! Adhere to a regular timely routine to repeat the Lord’s Name and meditate. Just as the doctor prescribes a certain fixed quantity of the drug and warns you that anything less is ineffective and anything more is harmful, so too, balance your spiritual exercises. Do not overdo them or do them casually without care.


Hidup seperti sebuah langkah-langkah penerbangan menuju Tuhan. Kakimu ada di langkah awal ketika engkau lahir; setiap harinya adalah sebuah langkah yang harus ditempuh. Jadilah mantap, waspada, dan bersungguh-sungguh. Jangan menghitung langkah yang masih ada di depan atau bersuka ria dengan langkah-langkah yang telah dilewati di belakang. Satu langkah pada waktu yang sama, melangkah dengan baik adalah keberhasilan yang cukup untuk merasa puas dan memberikan dorongan pada langkah selanjutnya. Jangan tergelincir dari langkah yang telah engkau tapaki. Setiap langkah adalah sebuah kemenangan yang dihargai; setiap hari yang disia-siakan adalah sebuah kekalahan yang memalukan. Berjalan pelan dan mantap — jadikan itu sebagai motomu! Patuhi rutinitas waktu secara teratur untuk mengulang-ulang nama Tuhan dan bermeditasi. Seperti halnya dokter menuliskan resep sejumlah obat dengan pasti dan memperingatkanmu bahwa segala sesuatu yang kurang adalah tidak efektif dan segala sesuatu yang berlebih adalah berbahaya, begitu juga, seimbangkan latihan spiritualmu. Jangan berlebihan atau melakukannya dengan santai tanpa peduli. (Divine Discourse, Mar 17, 1961)
-BABA

Wednesday, February 1, 2017

Thought for the Day - 31st January 2017 (Tuesday)

The root cause of all trouble is the uncontrolled, ill-directed mind. Like when the river Godavari is in floods, it rolls along, causing slips and slides, and devastates vast areas on both banks. Discriminatory wisdom (Viveka) and non-attachment (Vairagya) are the two bunds which tame the mad energy of the flood and lead the raging waters into the sea, which is, after all, the destination the waters seek. How can they be implanted? By the first three primary goals of life: righteousness, wealth, and desire-fulfillment (dharma, artha, and kama). The practice of dharma is the art of living. No attempt need be made to run away from the duties of one’s station and status. Remember, those duties have to be done as worship, as offerings of one’s intelligence, skill, qualities, thoughts and feelings to the feet of the Lord in a spirit of thankfulness for the chance given, without a trace of egoism or a sense of attachment to the fruits of the actions.


Akar penyebab dari semua masalah adalah tidak terkendali dan salah arahnya pikiran. Seperti halnya ketika sungai Godavari mengalami banjir maka sepanjang aliran airnya menyebabkan dan menghancurkan daerah yang luas di kedua tepinya. Kebijaksanaan dalam membedakan yang baik dan buruk (Viveka) dan tanpa keterikatan (Vairagya) adalah dua tanggul yang menjinakkan energi banjir yang mengamuk dan mengarahkan terjangan air yang deras itu menuju ke laut, yang merupakan tujuan dari semua aliran air. Bagaimana Viveka dan Vairagya dapat ditanamkan? Dengan tiga tujuan utama dari hidup: kebajikan, kesejahteraan dan pemenuhan keinginan (dharma, artha, dan kama). Menjalankan dharma adalah seni dalam hidup. Tidak ada usaha yang perlu dilakukan untuk menghindar dari kewajiban dan status seseorang. Ingatlah, kewajiban tersebut harus dijalankan sebagai ibadah, sebagai persembahan dari kecerdasan, keahlian, kualitas, pemikiran, dan perasaan seseorang di kaki Padma Tuhan dalam semangat rasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan tanpa adanya jejak ego atau rasa keterikatan pada hasil dari perbuatan. (Divine Discourse, Apr 23, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 30th January 2017 (Monday)

Practice the attitude of joy when others are joyful and of grief when others around you are aggrieved. Let your heart move in empathy. But the joy and grief have to be translated into service; they should not be mere emotions. It is not by your wearing the same 'bush coat' that all others wear that you should demonstrate the principle of equality; that is very easy. That is external uniformity. How are all equal? All are equal, because they all have the same Divine Consciousness (Chaitanya) within them. When the Sun rises, not all lotuses in the lake bloom; only the grown buds open their petals. The others await their time. It is the same with people. Differences do exist because of un-ripeness, though all fruits have to ripen and fall someday. Every being has to reach the Goal, however slow they walk or however circuitous their road is!


Latihlah sikap suka cita ketika yang lainnya penuh kebahagiaan dan merasa sedih ketika yang lainnya di sekitarmu mendapatkan kemalangan. Biarkan hatimu tergerak dalam empati. Namun suka cita dan kesedihan harus diterjemahkan ke dalam pelayanan; dan tidak hanya melulu berkaitan dengan emosi. Adalah bukan dengan memakai baju safari seperti yang lain gunakan engkau perlihatkan prinsip persamaan; itu adalah hal yang sangat gampang. Itu adalah keseragaman di luar saja. Bagaimana semuanya bisa ada dalam persamaan? Semuanya adalah sama karena mereka semua memiliki kesadaran keillahian (Chaitanya) yang sama di dalam diri mereka. Ketika matahari terbit, tidak semua bunga teratai yang ada di kolam mekar; hanya kuncup bunga yang tumbuh membuka kelopaknya. Sedangkan bunga teratai yang lainnya menunggu waktu mereka. Hal ini sama dengan manusia. Perbedaan itu ada karena ketidakmatangan, walaupun semua buah harus matang dan jatuh pada suatu hari nanti. Setiap makhluk harus mencapai tujuannya, walaupun betapa lambat mereka berjalan atau bagaimanapun memutar jalan mereka! (Divine Discourse, Apr 23, 1961)

-BABA