Wednesday, April 30, 2014

Thought for the Day - 30th April 2014 (Wednesday)


People practice various forms of worship and rituals following their family tradition and culture. However they do not transform even a bit in spite of months and years of spiritual practice. Frustrated, they change the Name they are chanting, because they are tired of waiting for results. At times, people change not just the Name they chant, but also their religion. Know clearly that you cannot attain God’s Grace by changing the Name you chant or the religion. You must transform yourself. The dog in the home always recognizes its Master, no matter whether he or she wears a jogging dress, office uniform or party attire. It has no doubt about its Master, despite the dress worn. So too, you cannot convince God by merely changing your external appearance. You have to acquire virtues and conduct yourself righteously. Only the one who transforms the mind pleases the Lord and attains Divinity.

Orang-orang mempraktikkan berbagai bentuk ibadah dan ritual mengikuti tradisi keluarga dan budaya. Namun mereka tidak mengubah sedikit-pun bulan dan tahun-nya. Frustrasi, mereka mengubah Nama Tuhan yang mereka chanting-kan, karena mereka lelah menunggu hasil. Kadang-kadang, orang tidak hanya mengubah Nama Tuhan  yang mereka lantunkan, tetapi juga mengubah agama-nya. Ketahui-lah dengan jelas bahwa engkau tidak dapat mencapai Rahmat Tuhan dengan mengubah Nama Tuhan yang engkau lantunkan atau mengubah agama. Engkau harus mengubah dirimu sendiri. Anjing di rumah selalu mengenali tuan-nya, tidak peduli apakah ia mengenakan pakaian jogging, seragam kantor, atau pakaian pesta. Ia tidak memiliki keraguan tentang tuan-nya, meskipun apapun pakaian yang dikenakannya. Demikian juga, engkau tidak bisa meyakinkan Tuhan hanya dengan mengubah penampilan luar-mu. Engkau sendiri harus memperoleh kebajikan dan melakukan tindakan yang benar. Hanya mereka yang mampu mengubah pikirannya, akan menyenangkan Tuhan dan mencapai Divinity. (My Dear Students, Vol 3, Ch 4, June 21, 1989.)
-BABA

Tuesday, April 29, 2014

Thought for the Day - 29th April 2014 (Tuesday)


In the present, people disregard moral values and have no gratitude to those who helped them in times of need. In fact many youth lead miserable lives; they have no consideration for their kith and kin and do not hesitate to inflict harm on them. Educated young men and women do not behave like cultured human beings. What is the value of an education which does not enable you to do your duty to your spouse and children? The first requisite to fix these evils is the elimination of the bad qualities within. You must return to the path of morality and right conduct, fear sin and love God. People appearing to be pious and god-loving without genuine good qualities, and exhibiting hypocritical behaviour is vitiating the atmosphere everywhere; its promoting disorder and confusion. Everyone should therefore embark upon getting rid of bad traits and implanting Divine qualities. With love as your path realize the Divine within.

Pada saat ini, orang-orang mengabaikan nilai-nilai moral dan tidak memiliki rasa terima kasih kepada mereka yang membantu mereka pada saat dibutuhkan. Bahkan banyak anak muda yang menjalani kehidupan yang menyedihkan; mereka tidak mempertimbangan sanak dan kerabat mereka dan tidak ragu untuk mencelakai mereka. Pria dan wanita muda yang berpendidikan tidak berperilaku seperti manusia yang berbudaya. Apakah nilai dari pendidikan yang tidak memungkinkan engkau untuk melakukan kewajibanmu pada pasangan dan anak-anakmu? Syarat pertama untuk memperbaiki keburukan-keburukan ini adalah membersihkan sifat-sifat buruk yang ada dalam dirimu. Engkau harus kembali ke jalan moralitas dan perilaku yang benar, takut berbuat dosa, dan mengasihi Tuhan. Orang-orang yang nampak beriman dan mencintai Tuhan tanpa sifat-sifat yang baik, dan menunjukkan perilaku munafik, mereka semua merusak atmosfer di mana-mana; hal ini dapat meningkatkan kekacauan dan keonaran. Oleh karena itu, setiap orang harus memulai dengan menyingkirkan sifat-sifat buruk dan menanamkan sifat-sifat Ilahi. Dengan cinta-kasih sebagai jalan-mu sadarilah Tuhan yang bersemayam di dalam dirimu. (Divine Discourse, April 2, 1984.)
-BABA

Monday, April 28, 2014

Thought for the Day - 28th April 2014 (Monday)

It was to remind people in the villages to think of God that the ancients built temples which towered above all other buildings. The temple tower was the first thing the villagers saw when they woke up in the morning. The sight of the temple spire immediately aroused in them spontaneous feelings of adoration. It must be recognised that it was not a crazy feeling which inspired the ancients to build huge temples at great expense. These multi-storeyed temple towers were built so that they might constantly evoke sacred thoughts about God in the minds of the people. It has been said: "The body (deha) is like a temple for the Dehi (indwelling eternal Spirit)." Just as a doctor reminds you of illness, and a lawyer makes you think of litigation, in the same manner when you look at your body you must remember God.

Ini mengingatkan kita kembali pada orang-orang di desa zaman dahulu, temple/kuil dibangun tinggi menjulang di atas semua bangunan lainnya. Menara kuil adalah hal yang pertama kali mereka lihat ketika mereka bangun di pagi hari. Pemandangan puncak menara kuil segera membangkitkan perasaan spontan untuk melakukan pemujaan. Ini harus disadari bahwa bukan merupakan perasaan gila yang menginspirasi pada zaman dahulu untuk membangun kuil besar dengan biaya yang besar. Menara kuil bertingkat ini dibangun sehingga mereka bisa terus-menerus membangkitkan pikiran suci tentang Tuhan dalam pikiran mereka. Telah dikatakan: "Badan jasmani (deha) dapat diibaratkan seperti sebuah kuil untuk Dehi (Tuhan)." Sama seperti dokter mengingatkan engkau saat sakit, dan pengacara membuat tuntutan, demikian juga ketika engkau melihat badan jasmani-mu, engkau harus ingat pada Tuhan. (Divine Discourse, Oct 18, 1991.)

-BABA

Sunday, April 27, 2014

Thought for the Day - 27th April 2014 (Sunday)

Fire emerges when one wooden stick is rubbed against another. Can two sticks placed next to each other produce the fire? No. Fire though latent in them, emerges only through the act of rubbing of the sticks. What do these sticks symbolize? The sticks represent the human body. The fire of wisdom (jnana) is present in subtle form within us since our birth and is inert. Spiritual effort (Sadhana) is the process of rubbing the sticks. Where is the butter present in the milk? Butter has always been present in the milk and could be obtained only after the milk had been converted to curd and the curd was churned. Once butter is obtained from the buttermilk, it remains as butter without becoming milk. Likewise, in the human body, a divine power pervades every part of the body, which, after the experience of a Sakshatkar (vision of the Divine) will not be attached to the body.

Api timbul ketika batang kayu digosok dengan batang kayu yang lainnya. Dapatkah dua batang kayu yang ditempatkan berdampingan satu sama lain menghasilkan api? Tidak, meskipun api tersembunyi di dalam batang kayu, api akan timbul hanya melalui tindakan menggosok batang kayu tersebut. Melambangkan apakah batang kayu tersebut? Batang kayu menggambarkan badan manusia. Api kebijaksanaan (jnana) ada dalam wujud halus dalam diri kita sejak lahir dan inert. Upaya spiritual (Sadhana) adalah proses menggosok batang kayu. Dimanakah mentega ada dalam susu? Mentega selalu ada dalam susu dan dapat diperoleh hanya setelah susu telah diubah menjadi dadih dan dadih itu diaduk. Setelah mentega diperoleh dari buttermilk (cairan susu yang tinggal setelah membuat mentega), tetap sebagai mentega tanpa menjadi susu. Demikian juga, dalam badan manusia, kekuatan ilahi meliputi setiap bagian dari badan jasmani, yang mana setelah mengalami Sakshatkar (visi Ilahi) tidak akan melekat pada badan jasmani. (Divine Discourse, Oct 18, 1991.)

-BABA

Saturday, April 26, 2014

Thought for the Day - 26th April 2014 (Saturday)


There can be no joy in a dry, barren heart. Divine Love alone can make a dry heart fit for the sprouting of the sapling of joy. Divine Love is free from self-interest. That love alone is sacred and divine which is based on complete obliviousness to one's self and is solely concerned with the yearning for God. Only when such a precious diamond of love is shining in your heart, you will have sacred and divine thoughts. In ancient days, sages lived in the forests amidst wild animals and performed penance. How were they able to live in peace amongst these animals? Because they were filled with divine love, they extended that love to the wild beasts also. They had no lethal weapons with them, only the weapon of love, which transformed even the nature of the wild animals. Therefore fill your hearts with love.
Tidak akan ada sukacita di tempat yang kering dan hati yang tandus. Hanya cinta-kasih Ilahi yang bisa memperbaiki hati yang kering yang membuat  bermunculannya anak pohon sukacita. Cinta-kasih Ilahi bebas dari kepentingan pribadi. Cinta-kasih itu sendiri adalah suci dan ilahi, benar-benar lupa akan diri sendiri dan semata-mata berkaitan dengan kerinduan hanya untuk Tuhan. Hanya ketika berlian cinta-kasih seperti itu bersinar dalam hatimu, engkau akan memiliki pikiran suci dan pemikiran ilahi. Pada zaman dahulu, orang bijak tinggal di hutan di tengah-tengah binatang liar dan melakukan penebusan dosa. Bagaimana mereka mampu hidup damai di antara hewan-hewan tersebut? Karena mereka dipenuhi dengan cinta-kasih ilahi, mereka menyampaikan cinta-kasih itu juga kepada binatang. Mereka tidak mempunyai senjata mematikan, hanya senjata cinta-kasih, yang mengubah bahkan sifat dari binatang buas. Oleh karena itu isilah hatimu dengan cinta-kasih. (Divine Discourse, Oct 18, 1991)
-BABA

Friday, April 25, 2014

Thought for the Day - 25th April 2014 (Friday)



Do not indulge in arguments and disputations; one who clamours aloud has not grasped the Truth, believe Me! Silence is the only language of the realised. Practice moderation in speech; that will help you in many ways. It will develop Prema, for most misunderstandings and factions arise out of carelessly spoken words. When the foot slips, the wound can be healed; but when the tongue slips, the wound it causes in the heart of another will fester for life. The tongue is liable to four big errors: uttering falsehood, scandalising, finding fault with others and excessive talk. These must be avoided if there must be peace for the individual and society. The bond of brotherhood will be tightened if people speak less and speak sweet. That is why silence (mounam) was prescribed as a vow for spiritual aspirants by scriptures. As spiritual aspirants in various stages of the road, this discipline will be very valuable for you.

Janganlah melibatkan diri dalam argumen-argumen dan perdebatan-perdebatan; percayalah pada-Ku, orang yang senantiasa berteriak keras, belum memahami Kebenaran! Diam adalah satu-satunya bahasa yang hendaknya direalisasikan. Praktikkanlah berbicara secukupnya; hal ini akan membantumu dalam banyak hal. Berbicara secukupnya akan mengembangkan Prema, karena kebanyakan kesalahpahaman dan faksi muncul dari kata-kata yang diucapkan secara sembarangan. Ketika kaki tergelincir, luka dapat disembuhkan; tetapi ketika lidah slip, luka itu menyebabkan hati orang lain akan terluka seumur hidup. Lidah bertanggung jawab atas empat kesalahan besar yaitu: berdusta, menyampaikan berita yang tidak benar, menemukan kesalahan orang lain, dan berbicara berlebihan. Semua ini harus dihindari jika menginginkan kedamaian bagi individu dan masyarakat. Ikatan persaudaraan akan lebih diperkuat jika orang sedikit berbicara dan berbicara yang manis. Itulah sebabnya dalam kitab suci, diam (mounam) diresepkan bagi para pencari spiritual. Sebagai pencari spiritual dalam berbagai tahapan, disiplin ini akan sangat berharga bagimu. (Divine Discourse, Jul 22, 1958)
-BABA

Thursday, April 24, 2014

Thought for the Day - 24th April 2014 (Thursday)

There are many who observe My actions and start declaring that My nature is such and such. They are unable to gauge the sanctity, the majesty and the eternal reality that is Me. The power of Sai is limitless; it manifests forever. All forms of 'power' are resident in this Sai palm. But, those who profess to have understood Me, the wise, the Yogis (spiritually advanced persons), the Pandits (scholars), and the Jnanis (liberated persons) - all of them are aware only of the least important, the casual, external manifestation of an infinitesimal part of that power, namely, the ‘miracles’! My power is immeasurable; My truth is inexplicable, unfathomable. What I will, must take place; what I plan must succeed. I am Truth; and Truth has no need to hesitate, or fear, or bend. I am announcing this about Me, for, the need has arisen.

Ada banyak orang yang mengamati tindakan-Ku dan mulai menyatakan bahwa sifat-Ku adalah ini dan itu. Mereka tidak mampu mengukur kesucian, keagungan, dan realitas abadi yaitu Aku. Kekuatan Sai tak terbatas; memanifestasikan segalanya. Semua bentuk 'kekuasaan' ada di tangan Sai ini. Tetapi, mereka yang mengaku telah memahami Aku, orang bijaksana, para Yogi (orang yang telah maju secara spiritual), para Pandit (ulama), dan para Jnani (orang yang sudah terbebaskan) - semua dari mereka menyadari hanya satu yang paling penting, manifestasi eksternal dari bagian kecil dari kekuatan itu, yaitu, 'miracle/keajaiban'! Kekuatan-Ku tidak terbatas; Kebenaran-Ku tak bisa dipahami, tak terduga. Apa yang Aku kehendaki, harus terjadi; apa yang Aku rencanakan harus berhasil. Aku adalah Kebenaran; dan Kebenaran tidak perlu ragu-ragu, atau takut. Aku mengumumkan ini tentang Aku, karena ini wajib diketahui. (Divine Discourse, Jun 19, 1968.)
-BABA

Wednesday, April 23, 2014

Thought for the Day - 23rd April 2014 (Wednesday)


Once a friend asked the famous sculptor from Italy, Michelangelo, "Why are you working so hard, chiselling this large piece of rock? Why don't you go home and take some rest?" Michelangelo replied: "I am trying to release the Divine that is in the rock. I wish to bring out of this lifeless stone the living Divinity that is embedded in it." If a sculptor could create from an inanimate stone a living Image of God, cannot human beings vibrant with life manifest the living Divinity that resides within them? What is the reason for this incapacity to realise the Divinity within? It is because we do not realise the soiled cover in which it is wrapped up. If our clothes get dirty, we change them because we are ashamed to appear in unclean garments. If our house is shabby, we try to clean it. But when our minds and hearts are polluted, we do not feel ashamed! To purify our hearts and minds, the first thing we have to do is to lead a righteous life. Our actions must be based on morality.
Suatu ketika seorang teman bertanya kepada pematung terkenal dari Italia, Michelangelo, "Mengapa engkau bekerja begitu keras, memahat batu besar ini? Kenapa engkau tidak pulang ke rumah dan beristirahat?" Michelangelo menjawab: "Saya mencoba untuk mengeluarkan sifat ketuhanan yang ada dalam batu ini. Saya ingin mengeluarkan sifat ketuhanan yang tertanam dalam batu tak bernyawa ini." Jika seorang pematung bisa membuat batu yang tak bernyawa menjadi patung Tuhan yang hidup, tidak bisakah manusia yang merupakan makhluk hidup menunjukkan Divinity yang bersemayam di dalam diri mereka? Apa alasan ketidakmampuan untuk mewujudkan Divinity yang ada di dalam diri setiap manusia? Hal ini karena kita tidak menyadari selubung kotor yang menyelimutinya. Jika pakaian kita kotor, kita menggantinya karena kita malu untuk tampil dengan pakaian yang kotor. Jika rumah kita kotor, kita mencoba untuk membersihkannya. Tetapi ketika pikiran dan hati kita yang tercemar, kita tidak merasa malu! Untuk memurnikan hati dan pikiran kita, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menjalani kehidupan yang benar. Tindakan kita harus didasarkan pada moralitas.(Divine Discourse, April 2, 1984.)

-BABA

Tuesday, April 22, 2014

Thought for the Day - 22nd April 2014 (Tuesday)

The Gita advises that service to the society (Sangha) is the highest service (Seva), as well as the most beneficial spiritual discipline (Sadhana). No one can run away from this obligation; you have to use the community wherein you are born for sublimating your ego and saving yourself. Service taken up as a Sadhana teaches fortitude (Sahana). That is why Krishna directed Arjuna to engage in battle to win back his share of the Kingdom, and ensure for the people righteous administration and an atmosphere wherein they can strive successfully to attain salvation. This he had to do in a spirit of dedication and surrender to the will of God, irrespective of his own likes and dislikes, and the consequences that might flow from his unselfish activities. Even Avatars (incarnations) demonstrate in their lives the supreme importance of Seva.

  Gita menyarankan agar pelayanan kepada masyarakat (Sangha) adalah pelayanan tertinggi (Seva), serta disiplin spiritual yang bermanfaat (Sadhana). Tidak ada yang bisa lari dari kewajiban ini; engkau harus menggunakan masyarakat dimana engkau dilahirkan untuk menghaluskan egomu dan menyelamatkan dirimu. Pelayanan dilakukan sebagai Sadhana mengajarkan ketabahan (Sahana). Itulah sebabnya Krishna mengarahkan Arjuna untuk terlibat dalam pertempuran untuk memenangkan kembali Kerajaan-nya, dan memastikan agar orang-orang melakukan tindakan yang benar dan mereka dapat berjuang untuk mencapai keselamatan. Ini yang harus dilakukannya dengan semangat pengabdian dan berpasrah pada kehendak Tuhan, terlepas dari rasa suka dan tidak suka, dan konsekuensi yang mungkin mengalir dari kegiatan yang tidak mementingkan dirinya. Bahkan Avatar (inkarnasi Tuhan) menunjukkan dalam hidup mereka pentingnya melakukan Seva. (Divine Discourse, Jan 11, 1968)

-BABA  

Monday, April 21, 2014

Thought for the Day - 21st April 2014 (Monday)


A man who had four wives happened to go to Mumbai on some work. From there, he wrote to all of them that he was prepared to bring home whatever each of them wanted. The first wife asked for some nice tonics for her health, as well as rugs and woollen clothing to be of service whenever she fell ill. The second wife wanted some sarees of the latest style, jewellery of the Mumbai type and such other sundry decorative stuff. The third asked him to select for her some religious books like the Jnaneshwari, abhangs, etc. available in Mumbai book-shops, as well as pictures of Pandharinath, Bhavani and Sai Baba. The fourth wife had no list at all; she simply wrote, "If you return soon and safe, that is enough for me." The others got big packets containing whatever they had asked for, but the last one got his love. God gives you whatever you pray for; so think well and discriminate clearly before you pray and ask.

Seorang pria yang memiliki empat orang istri suatu waktu pergi ke Mumbai untuk beberapa pekerjaan. Dari sana, ia menulis surat kepada semua istrinya bahwa ia siap untuk membawa pulang apapun yang mereka inginkan. Istri pertama meminta beberapa tonik/obat yang bagus untuk kesehatannya, serta karpet dan pakaian wol yang berguna baginya setiap kali dia jatuh sakit. Istri kedua ingin beberapa saree dari model yang terbaru, perhiasan dari Mumbai dan berbagai dekorasi lainnya. Yang ketiga memintanya untuk memilih untuknya beberapa buku agama seperti Jnaneshwari, abhangs, dll yang tersedia di toko buku Mumbai, serta gambar Pandharinath, Bhavani, dan Sai Baba. Istri yang keempat tidak memiliki daftar permintaan sama sekali; dia hanya menulis, "Jika engkau kembali segera dalam keadaan selamat, itu sudah cukup bagi saya." Istri yang lainnya mendapatkan paket besar berisi apapun yang mereka minta, tetapi istri yang keempat mendapatkan cintanya. Tuhan memberikan apapun sesuai dengan doamu; jadi berpikirlah dengan baik dan gunakan diskriminasimu dengan baik sebelum engkau meminta dan berdoa. (Divine Discourse, May 16, 1964)
-BABA

Sunday, April 20, 2014

Thought for the Day - 20th April 2014 (Sunday)

Oblivious to the presence of the Divine within, people embark on the quest for God. They behave like a person who goes to borrow milk from their neighbour, forgetting the wish-fulfilling cow (Kamadhenu) in their backyard. Avatars are of two kinds: Amsavatar and Purnavatar. Every human being is an Amsavatar (partial incarnation of the Divine); in the Gita, Lord Krishna says, ‘a part of the Divine Soul has become the individual soul in the world of living beings (Mamaivaamso jeevaloke jeevabhutah-sanaatanah)’. Many partial incarnations get caught up in Maya (worldly illusion), develop egoism and possessiveness, and lead worldly lives. Purnaavatar (full incarnation of the Divine) may behave, according to the circumstances, as if they were subject to Maya, but they are free from Maya at all times. They subdue and transcend Maya, and manifest their full Divinity to the world throughout their lives.

Tidak menyadari adanya Tuhan yang bersemayam di dalam diri, orang-orang memulai pencarian Tuhan. Mereka berperilaku seperti orang yang pergi untuk meminjam susu dari tetangga mereka, melupakan keinginan-pemenuhan sapi (Kamadhenu) di halaman belakang mereka. Avatar ada dua macam: Amsavatar dan Purnavatar. Setiap manusia adalah Amsavatar (inkarnasi sebagian dari Tuhan); dalam Gita, Krishna berkata, 'bagian dari Tuhan, di dunia ini menjadi individu (Mamaivaamso jeevaloke jeevabhutah-sanaatanah)'. Banyak inkarnasi parsial terjebak dalam Maya (ilusi duniawi), mengembangkan egoisme dan posesif, dan menjalani kehidupan duniawi. Purnaavatar (inkarnasi penuh dari Tuhan) mungkin berperilaku, sesuai dengan keadaan, seolah-olah mereka tunduk pada Maya, tetapi setiap saat mereka bebas dari Maya. Mereka menaklukkan dan melampaui Maya, dan menunjukkan Divinity penuh mereka kepada dunia sepanjang hidup mereka. (Divine Discourse, Aug 14, 1990)

-BABA

Saturday, April 19, 2014

Thought for the Day - 18th & 19th April 2014

Date: Friday, April 18, 2014

There are several, who, despite chanting the Lord’s name for several hours, days and months together, did not transform themselves even one bit. The demonic nature of Ravana, Bhasmasura and Kamsa did not diminish even a little, despite their chanting of the Lord’s name. What is the reason for this? All their sense organs function with the feeling: "I am the body (Aham Dehosmi)." Those who utter the name of the Lord while being immersed in body consciousness cannot realise the Divine, however long their penance may last. You are the embodiment of Divine Consciousness. Only when you are pure, you can experience that consciousness. Through attachment to worldly pleasures one gets bound to the physical and becomes oblivious to one’s essential Divinity.

Ada beberapa orang yang meskipun menchantingkan Nama Tuhan selama beberapa jam, beberapa hari, dan beberapa bulan bersama-sama, tidak mentransformasi diri mereka bahkan sedikitpun. Sifat setan Rahwana, Bhasmasura, dan Kamsa tidak berkurang bahkan sedikitpun, meskipun mereka menchantingkan Nama Tuhan. Apa alasan untuk hal ini? Semua organ-organ indera mereka berfungsi dengan perasaan: "Akulah badan (Aham Dehosmi)" Mereka yang menyebut Nama Tuhan saat sedang tenggelam dalam kesadaran badan tidak dapat menyadari Tuhan, betapapun lamanya mereka melakukan penebusan dosa. Engkau adalah perwujudan Kesadaran Ilahi. Hanya ketika engkau murni, engkau dapat mengalami kesadaran itu. Karena kemelekatan pada kesenangan duniawi, seseorang terikat pada fisik dan menjadi lupa akan pentingnya menyadari Divinity. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 3, Ch 4, June 21, 1989)

-BABA


Date: Saturday, April 19, 2014

The first prerequisite for leading a spiritual life is Faith. Your faith must stand ridicule of the ignorant, caviling by the worldly, and laughter of the low-minded. When someone ridicules, ask yourself, ‘Are they ridiculing my body? Well, that’s fine, for, I need to escape this body attachment anyway. Are they ridiculing the Atma? That is impossible, for the Atma is beyond words or thoughts, unaffected by praise or blame.’ Second: Do not worry about ups and downs, loss or gain, or joy or grief. You yourself create the ups and downs, therefore you can straighten them as well. You crave for a thing and when you get it, you call it joy; when you don't, you call it grief. Cut off craving, and there will be no more swinging from joy to grief. Third: Rationalise and be convinced of the truth that All is Divine (Sarvam Brahmamayam). Fourth and final: Be always steady in spiritual practice until you reach the goal.

Prasyarat pertama untuk menjalani hidup spiritual adalah Keyakinan. Keyakinanmu harus tetap kokoh karena ejekan, objek-objek duniawi, dan tertawaan dari mereka yang berpikiran rendah. Ketika seseorang menertawakanmu, tanyakan pada dirimu sendiri, 'Apakah mereka menertawakan badan saya? Tidak masalah, karena saya harus melepaskan diri dari kemelekatan badan jasmani ini. Apakah mereka menertawakan Atma? Itu tidak mungkin, karena Atma melampaui kata-kata atau pikiran, tidak terpengaruh oleh pujian atau hinaan.' Kedua: Janganlah khawatir tentang pasang-surut, kerugian atau keuntungan, atau sukacita atau kesedihan. Engkau sendiri menciptakan pasang surut, karena itu engkau juga dapat memperbaikinya. Engkau menginginkan sesuatu dan ketika engkau mendapatkannya, engkau menyebutnya sebagai sukacita; ketika engkau tidak mendapatkannya, engkau menyebutnya sebagai kesedihan. Potonglah keinginan, maka tidak akan ada lagi ayunan sukacita dan kesedihan. Ketiga:Rasionalisasikan dan yakinlah akan kebenaran bahwa semua adalah Ilahi (Sarvam Brahmamayam). Keempat dan terakhir: Mantaplah selalu dalam praktik spiritual sampai engkau mencapai tujuan. (Divine Discourse, May 16, 1964)

-BABA

Thursday, April 17, 2014

Thought for the Day - 17th April 2014

Educare guides a person to be humble, it grants a sense of discrimination endowed with wisdom. Why should anyone feel proud in being educated? Ultimately isn’t what he or she has attained a fraction of all learning? Never be egoistic of the knowledge you have acquired. Education is true, only when you direct it to render service to the society. Humility must be the crest jewel ornament of an educated person; it is truly the essence of education. It must reflect in our daily conduct and behavior, and should not be simply limited to occasional verbal expressions. People with humility, and obedience to parents and elders will achieve great success in their lives. Through your own words and actions, you must manifest the latent values by engaging yourselves in appropriate acts.

Educare menuntun seseorang untuk menjadi rendah hati, membuat diskriminasi memiliki kebijaksanaan. Mengapa ada orang yang merasa bangga karena berpendidikan? Pada akhirnya tidakkah apa yang dia telah capai adalah sebagian kecil dari semua pembelajaran? Jangan pernah egois akan pengetahuan yang engkau peroleh. Pendidikan itu benar, hanya bila engkau mengarahkannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kerendahan hati harus menjadi perhiasan puncak dari orang yang berpendidikan; inilah esensi pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini harus tercermin dalam tindakan dan perilaku kita sehari-hari, dan tidak boleh hanya terbatas pada ungkapan verbal. Orang yang memiliki kerendahan hati, dan memiliki ketaatan kepada orang tua dan para tetua akan mencapai sukses besar dalam hidup mereka. Melalui kata-kata dan tindakanmu sendiri, engkau harus mewujudkan nilai-nilai laten dengan melibatkan dirimu dalam tindakan yang tepat. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 2, Ch 9, Jan 16, 1988)
-BABA

Wednesday, April 16, 2014

Thoght for the Day - 16th April 2014 (Wednesday)

We either think of the past or the future and ruin the present. Past is past, forget it. The past which is dead and gone, is useless. Work for your progress by living in the present, and in the moment. Future does not always bring happiness. And so far as the past is concerned, how much happiness have you experienced in it? Therefore, live happily in the present. What should we do in the present? Follow this maxim: Less luggage more comfort makes travel a pleasure. We should not worry about the past at all. Thinking about the past will not do any good to us. Therefore we should lead our life in the present and achieve all-round progress.

Janganlah kita memikirkan masa lalu atau masa depan dan merusak masa sekarang. Masa lalu adalah masa lalu, lupakan saja. Masa lalu sudah mati dan berlalu, tidak ada gunanya. Bekerjalah untuk kemajuanmu dengan hidup di masa sekarang, dan pada saat ini. Masa depan tidak selalu membawa kebahagiaan. Dan sejauh masa lalu yang menjadi perhatian, berapa banyak kebahagiaan yang telah engkau alami di dalamnya? Oleh karena itu, jalanilah hidup bahagia di masa sekarang. Apa yang harus kita lakukan pada saat ini? Ikuti pepatah ini: Kurangilah bagasi/beban agar perjalanan lebih menyenangkan. Kita sama sekali tidak perlu khawatir tentang masa lalu. Berpikir tentang masa lalu tidak akan ada gunanya bagi kita. Oleh karena itu kita harus menjalani hidup kita di masa sekarang, maka kita akan mencapai kemajuan. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 2, Ch 14, Aug 22, 2007)

-BABA

Tuesday, April 15, 2014

Thought for the Day - 15th April 2014 (Tuesday)

When a tree sways with the wind, its branches bend and toss up and down. But the tiny bird sitting on it is not afraid? Why? Because the bird relies on its wings. Even if the branch falls down, as long as its wings are fine, it is safe. With this realization, the bird sits bravely on the swaying branch. However, human beings do not have so much faith as a tiny bird. Even with the slightest problems on the tree of life, people get very worried, why? It is because they have lost their self-confidence. Even at the slightest suffering, people are frustrated, depressed and unable to bear. Instead of depending on your intelligence, physical strength or wealth, trust your self-confidence. Do good deeds; let every step and all your efforts be directed to win His Grace and proximity. Then, you will surely triumph!

Ketika pohon bergoyang karena angin, cabangnya melengkung ke atas dan ke bawah. Tetapi burung kecil yang duduk di atasnya tidak takut? Mengapa? Karena burung bergantung pada sayapnya. Bahkan jika cabang pohon itu jatuh, asalkan sayapnya baik-baik saja, burung itu tetap aman. Dengan menyadari hal ini, burung berani bertengger di cabang pohon yang sedang bergoyang. Namun, manusia tidak memiliki begitu banyak keyakinan seperti burung kecil tersebut. Bahkan dengan sedikit masalah pada pohon kehidupan, orang-orang menjadi sangat khawatir, mengapa? Hal ini karena mereka telah kehilangan kepercayaan diri mereka. Bahkan ketika mengalami sedikit penderitaan, orang-orang frustasi, depresi, dan tidak mampu menanggung beban tersebut. Daripada engkau tergantung pada kecerdasanmu, kekuatan fisik atau kekayaan, yakinlah pada rasa percaya dirimu. Lakukanlah perbuatan yang baik; biarkan setiap langkah dan semua usahamu diarahkan untuk memenangkan Rahmat dan lebih dekat dengan-Nya. Maka, engkau pasti akan memenangkan Rahmat Tuhan! (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 3, Ch 3, June 30, 1996)

-BABA

Monday, April 14, 2014

Thought for the Day - 14th April 2014 (Monday)

Each and every one of you is a spark of the Divine. Lord Krishna declares in Bhagavad Gita, “You are all essentially Divine, you are eternal and ancient. Do not conduct yourself as a human being nor be beastial in your attitude and behavior”. Each one of you is endowed with the sacred qualities of Truth, Righteousness, Love, Peace and Non-Violence. Hence, all of you must conduct yourself in accordance with these noble virtues. Never submit yourself to the evil qualities such as lust, greed, anger, jealousy, hatred and avarice. These do not befit the life of any human being. At times, changes in place or food habits give rise to other behavioural tendencies. Hence, be aware and take pure food and pure water regularly and in a timely manner. Lead a happy life, as a true human being, by observing all the rules and regulations.

Masing-masing dari kalian adalah percikan Ilahi. Sri Krishna menyatakan dalam Bhagavad Gita, "Pada dasarnya kalian semua adalah (perwujudan) Tuhan dan engkau adalah abadi. Janganlah bersikap dan berperilaku sebagai manusia dan juga jangan berperilaku sebagai binatang". Kalian semua diberkati dengan sifat-sifat suci yaitu Kebenaran, Kebajikan, Cinta-kasih, Kedamaian, dan Tanpa-Kekerasan. Oleh karena itu, kalian semua harus berperilaku sesuai dengan sifat-sifat mulia tersebut. Janganlah engkau tunduk/menyerah pada kualitas-kualitas yang buruk seperti nafsu, keserakahan, kemarahan, kecemburuan, kebencian, dan ketamakan. Hal ini tidak pantas dijalani oleh manusia. Kadang-kadang, perubahan tempat atau perubahan kebiasaan makanan menimbulkan kecenderungan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, engkau hendaknya memperhatikan dan mengambil makanan murni dan air murni secara teratur, pada waktu yang tepat. Jalanilah hidup yang bahagia, sebagai manusia sejati, dengan mematuhi semua aturan dan peraturan. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 2, Ch 13, June 7, 2007)

-BABA

Sunday, April 13, 2014

Thought for the Day - 13th April 2014 (Sunday)

Suppose you dream that you are being bitten by a snake, and are struggling with pain, shouting and frantically searching for medicines. Now even though you are bitten by a snake, do you take medicine to remove the poison? No, you don’t do that, because this happened in your dream. You perhaps will even forget the pain, as soon as you wake up, isn’t it? Similarly today you are in deep slumber of ignorance and worldly attachments and hence undergo a lot of suffering. The world is ephemeral and full of misery. You suffer only because of ignorance and body attachment. The moment you are awakened from the slumber, your problems will be solved. Anyone and everyone who aspires to lead a happy life must reduce body attachment. You develop ego because of your position, associations, physical strength or wealth. If you want to enjoy bliss, never give any scope for ego.

Misalkan engkau bermimpi bahwa engkau sedang digigit ular, dan berjuang dengan rasa sakit, berteriak dan panik mencari obat-obatan. Sekarang meskipun engkau digigit ular, apakah engkau minum obat untuk menghilangkan racun? Tidak, engkau tidak melakukan hal itu, karena ini terjadi dalam mimpimu. Engkau bahkan mungkin akan melupakan rasa sakit, segera setelah engkau bangun, bukan? Demikian pula saat engkau berada dalam tidur nyenyak ketidaktahuan dan kemelekatan duniawi dan karenanya mengalami banyak penderitaan. Dunia ini fana dan penuh penderitaan. Engkau menderita hanya karena ketidaktahuan dan kemelekatan badan jasmani. Saat engkau terbangun dari tidur itu, masalahmu akan terpecahkan. Siapapun dan semua orang yang bercita-cita untuk hidup bahagia harus mengurangi kemelekatan pada badan jasmani. Engkau mengembangkan ego karena posisimu, asosiasi, kekuatan fisik atau kekayaan. Jika engkau ingin menikmati kebahagiaan, jangan pernah memberikan ruang bagi ego. (‘My Dear Students’, Vol 3, Ch 3, June 30, 1996)

-BABA

Saturday, April 12, 2014

Thought for the Day - 12th April 2014 (Saturday)

Young students are innocent. Their hearts and minds are pure, and they are selfless. In the primary school, you will find that many of them observe perfect discipline and are well behaved. By the time they are in secondary school, the purity and discipline slowly decreases. When they reach a college or university, everything becomes topsy-turvy! What really happens in between? As they grow in years, their mental balance is upset; they lose the steadiness of mind and self-control. They are exposed to undesirable influences. At this stage, teachers and parents must practice exemplary behavior and ensure that the children are on the right path at all times. Students also must bear in mind that all the regulations and discipline that are prescribed are for their highest good and in their own interests.

Anak-anak tidak berdosa. Hati dan pikiran mereka murni dan tanpa pamrih. Di sekolah dasar, engkau akan menemukan bahwa banyak dari mereka melaksanakan disiplin dengan baik dan berperilaku baik. Pada saat mereka berada di sekolah menengah, kemurnian dan disiplin perlahan-lahan menurun. Ketika mereka mencapai perguruan tinggi atau universitas, semuanya menjadi kacau-balau! Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Saat mereka tumbuh dari tahun ke tahun, keseimbangan mental mereka rusak; mereka kehilangan kemantapan pikiran dan pengendalian diri. Mereka terkena pengaruh yang tidak menyenangkan. Pada tahap ini, guru dan orang tua harus mempraktikkan perilaku yang dapat di contoh dan memastikan bahwa setiap saat anak-anak berada di jalan yang benar. Siswa juga harus ingat bahwa semua peraturan dan disiplin yang diresepkan adalah untuk kebaikan dan kepentingan mereka sendiri. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 2, Ch 8, June 15, 1989.)

-BABA

Friday, April 11, 2014

Thought for the Day - 11th April 2014 (Friday)


People today depend on their intelligence, physical strength and money, but do not have as much confidence in their own Self. When you have Self-Confidence, you can achieve anything. You may have wealth or money (Dhana Bala), but how long will it last? It is like a passing cloud; it comes and goes. How long will this wealth called people (Jan Bala) - family and friends, last? As long as you have power, position and wealth, people will surround you. Hence all of these are transitory. You will receive true respect in this world, when you have the strength of the Soul. Therefore, lead your lives with the strength of the Divine to attain the Divine. With faith in God, you must resort to good activities. As is the action, so is the result. Every step you take, must lead you to His proximity. Make every effort to get close to God. Then, you will be triumphant in life.

Orang-orang saat ini tergantung pada kecerdasan mereka, kekuatan fisik dan uang, tetapi tidak memiliki keyakinan pada diri mereka sendiri. Bila engkau memiliki rasa Percaya Diri, engkau dapat mencapai apapun. Engkau mungkin memiliki kekayaan atau uang (Dhana Bala), tetapi berapa lama hal itu akan berlangsung? Ini dapat diibaratkan seperti awan yang berlalu; datang dan pergi. Berapa lama kekayaan ini akan disebut orang (Jan Bala) - keluarga dan teman-teman, bertahan? Selama engkau memiliki kekuatan, posisi dan kekayaan, orang akan mengelilingimu. Oleh karena itu semua ini adalah fana. Engkau akan menerima penghormatan sejati di dunia ini, ketika engkau memiliki kekuatan Jiwa. Oleh karena itu, engkau hendaknya menjalani kehidupanmu dengan kekuatan Ilahi untuk mencapai Ilahi. Dengan keyakinan kepada Tuhan, engkau harus melakukan  tindakan-tindakan yang baik. Apapun yang dilakukan, demikianlah hasilnya. Setiap langkah yang engkau ambil, harus membawamu lebih dekat pada-Nya. Lakukanlah segala upaya untuk mendekati Tuhan. Maka, engkau akan berhasil dalam hidup. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 3, Ch 3, June 30 1996.)
-BABA

Thursday, April 10, 2014

Thought for the Day - 10th April 2014 (Thursday)


Rama chose to go to the forest to fulfill the pledge of His father. It may be asked: Did He go to the forest under any compulsion or out of His own resolve, or with a sense of dissatisfaction? No. Rama set out for the forest with the same sense of serenity and joy with which He looked forward to His coronation. Rama demonstrated the spirit of equanimity. He showed that pain or pleasure, profit or loss, victory or defeat, were the same to Him. In human life, pleasure and pain, happiness and sorrow alternate all the time. It is not a good quality to welcome pleasure and turn away pain. You must welcome sorrow in the same joyous spirit in which you greet happiness. Happiness has no value unless there is also sorrow. That is why it is said, "Pleasure is not secured from pleasure." Pain is needed to secure pleasure. Rama demonstrated to the world the truth of this concept

Rama memilih untuk pergi ke hutan untuk memenuhi janji Ayah-Nya. Mungkin timbul pertanyaan: Apakah Ia pergi ke hutan karena paksaan atau dari tekad-Nya sendiri, atau dengan rasa ketidakpuasan? Tidak. Rama berangkat ke hutan dengan pengertian yang sama ketenangan dan sukacita dengan Dia memandang ke depan untuk penobatan-Nya. Rama menunjukkan spirit keseimbangan batin. Beliau menunjukkan bahwa penderitaan atau kebahagiaan, keuntungan atau kerugian, kemenangan atau kekalahan, adalah sama bagi-Nya. Dalam kehidupan manusia, kebahagiaan dan penderitaan, kesenangan dan kesedihan silih berganti sepanjang waktu. Tidak baik jika hanya menyambut kebahagiaan dan menolak penderitaan. Engkau harus menyambut penderitaan dalam spirit sukacita yang sama di mana engkau menyambut kebahagiaan. Kebahagiaan tidak memiliki nilai jika tidak ada penderitaan. Itulah mengapa dikatakan, "Kebahagiaan tidak diperoleh dari kebahagiaan." Penderitaan diperlukan untuk mendapatkan kebahagiaan. Rama menunjukkan kepada dunia kebenaran konsep ini (Divine Discourse, Apr 5, 1998)
-BABA

Wednesday, April 9, 2014

Thought for the Day - 9th April 2014 (Wednesday)

The Vedas taught two kinds of dharma (codes of right conduct). One is termed pravrithi (outward path) and the other is termed nivrithi (inward path). Pravrithi is related to worldly activities; it prescribes the qualities needed for leading the life in the mundane world. Nivrithi teaches knowledge of the Self (Atma-jnana). One who knows the difference between the two is dauntless. For example, when one is hungry, Pravrithi tells one to eat food and appease the hunger. Nivrithi reminds what kind of food one should eat, what is good for one’s health and what is injurious, and how it should be consumed. All conflicts begin from your mind; it is Pravrithi that generates conflict, brings about union and separation. Ayodhya (a-yodhya) means a place free from strife and controversy; no enemy could enter it. The human heart is the symbol of Ayodhya.

Veda mengajarkan dua macam dharma (kebajikan). Salah satunya disebut pravrithi (jalan ke luar) dan yang lainnya disebut nivrithi (jalan ke dalam). Pravrithi berkaitan dengan kegiatan duniawi; mengatur kualitas yang diperlukan untuk menjalani kehidupan di dunia fana. Nivrithi mengajarkan pengetahuan tentang Atma (Atma-jnana). Seseorang yang mengetahui perbedaan antara keduanya adalah tak terkalahkan. Sebagai contoh, ketika seseorang merasa lapar, Pravrithi memberitahu seseorang untuk makan makanan dan meredakan rasa lapar. Nivrithi mengingatkan jenis makanan apa yang harus di makan, apa yang baik untuk kesehatan dan apa yang merugikan, dan bagaimana makanan tersebut harus dikonsumsi. Semua konflik mulai dari pikiranmu; Pravrithi-lah yang menghasilkan konflik, membawa penyatuan dan pemisahan. Ayodhya (a-yodhya) berarti tempat yang bebas dari perselisihan dan kontroversi; tidak ada musuh yang bisa memasukinya. Hati manusia adalah simbol dari Ayodhya. (Divine Discourse, Apr 5, 1998)

-BABA

Tuesday, April 8, 2014

Thought for the Day - 8th April 2014 (Tuesday)


Rama’s name is a life-giving essence with esoteric significance. It consists of three syllables: Ra + Aa + Ma. The combination of the three letters constitute the name ‘Rama’. Ra representing Agni (the Fire God), burns away all sins; Aa representing Surya (the Sun God), dispels the darkness of ignorance; and Ma representing Chandra (the Moon God), cools one’s temper and produces tranquility. The name Rama has the triple power of washing away one's sins, removing one's ignorance, and tranquilizing one's mind. How can this profound meaning of the name Rama be imparted to mankind? This can be done only by the Divine coming in human form and demonstrating to mankind the power of the Divine. Rama was one who, while appearing to lead the life of an ordinary man, led the Life Divine. He demonstrated the ideal life of a spiritually realised person.

Nama Rama adalah esensi yang memberi hidup dengan makna esoteris/batin. Ini terdiri dari tiga suku kata: Ra + Aa + Ma. Kombinasi dari tiga huruf merupakan nama 'Rama'. Ra mewakili Agni (Dewa Api), membakar segala dosa; Aa mewakili Surya (Dewa Matahari), menghalau kegelapan kebodohan, dan Ma mewakili Chandra (Dewa Bulan), mendinginkan emosi seseorang dan menghasilkan ketenangan. Nama Rama memiliki kekuatan tiga kali lipat dari membasuh dosa seseorang, menghilangkan ketidaktahuan seseorang, dan penenang pikiran seseorang. Bagaimana makna nama Rama yang mendalam ini  akan disampaikan kepada umat manusia? Hal ini dapat dilakukan hanya dengan Tuhan datang dalam wujud manusia dan menunjukkan kepada manusia kekuatan Ilahi. Rama adalah (penjelmaan) Tuhan yang  datang untuk menjalani kehidupan sebagai seorang manusia biasa. Beliau menunjukkan kehidupan yang ideal agar manusia menyadarinya. (Divine Discourse, Apr 5, 1998)
-BABA

Monday, April 7, 2014

Thought for the Day - 7th April 2014 (Monday)

The profound message the divine epic Ramayana gives is: One must lead the life of a human being, and one must seek oneness with the Divine. In every human being, all the three natures – human, divine, and demonic – are present. But most people today ignore their humanness and Divinity, and foster only their demonic nature. In fact, one should strive to manifest the Divinity, and not display one’s weakness or unpleasant qualities. In every act, Rama set the example, be it in individual conduct, in the discharge of duties to the family, or in fulfilling the obligations to society. Rama demonstrated the ideals to be followed. All should begin with fulfilling their individual obligations. The duty of the individual is to manifest the Divinity within. As an individual, Rama revealed the Divinity in Him through His ideal conduct.

Pesan mendalam yang disampaikan dalam kisah Ilahi epik Ramayana adalah: Seseorang  harus menjalani kehidupan sebagai seorang manusia, dan  harus mencari kesatuan dengan Ilahi. Dalam diri setiap orang, ketiga sifat - manusiawi, ilahi, dan setan - semuanya ada. Tetapi kebanyakan orang saat ini mengabaikan kemanusiaan dan Ketuhanan mereka, dan hanya menumbuhkan  sifat setan mereka. Sesungguhnya, seseorang harus berusaha untuk mewujudkan Divinity, dan tidak menampilkan kelemahan seseorang atau kualitas yang tidak menyenangkan. Dalam setiap tindakan, Rama memberi contoh, baik dalam perilaku individu, dalam melaksanakan tugas untuk keluarga, atau dalam memenuhi kewajiban kepada masyarakat. Rama menunjukkan ideal yang harus diikuti. Semua harus dimulai dengan memenuhi kewajiban masing-masing. Tugas individu adalah untuk mewujudkan Divinity yang ada di dalam dirinya. Sebagai seorang individu, Rama mengungkapkan Divinity dalam diri-Nya melalui perilaku ideal-Nya. (Divine Discourse, Apr 5, 1998)
-BABA

Sunday, April 6, 2014

Thought for the Day - 6th April 2014 (Sunday)

Every action carries with it an equal reaction. Every action is a seed, and these seeds grow into trees, so always undertake only sacred actions. Sometimes, we undertake actions with full enthusiasm and joy. When we end up suffering from the action’s consequences, we shed tears and lament. Hence, before you start doing anything, you must first think; discriminate between good and bad action, and conduct yourselves accordingly. You must also give importance to the appropriateness of the speech that flows through the action. Never do anything that will cause others trouble. It may appear impossible to go on with your duties without the feeling of body consciousness and attachment. But by constantly thinking of God, you must reduce these feelings. Then there will be no misery; pain and pleasure will not bother you.

Setiap tindakan disertai dengan reaksi yang sama. Setiap tindakan adalah bibit, dan bibit ini tumbuh menjadi pohon, jadi selalulah melakukan tindakan-tindakan yang suci. Kadang-kadang, kita melakukan tindakan dengan penuh antusiasme dan kegembiraan. Ketika kita akhirnya menerima konsekuensi dari tindakan tersebut, kita meneteskan air mata dan menyesalinya. Oleh karena itu, sebelum engkau mulai melakukan apa-apa, engkau harus terlebih dahulu berpikir; membedakan yang mana tindakan yang baik dan yang mana tindakan yang buruk, baru kemudian melakukan tindakan yang sesuai (tindakan yang baik). Engkau juga harus memberikan pentingnya kesesuaian kata-kata/ucapan yang mengalir melalui tindakan. Jangan pernah melakukan sesuatu yang akan menyebabkan orang lain menderita. Ini mungkin tampak mustahil untuk melakukan tugasmu tanpa merasakan kesadaran badan jasmani dan kemelekatan. Tetapi dengan terus-menerus memikirkan Tuhan, engkau harus mengurangi perasaan ini. Kemudian tidak akan ada penderitaan; kesedihan dan kesenangan tidak akan mengganggumu. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 3, Ch 3, June 30, 1996)

-BABA

Saturday, April 5, 2014

Thought for the Day - 5th April 2014 (Saturday)


You may go through sacred texts, offer all sorts of prayers to all Gods and perhaps be in a thick forest or in the safest place, but you cannot run away from your destiny. Just like you may immerse a container in a small lake or a large ocean, but you cannot collect more water than what the container can hold. Without the strength of righteousness, physical and intellectual strength are of no avail. Examine for yourself – what happened to the mighty Karna (in the epic Mahabharata)? Though he had the intellect and physical valour, he joined the bad company of Duryodhana, Dushasana and Shakuni, and therefore came to be known as the fourth wicked person. So never be in bad company who will lead you to entertain bad thoughts and indulge in inappropriate actions. To earn the special grace of God, you must be in good company and do good deeds. Then God will make your container bigger to harvest His Grace!

Engkau mempelajari teks-teks suci, mempersembahkan segala macam doa kepada semua Dewa dan mungkin berada di hutan lebat atau di tempat yang paling aman, tetapi engkau tidak bisa lari dari takdirmu. Sama seperti engkau dapat membenamkan suatu wadah di sebuah danau kecil atau laut yang luas, tetapi engkau tidak dapat mengumpulkan lebih banyak air dari daya tampung wadah tersebut. Tanpa kekuatan kebenaran, kekuatan fisik, dan intelektual tidak akan ada gunanya. Tanyalah pada dirimu sendiri - apa yang terjadi pada Karna yang hebat (dalam wiracarita Mahabharata)? Meskipun ia memiliki kecerdasan dan keberanian fisik, ia ikut serta dengan pergaulan buruk Duryodana, Dursasana, dan Sangkuni, dan karena itu kemudian dikenal sebagai empat orang yang jahat. Jadi jangan pernah berada di lingkungan pergaulan yang buruk yang akan membawamu pada pikiran buruk dan melakukan tindakan yang tidak pantas. Untuk mendapatkan berkat khusus dari Tuhan, engkau harus berada dalam pergaulan yang baik dan melakukan perbuatan baik. Maka Tuhan akan membuat engkau memiliki wadah yang lebih besar untuk memanen Berkat-Nya! (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 3, Ch 3, June 30, 1996)
-BABA