Friday, October 31, 2014

Thought for the Day - 31st October 2014 (Friday)


The Vedas declare, “Mathru Devo Bhava, Pitru Devo Bhava”. Revere the mother and father as Divine. All of you must realize that your blood, food, head and money are gifts of your parents. First and foremost, offer your gratitude to your mother. Never forget your mother who gave you birth after allowing you to grow within herself for nine months, and provides you all care and comfort, unmindful of her own discomforts. The mother always has the child’s well-being uppermost in her mind on all that she says and does. You may be highly educated and your mother may be illiterate, still you should have the utmost regard and respect for her. Consider the teachings of your mother as dear as scriptures themselves. Bereft of character, worldly education cannot grant peace or help you lead a Divine Life.


Weda menyatakan, "Mathru Devo Bhava, Pitru Devo Bhava". Hormatilah ibu dan ayah sebagai Tuhan. Kalian semua harus menyadari bahwa darahmu, makanan, kepala dan uang adalah karunia dari orang tuamu. Pertama dan terpenting, haturkanlah rasa terima kasihmu kepada ibumu. Janganlah lupa, bahwa ibumu yang memberimu kelahiran setelah memungkinkan engkau untuk tumbuh dalam dirinya selama sembilan bulan, dan menyediakan semua perawatan dan kenyamanan, tanpa menghiraukan ketidaknyamanannya sendiri. Sang ibu selalu menginginkan kesejahteraan sang anak yang paling penting dalam pikirannya pada semua yang dia katakan dan lakukan. Engkau mungkin berpendidikan tinggi dan ibumu mungkin buta huruf, engkau harus memiliki perhatian dan hormat untuknya. Anggaplah ajaran ibumu sama berharganya  dengan kitab suci. Kehilangan karakter, pendidikan duniawi tidak dapat memberikan kedamaian atau membantu mu menjalani kehidupan Ilahi.
-BABA

Thursday, October 30, 2014

Thought for the Day - 30th October 2014 (Thursday)

In the cosmic context, Nature is the mirror, God is the viewer. All that is reflected in Nature is Divine. God alone exists everywhere. The object and the image appear because of the presence of the mirror. When there is no mirror, there is no image! God’s arithmetic is different from that of human beings. When a mirror is placed before you, you have three entities – you, the mirror and your image. When you take away one from three, according to normal arithmetic, there must be two entities, because ‘3 - 1 = 2’. However in the cosmic arithmetic, there is no ‘two’ because when the mirror is removed, only ‘you’ remain! This is the mystery relating to Nature and the wonders of the Lord. The glories of the Lord are multifarious and marvelous, beyond words.

Dalam konteks kosmik, Alam Semesta adalah cermin, Tuhan adalah Sang penonton. Semua yang tercermin dalam Alam Semesta adalah Tuhan. Tuhan sendiri ada di mana-mana. Objek dan gambar muncul karena kehadiran cermin. Ketika tidak ada cermin, tidak ada gambar! Aritmatika Tuhan berbeda dengan manusia. Ketika cermin diletakkan di hadapanmu, engkau memiliki tiga entitas - engkau, cermin dan bayanganmu. Ketika engkau mengambil satu dari tiga hal tersebut, menurut aritmatika normal, harus ada dua entitas, karena '3-1 = 2'. Namun dalam aritmatika kosmik, tidak ada 'dua' karena ketika cermin yang diambil, hanya 'engkau' yang tersisa! Inilah misteri yang berkaitan dengan alam dan keajaiban Tuhan. Kemuliaan Tuhan adalah bermacam-macam dan luar biasa, melampaui kata-kata.

-BABA

Wednesday, October 29, 2014

Thought for the Day - 29th October 2014 (Wednesday)

The Himalayas or ‘Himachala’ forms the Northern boundary of India. ‘Hima’ means ice. It is white in colour and melts easily. Whiteness symbolizes purity. ‘Achala’ means that which is steady. Your heart should also be like the Himachala - pure, steady and which melts with compassion. God resides in each and every heart that is pure, steady and full of compassion. But today, many hearts have lost these noble qualities due to limitless desires. Life is a long journey and your desire is the luggage. The journey of your life will become enjoyable only when you reduce the luggage of desires. Less luggage, more comfort makes travel a pleasure! The Gita teaches that you should offer everything to God (“Sarva Karma, Bhagavadh Preethyartham”). You must perform every single action with the only goal to please God. This is the easiest and most effective way to be free from all difficulties and hardships.

Himalaya atau 'Himachala' merupakan batas utara India. 'Hima' berarti es, berwarna putih dan mudah mencair. Putih melambangkan kesucian. 'Achala' berarti yang mantap. Hatimu juga harus seperti Himachala - murni, mantap dan dengan mudah mencair dengan kasih sayang. Tuhan berada di setiap hati yang murni, mantap dan penuh kasih sayang. Tetapi hari ini, banyak hati telah kehilangan sifat-sifat mulia karena keinginan yang tak terbatas. Hidup adalah sebuah perjalanan panjang dan keinginanmu dapat diibaratkan dengan bagasi. Perjalanan hidupmu akan menjadi menyenangkan hanya bila engkau mengurangi bagasi keinginan. Sedikit bagasi, maka perjalananmu akan lebih nyaman dan menyenangkan! Gita mengajarkan bahwa engkau harus mempersembahkan segala sesuatu kepada Tuhan ("Sarva Karma, Bhagavadh Preethyartham"). Engkau harus melakukan setiap tindakan dengan satu-satunya tujuan untuk menyenangkan Tuhan. Inilah cara termudah dan paling efektif untuk bebas dari segala kesulitan dan penderitaan.

-BABA

Tuesday, October 28, 2014

Thought for the Day - 28th October 2014 (Tuesday)

Human life is the combination of body, mind and soul. Body is the basis to attain wisdom. Therefore it should not be misused. You must purify your body and mind by undertaking sacred actions. Do not underestimate the potentialities of the human body. In fact the human body is the basis for attaining the goal of life. Work for the redemption of your life by chanting the Divine Name and undertaking sacred activities. You need not make any special effort to acquire the human values – they are latent within you, right from your birth. You have forgotten them, as you failed to practice them. Instead of giving tons of speeches, practice at least an ounce of what you have learnt. Humanity is on the decline only because people are not practicing human values. You are developing desires (asalu) forgetting ideals (adarsalu).

Kehidupan manusia merupakan kombinasi dari badan, pikiran, dan jiwa. Badan jasmani adalah dasar untuk mencapai kebijaksanaan. Oleh karena itu tidak boleh disalahgunakan. Engkau harus memurnikan badan dan pikiran dengan melakukan perbuatan yang suci. Jangan meremehkan potensi dari badan manusia. Bahkan badan manusia adalah dasar untuk mencapai tujuan hidup. Bekerjalah untuk menyelamatkan hidupmu dengan menyebut Nama Tuhan dan melakukan kegiatan-kegiatan yang suci. Engkau tidak perlu membuat upaya khusus untuk mendapatkan nilai-nilai kemanusiaan - itu sudah laten dalam dirimu, sejak engkau lahir. Engkau telah melupakannya, sehingga engkau gagal untuk mempraktikkannya. Daripada banyak berbicara, praktikkanlah setidaknya satu saja apa yang telah engkau pelajari. Saat ini, kemanusiaan sedang mengalami penurunan hanya karena orang tidak mempraktikkan nilai-nilai kemanusiaan. Engkau sedang mengembangkan keinginan (ASALU) melupakan ideal (adarsalu).

-BABA

Monday, October 27, 2014

Thought for the Day - 27th October 2014 (Monday)

Control your desires. Cultivate love for God. That love will confer on you everything you need. There is no need for you to ask anything from God. Did Rama not give to Shabari what she needed without her asking? Did He not bless Jatayu with His Grace? Dasharatha had prayed for so long that his son should perform the last rites for him. But he did not get it, while the bird Jatayu got the privilege of a few drops of water from Rama before its death and attained liberation. Rama even performed his last rites. Mother Shabari was eagerly waiting for Lord Rama’s arrival with sweet fruits for several years. Her intense devotion to the Lord fetched its reward – God confers His Grace according to each one’s deservedness and it cannot be secured by agraha (force or power).

Engkau hendaknya mengendalikan keinginanmu serta mengembangkan cinta-kasih untuk Tuhan. Cinta-kasih itu yang akan memberikan kepadamu semua yang engkau butuhkan. Tidak perlu bagimu untuk meminta sesuatu dari Tuhan. Apakah Rama tidak memberi apa yang dibutuhkan Sabhari tanpa dia meminta? Bukankah Beliau memberkati Jatayu dengan Rahmat-Nya? Dasaratha telah berdoa begitu lama bahwa anaknya harus melakukan upacara terakhir baginya. Tetapi dia tidak mendapatkannya, sementara burung Jatayu mendapat hak istimewa dari beberapa tetes air dari Rama sebelum kematian dan mencapai pembebasan. Rama bahkan melakukan ritual terakhirnya. Ibu Sabari menantikan kedatangan Sri Rama dengan buah-buahan manis selama beberapa tahun. Intensitasnya kepada Tuhan mendapatkan pahala - Tuhan menganugerahkan rahmat-Nya sesuai dengan haknya masing-masing dan tidak dapat didapatkan dengan agraha (kekuatan atau kekuasaan)

-BABA

Thought for the Day - 26th October 2014 (Sunday)

Let us not relate to God as a hidden, invisible entity. God doesn’t live in a place foreign to your dwelling. He is installed in you. He is with you, in you, above you, around you and below you. We have forgotten the easy way to reach God. All sufferings will vanish in no time if we sincerely call out to the Lord and sing His glory. The Lord’s Name is the only refuge to cross all the difficulties. There is nothing greater or mightier than His Name. The moment one chants His glory and sings His name, one attains bliss. Meditation and many rituals were followed in many ages, but in Kali age, chanting God’s Name (Namasmarana) is the only way to attain the Supreme.

Janganlah kita menghubungkan Tuhan sebagai tersembunyi, entitas yang tak terlihat. Tuhan tidak tinggal di suatu tempat yang asing. Beliau ter-install di dalam dirimu. Beliau bersamamu, di dalam dirimu, di atasmu, di sekitarmu dan di bawahmu. Kita telah melupakan cara mudah untuk mencapai Tuhan. Semua penderitaan akan lenyap dalam waktu singkat jika kita sungguh-sungguh memanggil Tuhan dan menyanyikan kemuliaan-Nya. Nama Tuhan adalah satu-satunya perlindungan untuk menyeberangi semua kesulitan. Tidak ada yang lebih besar atau lebih kuat dari Nama-Nya. Saat seseorang mengucapkan kemuliaan-Nya dan menyanyikan nama-Nya, seseorang akan mencapai kebahagiaan. Meditasi dan ritual lainnya telah dilakukan dalam berbagai zaman, tetapi di zaman Kali ini, menchantingkan Nama Tuhan (Namasmarana) adalah satu-satunya cara untuk mencapai-Nya.

-BABA

Saturday, October 25, 2014

Thought for the Day - 25th October 2014 (Saturday)

Every being passes through the stages of birth, youth, old age and death. Childhood is spent in playing, youth in family life and old age in discharging responsibilities. One way or the other, there is mental suffering associated with each of these stages. Our attitude to life is akin to that of a tamarind. The tamarind is made up of three parts – the seed, the skin and the fruit. Similarly a human being has the gross body, the subtle body and the causal body. Suppose a raw, young tamarind is hit with a stone, the outer layer as well as the inner layer will be hurt. On the other hand, when a ripe tamarind is hit with a stone, only the outer skin breaks and the juice is available for consumption. The one with worldly associations is similar to a raw tamarind. Gradually, give up all desires, as the nature of desires is to multiply.

Setiap makhluk melewati tahapan-tahapan kelahiran, masa muda, usia tua, dan kematian. Masa kanak-kanak dilewatkan dalam bermain, masa muda dalam kehidupan keluarga, dan masa tua dalam melaksanakan tanggung jawab. Salah satu jalan atau jalan lainnya, ada penderitaan mental yang terkait dengan setiap tahapan. Sikap kita terhadap kehidupan ini mirip dengan buah asam. Asam terdiri dari tiga bagian - bibit, kulit, dan buah. Demikian pula manusia memiliki badan kasar, badan halus, dan badan kausal. Saat masih mentah, ketika asam muda dipukul dengan batu, lapisan luar serta lapisan dalam akan hancur. Di sisi lain, ketika asam yang matang dipukul dengan batu, hanya kulit bagian luar yang hancur dan sari buah/jus asam siap untuk di konsumsi. Seseorang dengan hubungan duniawi mirip dengan asam yang mentah. Secara bertahap, tinggalkanlah semua keinginan, karena sifat sejati dari keinginan adalah senantiasa berkembang.

-BABA

Friday, October 24, 2014

Thought for the Day - 24th October 2014 (Friday)

With the Lord’s name as the very breath of your life, engage in all life's activities, with no fear of fall. When the mind weds worldly activity (pravrithi), the progeny is bondage; when it weds spiritual renunciation (nivrithi), the progeny is freedom. Nivrithi confers fearlessness, and grants strength and courage, for it is desire that weakens man and makes one cringe. Detachment endows you with self-respect, and the capacity to stand up to slander and calumny. There are some who weep at the slightest sign of defeat or disappointment. This is despicable behaviour. When the Lord is installed in the altar of your heart why should you have fear or sorrow? Do you not know He is there, guarding you and guiding you? He is in all beings, always. Remember this fact wherever you are and whatever you may do. If only you do not give up the recitation of His Name you will succeed.

Dengan nama Tuhan sebagai nafas hidupmu, engkau hendaknya melibatkan dirimu dalam setiap aktivitas kehidupan, tanpa takut jatuh. Ketika pikiran selaras dengan aktivitas duniawi (pravrithi), akan menurunkan keterikatan; ketika pikiran selaras dengan spiritual (nivrithi), akan menurunkan pembebasan. Nivrithi menganugerahkan rasa tidak takut, dan memberikan kekuatan dan keberanian, karena keinginan melemahkan manusia dan membuat orang merasa ngeri. Tanpa kemelekatan memberikan harga diri, dan kemampuan untuk berdiri dalam penghinaan dan fitnah. Beberapa orang menangis ketika mendapatkan kekalahan atau kekecewaan. Ini adalah perilaku yang tercela. Ketika Tuhan terinstall di altar hatimu mengapa engkau harus memiliki rasa takut atau kesedihan? Tidakkah engkau tahu Beliau ada di sana, menjagamu dan membimbingmu? Beliau selalu berada pada semua makhluk. Ingatlah fakta ini di manapun engkau berada dan apa pun yang engkau lakukan. Kalau saja engkau tidak meninggalkan menchantingkan Nama-Nya maka engkau akan berhasil.

-BABA

Thursday, October 23, 2014

Thought for the Day - 23rd October 2013 (Thursday)

The festival of Deepavali is to express gratitude at the defeat of the Naraka (demonic) tendencies in man, which drags one down from Divinity. Naraka, whose death at the hands of Krishna is celebrated today, signifies hell. Narakaasura is the personification of all the traits of character that obstruct the upward impulses of man. The human being is a composite of man, beast and God, and in the inevitable struggle among the three for ascendency, you must ensure that God wins, suppressing the merely human and the lowly beast. The griha (home) where the Name of the Lord is not heard is a guha (cave), and nothing more. As you enter it, as you leave it and while you are in it, regularly perfume it, illumine it and purify it with the Name. Light it as a lamp at dusk and welcome it at dawn, as you welcome the Sun. That is the genuine Deepavali, the Festival of Lamps.

Perayaan Deepavali adalah untuk mengungkapkan rasa terima kasih pada kekalahan Naraka (setan) dalam diri manusia, yang menyeret seseorang turun dari tingkat Divinity. Naraka, yang kematiannya di tangan Krishna dirayakan hari ini, menandakan neraka. Narakaasura adalah personifikasi dari semua ciri-ciri karakter yang menghambat manusia naik ke atas menuju Divine. Manusia merupakan gabungan dari manusia, binatang, dan Tuhan, dan dalam perjuangan yang tak terelakkan di antara ketiganya, engkau harus memastikan bahwa Tuhan-lah yang menang, menekan sifat-sifat manusia dan binatang yang rendah. Griha (rumah) di mana nama Tuhan tidak terdengar adalah Guha (gua), dan tidak lebih dari itu. Sebagaimana engkau masuk di situ, demikian pula engkau meninggalkannya dan sementara engkau berada di dalamnya, secara teratur parfum itu, menerangi dan memurnikan dengan Nama Tuhan. Cahaya adalah lampu saat senja dan menyambutnya saat fajar, seperti engkau menyambut Matahari. Itulah Deepavali sebenarnya, Festival Lampu/Cahaya.

-BABA

Wednesday, October 22, 2014

Thought for the Day - 22nd October 2014 (Wednesday)

Do not be elated by riches, status, authority, intelligence, etc., which you may have. Consider that they have been given to you on trust, so that you may benefit others. They are all signs of His Grace, opportunities of service, and symbols of responsibility. Never seek to exult over others' faults; deal sympathetically with the errors and mistakes of others. Seek the good in others; hear only good tidings about them; do not give ear to scandal. On the occasion of Deepavali, resolve to light the lamp of Namasmarana and place it at your doorstep, the lips. Feed it with the oil of devotion; let steadiness be the wick. Let the lamp illumine every minute of your life. The splendour of the Name will drive away darkness from outside you as well as inside. You will spread joy and peace among all who come near you.

Janganlah terlalu bergembira oleh kekayaan, status, wewenang, kecerdasan, dll, yang mungkin engkau miliki. Ingatlah bahwa hal tersebut telah dipercayakan kepadamu, sehingga engkau bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Semuanya itu merupakan tanda berkat-Nya, kesempatan untuk melakukan pelayanan, dan simbol dari tanggung jawab. Jangan pernah bersuka ria atas kesalahan orang lain, engkau hendaknya menangani kesalahan dan kekeliruan orang lain dengam penuh simpati. Carilah kebaikan dalam diri orang lain; dengarkanlah hanya kabar baik tentang mereka; jangan pernah mau mendengarkan skandal. Pada kesempatan Deepavali, engkau hendaknya menyalakan pelita Namasmarana dan menempatkannya di depan pintu rumahmu. Isilah pelita itu dengan minyak pengabdian; dan kemantapan menjadi sumbunya. Biarkan lampu menerangi setiap menit hidupmu. Keagungan Nama Tuhan akan mengusir kegelapan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirimu. Engkau akan menyebarkan sukacita dan kedamaian kepada semua yang datang di dekatmu.

-BABA

Tuesday, October 21, 2014

Thought for the Day - 21st October 2014 (Tuesday)

God is inscrutable. He cannot be realised in the outer objective world; He is in the very heart of every being. You extol God as omnipresent, omniscient and omnipotent, but ignore His presence in you! Who can affirm that God is this or that? Who can affirm that God is not of this form or with this attribute? Each one can acquire from the vast expanse of the ocean only as much as can be contained in the vessel one carries to its shore. From that quantity, they can grasp but little of that immensity. Gemstones have to be sought deep underground; they do not float in mid-air. Seek God in the depths of yourself, not in the tantalising, kaleidoscopic Nature. The body is granted to you for this high purpose; but, you are now misusing it, like the person who cooked his daily food in the gem studded gold vase that came into his hands as an heirloom.

Tuhan itu tidak dapat dimengerti. Beliau tidak bisa disadari dalam dunia objektif; Beliau berada dalam hati setiap makhluk. Engkau memuji Tuhan ada dimana-mana, Maha Tahu dan Maha Kuasa, tetapi mengabaikan kehadiran-Nya dalam dirimu sendiri! Siapakah yang bisa menyatakan dengan jelas bahwa Tuhan adalah ini atau itu? Siapakah yang bisa menyatakan dengan jelas bahwa Tuhan tidak dalam wujud ini atau dengan atribut seperti ini? Setiap orang bisa mendapatkan hamparan luas lautan hanya sebanyak yang bisa dibawanya dalam satu kapal menuju pantai. Dari jumlah itu, mereka bisa memahaminya tetapi hanya sedikit dari yang sedemikian luasnya. Batu permata harus dicari di bawah tanah, tidak mengapung di udara. Carilah Tuhan di kedalaman dirimu, jangan tergoda dengan yang berada di alam semesta yang senantiasa berubah-ubah dengan cepat. Badan jasmani diberikan kepadamu untuk tujuan yang tinggi ini; tetapi, saat ini, engkau menyalahgunakannya, dapat diibaratkan seperti seseorang yang mendapatkan harta warisan/peninggalan berupa jambangan yang bertatahkan emas, yang kemudian digunakan untuk memasak makanan sehari-hari. (Divine Discourse, 19 June 1974)

-BABA

Monday, October 20, 2014

Thought for the Day - 20th October 2014 (Monday)

‘Sa’ means Divine; ‘ai’ or ‘ayi’ means Mother and ‘Baba’ means Father. The Name, Sai Baba means Divine Mother and Father. Sai’s descent is to achieve the supreme task of uniting the entire mankind as one family through the bond of brotherhood and to affirm and illumine the Divine (Aathmic) Reality within each and every being. The Divine takes the form as Avatar to reveal Himself as the basis for the entire Cosmos, and to instruct all to recognise the common divine heritage that binds everyone; so that human beings can work hard to rid themselves of animalistic qualities. I am the embodiment of Love; Love is My instrument. I reveal truth about Myself for, I desire that you should contemplate on this and derive joy. Also, may you be inspired to observe the disciplines laid down and progress towards the goal of Self-Realisation. Realise the Sai who shines in your hearts.

'Sa' berarti Tuhan; 'Ai' atau 'ayi' berarti ibu dan 'Baba' berarti ayah. Nama, Sai Baba berarti Ibu dan Ayah Ilahi. Turunnya Sai (sebagai Awatara) adalah untuk mencapai tugas tertinggi menyatukan seluruh umat manusia sebagai satu keluarga melalui ikatan persaudaraan dan untuk menegaskan dan menerangi Realitas Ilahi (Aathmic) dalam setiap makhluk. Tuhan mengambil wujud sebagai Avatar untuk menyatakan diri-Nya sebagai dasar bagi seluruh Ciptaan, dan menginstruksikan semuanya untuk mengenali warisan ilahi yang mengikat setiap orang; sehingga manusia dapat bekerja keras untuk membebaskan diri dari kualitas kebinatangan menuju Divine. Aku adalah perwujudan Cinta-kasih; Cinta-kasih adalah instrumen-Ku. Aku mengungkapkan kebenaran tentang Diriku, karena Aku ingin engkau merenungkan hal ini dan memperoleh sukacita. Engkau juga hendaknya terinspirasi untuk menjalankan disiplin yang telah ditetapkan dan maju menuju tujuan yaitu Self-Realisasi. Engkau hendaknya menyadari Sai yang bersinar di dalam hatimu. (Divine Discourse, 19 June 1974)

-BABA

Sunday, October 19, 2014

Thought for the Day - 19th October 2014 (Sunday)

You may undertake any number of spiritual practices, but never forget God’s name even for a moment. Never do anything that will take you away from God. You can achieve anything through prayer. You need not pray loudly; it is enough if you pray mentally. God resides in your heart and listens to all your prayers. If you aspire to attain His grace, contemplate on Him incessantly. Worldly difficulties come and go. Do not attach much importance to them. Through prayer one can overcome any difficulty. Only God’s grace is true and everlasting, strive to attain it. Chant the name of God day in and day out. That alone will protect you at all times. Just as air is all pervasive, God is present in you, with you, around you, below you, above you. Hence be in constant communion with Him. When you develop faith in Divinity, you will naturally have unity. Consequently, there will be no scope for enmity.

Engkau dapat melakukan sejumlah praktik spiritual, tetapi jangan pernah melupakan nama Tuhan bahkan untuk sesaat. Jangan pernah melakukan apa pun yang akan membawamu jauh dari Tuhan. Engkau dapat mencapai apapun melalui doa. Engkau tidak perlu berdoa dengan keras; sudah cukup jika engkau berdoa dalam batin. Tuhan bersemayam di dalam hatimu dan mendengarkan semua doa-doamu. Jika engkau berkeinginan untuk mendapatkan berkat-Nya, renungkanlah Beliau tanpa henti. Kesulitan duniawi datang dan pergi. Janganlah engkau terikat pada hal tersebut. Melalui doa, akan dapat mengatasi kesulitan. Hanya berkat Tuhan yang benar dan abadi, engkau hendaknya berusaha untuk meraihnya. Chantingkanlah nama Tuhan setiap saat, hanya ini yang akan melindungimu. Sama seperti udara yang meliputi segalanya, Tuhan ada di dalam dirimu, denganmu, di sekitarmu, di bawahmu, di atasmu. Oleh karena itu, engkau hendaknya senantiasa menjalin hubungan yang erat dengan-Nya. Ketika engkau mengembangkan keyakinan pada Tuhan, secara alami engkau akan memiliki kesatuan. Akibatnya, tidak akan ada ruang bagi permusuhan. (Divine Discourse, 21 July 2005)

-BABA

Saturday, October 18, 2014

Thought for the Day - 18th October 2014 (Saturday)

Man is the image of God. Scriptures declare, God appears in human form (Daivam maanusha rupena). Though God has no separate form, Avatars descend from time to time to show how human lives can be divinised. I have often declared that God does not come down as Avatar to relieve individuals of their troubles and sorrow and to confer joy and happiness on them. Difficulties, troubles and worries come in the natural course as a consequence of your past actions. The Gita declares: Human beings are bound by merits and demerits (Karma) from previous lives (Karmaanubandheeni manushya loke). As is your action, so is the reaction. When you stand before a mirror and offer salutations, the salutation is reflected by the image. If you scowl at the mirror, the harshness is reflected back at you.

Tuhan bukanlah entitas yang terpisah. Manusia dapat diibaratkan sebagai bayangan Tuhan. Kitab suci menyatakan, Tuhan muncul dalam bentuk manusia (Daivam maanusha rupena). Meskipun Tuhan tidak memiliki wujud yang terpisah, Avatar turun dari waktu ke waktu untuk menunjukkan bagaimana kehidupan manusia dapat meningkat menjadi divine. Aku sering mengatakan bahwa Tuhan tidak turun sebagai Avatar untuk meringankan individu dari kesulitan dan penderitaan mereka dan untuk memberikan sukacita dan kebahagiaan pada mereka. Kesulitan, masalah dan kekhawatiran datang dalam proses alamiah sebagai konsekuensi dari tindakan masa lalu-mu. Gita menyatakan: Manusia terikat oleh keuntungan dan kerugian (Karma) dari kehidupan sebelumnya (Karmaanubandheeni manushya loke). Sebagaimana aksimu, maka demikianlah reaksinya. Ketika engkau berdiri di depan cermin dan memberikan salam, salam tercermin oleh cermin. Jika engkau menampakkan raut muka yang tidak senang/cemberut di cermin, maka demikianlah yang dipantulkan kembali padamu. (Divine Discourse, Sep 3, 1988)

-BABA

Friday, October 17, 2014

Thought for the Day - 17th October 2014 (Friday)

There may be a few statements in Bhagavad Gita or other scriptures that might appear to contradict each other. For instance, in the Gita in one place, Lord Krishna stresses the need for action, at another the adherence to Dharma, and in another place commends renunciation of all Dharma and urges complete surrender to the Lord. These apparent contradictions are not contradictions. The teaching varies according to the state of spiritual development of the person concerned and the situation in which one is placed. The lesson here is one must pay due care and attention to understanding completely the inner significance of the great teachings of the Avatars and sages before any criticism is attempted.

Mungkin ada beberapa pernyataan dalam Bhagavad Gita atau kitab suci lainnya yang mungkin tampak bertentangan satu sama lain. Misalnya, dalam Gita di suatu tempat, Krishna menekankan perlunya tindakan, di tempat lainnya menekankan pada kepatuhan terhadap Dharma, dan di tempat lainnya menyarankan untuk meninggalkan kehidupan duniawi sebagai Dharma dan mendorong untuk berpasrah total kepada Tuhan. Kontradiksi yang nampak ini, bukanlah kontradiksi. Ajaran yang bervariasi ini, sesuai dengan keadaan perkembangan spiritual dari orang yang bersangkutan dan situasi di mana ditempatkan. Pelajarannya adalah kita harus memperhatikan dan memahami sepenuhnya makna batin dari ajaran besar dari Avatar dan orang-orang bijak sebelum melontarkan kritik. (Divine Discourse at Trayee Brindavan, July 1988)

-BABA

Thursday, October 16, 2014

Thought for the Day - 16th October 2014 (Thursday)

The observance of nonviolence has been described as the highest form of Dharma. All the violence in the world today is due to the fact that people do not lead righteous lives. It has been said that the body has been given essentially to pursue Dharma. Among the teachings of the Buddha to the world, the foremost was Ahimsa (not causing harm to anyone). Nonviolence is not merely refraining from inflicting injuries on others with one's limbs or weapons. Nonviolence has to be practised with Thrikarana Shuddhi (purity of thought, word and deed). There should be no ill-feelings, which is itself a form of violence. To cause harm to others through one’s body is Himsa (violence). No one should be harmed even by speech. The speech should be sweet, pleasing and wholesome. All actions should be helpful to others.

Menjalankan tanpa kekerasan adalah bentuk tertinggi dari Dharma. Semua kekerasan di dunia yang terjadi saat ini adalah karena orang-orang tidak menjalani kehidupan dengan benar. Telah dikatakan bahwa badan jasmani telah diberikan pada dasarnya untuk mengejar Dharma. Di antara ajaran Buddha di dunia, yang terutama adalah Ahimsa (tidak menyakiti siapa pun). Tanpa-kekerasan tidak hanya sekedar menahan diri agar tidak melukai seseorang baik dengan anggota badan maupun dengan senjata. Tanpa-kekerasan harus dilakukan dengan Thrikarana Shuddhi (kemurnian pikiran, perkataan dan perbuatan). Seharusnya tidak ada perasaan yang terlukai, karena itu sendiri merupakan bentuk kekerasan. Menyebabkan penderitaan kepada orang lain melalui badan jasmaninya adalah Himsa (kekerasan). Tidak ada yang seharusnya dirugikan bahkan dengan kata-kata. Kata-kata yang diucapkan seharusnya manis, menyenangkan dan bermanfaat. Semua tindakan yang dilakukan seharusnya membantu orang lain. (Divine Discourse, May 15, 1996)

-BABA

Wednesday, October 15, 2014

Thought for the Day - 15th October 2014 (Wednesday)

Krishna told Arjuna, "You are My devotee and My friend." Neither Arjuna declared himself as a devotee nor Krishna remained content with just declaring Arjuna to be His devotee. Why did Krishna say: “You are My friend?” This declaration has a profound spiritual significance. This will be clear only when we practice the spiritual life. If merely the Lord were to call Arjuna, "My friend" his ego could get inflated and he could take undue liberties with Krishna. If He were to say, "My dear, you are My devotee," he could become extremely submissive and maybe even develop fear towards the Lord. Fear should not be instilled; nor should he be encouraged to take excessive liberties. Hence the terms devotee and friend, were used by Krishna. "You are My friend. You may be free with Me up to a point. You are My devotee. So observe certain restraints. Exercise control over yourself in your devotion."

Krishna mengatakan kepada Arjuna, "Engkau adalah bhakta-Ku dan teman-Ku." Baik Arjuna menyatakan dirinya sebagai bhakta atau Krishna tetap puas dengan hanya menyatakan Arjuna sebagai bhakta-Nya. Mengapa Krishna mengatakan: "Engkau adalah teman-Ku?" Pernyataan ini memiliki makna spiritual yang mendalam. Ini akan menjadi jelas hanya ketika kita mempraktikkan kehidupan spiritual. Jika hanya Tuhan yang mengatakan Arjuna, "Teman-Ku" egonya bisa meningkat dan ia bisa mengambil kebebasan yang tidak semestinya dengan Sri Krishna. Jika Beliau mengatakan, "Engkau bhakta-Ku," ia bisa menjadi sangat penurut dan bahkan mungkin mengembangkan rasa takut terhadap Tuhan. Rasa takut tidak seharusnya ditanamkan; ataupun ia seharusnya didorong untuk mengambil kebebasan yang berlebihan. Oleh karena itu istilah bhakta dan teman, digunakan oleh Sri Krishna. "Engkau adalah teman-Ku. Engkau mungkin bebas dengan-Ku sampai titik tertentu. Engkau adalah bhakta-Ku. Jadi menjalankan pembatasan tertentu. Berlatihlah mengendalikan dirimu sendiri dalam pengabdianmu." (Divine Discourse at Trayee Brindavan, July 1988)

-BABA

Tuesday, October 14, 2014

Thought for the Day - 14th October 2014 (Tuesday)

Fix your faith firmly in the Lord and not on the things of the world. When you have strong faith in the Lord, your discrimination will be perfect. You will be guided by your Conscience, which will always lead you properly. In vedantic parlance, the Conscience is called ‘Chit’. God is ‘Sat-Chit-Ananda’. Sat means Being, Chit means Awareness. When and where these two are combined, there is Bliss. This is the meaning of the divine name, BABA - Being + Awareness Bliss +Atma. All of you are aspirants of bliss. You must enjoy uninterrupted bliss. To attain that Ananda (Bliss), you must combine Sat (Being) and Chit (Awareness). Without Divinity, there is no bliss or joy. Hence always think of Him, Live in His presence.

Engkau hendaknya memperkuat keyakinanmu pada Tuhan, bukan pada hal-hal dunia. Bila engkau memiliki keyakinan yang kuat pada Tuhan, kemampuan diskriminasimu akan menjadi sempurna. Engkau akan dipandu oleh Nuranimu, yang akan selalu membimbingmu dengan benar. Dalam Vedanta, Nurani disebut dengan 'Chit'. Tuhan adalah 'Sat-Chit-Ananda'. Sat berarti kebenaran, Chit berarti Kesadaran. Kapan dan di mana keduanya disatukan, maka akan ada kebahagiaan sejati. Inilah arti dari nama, BABA - Being + Awareness Bliss + Atma. Kalian semua adalah para aspiran kebahagiaan. Engkau harus menikmati kebahagiaan yang tiada henti. Untuk mencapai Ananda (Bliss/kebahagiaan sejati), engkau harus menggabungkan Sat (Being) dan Chit (Kesadaran). Tanpa Divinity, tidak ada kebahagiaan atau sukacita. Oleh karena itu, engkau hendaknya selalu memikirkan Tuhan dan senantiasa menjalani kehidupan dalam kehadiran-Nya. (My Dear Students, Vol 2, Ch 17, “Lessons from the Immortal Indian Epics”)

-BABA

Monday, October 13, 2014

Thought for the Day - 13th October 2014 (Monday)

The base for making a pot is clay. For making a pot, the potter is the cause and the pot is the effect. The pot may break, but the clay remains as it is. Out of a permanent substance, clay, the potter makes a pot. The fate of the pot does not affect the potter. The clay in the pot too has no impact on the potter. Extending the analogy, God is the changeless Creator, who creates innumerable objects in creation, which are subject to change in name and form. A pot cannot be made without the potter and the clay; both are necessary. Similarly the Creator is the instrumental cause of creation (Nimitta Karana). The human body may perish, like the pots, but the Creator and the Elements used for creation are imperishable. The human beings, during their lifetime, have a choice - to put their body to good use or bad use.

Bahan dasar untuk membuat pot adalah tanah liat. Untuk membuat pot, si pembuatnya adalah penyebabnya dan pot adalah akibatnya. Pot bisa pecah, tetapi tanah liat tetap seperti itu. Dari bahan yang permanen, tanah liat, si pembuat membuat pot tersebut. Takdir dari pot tidak mempengaruhi si pembuat pot tersebut. Tanah liat dalam pot juga tidak berdampak pada si pembuat. Dengan memperluas analogi tersebut, Tuhan adalah Sang Pencipta, yang menciptakan benda-benda yang tak terhitung jumlahnya dalam penciptaan, yangmana subjeknya dapat berubah baik dalam nama dan bentuk. Sebuah pot tidak dapat dibuat tanpa si pembuat dan tanah liat; keduanya diperlukan. Demikian pula Sang Pencipta adalah penyebab instrumental ciptaan (Nimitta Karana). Badan jasmani manusia bisa mati/hancur, sama seperti pot, tetapi Sang Pencipta dan Elemen yang digunakan untuk membuatnya tidak akan bisa hancur. Manusia, selama hidup mereka, memiliki pilihan - menggunakan badan jasmani yang telah diberikan, dengan baik atau dengan buruk. (My Dear Students, Vol 3, Ch 16, “Sri Adi Shankaracharya: His Life”)

-BABA

Sunday, October 12, 2014

Thought for the Day - 12th October 2014 (Sunday)

Srishti, Stithi and Laya (creation, sustenance and dissolution) are the three forms of the Divine Will; you have to penetrate the inner meaning of Srishti, by means of Karma Yoga; you have to grasp the significance of Stithi, by means of Bhakthi Yoga and when you master the Jnana Yoga, you arrive at the experience of Laya, of manifoldness in the One. Bhakthi (devotion) makes you aware of the Lord who sustains and supports every being; it is love, which is eternal, true and blemishless. There is no one who is devoid of bhakthi; deep down in the core, everyone has the feeling of kinship with all creatures. It is this that makes a lonely person miserable, that makes everyone likeable to someone or other. If you have no love; you are like a lamp without the flame, blind and blinding. Love of the pure type is unmixed with hate, untampered with greed.

Srishti, Stithi dan Laya (mencipta, memelihara, dan melebur) adalah tiga wujud Kehendak Tuhan; engkau harus meresapi makna batin Srishti, dengan cara Karma Yoga; memahami pentingnya Stithi, dengan cara Bhakthi Yoga dan ketika engkau menguasai Jnana Yoga, engkau tiba pada pengalaman Laya, dari yang beranekaragam menjadi Satu. Bhakthi (pengabdian) membuatmu menyadari Tuhan yang menopang dan mendukung setiap makhluk; yaitu cinta-kasih, yang abadi, benar, dan tak bernoda. Tidak ada orang yang tidak memiliki bhakthi; jauh di dalam hati, setiap orang memiliki perasaan kekeluargaan dengan semua makhluk. Hal inilah yang membuat orang yang sendirian/kesepian akan merasa sedih, maka dari itu, engkau hendaknya membuat semua orang menyenangkan yang lainnya. Jika engkau tidak memiliki cnta-kasih; engkau dapat diibaratkan seperti lampu tanpa sinar, buta dan membutakan. Cinta-kasih yang murni tidak dicampur dengan kebencian dan tidak terganggu dengan keserakahan. (Divine Discourse, Oct 12, 1964)

-BABA

Saturday, October 11, 2014

Thought for the Day - 11th October 2014 (Saturday)

Clay is one substance, but from it, several products of different shapes and names can be made. The same white milk is obtained from cows of different colours living in different countries. Similarly God is One, but dwells in innumerable bodies with different names and forms. Take the example of gold. From the same metal, a variety of different types of ornaments can be made. If you examine the cosmic scene, you will find that out of the same basic substance a variety of objects with different forms are produced. Out of a single seed comes a tree with different branches, leaves, flowers and fruits. Branches, leaves, flowers and fruits are unique and distinct, vary in form, name and use; but all of them have come from the one same seed, their source. This is the meaning of the Sanskrit term, “Ekoham Bahushyam” implying “The One, who chose to become Many.”

Tanah liat adalah salah satu bahan, namun dari tanah liat tersebut, beberapa produk dari bentuk dan nama yang berbeda dapat dibuat. Demikian halnya, susu putih diperoleh dari sapi dengan warna yang berbeda yang tinggal di negara yang berbeda. Demikian pula, Tuhan adalah Satu, tetapi bersemayam di dalam badan jasmani yang tak terhitung banyaknya dengan nama dan wujud yang berbeda. Contoh lainnya adalah emas. Dari logam yang sama, dapat dibuat berbagai jenis ornamen. Jika engkau memeriksa alam semesta ini, engkau akan menemukan bahwa dari substansi dasar yang sama, dapat di produksi berbagai benda dengan bentuk yang berbeda. Dari satu biji muncul pohon dengan cabang, daun, bunga, dan buah yang berbeda. Cabang, daun, bunga dan buah yang unik dan berbeda, bervariasi dalam bentuk, nama dan penggunaannya; tetapi mereka semua berasal dari satu benih yang sama, sumber mereka. Ini adalah arti dari istilah Sansekerta, "Ekoham Bahushyam" menyiratkan arti "Dari Satu dapat menjadi banyak." (My Dear Students, Vol 3, Ch 16, “Sri Adi Shankaracharya: His Life”)

-BABA

Friday, October 10, 2014

Thought for the Day - 10th October 2014 (Friday)

Prema (Love) is the seed, thanmayathwam or overpowering experience of merging, is the tree and inexhaustible bliss is the fruit. For this consummation, faith is essential. Look at Arjuna! When the choice was placed before him to decide which he should receive, the army of redoubtable heroes belonging to the Yadava clan or Krishna alone who is unarmed and refusing to fight, he asked only for Krishna! He knew; he believed; and he was saved. The same choice all have to make even now, when the Lord has appeared in His swaruupa (form) here. What does it profit if one accumulates money, gold and grain? The bliss, derived from the worship of the name and form which arouses spiritual joy, is far more desirable than these. Want of faith is the source of weakness in all fields.

Prema (Cinta-kasih) dapat diibaratkan sebagai benih, thanmayathwam atau pengalaman yang kuat dari penggabungan, adalah pohon dan kebahagiaan sejati yang tiada habis adalah buah. Untuk mewujudkan hal ini, keyakinan sangat penting. Lihatlah Arjuna! Ketika pilihan itu ditempatkan dihadapannya dan ia harus memutuskan mana yang ia harus terima, apakah pasukan Yadawa yang tangguh dan mengagumkan atau Sri Krishna sendiri yang tidak bersenjata dan menolak untuk berperang, Arjuna hanya meminta Sri Krishna! Arjuna tahu; ia percaya; dan ia diselamatkan. Kalian semua, harus membuat pilihan yang sama, bahkan sekarang, ketika Tuhan telah muncul dalam wujud swaruupa-Nya di sini. Apa manfaatnya jika seseorang mengumpulkan uang, emas dan biji-bijian? Kebahagiaan sejati, yang berasal dari pemujaan nama dan wujud (Tuhan) yang membangkitkan kebahagiaan spiritual, jauh lebih diinginkan daripada hal tersebut. Menurunnya keyakinan adalah sumber kelemahan di segala bidang. (Divine Discourse, Oct 12, 1964)

-BABA

Thursday, October 9, 2014

Thought for the Day - 9th October 2014 (Thursday)

A person with gratitude is meritorious and an ungrateful person is a sinner. Throughout your life, never forget even a small help that someone has rendered to you. Remember that you are who you are because someone helped you in the past. The word Paropakara (helping others) is a combination of three terms – Para + Upa + Kara. Para = Atma; Upa = Near and Kara = action. The objective of your meritorious deeds must be to progress nearer to God. The same Divine (Atma) is present in you and everyone. Do not perform noble deeds with the feeling that you are doing charity. Real Paropakara is to act with faith and do meritorious acts to serve the Divine in others, without entertaining feelings of division and difference. Understand clearly that physically harming or injuring others is not the only sin, but seeing others as different from the Divine within you is also sin. You may be different individuals in bodies, but the Lord within is One.

Seseorang yang tahu rasa terima kasih adalah orang yang mulia dan orang yang tidak tahu terima kasih adalah orang yang berdosa. Sepanjang hidupmu, janganlah pernah lupa bahkan terhadap bantuan kecil seseorang yang telah diberikan kepadamu. Ingat bahwa engkau ada saat ini karena seseorang membantumu di masa lalu. Kata Paropakara (membantu orang lain) adalah kombinasi dari tiga istilah - Para + Upa + Kara. Para = Atma; Upa = dekat dan Kara = tindakan. Tujuan dari tindakan-tindakan yang engkau lakukan harus maju untuk lebih dekat kepada Tuhan. Divine (Atma) yang sama ada  dalam dirimu dan semua orang. Janganlah melakukan perbuatan mulia dengan perasaan bahwa engkau sedang melakukan perbuatan amal. Paropakara sejati adalah untuk bertindak dengan keyakinan dan melakukan tindakan mulia untuk melayani Tuhan pada orang lain, tanpa adanya perasaan perpecahan dan perbedaan. Engkau hendaknya memahami dengan jelas bahwa secara fisik merugikan atau melukai orang lain bukan satu-satunya dosa, tetapi melihat orang lain sebagai berbeda dengan Divine yang ada di dalam dirimu juga dosa. Engkau mungkin individu yang berbeda dalam badan jasmani, tetapi Tuhan yang bersemayam dalam dirimu adalah Satu. (My Dear Students, Vol 3, Ch 14, “The Glorious Childhood Days”)

-BABA

Wednesday, October 8, 2014

Thought for the Day - 8th October 2014 (Wednesday)

Duryodhana symbolises one who has wicked thoughts. His minister was Dushasana. Dushasana represents one who promulgates bad laws. The combination of these two led to the growth of greed. On account of unrestricted growth of greed (lobha), Kauravas were totally destroyed. On another occasion Lord Krishna said, Arjuna means a person whose heart is pure and immaculate. Lord Krishna clarified to Arjuna in the battlefield, “Destiny is all powerful. Justice always wins. Selfishness will end in ruin. This is the law of the Universe (Yuga Dharma). He further explained to Arjuna that greed of Kauravas will cause them ruin.” Kauravas were not prepared to give their rightful share to the Pandavas. They wanted to keep everything to themselves, including what belongs to others. This selfishness is called greed.

Duryodana melambangkan orang yang memiliki pikiran yang buruk. Menterinya adalah Dursasana. Dursasana mewakili orang yang menyiarkan hukum yang buruk. Kombinasi dari keduanya menyebabkan tumbuhnya keserakahan. Oleh karena berkembangnya keserakahan (lobha) yang tak terbatas, Korawa hancur total. Pada kesempatan lain Krishna mengatakan, Arjuna berarti orang yang hatinya murni dan tidak ternoda. Krishna menjelaskan kepada Arjuna di medan perang, "Takdir itu sangat kuat. Keadilan selalu menang. Keegoisan/sifat mementingkan diri sendiri akan berakhir dalam kehancuran. Ini adalah hukum alam semesta (Yuga Dharma). Lebih lanjut Ia menjelaskan kepada Arjuna bahwa keserakahan Korawa akan menyebabkan kehancuran mereka." Korawa tidak siap untuk memberikan apa yang menjadi hak Pandawa kepada Pandawa. Korawa ingin memiliki semuanya untuk diri mereka sendiri, termasuk apa yang menjadi milik orang lain. Keegoisan ini disebut dengan keserakahan. (My Dear Students, Vol 2, Ch 17, “Lessons from the Immortal Indian Epics")

-BABA

Tuesday, October 7, 2014

Thought for the Day - 7th October 2014 (Tuesday)


Just as every day you engage in exercise and consume tonics, calculating the intake of calories and vitamins, and paying meticulous attention to the nutritional value of the food, pay attention also to the intake of impressions into the mind - whether they debilitate or strengthen, whether they add to the power of resistance of the mind against the viruses of greed, envy, hatred, pride, malice, etc. Have a meal of good acts of service, divine thoughts, and drink the premarasa (juice of Love), so that they may be washed down, and digested well. Then you can be shining in mental health, happiness and wholesomeness.



Sama seperti setiap hari engkau berolahraga dan mengkonsumsi tonik, menghitung asupan kalori dan vitamin, dan memberi perhatian yang cermat terhadap nilai gizi makanan, perhatikan juga asupan ke dalam pikiran - apakah ia melemahkan atau menguatkan, apakah ia menambah kekuatan perlawanan dari pikiran terhadap virus keserakahan, iri hati, kebencian, kesombongan, kedengkian, dll. Asupan yang masuk dalam dirimu hendaknya melakukan pelayanan yang baik, pikiran-pikiran ilahi, dan minum premarasa (jus cinta-kasih), sehingga ia dapat dibersihkan, dan dicerna dengan baik. Maka engkau dapat bercahaya dalam kesehatan mental, kebahagiaan dan kebajikan.  (Divine Discourse, Oct 6, 1970)
-BABA

Thought for the Day - 6th October 2014 (Monday)


Just as you prescribe minimum qualifications for any profession, the minimum qualification for grace is surrender of egoism, control over senses, and regulated food and recreation (ahaara and vihaara). You are made or marred by the company you keep. A bad person who falls into good company is able to shed his evil quickly and shine forth in virtue. A good person falling into evil company is overcome by the subtle influence and quickly slides down into evil. Reading that Krishna advises in the Gita the giving up of all individual responsibilities (Dharmas), an enthusiastic devotee gave up all obligations and limits; but he had to be told that one obligation still remained if the grace of God had to be secured: maam ekam sharanam vraja - "Surrender to Me only". When that surrender is complete and all acts, words and thoughts are dedicated to Him, along with all their consequences, then the Lord has promised that He will free you from sin and sorrow.



Sama seperti engkau menentukan kualifikasi minimum untuk profesi apa pun, kualifikasi minimum untuk mendapatkan berkat Tuhan adalah melepaskan egoisme, mengendalikan indera, dan mengatur makanan dan rekreasi (ahaara dan vihaara). Engkau dibuat atau dirusak oleh pergaulan yang engkau jalani. Orang yang berkelakuan buruk yang jatuh dalam pergaulan yang baik mampu melepaskan sifat-sifatnya yang buruk dengan cepat dan bersinar dalam kebajikan. Orang yang baik jika jatuh ke dalam pergaulan yang buruk dikuasai oleh pengaruh halus dan cepat meluncur ke dalam sifat-sifat yang buruk. Dalam Gita, Sri Krishna menyarankan tinggalkanlah semua tanggung jawab individu (Dharma), dan hanya menyerahkan diri kepada-Ku: “maam Ekam Sharanam Vraja”. Ketika kepasrahan seperti ini baik pada pikiran, perkataan, dan tindakan didedikasikan kepada-Nya, bersama dengan semua konsekuensinya, maka Tuhan telah berjanji bahwa Beliau yang akan membebaskan engkau dari dosa dan penderitaan. (Divine Discourse, Sep 27,1965)
-BABA

Sunday, October 5, 2014

Thought for the Day - 5th October 2014 (Sunday)

All are God's children. Hence all of you should live as embodiments of Love and like brothers and sisters, loving and serving. People keep a distance as long as they do not understand the power of love. Once they understand and experience love, they will become one. You will be able to realise this truth sooner or later. When a plant bears flowers, not all the flowers blossom at the same time. Some are in the process of blossoming, some are fully blossomed, yet others will be only in the bud stage. Only the fully bloomed flower spreads its fragrance. Similarly people will also be in different stages of evolution - some are like the bud; some are at a blossoming stage; and some others are like the fully bloomed flower, spreading their fragrance. Wait patiently till the stage of fragrance arrives.

Semuanya adalah anak-anak Tuhan. Oleh karena itu kalian semua harus hidup sebagai perwujudan Cinta-kasih dan sebagai satu saudara, mengasihi dan melayani. Orang-orang menjaga jarak selama mereka tidak mengerti kekuatan cinta-kasih. Setelah mereka memahami dan mengalami cinta-kasih, mereka akan menjadi satu. Engkau akan dapat menyadari kebenaran ini cepat atau lambat. Ketika tanaman menghasilkan bunga, tidak semua bunga mekar pada waktu yang sama. Beberapa bunga dalam proses mekar, beberapa lagi mekar sepenuhnya, namun yang lainnya hanya dalam tahap kuncup. Hanya bunga yang mekar penuh yang dapat menyebarkan aroma keharumannya. Demikian pula, orang-orang juga berada dalam tahap evolusi yang berbeda - beberapa orang dapat diibaratkan seperti kuncup; yang lainnya pada tahap mekar; dan yang lainnya seperti bunga mekar penuh, menyebarkan aroma mereka. Engkau hendaknya menunggu dengan sabar sampai mekar penuh sehingga bisa menyebarkan aroma keharuman. (Divine Discourse, Oct 27, 2006)

-BABA

Saturday, October 4, 2014

Thought for the Day - 4th October 2014 (Saturday)

Those who struggle to uphold Truth are the real devotees. The essence of all scriptures (Vedas) lies in establishing this truth. Unfortunately, today people who recognize such an eternal truth are not to be found anywhere. You must never forsake Truth. When truth (Sathya) and righteousness (dharma) come together, there will be peace (Shanthi) and Love (Prema). In fact, Truth (Sathya) is the basis for all other human values, namely, Righteousness, Peace, Love, and Non-Violence (Dharma, Shanthi, Prema, and Ahimsa). Love (Prema) does not descend from outside. It emerges only from within, from the hearts of people. No human being can live without love. True and real life is one that is suffused with love. All virtues merge in love. Where there is love, there will be unity that permeates all barriers. Where there is love, people regardless of caste, culture, and country will unite naturally.

Seorang bhakta yang sejati adalah mereka yang berjuang untuk menegakkan kebenaran. Inti dari semua kitab suci (Veda) terletak dalam membangun kebenaran ini. Sayangnya, saat ini orang-orang yang mengakui kebenaran abadi tersebut tidak dapat ditemukan di mana saja. Engkau seharusnya tidak meninggalkan Kebenaran. Ketika kebenaran (Sathya) dan kebajikan (dharma) datang bersama-sama, maka akan ada kedamaian (Shanthi) dan Cinta-kasih (Prema). Sesungguhnya, Kebenaran (Sathya) adalah dasar untuk semua nilai-nilai kemanusiaan lainnya, yaitu, Kebenaran, Kedamaian, Cinta-kasih, dan Tanpa-Kekerasan (Dharma, Shanthi, Prema, dan Ahimsa). Cinta-kasih (Prema) tidak berasal dari luar dirimu, ia muncul hanya dari dalam diri, dari hati. Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa cinta-kasih. Hidup yang sejati dan nyata adalah ketika seseorang diliputi dengan cinta-kasih. Semua kebajikan menyatu dalam cinta-kasih. Di mana ada cinta-kasih, akan ada kesatuan yang menembus semua hambatan. Dimana ada cinta-kasih, maka tidak akan memperhatikan kasta, budaya, dan negara dan akan bersatu secara alami. (Divine Discourse, 6 Mar 2008)

-BABA

Friday, October 3, 2014

Thought for the Day - 3rd October 2014(Friday)

Goddess Durga confers abundant energy on the individual. Mother Lakshmi bestows various kinds of wealth like money, food, gold, and vehicles for movement, so you lead a happy life in this world. Mother Saraswathi blesses you with education and intellect. Hence everyone must worship the three Divine Mothers. In all this worship, practicing right conduct (dharma) is of utmost importance. You should also make proper use of your intellect and undertake only good, righteous and sacrificial actions at all times for the benefit of the society and sanctify your lives. People keep distance among one another due to differences of opinion. In fact, you are not different from others. Today they may appear to be different, but tomorrow they may come close to you. Hence all should live like brothers and sisters with love and unity. ‘All are one; be alike to everyone.’ This is my special message on this holy occasion of Navarathri.

Dewi Durga menganugerahkan energi yang berlimpah pada individu. Dewi Lakshmi melimpahkan berbagai macam kekayaan seperti uang, makanan, emas, dan kendaraan untuk pergerakanmu, sehingga engkau bisa menjalani hidup bahagia di dunia ini. Dewi Saraswathi memberkatimu dengan pendidikan dan kecerdasan. Oleh karena itu setiap orang harus memuja ketiga Dewi ini. Dalam pemujaan ini, mempraktikkan perilaku yang benar/kebajikan (dharma) adalah sangat penting. Engkau juga harus membuat penggunaan yang tepat dari kecerdasanmu dan hanya melakukan tindakan yang baik, lurus dan berkorban setiap saat untuk kepentingan masyarakat dan menyucikan hidupmu. Orang-orang menjaga jarak antara satu sama lain karena perbedaan pendapat. Sesungguhnya, engkau tidak berbeda dari orang lain. Hari ini mereka mungkin tampak berbeda, tetapi besok mereka mungkin akan datang mendekat padamu. Oleh karena itu semuanya harus hidup sebagai satu saudara dengan kasih dan kesatuan. "Semuanya adalah satu; berlakulah sama untuk semua orang. " Inilah pesan khusus yang Aku berikan pada kesempatan Navarathri yang suci ini. (Divine Discourse, 9 Oct 2008)

-BABA

Thursday, October 2, 2014

Thought for the Day - 2nd October 2014 (Thursday)

People experience pleasure and pain, sorrow and difficulties in this world. When they experience pleasure, they say it is due to their deservedness (prapti). When they undergo difficulties, they attribute it to their destiny. Really speaking, both pleasure and pain are the result of one's own actions (karma). As are the feelings that drive action, so is the result (Yad bhavam tad bhavati). Every human being in this world has to perform some kind of karma. Hence let the actions (karma) performed by people be sacred. The celebration of Dasara is meant to purify the actions performed by the five senses of action and the five senses of perception (dasendriyas). Devi, who is the personification of energy, is the driving force behind all actions. Hence everyone must worship the Trinity of Durga (goddess of energy), Lakshmi (goddess of all kinds of wealth), and Saraswathi (goddess of education and intellect) during this festival of Dasara.

Orang-orang mengalami kesenangan dan kesedihan, serta penderitaan dan kesulitan di dunia ini. Ketika mereka mengalami kesenangan, mereka mengatakan itu, karena mereka layak (Prapti) untuk mendapatkannya. Ketika mereka mengalami kesulitan, mereka menghubungkannya dengan nasib mereka. Sesungguhnya, kesenangan dan kesedihan adalah hasil dari tindakannya (karma) sendiri. Sebagaimana perasaanmu, maka demikianlah hasilnya (Yad bhavam tad bhavati). Setiap manusia di dunia ini harus melakukan beberapa jenis karma. Oleh karenanya biarlah tindakan (karma) yang dilakukan oleh orang-orang disucikan. Perayaan Dasara dimaksudkan untuk memurnikan tindakan yang dilakukan oleh panca indera tindakan dan panca indera persepsi (dasendriyas). Devi, yang merupakan personifikasi dari energi, adalah kekuatan pendorong di balik semua tindakan. Oleh karena itu setiap orang harus menyembah Trinitas yaitu: Durga (Dewi energi), Lakshmi (Dewi semua jenis kekayaan), dan Saraswathi (Dewi pendidikan dan kecerdasan) selama perayaan Dasara ini. (Divine Discourse, 9 Oct,2008)

-BABA

Wednesday, October 1, 2014

Thought for the Day - 1st October 2014 (Wednesday)

Arjuna entered the battlefield, fully equipped and fanatically determined to destroy his enemies. But when he took his position in the battlefield, he saw 'my teachers’, 'my grandfather’, 'my kinsmen’, 'my cousins', etc. and he was moved so much by this sense of ‘I’ and ‘mine’ that he discarded the bow and desired to return to the forest and beg for the rest of his life, than fight the war. The ‘I’ that has really nothing to do with earthly possessions, blinded him. Lord Krishna taught Bhagavad Gita and removed this delusion (moha). The lesson for you is “Be unmoved by duality”. Let not defeat or success affect your inner calm and inner joy. See yourself as your Self unrelated to others or the objective world. When you know your real Self, you are liberated! That is Moksha. Liberation (Moksha) is not a five-star hotel or a deluxe resort. It is just the awareness of your reality and the rejection of all contrary conceptions.

Arjuna memasuki medan perang, dengan senjata lengkap dan bertekad untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Tetapi ketika ia mengambil posisinya di medan perang, ia melihat 'guru-ku', 'kakek-ku', 'kerabat-ku', 'sepupu-ku', dll dan perasaan 'aku' dan 'milikku' mengubah pendiriannya, ia membuang busurnya dan ingin untuk kembali ke hutan dan menjalani sisa hidupnya di hutan, daripada berperang dengan mereka. Perasaan 'aku' telah benar-benar membutakan matanya. Sri Krishna kemudian mengajarkan Bhagavad Gita dan menghapus delusi ini (moha). Pelajaran bagi kalian semua adalah "Janganlah terpengaruh oleh dualitas". Janganlah kekalahan atau kesuksesan mempengaruhi ketenangan batinmu dan kebahagiaan batinmu. Lihatlah dirimu sebagai Sang Atma yang tidak ada hubungannya dengan orang lain atau dunia objektif. Ketika engkau mengetahui Diri sejatimu, maka engkau akan terbebaskan! Itulah Moksha. Pembebasan (Moksha) bukanlah sebuah hotel bintang lima atau sebuah resort yang mewah. Moksha adalah kesadaran akan realitas-mu yang sejati dan menolak semua konsepsi yang bertentangan. (Divine Discourse, Oct 6, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 30th September 2014 (Tuesday)

Every being is suffused with love. It is only for our convenience, for our pleasure, and our own selfish purposes that we develop certain worldly relationships. Give up selfishness and strive for self-realisation. You must enquire into yourself, “Who am I? Body, mind, intellect, chittha (memories) or ahamkara (ego)?” You are none of these. You are yourself - “I am I.” Recognise this truth. One must render selfless service. The fruit of all actions must then be sacrificed. Only a person, who denounces the fruits of all actions, deserves to be called a Yogi (renunciant). A Yogi is not one who merely sits under a tree, closes one’s eyes and meditates. Real sacrifice involves giving up your desires. Do not be narrow-minded. If you are inflicted with narrow-mindedness your whole life will become narrow. Develop broad-mindedness and cultivate selfless love.

Setiap makhluk dipenuhi dengan cinta-kasih. Hanya karena untuk kenyamanan kita, untuk kesenangan kita, dan tujuan kita sendiri, kita mengembangkan beberapa hubungan duniawi. Engkau hendaknya meninggalkan sifat mementingkan diri sendiri dan berusaha untuk realisasi diri. Engkau harus menyelidiki dirimu sendiri, "Siapakah saya? Badan, pikiran, intelek, chittha (kenangan) atau ahamkara (ego)?" Engkau bukanlah salah satu dari hal tersebut. Engkau adalah dirimu sendiri - "Saya adalah Saya." Sadarilah kebenaran ini. Seseorang harus memberikan pelayanan tanpa pamrih. Buah/hasil dari semua tindakan selanjutnya harus dikorbankan. Hanya orang yang tidak memikirkan buah dari semua tindakannya, pantas disebut sebagai seorang Yogi. Seorang Yogi bukanlah orang yang hanya duduk di bawah pohon, menutup mata dan bermeditasi, tetapi mereka yang melakukan pengorbanan sejati dan meninggalkan keinginan/hawa nafsu duniawi. Janganlah berpikiran sempit. Jika engkau berpikiran sempit, seluruh hidupmu akan menjadi sempit. Kembangkanlah pandangan yang luas dan cinta-kasih tanpa pamrih. (Divine Discourse, Sep 27, 2006)

-BABA