Thursday, September 28, 2017

Thought for the Day - 28th September 2017 (Thursday)

The command of the Vedas, "Matru devo bhava; Pitru devo bhava (May the mother be your God; may the father be your God)", is repeated ad nauseum today, but, there is no sign of reverence towards the parents anywhere. A generation that does not respect and foster its parents is bound to end in disaster. Parents suffer great hardships and deny various comforts for themselves in order to put their children through school and college, but the children are ungrateful; they taunt and tease, they cause mental pain and physical hunger to their parents by ridiculing their habits and attitudes, and dismissing their advice with neglect. When the creators of your physical equipment and mental make-up are thus treated with sacrilege, how can one expect you to adore the Creator of the Universe, the God who provides for all? Honour your parents, so that your children learn to honour you.


Perintah dalam Weda, "Matru devo bhava; Pitru devo bhava (Perlakukan Ibu seperti Tuhan; perlakukan ayah seperti Tuhan)", diulang secara terus menerus pada saat sekarang, namun tidak ada penghormatan kepada orang tua dimanapun juga. Sebuah generasi yang tidak menghormati dan memelihara orang tuanya dipastikan berakhir dalam bencana. Orang tua menderita kesulitan yang sangat besar dan menolak berbagai jenis kenyamanan untuk diri mereka sendiri dalam upaya menyekolahkan anak-anak mereka sampai universitas, namun anak-anak tidak memiliki rasa terima kasih; mereka mencela dan mengolo-olok, mereka menyebabkan penderitaan mental dan kelaparan fisik pada orang tua mereka dengan menertawakan kebiasaan dan sikap orang tua mereka, dan menolak serta mengabaikan nasehat mereka. Ketika pencipta dari peralatan fisik dan mentalmu diperlakukan dengan penghinaan, bagaimana seseorang dapat mengharapkanmu untuk memuliakan pencipta alam semesta, Tuhan yang menyediakan semuanya? Hormati orang tuamu, sehingga anak-anakmu belajar menghormatimu. (Divine Discourse, Feb 15, 1969)

-BABA

Thought for the Day - 27th September 2017 (Wednesday)

When the mirror of the mind is soiled, it cannot perceive anything in its true state. This is the reason why man is unable to recognise his own true nature. Hence it is necessary to cleanse the mirror of impurities on it. How is this to be done? By regulating one's food and recreational habits. It is important to ensure that the food that is eaten is obtained by righteous means. Many of the ills which people suffer today are due to the fact that the things they consume have been got by unrighteous means. So to purify your mind the first prerequisite is pure food. But it may not always be possible to ensure purity in every meal, in every respect and at all times. To overcome this difficulty, make an offering of your meal to God and accept it as a gift from God. Before eating, when food is offered to God, it becomes Prasada (gift from God). All impurities in the food are thereby removed. This helps the process of cleansing the mind. This practice must be kept up continuously.


Ketika cermin pikiran kotor maka tidak akan bisa menerima apapun yang dalam keadaan benar. Inilah sebabnya mengapa manusia tidak mampu menyadari sifatnya yang sejati. Oleh karena itu adalah perlu untuk membersihkan cermin dari ketidakmurniannya. Bagaimana cara melakukannya? Dengan mengatur kebiasaan makan dan rekreasi. Adalah penting untuk memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi didapat dengan cara yang benar. Banyak manusia sakit dan menderita saat sekarang karena sesuatu yang mereka makan diperoleh dari cara yang tidak benar. Jadi untuk menyucikan pikiran syarat pertama adalah kesucian makanan. Namun tidak bisa selalu dapat memastikan kesucian di dalam setiap makanan dalam segala hal dan setiap waktu. Untuk mengatasi kesulitan ini, jadikan makananmu sebagai persembahan kepada Tuhan dan menerima makanan itu sebagai karunia dari Tuhan. Sebelum makan, ketika makanan dipersembahkan kepada Tuhan maka makanan ini menjadi Prasada (berkat dari Tuhan). Semua ketidakmurnian yang ada dalam makanan menjadi dilhilangkan. Hal ini membantu proses membersihkan pikiran. Praktek ini harus terus dilakukan. (Divine Discourse, May 25, 1990)

-BABA

Tuesday, September 26, 2017

Thought for the Day - 26th September 2017 (Tuesday)

Embodiments of Love! There is nothing bad in Creation. If some things appear so, it is entirely due to faulty vision. The latent bad feelings within create the impression that certain things are bad. Hence it is important to develop pure and loving feelings. Always be immersed in the thought of God and constantly chant His Name. Be ever saturated with the divine feeling. If dutifully followed, spiritual practices are guaranteed to remove all the contamination within you. Never indulge in bad actions, never criticise others, blame others, or accuse others. Bad thoughts pollute the air and also infect others; this is how bad vibrations spread. Hence scrupulously avoid bad company and inappropriate behaviour. Always avoid bad thoughts, inappropriate looks, feelings and actions. Instead, be ever sacred and do only good. Make every possible effort to venerate and revere the elements in a suitable manner. Your every breath must resonate the chant of God’s Name. Always sing His Glory.


Perwujudan kasih! Tidak ada yang buruk dalam ciptaan ini. Jika beberapa hal kelihatan seperti itu, maka ini sepenuhnya karena kesalahan dalam pandanganmu. Perasaan buruk yang terpendam di dalam diri akan menciptakan kesan bahwa sesuatu hal itu adalah buruk. Oleh karena itu adalah sangat penting untuk mengembangkan perasaan yang suci dan penuh kasih. Selalulah tenggelam dalam pikiran pada Tuhan dan secara terus menerus melantunkan nama Tuhan. Selalulah penuhi dirimu dengan perasaan illahi. Jika diikuti dengan taat maka praktik spiritual menjamin dalam melenyapkan semua kontaminasi di dalam dirimu. Jangan pernah terlibat dalam perbuatan yang tidak baik, jangan pernah memberikan kritik kepada yang lain, atau menyalahkan yang lain. Pikiran buruk mencemari udara dan juga menginfeksi yang lainnya; ini adalah betapa buruknya vibrasi yang disebarkan. Oleh karena itu dengan cermat jauhi pergaulan yang tidak baik dan perilaku yang tidak pantas. Selalu hindari pikiran yang buruk, pandangan yang tidak pantas, perasaan dan perbuatan yang tidak layak. Sebaliknya, selalulah suci dan hanya melakukan kebaikan. Buatlah setiap usaha yang memungkinkan untuk memuliakan dan menghormati unsur-unsur yang ada dengan cara yang sesuai. Setiap nafasmu harus beresonansi dengan lantunan nama Tuhan. Selalulah menyanyikan kemuliaan Tuhan. (Divine Discourse, May 15, 2000)

-BABA

Monday, September 25, 2017

Thought for the Day - 24th September 2017 (Sunday)

The word ‘yajna’ means sacrifice; that is the primary purpose of the yajna. You sacrifice riches, comfort, power (all that promotes the ego) and merge in the Infinite. That is the attainment and the end. Yajnas are useful because they support the ideal of sacrifice, and condemn acquisition. They emphasise discipline, rather than distraction. They insist on the concentration of the mind, the tongue and the hand on Godhead. Cynics count the bags of grain and the kilograms of ghee, and ask for more bags and kilograms of contentment and happiness in return! The effects of yajna on the character and the consciousness cannot be measured or weighed in metres or grams. It is immeasurable, though actual and experienceable. The grain and ghee offered in the sacred fire to the accompaniment of Vedic formulae give thousandfold returns; they will cleanse and strengthen the atmosphere all over the world.


Kata ‘yajna’ berarti pengorbanan; itu adalah tujuan utama dari yajna. Engkau mengorbankan kekayaan, kenyamanan, kekuatan (semua hal ini yang meningkatkan ego) dan menyatu dalam yang tidak terbatas. Itu adalah pencapaian dan juga akhir. Yajna berguna karena mendukung pengorbanan yang ideal dan mengecam perolehan. Yajna menekankan pada disiplin dan bukannya gangguan. Yajna menekankan pada konsentrasi pikiran, lidah, dan tangan pada keillahian. Orang-orang sinis menghitung jumlah gandum dan ghee, serta meminta lebih banyak kepuasan dan kesenangan sebagai gantinya! Akibat dari yajna pada karakter dan kesadaran tidak bisa diukur atau ditimbang dalam meter atau gram. Hal ini tidak dapat diukur, walaupun bersifat aktual dan dapat dialami. Gandum dan ghee dipersembahkan dalam api suci yang diikuti dengan lantunan mantra Weda memberikan seribu kali lipat; semuanya ini akan membersihkan dan menguatkan atmosfer seluruh dunia. (Divine Discourse, Dasara, Oct 7, 1970)

-BABA

Saturday, September 23, 2017

Thought for the Day - 23rd September 2017 (Saturday)

Pray intensely and with faith. Then, Grace will be showered on you. When your heart is soaked in Love, it cannot be contaminated by egoism and its evil consequences. Just as you crave for physical health, which means health for the limbs of the body, you should strive for the health of humanity, which means peace and joy for all sections of society in all nations. If you dwell in that wider outlook, you will start feeling less and less for your own troubles and worrying more and more about the troubles of others. That is the initial offering of yourself in the great ‘yajna’ (ritual sacrifice) called ‘living.’ You should merge your welfare with the welfare of the world. How can you be happy when your neighbour is in misery? Therefore I call upon you to give up praying for your own advancement; pray for the peace, prosperity and happiness of all humanity, irrespective of clime or colour.


Berdoalah dengan sungguh-sungguh dan dengan keyakinan. Kemudian, karunia akan dilimpahkan kepadamu. Ketika hatimu diliputi dengan kasih, maka tidak akan bisa dinodai dengan ego dan pengaruh jahatnya. Sama halnya ketika engkau menginginkan kesehatan jasmani, yang artinya kesehatan anggota tubuh, engkau juga harus berusaha untuk kesehatan kemanusiaan yang artinya kedamaian dan suka cita untuk semua lapisan masyarakat dalam seluruh bangsa. Jika engkau memiliki pandangan yang lebih luas maka engkau akan mulai merasakan semakin berkurang dan kurang untuk masalahmu sendiri dan lebih banyak cemas dengan masalah yang dihadapi yang lainnya. Itu adalah persembahan awal dari diri sendiri dalam ‘Yajna’ yang besar yang disebut dengan ‘hidup.’ Engkau harus menyatukan kesejahteraanmu dengan kesejahteraan dunia. Bagaimana engkau dapat bahagia ketika tetanggamu dalam penderitaan? Maka dari itu, Aku mengajakmu untuk berhenti berdoa hanya untuk kemajuan dirimu sendiri; berdoalah untuk kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan semua umat manusia, terlepas dari daerah atau warna. (Divine Discourse, Dasara, Oct 7, 1970)

-BABA

Friday, September 22, 2017

Thought for the Day - 22nd September 2017 (Friday)

Amongst all forms of spiritual practices, devotion or Bhakti is the easiest and holiest. Bhakti is derived from the root ‘Bhaj’, with the suffix ‘ti.’ It denotes a feeling of friendship coupled with awe. For someone who is a product of the attributes or gunas, to understand what transcends the gunas, an attitude of humility and reverence is required. Bhakti calls for utilising the mind, speech and body to worship the Lord. It represents total love. Devotion and love are inseparable and interdependent. Sage Narada declared that worshipping the Lord with boundless love is Bhakti. Vyasa held that it is performing worship with love and adoration. Sage Garga declared that it is serving the Lord with purity of mind, speech and body. Yajnavalkya held that true Bhakti consists in controlling the mind, turning it inwards and enjoying the bliss of communion with the Divine. Although many sages have expressed different views about the nature of Bhakti, the basic characteristic of devotion is Love. Bhakti is the path to salvation.
Diantara semua bentuk praktik spiritual, bhakti adalah yang paling mudah dan suci. Bhakti berasal dari akar kata ‘Bhaj’, dengan akhiran ‘ti.’ Kata ini berarti sebuah perasaan persahabatan digabungkan dengan perasaan yang terpesona. Untuk seseorang yang merupakan produk dari sifat atau guna, untuk memahami apa yang melampaui guna, maka sikap kerendahan hati dan penghormatan adalah diperlukan. Bhakti menyerukan untuk memanfaatkan pikiran, perkataan, dan badan untuk memuja Tuhan. Hal ini melambangkan cinta kasih yang sepenuhnya. Bhakti dan cinta kasih adalah tidak bisa dipisahkan dan saling tergantung. Resi Narada menyatakan bahwa memuja Tuhan dengan kasih yang tanpa batas adalah Bhakti. Vyasa berpendapat bahwa bhakti adalah melakukan pemujaan dengan kasih yang mendalam dan sejati. Resi Garga menyatakan bahwa bhakti adalah melayani Tuhan dengan kesucian pikiran, perkataan, dan tubuh. Yajnavalkya berpendapat bahwa Bhakti yang sejati terdapat dalam mengendalikan pikiran, mengarahkannya ke dalam diri dan menikmati kebahagiaan dalam hubungan yang erat dengan Tuhan. Walaupun banyak guru suci telah menyatakan pandangannya tentang kualitas dari Bhakti, karakteristik yang mendasar dari bhakti adalah cinta kasih. Bhakti adalah jalan menuju keselamatan. – Divine Discourse, Oct 8, 1986.

-BABA

Thought for the Day - 21st September 2017 (Thursday)

Thinking evil, speaking evil and seeing evil invariably leads to total ruin. For example, in Mahabharata, Duryodhana always had evil thoughts about the Pandavas and ultimately he brought destruction upon his entire family. The Ramayana had the story of Kaikeyi, who listened to the evil counsel of Manthara, and so lost not only her husband but the regard and love of her son Bharata. Learn to live in harmony and unity. Every organ in the body functions in cooperation with every other part. If your foot steps on a thorn, your eye feels the pain and sheds tears. If your eye notices a thorn or stone on the road, it warns the foot to avoid it. You must also develop the same sense of unity and share your joys and troubles as one family. There is nothing you cannot achieve with unity as your strength. With purity and unity, your genuine devotion to God will also grow. Make purity, unity, divinity your watchwords; they alone will ensure material and spiritual well-being.
Berpikir yang jahat, berbicara yang jahat dan melihat yang tidak baik selalu menuntun pada kehancuran total. Sebagai contoh, dalam Mahabharata, Duryodhana selalu memiliki pikiran yang jahat tentang Pandava dan pada akhirnya Duryodhana membawa kehancuran pada seluruh keluarganya. Ramayana memiliki kisah tentang Kaikeyi, yang mendengarkan nasihat jahat dari Manthara, dan akhirnya tidak hanya kehilangan suaminya namun juga rasa hormat dan cinta kasih dari putranya yaitu Bharata. Belajar hidup dalam kerukunan dan persatuan. Setiap organ dalam tubuh berfungsi dalam kerjasama dengan setiap bagian yang lainnya. Jika kakimu menginjak sebuah duri, matamu merasakan rasa sakit dan meneteskan air mata. Jika matamu melihat ada duri atau batu di atas jalan maka mata memperingatkan kaki untuk menjauhi benda tersebut. Engkau juga harus mengembangkan persatuan yang sama dan berbagi suka cita dan masalah sebagai satu keluarga. Tidak ada satupun yang tidak dapat engkau capai dengan persatuan sebagai kekuatanmu. Dengan kesucian dan persatuan, rasa bhaktimu yang murni kepada Tuhan juga akan tumbuh. Jadikan kesucian, persatuan, keillahian menjadi semboyanmu; hanya semuanya itu yang akan memastikan kebahagiaan material dan spiritual. - Divine Discourse, May 22, 1986.

-BABA

Thought for the Day - 20th September 2017 (Wednesday)

Today it appears that unity has altogether disappeared everywhere and enmity is on the rise. Do not develop opposition or differences amongst you, wherever you are. It is not healthy. Even if somebody makes you angry, do not fight with them. Understand that by fighting with others, you actually harm yourself. Remember, jealousy gives rise to hatred and is harmful to your well-being. Hence achieve unity and practice to live with unity in all matters. Control your thoughts. This is the quality of a truly educated person. This is the true spirit of ‘Educare’. All are human beings. All are children of God. Therefore, live with unity without giving room to any differences. Everything will become good if you keep your heart pure constantly. The end of education is good character. With good character, you can achieve anything in life. Hence it is very essential for you to always safeguard your character. Such a person is a truly learned one!


Saat sekarang kelihatan bahwa kesatuan dan persatuan secara keseluruhan telah lenyap di setiap tempat dan rasa permusuhan sedang meningkat. Jangan mengembangkan pertentangan atau perbedaan diantara kalian, dimanapun engkau berada. Hal ini tidaklah menyehatkan. Bahkan jika seseorang membuatmu marah, jangan bertengkar dengan mereka. Pahamilah bahwa bertengkar dengan yang lain, sejatinya engkau menyakiti dirimu sendiri. Ingatlah, kecemburuan memunculkan kebencian dan hal ini sangat merusak kesehatanmu. Oleh karena itu capailah persatuan dan kesatuan serta praktikkan hidup dalam persatuan dalam semua keadaan. Kendalikan pikiranmu. Ini adalah kualitas dari orang yang terpelajar. Ini adalah inti sebenarnya dari ‘Educare’. Semuanya adalah umat manusia. Semuanya adalah anak-anak dari Tuhan. Maka dari itu, hiduplah dalam persatuan tanpa memberikan ruang pada perbedaaan apapun juga. Segala sesuatu akan menjadi baik jika engkau menjaga hatimu tetap suci secara berkesinambungan. Akhir dari pendidikan adalah karakter yang baik. Dengan karakter yang baik, engkau akan mencapai apapun di dalam hidup ini. Oleh karena itu adalah sangat mendasar bagimu untuk selalu menjaga karaktermu. Orang yang seperti itu sejatinya adalah yang terpelajar! (Divine Discourse, 22 Nov, 2010)
-BABA


Tuesday, September 19, 2017

Thought for the Day - 19th September 2017 (Tuesday)

God has no particular form. Brahma, Vishnu, Maheswara are not different from each other. God manifests in the form His devotees contemplate upon. If a woman considers her husband as God, she can realise God in him. God is present in every human being (Daivam manusha rupena). All are embodiments of the Divine. So to answer the question, “Where is God?”, “God is everywhere.” The Soul (Atma) that is present in you in the form of consciousness is present everywhere and in everyone. Hence do not search for the omnipresent God! Close your eyes and contemplate on the form of God that you like the most. God will manifest before you in that very form. Never think that God is present at one particular place or that distant place only! He is omnipresent everywhere, at all times, and permeates every atom of the universe. Make it your objective in this life to experience that Sweet Lord within yourself!


Tuhan tidak memiliki wujud tertentu. Brahma, Vishnu, Maheswara bukanlah wujud yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tuhan mewujudkan diri dalam wujud yang direnungkan oleh bhakta-Nya. Jika seorang wanita menganggap suaminya sebagai Tuhan maka ia dapat menyadari Tuhan di dalam diri suaminya. Tuhan bersemayam dalam diri setiap manusia (Daivam manusha rupena). Semua adalah perwujudan dari Tuhan. Jadi untuk menjawab pertanyaan, “Dimana Tuhan?”, “Tuhan ada dimana-mana.” Jiwa (Atma) yang bersemayam di dalam dirimu dalam wujud kesadaran adalah ada dimana-mana dan ada dalam diri setiap orang. Oleh karena itu jangan mencari Tuhan yang hadir dimana-mana! Pejamkan matamu dan pusatkan perhatian pada wujud Tuhan yang paling engkau sukai. Tuhan akan mewujudkan diri-Nya di depanmu dalam wujud tersebut. Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan hadir pada satu tempat tertentu saja! Tuhan adalah hadir dimana-mana, sepanjang waktu, dan meresapi setiap atom dari alam semesta ini. Jadikanlah ini sebagai tujuan dalam hidupmu ini untuk mengalami manisnya Tuhan di dalam dirimu sendiri! (Divine Discourse, Mar 16, 2010)

-BABA

Thought for the Day - 18th September (Monday)

People try to obtain peace by accumulating authority and wealth, which gives them power over others and the ability to command conveniences and comforts which will confer peace. But they quickly realise that both these paths are beset with fear, and the peace that one secures is liable to quick and violent extinction. How then can you achieve peace? Only through Love! Peace is the fruit of the tree of life; without it, the tree is a barren stump with zero value. The fruit is encased within a bitter skin, so that the sweet juice may be preserved and guarded; you must remove the skin to taste its sweetness and to strengthen yourself. The thick rind is symbolic of the six evil passions that encase everyone’s loving heart: lust, anger, greed, attachment, pride and hate. Those who succeed in removing the rind and contact the sweetness within through hard and consistent discipline attain the peace that is everlasting and unchanging.


Orang-orang mencoba mendapatkan kedamaian dengan mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan, yang memberikan mereka kekuatan di atas yang lainnya dan kemampuan untuk menuntut kenyamanan yang akan memberikan kedamaian. Namun mereka dengan cepat menyadari bahwa kedua jalan ini diliputi dengan ketakutan, dan kedamaian yang seseorang dapatkan besar kemungkinan dengan cepat mengalami kepunahan dan kekerasan. Bagaimana kemudian engkau dapat mencapai kedamaian? Hanya dengan melalui cinta kasih! Kedamaian adalah buah dari pohon kehidupan; tanpa buah maka pohon itu tunggul tandus dengan tanpa nilai. Buah dibungkus dengan kulit yang pahit, sehingga saripatinya dapat dijaga dan diawetkan; engkau harus melepaskan kulitnya agar bisa merasakan rasa manis saripati buah itu dan menguatkan dirimu. Kulit tebal itu adalah simbol dari enam hasrat jahat yang membungkus hati manusia seperti : nafsu, amarah, tamak, keterikatan, kesombongan, dan kebencian. Bagi mereka yang berhasil dalam melepaskan kulit buah itu dan menyentuh rasa manis di dalamnya melalui disiplin yang ketat dan konsisten mendapatkan kedamaian yang kekal dan tidak berubah. (Divine Discourse, Jan 1, 1971)

-BABA

Thought for the Day - 17th September 2017 (Sunday)

Milk has butter in every drop; it makes it very nourishing. If you must see it as a separate concrete entity, you must boil the milk, cool it, add sour curd, wait for hours for it to curdle, then churn it, and roll the butter that floats into a ball. God is in every being, in fact in every atom of the Universe; it is because they exist, we can recognise and enjoy Him. To see God and experience Him, work in the spirit of love; this will lead you on to worship. Work without any regard to the proportion of benefit you derive from it, work since it is your duty, work since you love to work, work earnestly, strictly and sincerely since that is the way you can offer gratitude to God for the skills He has endowed upon you. Then you will certainly experience His Grace and Glory.


Susu memiliki mentega dalam setiap tetesnya; itu membuatnya menjadi sangat bergizi. Jika engkau harus melihat mentega sebagai bagian yang terpisah maka engkau harus merebus susu dan mendinginkannya serta menambahkannya dengan asam dadih, menunggunya untuk beberapa jam agar mengental, kemudian mengaduknya, dan menggulung mentega yang mengapung menjadi sebuah bola. Tuhan ada dalam setiap makhluk, sejatinya dalam setiap atom di alam semesta; disebabkan karena makhluk itu ada maka kita dapat mengetahui dan menikmati kehadiran Tuhan. Untuk melihat Tuhan dan mengalami-Nya, bekerjalah dengan semangat kasih sayang; ini akan menuntunmu pada ibadah. Bekerjalah tanpa memperhatikan proporsi pada keuntungan yang engkau dapatkan dari hal ini, bekerjalah karena itu adalah kewajibanmu, bekerjalah karena engkau mencintai untuk bekerja, bekerjalah dengan jelas, dengan disiplin dan tulus karena itu adalah jalan yang dapat mempersembahkan terima kasih kepada Tuhan untuk keahlian yang Tuhan berikan kepadamu. Kemudian engkau pastinya akan mengalami karunia dan kemuliaan-Nya. (Divine Discourse, Jan 1, 1971)

-BABA

Saturday, September 16, 2017

Thought for the Day - 16th September 2017 (Saturday)

Why must you compete and quarrel with one another? Nothing in this world can last as such for long. Lord Buddha diagnosed this correctly and declared, "All is sorrow, all is transient, all are but temporary phenomenon of ephemeral characteristics." Why should you be so animated by these finite objects and petty things? Strive to gain the eternal, the infinite, the universal. One day, you have to give up the body that you have so carefully fed and fostered. How long can you keep all that you have earned and possessed with pride? Trivial thoughts and desires award only sorrow; holy thoughts and desires reward you with divine peace. Therefore cultivate good and beneficial feelings and desires. Keep away from bad company and bad thoughts. Realise the holy purpose of life through pure thoughts and words, and selfless service to your fellow-beings.


Mengapa engkau harus bersaing dan bertengkar diantara satu dengan yang lainnya? Tidak ada apapun di dunia ini dapat bertahan begitu lama. Sang Buddha mengetahui hal ini dengan benar dan menyatakan, "Semuanya adalah penderitaan, semuanya adalah sementara, semuanya hanyalah fenomena yang sebentar dari karakteristik yang singkat." Mengapa engkau harus begitu bersemangat dengan benda-benda yang terbatas dan remeh ini? Berusahalah untuk mendapatkan yang bersifat kekal, tidak terbatas dan universal. Suatu hari nanti, engkau harus melepaskan tubuh yang dengan hati-hati telah engkau jaga dan rawat. Berapa lama engkau dapat menjaga semua yang engkau telah dapatkan dan miliki dengan sombong? Pikiran dan keinginan yang sepele hanya memberikan penderitaan; hanya pikiran dan keinginan suci yang memberikanmu kedamaian illahi. Maka dari itu, tingkatkan perasaan dan keinginan yang baik serta berguna. Menjauhlah dari pergaulan yang tidak baik dan juga pikiran yang buruk. Sadari tujuan suci dari kehidupan melalui pikiran dan perkataan yang suci, dan pelayanan yang tanpa mementingkan diri sendiri pada sesamamu. (Divine Discourse, May 1981)

-BABA

Thought for the Day - 15th September 2017 (Friday)

A man sees a ripe fruit on a tree. The mind craves for the fruit, but it cannot fulfil the craving by itself. The feet take him near the tree. The trunk stoops, the hand picks up a stone, the shoulders throw it at the fruit which then falls. The fruit has to be picked up by the fingers, transferred into the mouth, the teeth have to bite into it, masticate it well and the tongue has to take charge to make it reach the stomach. The eating part is thus over. But that does not end the story of the craving for the fruit. Since so many instruments cooperated in the fulfilment, gratitude has to be rendered to each of them. So the stomach sends strength and satisfaction to every limb that shared in the adventure. Every limb acts effectively, promptly and performs its entrusted duty, so your body may live in health and efficiency, alert with all its skills and potentialities. This is true also of the enterprises that you undertake with others. Everyone must resolve to use their full skill and intelligence to discharge their obligations.


Manusia melihat buah yang matang di atas pohon. Pikiran menginginkan buah itu, namun pikiran tidak bisa mendapatkannya dengan sendirinya. Kaki membawanya semakin dekat dengan pohon itu. Tubuh membungkuk dan tangan mengambil sebuah batu, bahu melemparkan batu itu pada buah yang kemudian buah itu jatuh. Buah itu harus diambil oleh jari-jemari, kemudian dibawa ke mulut, gigi harus menggigit dan mengunyah buah itu dengan baik, lidah harus bertugas untuk membawanya ke dalam perut. Proses makan sudah selesai. Namun itu tidak mengakhiri cerita tentang keinginan akan buah. Karena begitu banyak sarana bekerja sama dalam memenuhi keinginan itu, maka rasa terima kasih harus diberikan pada setiap bagian yang terlibat, sehingga perut mengirimkan kekuatan dan kepuasan pada setiap bagian tubuh yang ikut dalam proses kegiatan itu. Setiap bagian anggota tubuh bertindak secara efektif, dengan segera dan menjalankan kewajiban yang dipercayakan, agar tubuhmu dapat hidup sehat dan berguna, sepenuhnya engkau harus sadar dengan keahlian dan potensinya. Hal ini juga benar terkait kegiatan usaha yang engkau jalankan dengan yang lainnya. Setiap orang harus memutuskan untuk menggunakan keahlian dan kecerdasan mereka sepenuhnya untuk menjalankan kewajibannya. (Divine Discourse, Jan 1, 1971)

-BABA

Thursday, September 14, 2017

Thought for the Day - 14th September 2017 (Thursday)

The Nature around us and with us is the vesture of God, presenting ample evidences of His beauty, goodness, wisdom and power, wherever we look. But the art of recognising Him is strange to us and so we deny Him and live in darkness. We have all around us in the atmosphere the music emanating from various broadcasting stations, but they do not assail your ear at any time. You are not aware of any station. But if you have a receiver, and if you tune it to the correct wavelength, you can hear the broadcast from any particular station; if you fail to tune it correctly, you will get only nuisance instead of news! Similarly the Lord is everywhere - above, around, below and beside you. For recognising Him, you require not a yantra (machine) but a mantra (mystical potent formula). Dhyana (meditation) is tuning to the exact location of the station, love is the tuning fork. Tune in, realise the Divine and enjoy the bliss He confers!


Alam di sekitar kita dan juga yang bersama kita adalah wujud Tuhan, menunjukkan banyak bukti tentang keindahan-Nya, kebaikan, kebijaksanaan, dan kekuatan, kemanapun kita memandang. Namun seni dalam mengenali-Nya adalah aneh bagi kita sehingga kita menyangkal-Nya dan hidup dalam kegelapan. Kita memiliki semuanya di sekitar kita dalam atmosfer dimana musik yang berasal dari berbagai stasiun penyiaran, namun semuanya itu tidak sampai di telingamu. Engkau tidak menyadari stasiun yang mana saja. Namun jika engkau memiliki pemancar penerima dan jika engkau menyetelnya pada gelombang yang benar, engkau dapat mendengar siaran dari stasiun radio tertentu; jika engkau tidak bisa mendapatkan gelombang yang tepat, maka engkau hanya akan mendapatkan gangguan daripada berita! Sama halnya Tuhan ada dimana-mana – diatas, disekitar, dibawah dan disampingmu. Untuk menyadari-Nya, engkau tidak membutuhkan sebuah yantra (mesin) namun sebuah mantra (kata-kata suci). Dhyana (meditasi) adalah menghubungkan lokasi yang tepat pada stasiun yang ada, kasih adalah sebagai garputala. Sambungkan pada salurannya, sadari keillahian dan nikmati kebahagiaan yang Tuhan berikan! (Divine Discourse, Jan 1, 1971)

-BABA

Thought for the Day - 13th September 2017 (Wednesday)

Consider this loudspeaker which has the power to broadcast sound. Someone must have produced it, isn’t it? Who could have created it? Someone with the knowledge and skill to produce such a device. They may not be visible to you, but they exist, perhaps in Germany or Switzerland or Japan. Similarly for everything you enjoy in daily life, be it the television or the watch or any other gadget, there is a creator. But we are also seeing objects which are beyond human capacity. The sky, the stars that twinkle, the Sun and the Moon which illumine the world! Can any ordinary person create these? The supreme power which has the capacity to create such marvellous things has been described by the Vedas as Aprameya, which means, One who is beyond all proofs and all limitations. God cannot be described in words. Your primary objective must be to seek to understand this Infinite Power.


Bayangkan pengeras suara ini yang memiliki kekuatan untuk menyiarkan suara. Seseorang pasti telah memproduksinya, bukan? Siapa yang dapat menciptakannya? Seseorang dengan pengetahuan dan keahlian untuk bisa menghasilkan perangkat yang seperti itu. Mereka mungkin saja tidak terlihat bagimu, namun mereka ada, mungkin mereka ada di Jerman atau Swiss atau Jepang. Sama halnya untuk segala sesuatu yang engkau nikmati dalam hidupmu sehari-hari, apakah itu televisi atau jam tangan atau perangkat lainnya, pasti ada yang menciptakan semuanya itu. Namun kita juga melihat objek yang di luar kapasitas manusia. Seperti halnya langit, bintang yang berkelap kelip, matahari dan bulan yang menerangi dunia! Dapatkan manusia biasa menciptakan semuanya ini? Kekuatan yang tertinggi yang memiliki kapasitas untuk menciptakan benda-benda yang menakjubkan seperti itu telah dijabarkan oleh Weda sebagai Aprameya, yang berarti, seseorang yang melampaui semua bukti dan semua batasan. Tuhan tidak bisa dijelaskan dalam kata-kata. Tujuan utamamu harus berusaha mengerti tentang kekuatan yang tidak terbatas ini. (Divine Discourse, Mar 1, 1981)

-BABA

Tuesday, September 12, 2017

Thought for the Day - 12th September 2017 (Tuesday)

Several malpractices have entered the field of education. Money is paid to gain admission into schools and colleges, and to acquire marks and degrees. The teacher does not transmit taste, style, attitude or outlook; it is all a matter of books and more books. The student is left to gather these from outside the educational institutions. More value is attached to information and its collection; no attempt is made to gain personal transformation and to correct one’s habits and characteristics! How did the great artists who drew the frescoes of Ajanta and carved the temples of Ellora learn their trade? Did they attend any school? They learnt from teachers, the master craftsmen who were inspired artists. Books cannot give guidance and inspiration for real good work. Worldly aspects must be harmonised with spiritual aspects to lead a full life. Only then can an individual have self-confidence and avoid the imitative path.


Beberapa tindakan salah (malpraktek) telah memasuki bidang Pendidikan. Uang dibayar untuk mendapatkan jalan masuk ke sekolah dan kampus serta untuk mendapatkan nilai dan gelar. Guru tidak meneruskan rasa, panduan, sikap, atau cara pandang; semuanya hanya terkait pada buku dan lebih banyak buku. Para pelajar dibiarkan untuk mengumpulkan semuanya itu dari luar institusi Pendidikan. Lebih banyak nilai melekat pada informasi dan kumpulannya; tidak ada usaha yang dibuat untuk mendapatkan perubahan pada diri dan untuk memperbaiki kebiasaan diri serta karakteristiknya! Bagaimana seniman yang hebat yang menggambar lukisan dinding Ajanta dan mengukir tempat suci Ellora mempelajari perdagangan mereka? Apakah mereka bersekolah? Mereka belajar dari guru-guru, seniman hebat yang menginspirasi mereka. Buku-buku tidak bisa memberikan tuntunan dan inspirasi untuk kerja baik yang nyata. Aspek duniawi harus diselaraskan dengan aspek spiritual untuk menuntun pada sebuah hidup yang terpenuhi. Hanya dengan demikian seorang individual dapat memiliki kepercayaan diri dan menghindari jalan yang suka meniru. (Divine Discourse, Jan 5, 1975)

-BABA

Thought for the Day - 11th September 2017 (Monday)

Do not grieve that the Lord is testing you and putting you through the ordeal of undergoing the tests, for it is only when you are tested that you can assure yourself of success or become aware of your limitations. You can then concentrate on the subjects in which you are deficient and pay more intensive attention, so that you can pass in them too when you are tested again. Don’t study for the examination at the last moment; study well in advance and be ready with the needed knowledge as well as the courage and confidence born out of that knowledge and skill. What you have studied well in advance must be rolled over and over in the mind just before the examination; that is all that should be done. This is the pathway to victory.


Jangan bersedih hati bahwa Tuhan sedang mengujimu dan menempatkanmu dalam cobaan berat dalam menghadapi ujian, hanya ketika saat engkau diuji bahwa engkau dapat memastikan dirimu berhasil atau menjadi sadar akan keterbatasanmu. Engkau kemudian dapat berkonsentrasi pada bagian yang kurang dan memberikan perhatian yang lebih intensif, sehingga engkau dapat lulus dalam bagian itu saat engkau akan diuji lagi. Jangan belajar untuk ujian pada saat-saat terakhir; belajarlah dengan baik lebih dulu dan bersiap dengan pengetahuan yang diperlukan dan juga keberanian serta kepercayaan yang lahir dari pengetahuan dan keahlian. Apa yang telah engkau pelajari dengan baik lebih awal harus diulang-ulang lagi dalam pikiran sebelum ujian; itulah yang seharusnya dilakukan. Ini adalah jalan menuju kemenangan. (Divine Discourse,Sivarathri, March 1963)

-BABA

Thought for the Day - 10th September 2017 (Sunday)

All who aspire to be devotees must eschew attachment and aversion. Do not be proud if you are able to sing better or if your worship room is better decorated. There must be a steady improvement in your habits and attitudes; otherwise, spiritual discipline is a vain pastime. Your homes must be immersed in the highest peace, undisturbed by any streak of hatred or malice, pride, or envy. The moment you decide that the orchard in your mind is His, all fruits will be sweet; your seeking for refuge and protection (Saranagathi) will render all fruits acceptable to the Lord, so they cannot be bitter. And, for water, what can be purer and more precious than your tears — shed not in grief, but in rapture at the chance to serve the Lord and to walk along the path that leads to Him! No worship or penance can equal the efficacy of obedience - obedience to the command given for your liberation!


Semua yang menginginkan menjadi bhakta harus menjauhkan diri dari keterikatan dan antipati. Jangan menjadi bangga jika engkau mampu menyanyi lebih baik atau jika kamar sucimu dihias dengan lebih baik. Harus ada peningkatan yang mantap dalam kebiasaan dan sikapmu; jika tidak, disiplin spiritual adalah sebuah hiburan yang sia-sia. Rumahmu harus terbenam dalam kedamaian yang tertinggi, tidak diganggu oleh gangguan apapun dari kebencian atau kedengkian, kesombongan atau iri hati. Saat engkau memutuskan bahwa kebun buah dalam pikiranmu adalah milik-Nya, maka semua buahnya pasti manis; pencarianmu pada perlindungan dan pertolongan (Saranagathi) akan memberikan semua buahnya dapat diterima oleh Tuhan, jadi buah itu tidak akan pahit. Dan, untuk air, apa yang lebih suci dan lebih berharga daripada air matamu  — jangan berduka cita, namun dengan rasa bahagia akan kesempatan untuk melayani Tuhan dan berjalan sepanjang jalan yang dituntun kepada-Nya! Tidak ada pemujaan atau tapa brata yang dapat sama dengan keampuhan dari kepatuhan-kepatuhan pada perintah yang diberikan untuk kebebasanmu! (Divine Discourse, Feb 08, 1963)

-BABA

Sunday, September 10, 2017

Thought for the Day - 9th September 2017 (Saturday)

Intelligence is a double-edged sword. It can cut chains and liberate you; it can cause fatal wounds and kill. Hence the great Gayatri Mantra prays to God to preside over the intelligence and render it beneficial to individuals and society. The education of the emotions and the control of passions are both part of Yoga, the spiritual discipline that purifies the intelligence. To penetrate the thick fog that ignorance spreads over Reality, intelligence must be built on the basis of virtues. When action (Karma) is done as dedication and Upasana (worship) is done as essential for very life, the fog of intelligence melts and disappears revealing the truth. Karma, when engaged in as dedicated to God, loses its evil effects for the doer leaving the consequence to God! Moreover, as every act is considered as an act of worship, it is done to the best of one’s ability transmuting mundane Karma into worship.


Kecerdasan adalah sebuah pedang bermata dua. Pedang ini dapat memotong rantai dan membebaskanmu; namun pedang ini juga dapat menyebabkan luka yang fatal dan membunuh. Oleh karena itu mantra Gayatri yang sungguh luar biasa berdoa kepada Tuhan untuk memimpin kecerdasan dan membuatnya bermanfaat bagi individu dan masyarakat. Pendidikan emosi dan pengendalian nafsu keduanya adalah bagian dari Yoga, disiplin spiritual yang memurnikan kecerdasan. Untuk dapat menembus kabut tebal kebodohan yang meliputi kenyataan, maka kecerdasan harus dibangun di atas dasar kebaikan. Ketika perbuatan (Karma) dilakukan sebagai sebuah dedikasi dan Upasana (pemujaan) dilakukan sebagai dasar dari setiap kehidupan, maka kabut kebodohan akan lenyap dan menghilang dan mengungkapkan kebenaran. Karma yang dilakukan sebagai dedikasi kepada Tuhan maka karma itu akan kehilangan pengaruh jahatnya karena sang pelaku menyerahkan hasilnya kepada Tuhan! Selain itu, karena setiap perbuatan dianggap sebagai sebuah tindakan pemujaan, maka hal ini dilakukan dengan yang terbaik dari kemampuan seseorang dan mengubah karma biasa menjadi sebuah ibadah. (Divine Discourse, Apr 3, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 8th September 2017 (Friday)

Rise everyday as if you are rising from death. Recite the prayer, “Thus am I born. Make me speak soft, sweet words, and make me behave coolly and comfortingly towards all; let me do deeds that shower happiness on all and form ideas in my mind which are beneficial to all. May this day be worthwhile by service to Thee". Pray in this manner sitting on your bed, before you start the day's schedule. Remember this pledge throughout the day. When you retire at night, sit up and examine quickly all the experiences of the day; see whether you have caused pain or displeasure to anyone by any word or deed. Then pray, "I am now ‘dying’ and falling into Your lap. Pardon me for any lapse; take me under Your loving shelter." After all, sleep is a short death and death a long sleep!


Bangunlah setiap hari seperti halnya jika engkau sedang bangkit dari kematian. Lantunkanlah doa, “Jadi saya lahir. Buatlah hamba berbicara dengan lembut, dengan perkataan yang manis, dan buatlah hamba bersikap dengan tenang dan menghibur kepada semuanya; jadikan hamba melakukan perbuatan yang mencurahkan kebahagiaan pada semuanya dan membentuk gagasan dalam pikiran hamba yang bermanfaat bagi semuanya. Semoga hari ini menjadi berguna dengan melayani-Mu". Berdoalah dengan cara ini dengan duduk di tempat tidur sebelum engkau memulai daftar rencana untuk hari itu. Ingatlah dengan janji ini sepanjang hari. Ketika engkau beristirahat di malam hari, duduk dengan tegak dan memeriksa dengan cepat semua pengalaman hari itu; lihatlah apakah engkau telah menyebabkan penderitaan atau menyinggung siapapun dengan perkataan atau perbuatan. Kemudian berdoalah, "Hamba sekarang ‘tertidur’ dan jatuh di pangkuan-Mu. Maafkan hamba dari segala penyelewengan; bawalah hamba berada di bawah perlindungan-Mu yang penuh kasih." Setelah semuanya, tidur adalah sebuah kematian pendek dan kematian adalah sebuah tidur yang panjang! (Divine Discourse, Jan 22, 1967)

-BABA

Thursday, September 7, 2017

Thought for the Day - 7th September 2017 (Thursday)

Your mind will waver from right to wrong, from pain to joy, only when you urge it on and encourage it. Desist from winding the mind; it will cease its antics. Do not count your tears of pain or pour out your grief. Let them pass through your mind, as birds fly through the sky, leaving no trail behind; or as flames and floods appear on the screen in a movie theatre, without dampening the screen. Never lose heart when you are disappointed. Perhaps your wish itself was wrong, or its realisation may have landed you in worse situations. Anyway, it is the will of the Lord and He knows best. Disappointments and distress are like the skin of the plantain; they are meant to protect the taste and allow the sweetness to fill the fruit. In such dire straits, let your mind dwell on the splendour of the Divine Self (Atma) and its majesty; that will keep you alert and brave.


Pikiranmu akan goyah dari yang benar ke salah, dari rasa sakit ke suka cita, hanya ketika engkau mendesak dan mendorongnya. Berhenti dalam memutar pikiran karena ini akan menghentikan kelakarnya. Jangan menghitung tetesan air mata penderitaan atau mencurahkan kesulitanmu. Biarkan semuanya itu melewati pikiranmu, seperti halnya burung terbang melewati langit, tidak meninggalkan jejak di belakang; atau seperti halnya nyala api dan banjir yang muncul di layar bioskop, tanpa merusak layar. Jangan pernah kehilangan hati ketika engkau kecewa. Mungkin keinginanmu sendiri adalah salah, atau realisasinya telah menempatkanmu pada situasi yang lebih buruk. Bagaimanapun juga, ini adalah kehendak Tuhan dan Tuhan mengetahui yang terbaik. Kekecewaan dan kesusahan adalah seperti kulit pisang raja; kulit itu berfungsi sebagai pelindung rasa dan membiarkan rasa manis itu untuk mengisi buah itu. Dalam keadaan yang mengerikan itu, bawalah pikiranmu untuk memikirkan kemuliaan dari jati diri yang sejati (Atma) dan kebesarannya; hal ini akan tetap membuatmu menjadi waspada dan berani. (Divine Discourse, Jan 22, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 6th September 2017 (Wednesday)

God is described in the scriptural texts as, Raso vai sah - "He is the sweet essence." How can sweetness ever become bitter? Godhead is a spotlessly clean mirror; you see in it your own reflection. When you have terror-striking propensities, the reflection you see will strike terror in you. When you have soft and harmless propensities, the reflection will be tender and soft. Do not lay the blame on God, as you are often prone to doing! When everything goes right, you say that God has come close to you; when something goes wrong, you say that God has deserted you and gone afar! He does not move far or near. The distance from Him to you is as much as the distance from you to Him. He is everywhere. He always is in your heart. Recognise Him there; realise Him as the closest and nearest to you. He is your own Self, neither terrible nor tender, but, simply is.


Tuhan dijelaskan dalam naskah suci sebagai, Raso vai sah - "Tuhan adalah intisari dari rasa manis." Bagaimana bisa rasa manis menjadi pahit? Keillahian adalah sebuah cermin yang bersih tidak ternoda; engkau dapat melihat bayanganmu sendiri pada cermin itu. Ketika engkau memiliki kecenderungan untuk menyerang, maka bayangan yang engkau lihat akan menyerang dirimu. Ketika engkau memiliki kecenderungan yang lembut dan tidak berbahaya, maka bayangan yang engkau lihat akan lembut. Jangan menyalahkan Tuhan, seperti yang sering engkau mudah lakukan! Ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik, engkau berkata bahwa Tuhan datang dekat denganmu; ketika sesuatu berjalan salah, engkau mengatakan bahwa Tuhan telah meninggalkanmu dan pergi jauh! Tuhan tidak bergerak menjauh atau mendekat. Jarak yang ada dari Tuhan kepadamu adalah sama seperti jarak dari dirimu kepada Tuhan. Tuhan ada dimana-mana. Tuhan selalu ada di dalam hatimu. Ketahui Tuhan disana; sadari Tuhan sebagai yang terdekat secara fisik dan batin bagi dirimu. Tuhan adalah dirimu sendiri, tidak mengerikan dan tidak juga lembut, namun sesederhana itu. (Divine Discourse, May 30, 1974)

-BABA

Tuesday, September 5, 2017

Thought for the Day - 5th September 2017 (Tuesday)

There is a perennial bond of pure love between teachers and students. Students can win over any teacher’s heart, and a teacher can win over students’ hearts as well. To be loved, you must love others first. The basis of Indian culture is, “Speak truth, practice right conduct.” Be humble. You may not always oblige, but you can always speak obligingly! At times, teachers may need to be strict. Be so. Remember, God can be harder than a diamond when the situation demands. Otherwise, He is softer than butter. Teachers very well understand this Divine nature and must exemplify it in their behaviour too. To take students into their confidence, teachers must approach them with love and fearlessly point out their mistakes and lead them on the right path. Only then students will follow the righteous path and correct their mistakes. For the progress and prosperity of the nation, every teacher must love their students and mould their character.


Ada sebuah ikatan kasih kekal yang murni diantara guru dan murid. Murid dapat memikat hati guru manapun dan seorang guru dapat juga memikat hati murid.  Untuk bisa dicintai, engkau pertama harus menyanyangi yang lain. Dasar dari kebudayaan India adalah, “Berbicara kebenaran, jalankan kebajikan.” Jadilah rendah hati. Engkau tidak bisa selalu membantu, namun engkau dapat selalu berbicara dengan sepenuh hati! Terkadang, guru mungkin perlu bertindak tegas. Jadilah. Ingatlah, Tuhan dapat lebih keras daripada sebuah permata ketika situasi menuntut. Jika tidak, Tuhan adalah lebih lembut daripada mentega. Guru sangat paham dengan sifat alami dari Tuhan ini dan harus juga mencontohkannya dalam tingkah laku mereka. Untuk bisa membimbing murid untuk percaya diri, guru harus mendekati murid dengan kasih dan tanpa takut untuk menunjukkan kesalahan mereka dan menuntun mereka di jalan yang benar. Hanya dengan demikian murid akan mengikuti jalan kebajikan dan memperbaiki kesalahan mereka. Untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, setiap guru harus menyayangi murid-muridnya dan membentuk karakter mereka. (Divine Discourse, Nov 21, 2001)

-BABA

Monday, September 4, 2017

Thought for the Day - 4th September 2017 (Monday)

The people of Kerala follow the commands of the noble Emperor Bali even today. That is why the state has developed in several ways. There is no dearth of food and amenities for a happy living in Kerala. Of course, changes in people’s aspirations and lifestyle are taking place in recent times due to the impact of the Kali Yuga (the present era). But the core of their hearts and feelings remains the same. They still follow the vedic injunctions “Speak truth and follow righteousness (Sathyam vada, dharmam chara).” They respect elders and serve them with love and affection. What could be the reason for this? Love for God! It is a land where love for God exists even today. Those who have love for God naturally develop fear of sin. Consequently, such people will have a high degree of morality in society, which is very important for its orderly functioning. It is not enough to celebrate the Onam festival with religious fervour and devotion. You have to live up to these expectations of the noble emperor Bali.


Orang-orang dari Kerala mengikuti perintah dari Maharaja Bali yang baik hati bahkan sampai saat sekarang. Itulah sebabnya mengapa negara bagian tersebut telah berkembang dalam beberapa cara. Tidak ada kekurangan makanan dan kenyamanan untuk hidup bahagia di Kerala. Tentu saja, perubahan pada cita-cita dan gaya hidup sedang terjadi akhir-akhir ini pada masyarakat di Kerala karena dampak dari Kali Yuga (zaman sekarang). Namun inti dari hati dan perasaan mereka tetaplah sama. Mereka masih mengikuti perintah dalam Weda yaitu “Berbicara yang benar dan mengikuti kebajikan (Sathyam vada, dharmam chara).” Mereka menghormati yang lebih tua dan melayani mereka dengan cinta dan welas asih. Apa yang menjadi alasan dari hal ini? Cinta kasih pada Tuhan! Kerala adalah tanah dimana kasih untuk Tuhan tetap ada sampai sekarang. Bagi mereka yang memiliki kasih untuk Tuhan secara alami akan takut pada dosa. Akibatnya, orang-orang seperti itu akan memiliki derajat moralitas yang tinggi dalam masyarakat, yang mana sangat penting untuk pelaksanaanya berjalan dengan teratur. Adalah tidak cukup dengan merayakan Onam dengan semangat dan bhakti keagamaan. Engkau harus dapat memenuhi harapan dari Maharaha Bali yang mulia. (Divine Discourse, Sep 2, 2009)

-BABA

Sunday, September 3, 2017

Thought for the Day - 3rd September 2017 (Sunday)

Emperor Bali was no doubt a great devotee with humility. However, there was an element of ego in him. God will tolerate anything but never tolerate anger and ego. God does not appreciate these qualities. What is this ego? What for is this ego? Is it for physical beauty or strength of the senses or intellectual acumen or wealth? None of these is permanent. Ego also breeds several other evil qualities! God has gifted every human being with sacred and noble qualities such as Truth (Satya), Righteousness (Dharma), Peace (Shanti), Love (Prema) and Non-violence (Ahimsa). Develop these qualities. These are the five vital airs (pancha-pranas) for a human being. Anger, jealousy, hatred, etc., are evil qualities befitting an animal. How can a person with such animal qualities be called a human being? A human being is one who has good qualities. Follow truth. Truth is God. Cultivate love. Love is God. Live in love.


Maharaja Bali tidak diragukan lagi adalah seorang bhakta besar dengan kerendahan hati. Bagaimanapun juga, ada unsur ego di dalam dirinya. Tuhan akan memberikan toleransi pada apapun juga namun tidak pernah memberikan toleransi pada kemarahan dan ego. Tuhan tidak menghargai sifat-sifat ini. Apa ego ini? Untuk apa ego ini? Apakah untuk kecantikan fisik atau kekuatan dari indria atau ketajaman intelek atau kekayaan? Tidak ada satupun dari semuanya ini yang bersifat kekal. Ego juga mengembangkan beberapa sifat jahat yang lainnya! Tuhan telah memberkati setiap manusia dengan sifat yang suci dan luhur seperti kebenaran (Satya), Kebajikan (Dharma), kedamaian (Shanti), kasih sayang (Prema), dan tanpa kekerasan (Ahimsa). Kembangkan sifat-sifat ini. Sifat-sifat ini adalah kekuatan yang sangat vital (pancha-pranas) bagi setiap manusia. Kemarahan, cemburu, iri hati, dsb, adalah sifat-sifat jahat yang pantas bagi seekor binatang. Bagaimana bisa seseorang dengan sifat binatang seperti itu dapat disebut sebagai manusia? Manusia adalah seseorang yang memiliki sifat yang baik. Ikuti kebenaran karena kebenaran adalah Tuhan. Tingkatkan cinta kasih karena cinta kasih adalah Tuhan. Hiduplah dalam cinta kasih. (Divine Discourse, Sep 5, 2006)

-BABA

Thought for the Day - 2nd September 2017 (Saturday)

People repose their faith in such a frail and impermanent physical body. This body is like a puppet with nine holes in it, and it may collapse at any time with a mere sneeze. Reposing their faith in such a perishable body, people forget the invaluable ornaments stored in it. That is the reason why you suffer mental agitation. You go to a millionaire and enquire, “Sir! You have everything in this world; but do you have peace?” He will immediately reply, “I have everything but not peace.” Wherever you see in this world today, there are only ‘pieces’, not ‘peace’. Peace is very much in your inner self. Hence search for it by means of an inward journey. That is your duty. Unfortunately you forget this sacred duty and desire for paltry and mean things. When you are able to manifest your own innate noble qualities, you can experience true and eternal peace.


Orang-orang menaruh keyakinan mereka pada tubuh yang bersifat lemah dan tidak kekal ini.  Tubuh ini adalah seperti wayang kulit dengan sembilan lubang di dalamnya, dan akan roboh kapan saja hanya dengan sekali bersin. Dengan menaruh keyakinan mereka pada tubuh yang mudah menjadi rusak, orang-orang melupakan perhiasan yang tidak ternilai harganya yang tersimpan di dalamnya. Itulah alasan mengapa engkau menderita pergolakan batin. Engkau pergi pada orang kaya dan bertanya, “Tuan! Engkau memiliki segalanya di dunia ini; namun apakah engkau memiliki kedamaian?” Orang kaya itu dengan segera menjawab, “aku memiliki segalanya namun tidak dengan kedamaian.” Kemanapun engkau melihat di dunia ini saat sekarang, hanya ada ‘kepingan saja’, dan bukan ‘kedamaian’. Kedamaian sepenuhnya ada di dalam dirimu. Oleh karena itu carilah kedamaian itu dengan sarana perjalanan ke dalam diri. Itu adalah kewajibanmu. Namun sangat disayangkan engkau melupakan kewajiban yang suci ini dan menginginkan hal-hal yang remeh dan tidak berarti. Ketika engkau mampu mewujudkan kualitas mulia bawaan dalam dirimu, engkau dapat mengalami kedamaian yang sejati dan kekal. (Divine Discourse, Sep 5, 2006)

-BABA