Monday, December 24, 2007

Thoughts for the Day - 28th December 2007 (Friday)




It does not suffice if in the name of spiritual practice, you confine yourself merely to Japa (chanting), Tapa (penance) and Dhyana (meditation). It is in fact Chittha Shuddhi (purity of the mind) that leads to Jnana Siddhi (acquisition of wisdom). Cultivation of purity of the mind is therefore the true spiritual practice that you should undertake. With purity of the mind and attainment of wisdom, man achieves equipoise.

Tidaklah cukup bila engkau hanya berpuas diri dengan praktek-praktek spiritual seperti Japa (mengulang-ulang nama-nama Tuhan), Tapa (tapa-brata) dan Dhyana (meditasi). Chittha Shuddhi (kemurnian batin) menghasilkan Jnana Siddhi (tercapainya kebijaksanaan). Memupuk batin yang murni adalah jenis praktek spiritual sejati yang harus engkau laksanakan. Dengan berbekal batin yang murni dan kebijaksanaan, maka manusia akan memperoleh keseimbangan batin.

- BABA

Thoughts for the Day - 27th December 2007 (Thursday)




In rendering service, one should have no thought of one’s self. One should only consider how well one can render the service as an offering to the Divine. One should note the difference between Karma (action) and Karma Yoga (action as spiritual discipline). Ordinary activity is motivated by self interest or the desire to achieve some objective. In Karma Yoga, the action is desireless. Ordinary Karma is the cause of birth, death and rebirth, whereas Karma Yoga leads to freedom from birth. You should regard all service as a form of Karma Yoga – rendering service without any expectation of reward, and without even the feeling that one is ‘serving’ others. Any service done to anyone is actually service to the Divine.

Dalam memberikan pelayanan, engkau perlu memastikan bahwa tidak ada unsur kepentingan pribadi. Satu-satunya hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah seberapa baiknya pelayanan yang dapat diberikan sebagai bentuk persembahan kepada Divine. Engkau harus membedakan antara Karma (tindakan) dan Karma Yoga (tindakan sebagai disiplin spiritual). Kegiatan/tindakan (Karma) pada umumnya dimotivasi oleh kepentingan pribadi ataupun keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Sedangkan di dalam Karma Yoga, tindakan/kegiatan bersifat tanpa keinginan (desireless). Karma adalah sumber penyebab kelahiran, kematian dan kelahiran-kembali; sedangkan Karma Yoga justru menuntun kita menuju pembebasan dari kelahiran-kembali. Annggaplah setiap bentuk kegiatan pelayanan sebagai salah-satu wujud Karma Yoga – yaitu melayani tanpa harapan imbal-balik, dan bahkan tanpa disertai oleh perasaan bahwa seolah-olah engkau sedang ‘melayani’ orang lain. Pelayanan yang diberikan kepada siapapun pada hakekatnya adalah pelayanan kepada Divine.

- BABA

Thoughts for the Day - 26th December 2007 (Wednesday)




The whole world is like a mansion and various countries are like different rooms in it. So, do not divide humanity on the basis of nationality. It is because of such divisions that humanness is on the decline. Sai devotees should not entertain any such differences. All should stand united. Names, forms and colours of people may be different, but the entire humanity is one family. God is one, all human beings belong to the Divine family.

Seisi dunia ini adalah bagaikan sebuah gedung dan berbagai negara diibaratkan sebagai ruangan-ruangan yang di dalamnya. Oleh sebab itu, janganlah membeda-bedakan umat manusia dengan berdasarkan kebangsaannya. Justru oleh karena pembedaan-pembedaan seperti inilah, maka terjadi kemerosotan dalam nilai-nilai kemanusiaan. Para bhakta Sai jangan mempunyai pandangan seperti itu. Semuanya harus saling bersatu. Walaupun nama, rupa dan warna kulit saling berbeda, namun seluruh umat manusia adalah bagaikan satu keluarga besar. Tuhan Maha Esa, setiap orang adalah anggota keluarga Divine.

BABA

Thoughts for the Day - 25th December 2007 (Christmas/Tuesday)




Jesus sanctified his body by sacrificing it for saving others. He was conscious of that supreme purpose and duty. With faith in the oneness of humanity, he stood against his opponents and critics and withstood their onslaughts. Every saint and prophet who strove to uplift the downtrodden and open the eyes of those blind to the splendour of God, was ready and willing for the ultimate sacrifice. One has to welcome trouble as it provides a chance for sacrificing everything for upholding truth and righteousness. Regard yourselves as embodiments of Love and dedicate your lives, like Jesus did, to the service of your fellowmen.

Melalui pengorban-Nya dalam menyelamatkan yang lain, Yesus telah mensucikan badan jasmani-Nya. Beliau menyadari sepenuhnya maksud/tujuan serta tugas/tanggung-jawab-Nya yang mulia. Dengan berbekal keyakinan atas prinsip persatuan seluruh umat manusia, Yesus berdiri dengan tegar dalam menghadapi serangan lawan-lawan-Nya. Setiap rishi dan sadhu yang berjuang untuk membuka mata batin terhadap kemuliaan Tuhan, mereka sudah siap dan rela untuk berkorban. Demikianlah, engkau harus siap untuk menyambut persoalan-persoalan, sebab problem tersebut memberikan kesempatan bagimu untuk berkorban demi untuk menegakkan kebenaran dan kebajikan. Perlakukanlah dirimu sebagai perwujudan cinta-kasih serta dedikasikanlah kehidupanmu seperti halnya yang telah dilakukan oleh Yesus, yaitu dengan jalan memberikan pelayanan kepada sesama.

BABA

Saturday, December 22, 2007

Thoughts for the Day - 24th December 2007 (Monday)




The world is made up of objects. It is inert. In the waking sense, the senses cognise all these objects. But the senses are also inert. The eyes that see, the ears that hear, the tongue that speaks and the nose that smells - all of them are jada (inert). In fact, the entire body is inert. But all these inert objects are able to function because of the presence of Chaitanya (consciousness) in the mind. Thus we have to realise that the entire phenomenal universe is jada.

Alam semesta atau dunia ini terbentuk dari benda-benda materi, yang mana semuanya bersifat inert (lembam). Dalam keadaan terjaga (terbangun), panca indera kita sanggup untuk mengenali berbagai macam objek. Tetapi sebenarnya indera-indera tersebut juga bersifat inert. Mata yang melihat, telinga yang mendengar, lidah yang berbicara serta hidung yang mencium – semuanya bersifat jada (inert). Bahkan seluruh badan jasmani ini bersifat inert juga. Akan tetapi, semua obyek-obyek inert itu bisa berfungsi oleh karena adanya Chaitanya (kesadaran) di dalam batin. Oleh sebab itu, kita harus menyadari bahwa seluruh fenomena di alam semesta ini adalah inert (jada) adanya.

-BABA

Thoughts for the Day - 23rd December 2007 (Sunday)




God is present in every human being as a seed. For a seed to become a plant, earth and water are essential, likewise for the Divine seed in man to grow and blossom into a flower of Sath-Chith-Ananda (Being-Awareness-Bliss), it needs Bhakti (devotion) and Shraddha (faith and earnestness). It is not enough if one merely turns the mind towards God, one must endeavour to experience the presence of the Divine in every particle and at every moment. One must fill the mind with pure and sacred thoughts.

Tuhan eksis di dalam diri setiap orang bagaikan benih (tanaman). Agar benih tanaman tersebut dapat tumbuh menjadi sebatang pohon, maka diperlukan tanah dan air. Nah, demikian pula, agar benih Divinity dapat tumbuh dan berkembang menjadi bunga Sath-Chith-Ananda (Kebenaran-Kesadaran-Kebahagiaan), maka dibutuhkanlah Bhakti (devotion) dan Shraddha (keyakinan dan keuletan). Tidaklah cukup bila engkau hanya menolehkan batinmu ke arah Tuhan, sebab masih diperlukan upaya-upaya untuk merasakan kehadiran Divine di dalam setiap partikel dan di setiap waktu. Engkau harus mengisi batinmu dengan pikiran yang suci dan murni.

-BABA

Friday, December 21, 2007

Thoughts for the Day - 22nd December 2007 (Saturday)


God is everything, so one cannot claim anything as one’s own. But people claim everything, saying, ‘it is mine’. Indeed, nothing belongs to anyone. People are immersed in the false and foolish concept of ownership; possessiveness is rampant in every thought and action, and that leads to the inflation of the ego. Egoism has to be utterly eradicated. Possessiveness should be banished. Be aware that all things belong to God. You came with empty hands, and you go back with empty hands.

Tuhan adalah segala-galanya, oleh sebab itu, tak ada seorangpun yang bisa mengklaim sesuatu sebagai miliknya sendiri. Namun ironisnya, justru banyak orang yang mengklaim segalanya, sembari mengatakan bahwa ini adalah ‘milikku’. Ketahuilah bahwa tak ada sesuatupun di dunia ini yang merupakan hak eksklusif milik seseorang. Manusia telah terlanjur mengadopsi cara pandang yang salah dan bodoh tentang hal kepemilikan ini; perilaku yang serba memiliki ini telah merasuk dalam setiap bentuk pikiran dan perbuatan, sehingga pada akhirnya menimbulkan pengelembungan sang ego. Padahal justru egoisme haruslah dilenyapkan. Sikap kepemilikan haruslah dimusnahkan. Sadarilah bahwa segalanya adalah kepunyaan Tuhan. Engkau datang dengan tangan yang kosong, dan pada akhirnya engkau juga harus pergi (meninggal) dengan tangan yang kosong pula.

-BABA

Saturday, December 15, 2007

Thoughts for the Day - 20th December 2007 (Thursday)

It is not possible to consider Creation and the Creator, Nature and God as different or separate from each other. Just as the bubble is born in water, stays on water and disappears in water, so too the Cosmos is born in the Absolute, exists as a part of the Absolute and merges back in the Absolute. Recognise the truth that just as the bubble cannot be conceived without water, the Cosmos cannot be conceived without God.

Kita tidak bisa menganggap ciptaan dan Sang Pencipta, alam dan Tuhan sebagai entitas yang berbeda dan saling terpisah. Seperti halnya gelembung yang lahir di atas air, berdiam sebentar dan kemudian menghilang untuk kembali bersatu dengan air; maka demikian pulalah, Kosmos (alam semesta) terlahir di dalam Absolut, eksis sebagai bagian dari-Nya dan kemudian bersatu kembali kepada-Nya. Sebagaimana gelembung air yang tidak bisa eksis tanpa air, maka demikian pula, alam semesta tidak bisa eksis tanpa Tuhan.

-BABA

Thoughts for the Day - 21st December 2007 (Friday)

Many people imagine that to divinise man and make him a godly being is a super-human exercise. This is not so. Divine Love is well within the reach of man. It is his natural state. He is entitled to possess it. Divine Love should not be considered as something transcendental or alien to man. But, men tend to degrade this love by giving it different forms and names.

Banyak orang yang menyangka bahwa untuk merealisasikan Divinity, diperlukan latihan yang luar-biasa beratnya. Padahal tidaklah demikian halnya. Cinta-kasih Divine berada di dalam jangkauanmu, sebab memang memang Divinity adalah sifat asli manusia. Engkau mempunyai kelayakan untuk memilikinya. Cinta-kasih Ilahi bukanlah sesuatu yang bersifat asing. Justru manusia yang merendahkan cinta-kasih suci itu dengan cara memberinya berbagai macam nama dan rupa yang berbeda-beda.

-BABA

Thoughts for the Day - 19th December 2007 (Wednesday)

The word 'Vairagya' literally means that which is opposed to Raga (attachment). Vairagya does not mean that you should give up everything and retire in to a forest. Vairagya really means you should stay where you are, in whatever station of life you are in, and understand the subtle nature of things, while giving up worldly desires. It means that by using discrimination you should know what to accept and what to reject. You should strive to recognise the divinity in every object you see and enjoy it. Vairagya is not merely giving up things. It consists in enjoying, without attachment, things which were previously enjoyed with attachment. That is real Vairagya. That is the mark of a true human being.

Istilah ‘Vairagya’ secara harfiah diartikan sebagai sesuatu yang berlawanan dengan Raga (kemelekatan). Vairagya bukan berarti bahwa engkau harus melepaskan segalanya dan kemudian mengasingkan diri ke dalam hutan. Pengertiannya yang benar adalah bahwa engkau harus tetap pada tempatmu semula dalam kehidupan ini, dan memahami kaidah hakiki dari segala sesuatu di dunia ini sembari meninggalkan keinginan-keinginan duniawi. Dengan perkataan lain, pergunakanlah kemampuan diskriminatifmu untuk mengetahui yang mana yang harus diterima dan yang mana yang harus ditolak. Berusahalah untuk mengenali divinity di dalam setiap obyek yang engkau lihat dan nikmati. Vairagya bukan sekedar berarti meninggalkan segalanya, tetapi ia lebih tepat diartikan sebagai menikmati “sesuatu” tanpa adanya unsur kemelekatan; yaitu sesuatu yang sebelumnya justru dinikmati secara melekat. Inilah Vairagya yang sebenarnya. Inilah pertanda seorang manusia sejati.

-BABA

Thoughts for the Day - 18th December 2007 (Tuesday)


Active participation in society, in a spirit of dedication and surrender, conceiving all acts as worship and all men as the embodiments of the Supreme, is one of the best forms of Sadhana (spiritual practises). For, there is no place where He is not; no object which is not Divine. The Vedas declare that that the Supreme willed and became all this. Worship, undertaking pilgrimages, etc. are only means to an end. The goal is the realisation of the ultimate truth that "God and I are One." That alone can fill the heart with permanent bliss.

Bentuk-bentuk Sadhana (praktek spiritual) yang terbaik meliputi: partisipasi aktif (pelayanan) di tengah-tengah masyarakat yang dilandasi oleh semangat dedikasi dan penyerahan diri, sembari memperlakukan setiap tindakan sebagai bentuk ibadah dan bahwa setiap orang adalah merupakan perwujudan Ilahi. Ketahuilah bahwa Tuhan eksis dimana-mana; tiada obyek tanpa Divine. Kitab suci Veda telah mendeklarasikan bahwa Tuhan berkehendak dan jadilah semuanya ini. Ibadah, jiarah dan sejenisnya hanya merupakan cara-cara untuk mencapai tujuan akhir; yaitu: realisasi atas kebenaran hakiki bahwa “Tuhan dan aku adalah satu”. Hanya melalui realisasi tertinggi itulah, maka hatimu akan dipenuhi oleh kebahagiaan abadi.
-BABA

Thoughts for the Day - 17th December 2007 (Monday)

What is the meaning of ‘Ceiling on Desires’? People become deluded by unlimited desires, and live in a dream world. It is most important to keep desires under control, to put a ceiling on them. People are spending too much money. Instead of spending inordinately for their own pleasure, one should be spending for the relief of the poor and the needy. This is the meaning of the ‘Ceiling on Desires’ programme. Do not make the mistake of thinking that giving away money is all that is needed, giving away to others while allowing your own desires to continue to multiply. Curtail your desires, for materialistic desires lead to a restless and disastrous life. Desires are a prison. One can be freed only by limiting one’s wants.

Apakah yang dimaksud dengan ‘Ceiling on Desires’ (pembatasan keinginan)? Banyak orang yang terhanyut dalam keinginannya yang tak pernah terbatas serta hidup dalam dunia mimpi. Sangatlah penting bagi kita untuk menjaga agar keinginan kita berada dalam kendali, yaitu dengan cara membatasinya. Orang-orang menghabis uang yang terlalu banyak (untuk memenuhi keinginannya). Daripada menghambur-hamburkan uang demi untuk kesenangannya semata-mata, adalah lebih baik bila engkau mengalokasikannya demi untuk meringankan beban penderitaaan mereka yang miskin dan yang membutuhkan pertolongan. Inilah arti sebenarnya dari program ‘Ceiling on Desires.’ Janganlah engkau menganggap bahwa memberikan uang saja sudah cukup, sebab apabila engkau membiarkan keinginanmu tetap bertambah secara tidak terkendali, maka usahamu itu adalah sia-sia belaka. Kurangilah keinginanmu, sebab keinginan materialistik hanya akan menjurus kepada kehancuran serta kehidupan yang kacau. Keinginan adalah bagaikan penjara. Engkau hanya bisa bebas bila engkau membatasi kemauanmu.

-BABA

Thoughts for the Day - 16th December 2007 (Sunday)

A bamboo is valued in terms of its thickness and height. The sugarcane gets its value from its juice. The worth of a human being is based on his Buddhi (intellect). The more the intellect develops, the better one becomes. As the intellect declines, the human descends to the level of animal. Man's worth has declined today because he does not recognise the importance of the intellect and of conduct based on proper discrimination. The form is human, but the thinking is at the animal level. Man has earned the appellation of "two-legged animal." Having acquired the human form, man should conduct himself with intelligence. This is achieved through Thyaga (renunciation) and Yoga (spiritual discipline).

Bernilai atau tidaknya sebatang bambu ditentukan oleh ketebalan dan ketinggiannya. Batang tebu menjadi berharga oleh karena kandungan sari-manisnya. Sementara itu, untuk manusia, yang menjadi patokan nilainya adalah didasarkan pada Buddhi (intellect/kemampuan diskriminatifnya untuk membedakan antara yang baik dan yang tidak baik). Bila intellect seseorang semakin berkembang, maka orang tersebut akan menjadi semakin baik (bernilai). Sebaliknya, jikalau seseorang mengalami degradasi intellect, maka ia akan turun ke level hewaniah. Dewasa ini, ahlak umat manusia sedang mengalami kemerosotan sebagai akibat oleh karena manusia tidak menyadari pentingnya memiliki intellect dan perilaku yang bajik sesuai dengan arahan buddhi masing-masing. Walaupun wujudnya adalah manusia, namun cara berpikirnya lebih menyerupai hewan. Itulah sebabnya, ia dijuluki sebagai “hewan berkaki-dua.” Setelah berhasil terlahir sebagai wujud manusia, maka sudah selayaknyalah ia berperilaku sesuai dengan arahan buddhi (intelligence). Hal ini hanya bisa tercapai apabila manusia mempraktekkan Thyaga (pengendalian diri/praktek ketidak-melekatan) dan Yoga (disiplin spiritual).

-BABA

Friday, December 14, 2007

Thoughts for the Day - 15th December 2007 (Saturday)




Worldly life is full of sorrow and suffering. Lord Krishna said in the Bhagavad Gita - "Anityam asukham loke imam prapya bhajasvamaam" meaning the world is ephemeral and full of misery; contemplate on Me constantly. Having taken human birth, you must find fulfilment in life. You must pursue a noble path. Do not get inflated by praise; be above praise and blame. Foster peace. Where is peace? It is not available in the market ready for sale! Peace is to be found within you. In the world outside, you find only 'pieces'.

Kehidupan duniawi penuh dengan kesedihan dan penderitaan. Batara Krishna telah mendeklarasikan dalam kitab Bhagavad Gita “Anityam asukham loke imam prapya bhajasvamaam”, artinya: dunia ini bersifat maya dan penuh dengan penderitaan, oleh sebab itu, lakukanlah kontemplasi kepada-Ku secara konstan. Oleh karena engkau sudah terlahir sebagai manusia, maka engkau harus mencapai tujuan tertinggi dari kehidupan ini. Engkau harus mengikuti jalan yang luhur dan mulia. Janganlah engkau menjadi lupa-daratan ketika dipuji; buatlah dirimu agar tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan. Peliharalah kedamaian. Dimanakah kedamaian itu terdapat? Ia bukanlah suatu komoditi yang dijual bebas di pasar! Kedamaian hanya bisa dijumpai di dalam dirimu sendiri. Yang terdapat di luar hanyalah ‘pieces’ (ketidak-akuran, ketidak-tentraman, dan lain-lain).

-BABA

Thursday, December 13, 2007

Thoughts for the Day - 14th December 2007 (Friday)



When you have attained true wisdom, you will find that good fortune should not be gloated over, nor bad fortune grieved over. The wise one treats both the good and the bad with equal unconcern. They are the gentle breeze and storms that cannot affect the depths of the Ocean of Bliss in the heart of man.

Apabila engkau sudah mencapai tingkat kebijaksanaan sejati, maka engkau akan mendapati bahwa keberuntungan (hokki) bukanlah sesuatu hal yang perlu disenangi secara berlebihan dan demikian pula, ketidak-beruntungan bukanlah sesuatu yang perlu terlalu amat disesalkan. Orang yang bijak akan memperlakukan kedua peristiwa tersebut dengan batin yang seimbang. Kejadian-kejadian itu adalah bagaikan angin lembut dan badai yang tidak akan bisa mempengaruhi kedalamanan dari samudera bliss di dalam hati manusia.

-BABA

Wednesday, December 12, 2007

Thoughts for the Day - 13th December 2007 (Thursday)




Meditate on the Truth and you will find that you are but a sparkling bubble upon the waters; born on water, living for a brief moment on water and merging back in to it. You owe your birth to God; you subsist on God and you merge in God. Every living thing, and for that matter, even non-living things have to reach that consummation. So do it now; take the first step. Purify your heart, sharpen your intellect or at least start chanting the name of God. The rest will follow in due course of time.

Bermeditasilah atas nilai kebenaran (the Truth), maka dengan demikian, engkau akan menyadari bahwa dirimu adalah bagaikan gelembung air; terlahir di atas air, hidup untuk sementara dan kemudian bersatu kembali. Kelahiranmu sebagai manusia adalah merupakan anugerah dari Tuhan; engkau mengantungkan hidupmu kepada-Nya sehingga pada akhirnya akan kembali bersatu dengan-Nya. Setiap mahluk hidup dan bahkan juga benda-benda tak bernyawa mempunyai sasaran/tujuan akhir yang sama. Oleh sebab itu, mulai ambillah langkah pertama sekarang juga. Sucikan hati nuranimu, pertajam intellect (buddhi) atau setidaknya mulailah mengkidungkan nama-nama Tuhan (namasmarana). Langkah awal ini selanjutnya akan diikuti oleh banyak hal-hal lainnya pada waktunya yang sesuai.

-BABA

Tuesday, December 11, 2007

Thoughts for the Day - 12th December 2007 (Wednesday)




Ahimsa (non-violence) means not causing harm to anyone, but it is not merely refraining from inflicting injuries on others with one’s limbs or weapons. Non-violence also has to be practiced with purity of mind, tongue and body. There should be no ill-feelings, for that too is a form of violence. To cause bodily harm to another is violence, but so is speaking harshly. Your speech should be sweet, pleasing and wholesome. All your actions should be helpful to others.

Ahimsa (tanpa-kekerasan) diartikan sebagai tidak melukai siapapun juga, namun pengertiannya yang lebih luas bukan hanya sekedar tidak melukai orang lain melalui organ tubuh kita ataupun senjata. Non-violence (tindakan tanpa kekerasan) juga harus dipraktekkan dalam kemurnian batin, mulut (ucapan) dan badan fisik. Janganlah mempunyai niat yang jahat, sebab niat yang jelek juga merupakan bentuk kekerasan. Demikian pula, janganlah bertutur-kata secara kasar. Ucapanmu haruslah lembut, menenangkan dan enak didengar. Semua jenis tindakanmu haruslah bermanfaat bagi orang lain.

-BABA

Monday, December 10, 2007

Thoughts for the Day - 11th December 2007 (Tuesday)




The importance of the mind in the process of transformation should be properly understood, because it is the mind that is the cause of both bondage and liberation. Your own actions are the cause of your happiness or sorrow. Do not blame others for your condition. Every thought, every word and every action has its reflection, resound and reaction. It is a sign of weakness to blame others for your troubles. You have to bear the consequences of your own actions. If they are unbearable, pray to God for relief. God alone can give relief in such cases.

Kita harus memahami secara benar tentang pentingnya mind (batin) dalam proses transformasi diri, sebab adalah mind yang merupakan sumber penyebab dari kemelekatan maupun pencerahan (pembebasan). Tindakanmu merupakan sumber penyebab atas kebahagiaan maupun kesedihanmu. Janganlah menyalahkan orang lain atas kondisi yang engkau alami. Setiap bentuk pikiran, ucapan maupun perbuatan akan mempunyai refeksi, resound dan reaksinya. Jikalau engkau menyalahkan orang lain atas problema yang engkau hadapi, maka itu adalah merupakan tanda-tanda kelemahan dirimu sendiri. Engkau harus menanggung konsekuensi dari perbuatanmu. Jikalau beban tersebut terasa sangat berat untuk dipikul, maka berdoalah kepada Tuhan untuk meminta bantuan, sebab hanya Tuhan sajalah yang sanggup untuk memberi penyelamatan bagimu.

-BABA

Thursday, December 6, 2007

Thoughts for the Day - 10th December 2007 (Monday)




The person who is a slave to the mind will not find peace or happiness in life. The body is a mansion which has been projected by the mind for its own joy. Some waste their lives by expending their energy in looking after the body. Some others increase their attachment through thoughtless repetition of spiritual exercises, reducing them to mere ritual. The wise man is he who controls the mind and purifies the heart by filling it with good thoughts.

Manusia yang menjadikan batinnya sebagai budaknya tidak akan pernah memperoleh kedamaian maupun kebahagiaan dalam kehidupannya. Badan jasmani ini bagaikan sebuah gedung megah yang diproyeksikan oleh batin demi untuk kesenangannya semata. Ada orang yang menyia-nyiakan kehidupannya dengan cara menghambur-hamburkan energinya hanya demi untuk keindahan badan jasmaninya. Sementara itu, sebagian lainnya justru semakin meningkatkan kemelekatannya dengan cara mengulang-ulang latihan spiritual secara tanpa makna sehingga praktek spiritual tersebut mengalami degradasi nilai dan hanya menjadi praktek ritualistik belaka. Manusia yang bijak adalah mereka yang mengendalikan batinnya serta memurnikan hatinya melalui pikiran-pikiran yang bajik.

-BABA

Thoughts for the Day - 9th December 2007 (Sunday)




Grasp as the bow the great weapon furnished by the Upanishads, and fix in it an arrow sharpened by meditation. Draw it with the mind concentrated on Brahman (Godhead), and hit the target, the immortal Brahman without losing aim. Pranava (the sound of 'Om') is the bow, Atma (soul) is the arrow, Brahman is the target. So, the Sadhaka (spiritual aspirant) must, like the expert archer, be unaffected by things that agitate the mind. He should pay one-pointed attention to the target. Then, he becomes the thing meditated upon.

Ambillah busur yang merupakan senjata yang telah diberikan oleh kitab Upanishad, arahkanlah sebuah anak panah yang telah dipertajam melalui latihan meditasi. Tariklah anak-panah itu dengan batin yang terkonsentrasi pada Brahman (Tuhan), dan lesatkanlah anak-panah itu agar mengenai target atau sasarannya, yaitu Brahman yang immortal (abadi). Pranava (suara ‘Aum’) adalah sebagai busur tadi, Atma (jiwa) sebagai anak-panahnya, dan Brahman sebagai targetnya. Dengan perkataan lain, seorang Sadhaka (aspiran spiritual) haruslah menjadikan dirinya sebagai pemanah yang ulung, yang tidak terpengaruh oleh agitasi batin atau pikirannya. Ia harus memberikan perhatian yang terfokus pada targetnya. Dengan demikian, kelak ia akan menjadi satu dengan obyek meditasinya.

-BABA

Thoughts for the Day - 8th December 2007 (Saturday)




There is none to question Me if I do not act; there is nothing I would lose if I do not engage in activity. Nor have I any great urge to be active. Yet, you see Me very active. The reason is that I must be doing something all the time for your sake, as an example and inspiration. Those who lead must set an example for others to follow; and those who command must themselves carry out what they expect others to do. I am engaged in activity so that you learn to transmute every minute into a golden chance to enable you to move towards Godhead.

Seandainya kalau Aku tidak melakukan sesuatu, maka tidak akan ada orang yang akan mempermasalahkannya; demikian pula, tidak ada ruginya bagi-Ku bila Aku tidak terlibat dalam aktivitas-aktivitas karena sebenarnya tidak ada kepentingan bagi-Ku untuk senantiasa aktif. Akan tetapi, walaupun begitu, engkau melihat bahwa Aku sangatlah aktif. Adapun alasannya adalah karena Aku harus melakukan sesuatu setiap saat demi untuk kepentinganmu, yaitu agar dapat menjadi contoh teladan dan sebagai sumber inspiratif. Mereka yang menjadi pemimpin haruslah menjadi contoh yang baik untuk diikuti oleh yang lainnya, dan mereka yang sedang memerintah haruslah terlebih dahulu melaksanakan hal-hal yang ia harapkan untuk dikerjakan oleh orang lain. Aku senantiasa terlibat dalam aktivitas agar engkau bisa belajar untuk mentransformasikan setiap saat yang tersedia menjadi kesempatan emas yang memungkinkanmu untuk melangkah mendekati ke-Tuhan-an.

-BABA

Thoughts for the Day - 7th December 2007 (Friday)




When Bhaktas (devotees) pray to Bhagawan (God) sincerely making all their actions as offering to God, they will certainly receive appropriate grace from the Divine. There are nine types of devotion. Shravanam (listening to the glory of the Lord), Keerthanam (singing), Vishnusmaranam (remembering), Padasevanam (adoration), Vandanam (saluting), Archanam (worshipping), Dasyam (obedient service), Sneham (friendship) and Atmanivedanam (self-surrender). In whichever way you offer worship, God responds in the same way. When you surrender all your actions, you will surely receive His Grace.

Ketika para bhakta berdoa kepada Bhagawan (Tuhan) secara tulus sembari mempersembahkan setiap bentuk tindakan/perbuatan kepada-Nya, maka mereka pasti akan menerima rahmat yang setimpal dari Divine. Terdapat sembilan jenis bhakti atau devotion, yaitu: Shravanam (mendengarkan kemuliaan Tuhan), Keerthanam (bernyanyi), Vishnusmaranam (senantiasa ingat kepada-Nya), Padasevanam (memuja lotus Feet-Nya), Vandanam (penghormatan melalui pengkidungan nama-nama suci-Nya), Archanam (pemujaan terhadap aspek rupang-Nya), Dasyam (tindakan pelayanan), Sneham (persahabatan dengan-Nya) dan Atmanivedanam (penyerahan diri). Dengan cara bagaimanapun juga engkau beribadah, Tuhan akan memberikan response-Nya. Ketika engkau memasrahkan semua tindakanmu, maka engkau pasti akan menerima rahmat dari-Nya.

-BABA

Wednesday, December 5, 2007

Thoughts for the Day - 6th December 2007 (Thursday)




Bhakti (Devotion to God) is like a king who has two attendants called wisdom and detachment. Bhakti must be built upon the foundation of wisdom; it must blossom in to detachment from the world. Prema (Love) gives rise to Daya (compassion), Vairagya (detachment) and induces Dama (self-control) and finally leads us along the path of Dharma (righteousness).

Bhakti (devotion kepada Tuhan) adalah ibarat seorang raja yang mempunyai dua orang pengawal bernama: kebijaksanaan dan ketidak-melekatan. Bhakti haruslah dibangun di atas landasan kebijaksanaan; ia harus tumbuh mekar menjadi ketidak-melekatan atas hal-hal yang bersifat duniawi. Prema (cinta-kasih) menghasilkan Daya (welas-asih), Vairagya (ketidak-melekatan) dan selanjutnya membuahkan Dama (pengendalian diri); sehingga pada akhirnya akan menuntun kita di sepanjang jalan Dharma (kebajikan).

-BABA

Tuesday, December 4, 2007

Thoughts for the Day - 5th December 2007 (Wednesday)




Once the organs of the body like eyes, ears, limbs became jealous of the tongue, saying that they make all efforts for securing food, but the tongue enjoys this. They stopped working and never sent any food. Tongue is the one that tastes the food and passes only palatable items of food inside, which is converted by the internal organs into energy giving blood. The tongue does not retain it. But for this vital part played by the tongue, the other organs would not be able to function at all. When the other organs became jealous of the tongue and stopped sending food with a view to harm it, they spelt their own ruin by such action, as they could not function when there was no food and consequently no supply of energy for these organs to function. Similarly, jealousy on the part of a person ultimately results in his own ruin.

Suatu ketika, organ-organ tubuh seperti mata, telinga, tangan dan kaki merasa cemburu terhadap lidah; mereka berargumentasi bahwa masing-masing dari mereka telah bersusah-payah untuk mencari makan tetapi yang menikmatinya justru hanya si lidah. Oleh karena kecemburuannya, organ-organ tubuh itupun mogok kerja dan tidak mau memberikan asupan makanan kepada lidah. Padahal sebenarnya, organ lidah hanya mencicipi makanan itu dan kemudian langsung meneruskan zat-zat bermanfaat untuk dikonversikan oleh organ-organ di dalam tubuh menjadi sumber energi di dalam darah. Sang lidah sama sekali tidak menyimpan makanan tersebut untuk dirinya sendiri. Tanpa fungsi vital yang diperankan oleh lidah, maka organ tubuh lainnya tidak akan bisa berfungsi sama sekali. Tindakan mogok kerja yang dilakukan oleh organ tubuh lainnya (sebagai akibat kecemburuan), justru akan bersifat merugikan bagi dirinya sendiri; sebab organ-organ tersebut tidak akan bisa berfungsi tanpa adanya asupan energi. Analogi ini menjelaskan bahwa kecemburuan berpotensi untuk mengakibatkan kehancuran bagi mereka yang memiliki sifat tersebut.

-BABA

Monday, December 3, 2007

Thoughts for the Day - 4th December 2007 (Tuesday)




Truth is one. It is beyond mind and speech. It transcends the limitations of time and space. Innumerable seekers have pursued different paths to recognise this Truth. There are notable differences among the seekers of Truth. These differences do not affect the nature of Reality. On the contrary, it is the existence of these differences that has spurred the continuous search for a unifying principle.
Kebenaran bersifat Tunggal. Ia berada di luar jangkauan pikiran dan kosa-kota, dan ia juga tidak terpengaruhi oleh ruang dan waktu. Sudah tak terhitung banyaknya para kaum aspiran yang menempuh berbagai macam cara untuk mengenali kebenaran hakiki ini. Antara satu aspiran dengan aspiran lainnya terlihat perbedaan yang cukup signifikan. Namun di atas segalanya, perbedaan-perbedaan itu sama sekali tidak mempengaruhi realitas yang sebenarnya. Malahan, eksistensi dari keaneka-ragaman interpretasi itu justru semakin mendorong pencarian satu prinsip pemersatu (unifying principle).
-BABA

Saturday, December 1, 2007

Thoughts for the Day - 3rd December 2007 (Monday)



Man is burdened with the delusion that the temporary is eternal. Long identification has trained him so; so he has to be re-educated into the right vision. The absolute reality that persists unchanged is this ' I '. All else is unreal, appearing as real. The ' I ' in you is Paramatma (God) Himself. The waves play with the wind for a moment over the deep waters of the sea. It gives you the impression that it is separate from the ocean below, but it is just an appearance - a creation of the two ideas of Name and Form. Get rid of the two ideas and the wave disappears into the sea; its reality flashes upon you and you realise that God is present in man as Love.

Manusia memiliki pandangan keliru yang menganggap bahwa sesuatu yang temporer sebagai bersifat abadi. Identifikasi yang salah tersebut sudah berlangsung sejak lama; oleh sebab itu manusia harus dididik kembali dengan pandangan yang benar. Terdapat satu realitas absolut yang tidak mengalami perubahan, yaitu yang dikenal sebagai ‘I’, yaitu Sang Paramatma (Tuhan) yang ada di dalam dirimu. Segala hal lainnya adalah bersifat semu, hanya saja ia menampakkan dirinya seolah-olah real (asli). Riak gelombang samudera berinteraksi dengan hembusan angin. Gelombang-gelombang itu memberikan impresi seolah-olah ia terpisah dari samudera yang ada di bawahnya, namun ketahuilah bahwa hal tersebut hanya penampakkan luarnya saja, ibarat nama dan rupa. Apabila engkau dapat terlepas dari delusi itu (yang seolah-olah menganggap gelombang dan samudera saling terpisah), maka kebenaran akan terbersit di dalam dirimu dan engkau akan menyadari bahwa Tuhan eksis di dalam diri setiap insan sebagai cinta-kasih.

-BABA

Thoughts for the Day - 3rd December 2007 (Monday)



Man is burdened with the delusion that the temporary is eternal. Long identification has trained him so; so he has to be re-educated into the right vision. The absolute reality that persists unchanged is this ' I '. All else is unreal, appearing as real. The ' I ' in you is Paramatma (God) Himself. The waves play with the wind for a moment over the deep waters of the sea. It gives you the impression that it is separate from the ocean below, but it is just an appearance - a creation of the two ideas of Name and Form. Get rid of the two ideas and the wave disappears into the sea; its reality flashes upon you and you realise that God is present in man as Love.

Manusia memiliki pandangan keliru yang menganggap bahwa sesuatu yang temporer sebagai bersifat abadi. Identifikasi yang salah tersebut sudah berlangsung sejak lama; oleh sebab itu manusia harus dididik kembali dengan pandangan yang benar. Terdapat satu realitas absolut yang tidak mengalami perubahan, yaitu yang dikenal sebagai ‘I’, yaitu Sang Paramatma (Tuhan) yang ada di dalam dirimu. Segala hal lainnya adalah bersifat semu, hanya saja ia menampakkan dirinya seolah-olah real (asli). Riak gelombang samudera berinteraksi dengan hembusan angin. Gelombang-gelombang itu memberikan impresi seolah-olah ia terpisah dari samudera yang ada di bawahnya, namun ketahuilah bahwa hal tersebut hanya penampakkan luarnya saja, ibarat nama dan rupa. Apabila engkau dapat terlepas dari delusi itu (yang seolah-olah menganggap gelombang dan samudera saling terpisah), maka kebenaran akan terbersit di dalam dirimu dan engkau akan menyadari bahwa Tuhan eksis di dalam diri setiap insan sebagai cinta-kasih.

-BABA

Thoughts for the Day - 2nd December 2007 (Sunday)



When a severe pain torments you, the doctor gives you a morphine injection and then you do not suffer any more. In the same way, the grace of God acts to take away the element of suffering from the Karma (consequences of past actions) which you have to undergo. It is incorrect to say that one's fate is entirely determined. Nothing can stand in the way of the grace of the Almighty.

Ketika rasa sakit yang amat sangat sedang menggerogotimu, maka sang dokter akan memberikan injeksi morfin supaya engkau tidak merasakan sakit itu. Dengan cara yang sama, berkat rahmat Tuhan, maka penderitaan yang ditimbulkan oleh Karma (konsekuensi perbuatan di masa lampau) akan dapat diringankan. Oleh sebab itu, adalah tidak tepat bila ada yang mengatakan bahwa nasib adalah sesuatu yang sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi. Ketahuilah bahwa tidak ada yang bisa merintangi rahmat Ilahi dari Tuhan.

-BABA