Saturday, April 30, 2016

Thought for the Day - 30th April 2016 (Saturday)

Righteousness (Dharma) is the basis for the entire Universe. A true human being is one who practices the principle of dharma. Burning is the dharma of fire. Many often use the word dharma without knowing its true nature and majesty. Coolness is the dharma of ice. Fire is no fire without burning. Ice is no ice without coolness. Similarly, the dharma of a human lies in performing actions with the body and following the commands of the heart. Every act performed with thought, word, and deed in harmony is a dharmic act! A dharmic life is a divine life! This dharma of the heart is supreme and verily the dharma of life. You must achieve unity in thought, word, and deed at all costs.


Kebajikan (Dharma) adalah dasar dari seluruh alam semesta. Seorang manusia yang sejati adalah seseorang yang menjalankan prinsip dharma. Membakar adalah dharma dari api. Banyak yang sering menggunakan kata dharma tanpa mengetahui kualitasnya yang sejati dan keagungannya. Kesejukan adalah dharma dari es. Api bukanlah api jika tidak membakar. Es bukanlah es jika tanpa kesejukan. Sama halnya, dharma dari manusia terkait dalam melakukan perbuatan dengan tubuh dan mengikuti perintah dari hati. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam keharmonisan adalah termasuk ke dalam perbuatan dharma! Sebuah kehidupan dalam dharma adalah kehidupan illahi! Dharma dari hati ini adalah yang tertinggi dan pastinya adalah dharma dari kehidupan. Engkau harus mencapai kesatuan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam semua dalam keadaan apapun juga. (Summer Showers Ch2, May 20, 1996.)

-BABA

Friday, April 29, 2016

Thought for the Day - 29th April 2016 (Friday)

A person’s life depends upon three essential things - thoughts, words and deeds. When When desires arise, one immediately takes it to their mind. For any thought, mind is the basis. The thought that comes to your mind will be exposed to the world as a word from your mouth, and once you utter those words, then, to put it into practice, you take action. When you are able to apply these three—thought, word, and action along the right path, you earn merit (punya); but if you apply them along the wrong path, you earn sin. Thus for good and bad, you need thoughts, words, and deeds. Only when there is harmony between thoughts, words, and actions; you will be able to recognise your own true nature. To keep them pure and in harmony, you must undertake some kind of sadhana (spiritual practice). This is of utmost need today.

Hidup seseorang tergantung pada tiga hal yang bersifat mendasar – pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ketika keinginan muncul, seseorang langsung membawanya ke dalam pikiran mereka. Untuk setiap bentuk gagasan atau ide maka pikiran adalah dasarnya. Gagasan yang muncul di dalam pikiranmu akan diungkapkan ke dalam perkataan dan karena perkataan keluar melalui mulut, maka sekali engkau mengatakan perkataan itu maka engkau akan menjadikannya sebuah tindakan. Ketika engkau mampu menjalankan ketiga hal ini—pikiran, perkataan, dan tindakan dalam jalan yang benar maka engkau akan mendapatkan kebaikan (punya); namun jika engkau menjalankan ketiganya dalam jalan yang salah maka engkau melakukan dosa. Jadi untuk kebaikan dan keburukan, engkau memerlukan pikiran, perkataan dan perbuatan. Hanya ketika ada keharmonisan diantara pikiran, perkataan, dan perbuatan; engkau akan mampu untuk menyadari sifat sejatimu. Untuk tetap membuatnya menjadi suci dan harmonis maka engkau harus melakukan beberapa jenis sadhana (latihan spiritual). Ini adalah kebutuhan yang paling penting saat sekarang. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 2.)

-BABA

Thursday, April 28, 2016

Thought for the Day - 28th April 2016 (Thursday)

Without the control of your senses, your sadhana will be ineffective; it is like keeping water in a leaky pot! When the tongue craves for some delicacy, assert that you will not cater to its whims. If you persist in giving yourself simple food that is not savoury or hot, but amply sustaining, the tongue may squirm for a few days, but it will soon welcome it. That is the way to subdue it and overcome the evil consequences of its being your master. Since the tongue is equally insistent on scandal and lascivious talk, you have to curb that tendency also. Talk little, talk sweetly, talk only when there is pressing need. Also, talk only to those to whom you must, and do not shout or raise the voice in anger or excitement. Such control will improve health and mental peace. It will lead to better public relations and less involvement in contacts and conflicts with others.


Tanpa adanya pengendalian indriamu maka sadhanamu akan menjadi tidak efektif; hal ini seperti mengisi air pada gelas yang bocor! Ketika lidah menginginkan makanan yang lezat, dan engkau menegaskan untuk tidak memenuhi keinginannya dan malahan jika engkau tetap memberikan dirimu sendiri dengan makanan yang sederhana yang tidak lezat atau panas, namun sangat berlimpah dengan gizi, maka lidah mungkin menggeliat beberapa hari, namun lidah segera akan menerimanya. Ini adalah cara untuk menundukkannya dan mengatasi konsekwensi jahat dari menjadikannya majikanmu. Sejak lidah adalah sama gemarnya dalam berbicara tentang skandal dan mesum, engkau juga harus mengekang kecendrungan ini. Berbicaralah seperlunya, berbicaralah dengan sopan, berbicaralah ketika ada kebutuhan yang mendesak. Juga, berbicaralah pada mereka yang harus anda temui, dan jangan berteriak atau bersuara keras dalam kemarahan atau dalam kegembiraan. Pengendalian ini akan meningkatkan kesehatan dan kedamaian batinmu. Ini juga akan menuntun pada hubungan publik yang lebih baik dan kurang bersangkutan dalam kontak dan konflik dengan yang lainnya. (Divine Discourse, 23 Nov 1968)

-BABA

Thought for the Day - 27th April 2016 (Wednesday)

So long as one is dominated by sense pleasure, it cannot be said that their spiritual life has begun. Now many clamour for the experience of spiritual bliss, but few earn it, because they find themselves too weak to reject the clamour of the senses! A little enquiry will reveal that the senses are bad masters; the joy they bring is transitory and fraught with grief. Your devotion to God is best expressed by achieving control of the senses. For, the senses rush towards the temporary and the tawdry; thus, they foul the heart. I require from each of you, no valuable offering than the heart I endowed you with! Give Me that heart, as pure as when I gave it to you, filled with nectar of selfless love! Test all your actions, words, thoughts on this touchstone: "Will this be approved by God? Will this rebound to His renown?"


Selama seseorang dikuasai oleh indera kenikmatan maka ini tidak dapat dikatakan bahwa kehidupan spiritualnya telah dimulai. Sekarang banyak menuntut dengan keras tentang pengalaman dalam kebahagiaan spiritual, namun hanya sedikit yang mendapatkannya dan itu karena mereka menemukan diri mereka sendiri terlalu lemah untuk dapat menolak dorongan dari indera! Sebuah penyelidikan yang sederhana akan mengungkapkan bahwa indera adalah majikan yang jahat; suka cita yang diberikannya adalah bersifat sementara dan penuh dengan duka cita. Bhaktimu kepada Tuhan dapat diungkapkan dengan cara yang terbaik melalui pengendalian pada indera. Karena indera akan lari menuju pada yang bersifat sementara dan berkilauan tapi tidak berharga; jadi indera tersebut menodai hati. Aku menghendaki bahwa setiap orang dari kalian bahwa tidak ada persembahan yang lebih berharga daripada hati yang telah Aku berikan kepadamu! Berikanlah Aku hati yang semurni dengan ketika Aku memberikannya kepadamu, diliputi dengan nektar kasih yang tanpa mementingkan diri sendiri! Ujilah semua perbuatan, perkataan, dan pikiranmu pada batu uji ini: "Akankah ini akan disetujui oleh Tuhan? Akankah ini memantulkan kembali pada kemuliaan-Nya?" (Divine Discourse, 23 Nov 1968)

-BABA

Tuesday, April 26, 2016

Thought for the Day - 26th April 2016 (Tuesday)

Practise the three disciplines of silence, cleanliness and forbearance. In silence the voice of God can be heard, not in the revelry of noise. Through cleanliness you earn purity. By forbearance, you cultivate love. I am yours; you are Mine, forever and ever. I am in you; you are in Me. Hoist the Flag of Prasanthi in your own heart. The flag is a reminder of your duty to yourself. It reminds you to overcome the urge of low desires, of anger and hate when your desires are thwarted; it exhorts you to expand your heart so that you embrace all humanity, all life and all creation; it directs you to quieten your impulses and calmly meditate on your own inner reality. It assures you that, when you do so, the lotus of your heart will bloom, and from its center will arise the flame of divine vision, which guarantees prasanthi (infinite peace).


Jalankan tiga disiplin yaitu keheningan, kebersihan, dan kesabaran. Dalam keheningan suara Tuhan bisa didengarkan, dan bukan saat bising. Melalui kebersihan engkau memperoleh kesucian. Dengan kesabaran, engkau meningkatkan kasih sayang. Aku adalah milikmu; engkau adalah milik-Ku untuk selamanya. Aku ada di dalam dirimu; engkau ada di dalam diri-Ku. Naikkanlah bendera Prasanthi di dalam hatimu. Bendera adalah sebagai pengingat akan kewajibanmu bagi dirimu sendiri. Ini mengingatkanmu untuk mengatasi dorongan dari keinginan yang bersifat rendahan, kemarahan, dan kebencian ketika keinginanmu dihalangi; ini mendesakmu untuk mengembangkan hatimu sehingga engkau dapat memeluk semua umat manusia, semua kehidupan dan semua ciptaan; ini mengarahkanmu untuk menenangkan gerak hatimu dan dengan tenang bermeditasi pada kenyataan sejatimu di dalam diri. Ini juga memastikanmu bahwa ketika engkau menjalankan semuanya maka teratai hatimu akan mekar dan dari pusatnya akan muncul cahaya pandangan keillahian yang mana menjamin adanya prasanthi (kedamaian tidak terbatas). (Divine Discourse, 23 Nov 1968)

-BABA

Monday, April 25, 2016

Thought for the Day - 25th April 2016 (Monday)

Offer your entire self, your life Unto Him; then your adoration will transform and transmute you so fast and so completely that you and He can be merged into One. He thinks, feels and acts as you do; you think, feel and act as He does. You will be transformed as a rock is transformed by the sculptor, into an idol, deserving the worship of generations of sincere men. In the process you will have to bear many a hammer stroke, many a chisel-wound, for He is the sculptor. He is but releasing you from petrification! Offer your heart to the Lord, and gladly suffer transformation at His hands. Do not defile time, or the physical sheath, or this life's chance, using them for paltry ends. Your life is but one long pilgrimage which you entered when you were born, and may not end even when you die. Never forget that. Be pure, alert and humble as pilgrims ought to be.


Persembahkan seluruh dirimu dan juga hidupmu kepada-Nya; kemudian pemujaanmu akan berubah dan mengubahmu dengan begitu cepat dan sepenuhnya sehingga engkau dan Beliau dapat menyatu menjadi diri-Nya. Beliau berpikir, merasakan dan bertindak seperti yang engkau lakukan; engkau berpikir, merasakan, dan bertindak seperti yang Beliau lakukan. Engkau akan dirubah seperti halnya batu cadas dirubah oleh seorang pemahat menjadi sebuah wujud yang layak untuk dipuja oleh generasi selanjutnya dengan penuh kesungguhan. Dalam prosesnya engkau akan harus menanggung banyak pukulan martil, banyak luka pahatan, karena Beliau adalah pemahatnya. Beliau hanya melepaskanmu dari menjadi batu! Persembahkan hatimu kepada Tuhan dan dengan senang hati menerima penderitaan perubahan di tangan-Nya. Jangan mencemarkan waktu, atau tubuh atau kesempatan hidup ini, mempergunakan semuanya ini untuk hal yang tidak berharga. Hidupmu adalah sebuah perjalanan yang panjang ketika engkau memulainya saat engkau lahir dan mungkin bahkan belum selesai perjalanan itu ketika engkau meninggal. Jangan pernah melupakan hal itu. Jadilah suci, waspada, dan rendah hati seperti itulah perziarahan seharusnya. (Divine Discourse, 23 Nov 1968)

-BABA

Sunday, April 24, 2016

Thought for the Day - 24th April 2016 (Sunday)

Consider the meaning of the name ‘Sai Baba’. ‘Sa’ means Divine; ‘ai’ or ‘ayi’ means mother, and ‘Baba’ means father. Your physical parents exhibit love with a dose of selfishness; but Sai, your Divine Mother and Father, showers affection or reprimands only to lead you towards victory in the struggle for self-realisation. Sai descended as Avatar to achieve the supreme task of uniting the entire mankind as one family through the bond of brotherhood, of affirming and illumining the Divine (Atmic) reality in every being. Divinity is the basis for the entire cosmos, and My mission is to instruct all to recognise the common divine heritage that binds one person to another, so that you can rid yourself of the animal, and rise to the Divine! I desire that you contemplate on this, derive joy and be inspired to observe the spiritual disciplines I laid down to progress toward the goal of realising Sai, who shines in your hearts.


Ingatlah makna dari nama ‘Sai Baba’. ‘Sa’ berarti illahi; ‘ai’ atau ‘ayi’ berarti ibu, dan ‘Baba’ berarti ayah. Orang tuamu di dunia memperlihatkan kasih sayang dengan sebuah dosis kepentingan diri sendiri; namun orang tua illahimu yaitu Sai, menaburimu dengan kasih sayang atau teguran hanya untuk menuntunmu pada kemenangan dalam perjuangan untuk kesadaran diri. Sai turun sebagai Awatara untuk mencapai tugas yang tertinggi dalam menyatukan seluruh umat manusia sebagai satu keluarga melalui ikatan persaudaraan, dengan menyatakan, dan menerangi kenyataan Tuhan (atma) dalam setiap makhluk. Keillahian adalah dasar dari seluruh kosmos dan misi-Ku adalah untuk mengajarkan semuanya untuk menyadari warisan keillahian bersama yang mengikat satu orang dengan yang lainnya, sehingga engkau dapat melepaskan dirimu dari sifat binatang dan bangkit menuju Tuhan! Aku menginginkan bahwa engkau memusatkan pikiran pada bagian ini dan dapatkanlah suka cita dan terinspirasi untuk menjalankan disiplin spiritual yang Aku berikan untuk menuju pada tujuan kesadaran Sai yang bersinar di dalam hatimu. (Divine Discourse, 19-June 1974)

-BABA

Thought for the Day - 23rd April 2016 (Saturday)

Since I moved freely among people, talking and singing with them, even intellectuals were unable to grasp My truth, My power, My glory, or My real task as Avatar. I can solve any problem however knotty. I am beyond the reach of the most intensive enquiry and the most meticulous measurement. Only those who have recognised My love and experienced it can assert that they have glimpsed My reality. Do not attempt to know Me through the external eyes. When you go to a temple and stand before the image of God, you pray with closed eyes, don't you? Why? Because you feel that the inner eye of wisdom alone can reveal Him to you. Therefore do not crave from Me trivial material objects; but, crave for Me from within, and you will be rewarded. The path of Love is the royal road that leads mankind to Me. My grace is ever available to devotees who have steady love and faith.


Karena Aku bergerak dengan bebas diantara manusia, berbicara, dan bernyanyi dengan manusia, bahkan para intelektual tidak mampu mendapatkan kebenaran-Ku, kekuatan-Ku, kemuliaan-Ku, atau tugas-Ku yang sejati sebagai Awatara. Aku dapat memecahkan persoalan apapun walaupun betapa rumitnya. Aku adalah melampaui pencapaian dari penyelidikan yang paling intensif dan pengukuran yang paling teliti. Hanya mereka yang telah mengetahui kasih-Ku dan mengalaminya dapat menyatakan bahwa mereka telah melihat kenyataan-Ku. Jangan berusaha untuk mengetahui-Ku melalui mata fisikmu. Ketika engkau pergi ke tempat suci dan berdiri di depan wujud Tuhan, engkau berdoa dengan memejamkan mata, bukan? Mengapa? Karena engkau merasa bahwa hanya mata batin yang dapat mengungkapkan-Nya padamu. Maka dari itu jangan mencari-Ku dari objek-objek yang bersifat sementara; namun carilah Aku dari dalam dirimu, dan engkau akan diberkati. Jalan kasih adalah jalan yang megah yang dapat menuntun manusia kepada-Ku. Rahmat-Ku adalah selalu ada bagi bhakta yang telah memiliki kasih dan keyakinan yang kokoh. (Divine Discourse, 19 June 1974)

-BABA

Friday, April 22, 2016

Thought for the Day - 22nd April 2016 (Friday)

Many venture to describe the attributes of God and proclaim Him to be such and such; but these are but their own guesses and the reflections of their own predilections and preferences. Who can affirm that God is this or that? Who can affirm that God is not of this form or with this attribute? God is inscrutable. He cannot be realised in the outer objective world; He is in the very heart of every being. Gemstones have to be sought deep underground; they do not float mid-air. Seek God in the depths of yourself, not in tantalising, kaleidoscopic Nature. The body is granted to you for this high purpose; but you are now misusing it, like the person who cooked his daily food in the gem studded gold vase that came into his hands as an heirloom. Man extols God as omnipresent, omniscient and omnipotent, but ignores His Presence in oneself!

Banyak usaha untuk menjabarkan sifat-sifat dari Tuhan dan menyatakan bahwa Tuhan adalah seperti ini dan itu; namun semuanya itu hanyalah tebakan mereka sendiri saja dan pantulan dari kegemaran dan pilihan mereka sendiri. Siapa yang dapat memastikan bahwa Tuhan adalah seperti ini dan itu? Siapa yang dapat memastikan bahwa Tuhan bukanlah wujud ini atau dengan sifat-sifat ini? Tuhan tidak dapat dimengerti. Tuhan tidak dapat disadari dalam dunia luar yang bersifat objektif; Tuhan adalah ada di dalam hati setiap makhluk. Batu permata harus dicari jauh di bawah tanah; batu permata tidak mengambang di atas tanah. Carilah Tuhan di kedalaman dirimu sendiri, dan bukan dalam keadaan yang menggiurkan, atau pada alam yang cepat berubah. Tubuh diberikan kepadamu adalah untuk tujuan yang tinggi ini; namun engkau sekarang sedang menyalahgunakannya, seperti seseorang yang memasak makanannya setiap hari di dalam wajan yang bertahtakan permata emas yang merupakan pusaka warisannya. Manusia memuliakan Tuhan sebagai Beliau yang ada dimana-mana, Maha Tahu, dan Maha Kuasa, namun manusia mengabaikan kehadiran Tuhan di dalam dirinya sendiri! (Divine Discourse, 19 June 1974)

-BABA

Thought for the Day - 21st April 2016 (Thursday)

Ravana (the villain in Ramayana) sought wealth and gratification of desire, utterly violating the principle of dharma. He was a scholar par excellence. He had mastered the sixty-four disciplines of learning whereas Rama had mastered only thirty-two. However Rama put them into practice and thereby digested them, whereas Ravana failed to digest them. The indigestion on the part of Ravana arose in the form of desire (kama), which ultimately destroyed him. While Rama was the embodiment of Dharma, Ravana remained as the embodiment of kama. Thus there arose a conflict between righteousness and unrighteousness. Rama transformed Himself into the embodiment of sathya (Truth), since He followed the principle of dharma. Since Ravana violated dharma, he became the embodiment of asathya (untruth). There is an eternal warfare between righteousness and unrighteousness, truth and untruth. It is your duty to follow and practice the twin principles of truth and righteousness.


Ravana (penjahat dalam Ramayana) mencari kekayaan dan kepuasan dari keinginannya dan sepenuhnya melanggar prinsip dari dharma. Ravana adalah seorang sarjana yang sangat hebat dan telah menguasai enam puluh empat pengetahuan sedangkan Rama menguasai hanya tiga puluh dua pengetahuan. Namun Rama menjalankan semua pengetahuan-Nya dan dengan cara demikian menyelami isinya, sedangkan Ravana gagal menyelami isi dari pengetahuannya. Ketidaksanggupan menyelami isi dari pengetahuan dari Ravana muncul dalam wujud keinginan (kama), yang mana pada akhirnya menghancurkan dirinya. Sedangkan Rama adalah perwujudan dari Dharma, dan Ravana masih sebagai perwujudan dari kama. Jadi disana muncul pertentangan diantara kebajikan dan kejahatan. Rama merubah diri-Nya sendiri menjadi perwujudan dari sathya (kebenaran), karena Beliau mengikuti prinsip-prinsip dari dharma. Karena Ravana melanggar dharma, maka ia menjadi perwujudan dari asathya (ketidakbenaran). Ada sebuah peperangan yang kekal diantara kebajikan dan kejahatan, kebenaran dan ketidakbenaran. Merupakan kewajibanmu untuk mengikuti dan menjalankan dua prinsip kembar yaitu kebenaran dan kebajikan. (Summer Showers Ch2, May 20, 1996)

-BABA

Wednesday, April 20, 2016

Thought for the Day - 20th April 2016 (Wednesday)

Consider each brother, sister, comrade, companion, and collaborator of Rama as an example of a person saturated with Righteousness (dharma). In Ramayana, Dasaratha is the representative of the merely physical, with the ten senses. The three qualities (gunas) — serenity, activity, and ignorance (satva, rajas, tamas), are the three queens. The four goals of life, the purusharthas — righteousness, wealth, fulfilment of desires, and liberation are the four sons. Lakshmana is the intellect; Sugriva is discrimination (viveka); Vali is despair; and Hanuman is the embodiment of courage. The bridge is built over the ocean of delusion. The three Rakshasa chiefs, Ravana, Kumbhakarna, and Vibhishana, are personifications of the active (rajasic), ignorant (tamasic), and pure (sattvic) qualities. Sita is the Awareness of the Universal Divinity (Brahma-jnana), which the individual must acquire and regain while undergoing travails in the crucible of life. Be established in the faith that the Lord (Rama) is the Reality in your daily existence.

Bayangkan bahwa setiap saudara laki-laki dan perempuan, sahabat, rekan, dan teman sejawat dari Rama sebagai sebuah teladan yang diliputi dengan kebajikan (dharma). Dalam Ramayana, Dasaratha adalah hanya bersifat mewakili fisik saja dengan sepuluh indria. Sedangkan tiga sifat (guna) - ketenangan, kegiatan, dan kebodohan (satva, rajas, dan tamas), adalah tiga permaisuri. Empat tujuan hidup yaitu purushartha - kebajikan, kesejahteraan, pemenuhan keinginan, dan kebebasan adalah empat putra. Lakshmana adalah lambang dari kecerdasan; Sugriva adalah lambang kemampuan membedakan (viveka); Vali adalah keputusasaan; dan Hanuman adalah perwujudan dari keberanian. Jembatan dibangun diatas lautan khayalan. Tiga pemimpin Raksasa yaitu, Ravana, Kumbhakarna, dan Vibhishana, adalah perwujudan dari sifat aktif (rajasik), kebodohan (tamasik), dan kesucian (sattvik). Sita adalah kesadaran dari keillahian yang bersifat Universal (Brahma-jnana), yang mana seseorang harus raih dan dapatkan kembali ketika sedang bekerja keras dalam ujian kehidupan. Mantaplah dalam keyakinan bahwa Tuhan (Rama) adalah kenyataan yang sejati di dalam keberadaan hidupmu sehari-hari. (Ramakatha Rasavahini, ‘The Inner Meaning’)

-BABA

Tuesday, April 19, 2016

Thought for the Day - 19th April 2016 (Tuesday)

The four brothers in Ramayana were the embodiments of the four Vedas. Rig Veda is the embodiment of speech (vaak); Yajur Veda is the embodiment of the mind (manas); Sama Veda is of the life principle (prana); and Atharvana Veda is of the intellect (buddhi). Thus the four Vedas strolled with Dasaratha as Rama, Lakshmana, Bharatha, and Shatrughna. We will not gain much if we let ourselves be dominated by the mistaken notion that Rama is the Embodiment of Divinity and that He is beyond our reach. We should realise the fact that the Lord descended on earth to demonstrate an ideal to mankind. Hence every human being should mould themselves according to the great example set by Rama. Rama lives in every human heart as the enchanting principle, as the Divine Self within. There is none in this world in whom the Self is absent. Hence the Rama principle exists in everyone.


Empat saudara dalam Ramayana adalah perwujudan dari empat Weda. Rig Weda adalah perwujudan dari kata-kata (vaak); Yajur Weda adalah perwujudan dari pikiran (manas); Sama Weda adalah prinsip hidup (prana); dan Atharvana Weda adalah kecerdasan (buddhi). Jadi empat Weda berjalan dengan Dasaratha sebagai Rama, Lakshmana, Bharatha, dan Shatrughna. Kita tidak akan mendapatkan banyak manfaat jika kita membiarkan diri kita sendiri didominasi oleh kesalahan dugaan bahwa Rama adalah perwujudan dari keillahian dan Beliau adalah diluar jangkaun kita. Kita seharusnya menyadari kenyataan bahwa Tuhan turun ke dunia untuk memperlihatkan ideal kepada manusia. Oleh karena itu setiap umat manusia seharusnya membentuk diri mereka sendiri sesuai dengan teladan yang luar biasa yang telah ditetapkan oleh Rama. Sri Rama tinggal di dalam hati setiap manusia sebagai prinsip yang memikat, sebagai Tuhan sendiri di dalam diri. Tidak ada di dunia ini dimana diri yang sejati tidak ada. Oleh karena itu prinsip Rama ada dalam diri setiap orang. (Summer Showers Ch2, May 20, 1996)

-BABA

Thought for the Day - 18th April 2016 (Monday)

Rama is the Indweller in every body. He is the Atma-Rama - the Rama (Source of Bliss) in every individual. His blessings upsurging from that inner spring will confer peace and bliss. He is the very embodiment of righteousness, of all the codes of morality that hold mankind together in love and unity. The story of Rama, ‘Ramayana’, teaches us two lessons: the value of detachment and the need to become aware of the Divine in every being. Faith in God and detachment from objective pursuits are the keys for human liberation. Give up sense objects, and you gain Rama. Mother Sita (Rama’s consort) gave up the luxuries of Ayodhya so she could be with Rama, in the period of exile. When she cast longing eyes on the golden deer and craved for it, she lost the presence of Rama. Renunciation leads to joy; attachment brings about grief. Be in the world, but not of it. Make your heart pure and strong, contemplating the grandeur of the Ramayana.

Rama adalah yang bersemayam di dalam diri setiap orang. Beliau adalah Atma-Rama - Rama (sumber dari kebahagiaan) dalam diri setiap individu. Rahmat-Nya naik dari sumber yang di dalam dan akan memberikan kedamaian dan kebahagiaan. Beliau sesungguhnya adalah perwujudan dari kebajikan, semua dari kaidah moralitas yang menjaga umat manusia bersama-sama dalam kasih dan kesatuan. Cerita dari Sri Rama, ‘Ramayana’, mengajarkan kepada kita dua pelajaran: nilai dari tanpa keterikatan dan perlunya untuk menjadi sadar akan keillahian dalam diri setiap makhluk. Keyakinan pada Tuhan dan tanpa keterikatan pada pengejaran objek duniawi adalah kunci untuk kebebasan umat manusia. Melepaskan kesadaran pada objek dan engkau akan mendapatkan Rama. Ibu Sita (permaisuri Rama) melepaskan kemewahan dari istana Ayodhya sehingga beliau dapat bersama dengan Rama dalam masa-masa pembuangan. Ketika ibu Sita menaruh perhatiannya pada kijang emas dan sangat menginginkannya maka beliau kehilangan kehadiran Rama. Tanpa keterikatan menuntun pada suka cita; keterikatan membawa pada kesedihan. Tetaplah berada di dunia, namun tidak untuk dunia. Buatlah hatimu menjadi suci dan kuat, renungkanlah kemuliaan dari Ramayana. (Ramakatha Rasavahini, ‘The Inner Meaning’)

-BABA

Thought for the Day - 17th April 2016 (Sunday)

My earnest wish is that youth evince keen interest in the moral and spiritual principles of the Ramayana and fully benefit from it. Elders too should mould their lives in consonance with morality and spirituality. Neither wealth nor scholarship can bring you happiness. Only the Love of God confers endless bliss on you. It not only bestows happiness but gives extreme strength as well. You must seek learning that confers immortality. What is Immortality? The removal of immorality is immortality. Human life, which is mortal, is bound to perish one day or the other. Hence we must strive for morality, which is imperishable. This moral splendour is the need of the universe today. It is My earnest wish that our students should cultivate moral splendour and strive for the welfare and upliftment of the Universe, particularly at a time when selfishness and self-interest are so rampant.


Harapan-Ku yang sepenuhnya adalah dimana para pemuda menunjukkan perhatian yang kuat terhadap prinsip-prinsip moral dan spiritual dalam Ramayana dan mendapatkan manfaat sepenuhnya dari ini. Mereka yang lebih dewasa juga harus membentuk hidup mereka sesuai dengan moralitas dan spiritual. Bukan kekayaan dan juga bukan kesarjanaan yang dapat memberikanmu kebahagiaan. Hanya kasih kepada Tuhan yang memberikanmu kebahagiaan yang tanpa akhir kepadamu, dan tidak hanya memberikan kebahagiaan namun juga memberikan kekuatan yang luar biasa. Engkau harus mencari pelajaran yang memberikan keabadian. Apa itu keabadian? Menghilangkan kejahatan adalah keabadian. Kehidupan manusia pastinya akan hancur pada satu atau di lain hari nanti. Oleh karena itu kita harus berusaha untuk moralitas yang mana tidak terhancurkan. Kemuliaan dari moral adalah yang diperlukan oleh alam semesta saat sekarang. Ini merupakan harapan-Ku dimana para pelajar harus meningkatkan kemuliaan moral dan bekerja keras bagi kesejahteraan dan mengangkat alam semesta, khususnya pada saat ketika kepentingan diri sendiri begitu merajalela. (Summer Showers Ch1, May 20, 1996)

-BABA

Monday, April 18, 2016

Thought for the Day - 16th April 2016 (Saturday)

Don’t look upon Rama as a scion of the Solar Dynasty, or the son of Emperor Dasaratha. These correlates are but accessory and accidental. A habitual error in modern readers is they pay attention only to the personal relationship and affiliations between the characters of the story they read without delving into the values they represent and demonstrate. Just as people squeeze juice out of the fibrous cane and drink its sweetness, just as the bee sucks the honey in the flower, regardless of its symmetry and colour, so too the spiritual seeker (Sadhaka) should yearn to imbibe the expression of tenderness, pity and compassion with which Ramayana is saturated, paying no heed to other subjects. Those who seek the expression of compassion in Ramayana should concentrate more on the central narrative than on supplementary details that embellish or encumber it. Listen to the Ramayana in that mood; that is the best form of spiritual listening (Shravana).


Jangan melihat Rama sebagai keturunan dari dinasti surya, atau putra dari raja Dasaratha. Bentuk hubungan ini hanyalah tambahan dan kebetulan. Sebuah kesalahan yang dilakukan karena kebiasaan oleh para pembaca modern dimana mereka hanya memberikan perhatian pada hubungan pribadi dan pertalian diantara karakter yang ada di dalam cerita yang mereka baca tanpa mempelajari nilai yang mereka tunjukkan dan tampilkan. Seperti halnya orang-orang memeras sari dari tebu yang berserat dan meminum rasa manisnya, seperti halnya lebah yang menghisap nektar dari bunga tanpa menghiraukan bentuk simetri dan warna bunga, begitu juga para peminat spiritual (Sadhaka) harus merindukan untuk meminum ungkapan dari kehalusan budi, rasa kasihan, dan welas asih yang sarat terkandung dalam Ramayana, tanpa mengindahkan hal-hal yang lainnya. Bagi mereka yang mendambakan ungkapan dari welas asih dalam Ramayana harus memusatkan lebih pada inti cerita daripada uraian panjang lebar yang membumbui atau membebaninya. Dengarkan Ramayana dengan perasaan yang seperti itu; itulah bentuk yang terbaik dari mendengarkan wacana rohani (Shravana). (Ramakatha Rasavahini, Ch 1)

-BABA

Thought for the Day - 15th April 2016 (Friday)

The name Rama is the essence of scriptures (Vedas); Lord Rama’s story is an ocean of milk, pure and potent. Ramayana, the epic describing Lord Rama’s incarnation is a sacred text, reverently recited by the scholar as well as the ignorant, the millionaire as well as the pauper. Lord Rama’s name cleanses all evil and transforms the sinner; it reveals the charming form represented by the name. Ramayana must be read not as a record of a human career but as a narrative of the advent and activities of an incarnation of God (Avatar). You must endeavor with determination to realise through your own experience the ideals revealed in that narrative. God is all-knowing, all-pervasive, and all-powerful. The words He utters while embodied in the human form, the acts He deigns to indulge in during His earthly sojourn — these are inscrutable and extraordinarily significant. The precious springs of His message ease the path of deliverance for humanity.


Nama Rama adalah intisari dari naskah suci (Weda); Cerita tentang Sri Rama adalah lautan susu yang suci dan sangat ampuh. Ramayana adalah epos yang menjabarkan tentang inkarnasi dari Sri Rama merupakan sebuah naskah yang suci, dengan penuh hormat diceritakan oleh para sarjana dan juga mereka yang bodoh, mereka yang kaya dan juga oleh mereka yang miskin. Nama Sri Rama membersihkan semua kejahatan dan merubah yang pendosa; ini juga mengungkapkan wujud yang mempesona yang dilambangkan dengan nama. Ramayana harus dibaca bukan sebagai catatan dari riwayat hidup manusia namun sebagai sebuah kisah kedatangan dan kegiatan inkarnasi Tuhan (Avatar). Engkau harus berusaha dengan keteguhan hati untuk menyadari melalui pengalamanmu sendiri ideal yang diungkapkan dalam kisah itu. Tuhan adalah maha mengetahui, meresapi segalanya, dan maha kuasa. Kata-kata yang Beliau sampaikan ketika dalam wujud manusia, perbuatan yang Beliau lakukan selama persinggahan-Nya di dunia - semuanya ini adalah tidak dapat dimengerti dan sungguh sangat berarti. Sumber mata air yang berharga dari pesan-pesan yang Beliau sampaikan memudahkan jalan dalam pembebasan umat manusia. (Ramakatha Rasavahini, Ch 1)
-BABA

Thursday, April 14, 2016

Thought for the Day - 14th April 2016 (Thursday)

As the human body is made of blood cells, the Ramayana too is constituted of sacred and sublime cells. Human life finds fulfilment by dwelling on the sanctity of the Ramayana. As the human body collapses without the spinal column, so also human life sinks without morality and spirituality. The spinal column is made of thirty-three rings, and it supports the entire human body. Similarly, moral and spiritual principles constitute the very rings of the backbone of human life. My earnest wish is that students evince keen interest in the moral and spiritual principles of the Ramayana and fully benefit from it. The elders too should mould their lives in consonance with morality and spirituality. Neither wealth nor scholarship can bring you happiness. Only the love of God confers endless bliss on you. It not only bestows happiness but gives immense strength as well.
Seperti halnya tubuh manusia yang dibuat oleh sel darah merah, Ramayana juga disusun oleh sel-sel yang suci dan luhur. Hidup manusia terpenuhi dengan berada dalam kesucian dari Ramayana. Seperti halnya tubuh manusia akan jatuh ketika tanpa adanya tulang belakang, begitu juga hidup manusia akan tenggelam tanpa adanya moralitas dan spiritual. Tulang belakang dibuat dari tiga puluh tiga cincin dan tulang belakang ini menopang seluruh tubuh manusia. Sama halnya, prinsip-prinsip moral dan spiritual menyusun tulang belakang dari kehidupan manusia. Harapaan-Ku yang sesungguhnya adalah para pelajar menunjukkan perhatian yang kuat dalam prinsip-prinsip moral dan spiritual dari Ramayana dan mendapatkan manfaat penuh dari ini. Untuk mereka yang sudah dewasa juga harus membentuk hidup mereka selaras dengan moralitas dan spiritual. Bukan kekayaan dan juga bukan kesarjanaan yang dapat memberikanmu kebahagiaan. Hanya kasih kepada Tuhan yang dapat memberikanmu kebahagiaan. Hal ini tidak hanya memberikanmu kebahagiaan namun memberikan kekuatan yang besar sekali. (Summer Showers Ch1, May 20, 1996)

-BABA

Wednesday, April 13, 2016

Thought for the Day - 13th April 2016 (Wednesday)

Embodiments of Love, God is present in everyone. He resides in every heart. So do not confine God to a temple, a mosque or a church. Where a human is, there God is. God takes the form of a human (Daivam manusha rupena). As you forget and do not realise this important fact, you indulge in criticism of others. Whom are you criticising? Whom do you adore? Enquire for yourself. God is present in all. If you criticise others, you criticise God. Whoever you salute, it reaches God (Sarva jeeva namaskaram Keshavam prati gacchati) and whoever you insult or ridicule, it also reaches God! (Sarva jeeva thiraskaram Keshavam prati gacchati). Right from this moment, embark on a new life giving up bad thoughts and evil qualities. Purify your heart. Let your thoughts, words and deeds be sacred. Only then will your life be blissful.


Perwujudan kasih, Tuhan ada dalam diri setiap orang. Tuhan bersemayam di dalam setiap hati. Jadi jangan membatasi Tuhan pada sebuah tempat suci saja. Dimana ada manusia maka disana ada Tuhan. Tuhan mengambil wujud manusia (Daivam manusha rupena). Karena engkau lupa dan tidak menyadari kenyataan yang penting ini maka engkau menurutkan kesenangan diri dalam mengeritik yang lainnya. Siapa yang sedang engkau kritik? Siapa yang engkau puja? Tanyakan hal ini pada dirimu sendiri. Tuhan adalah hadir dalam semuanya. Jika engkau mengeritik yang lain itu berarti engkau mengeritik Tuhan. Siapapun yang engkau berikan penghormatan, maka itu akan mencapai Tuhan (Sarva jeeva namaskaram Keshavam prati gacchati) dan siapapun yang engkau hina atau tertawakan maka itu juga akan mencapai Tuhan! (Sarva jeeva thiraskaram Keshavam prati gacchati). Mulai dari saat sekarang, mulailah pada hidup yang baru dengan melepaskan pikiran buruk dan sifat-sifat yang jahat. Sucikan hatimu. Biarkan pikiran, perkataan, dan perbuatanmu suci. Hanya dengan demikian hidupmu akan penuh dengan kebahagiaan. (Divine Discourse, Apr 13, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 12th April 2016 (Tuesday)


Once Lord Narayana told Sage Narada, “Narada, there are many devotees like you. You find them in every house and in every place. They will offer worship and chant My Name. But this is not true devotion. True devotion is that which finds expression in every thought, word and deed of man. Just as the food partaken gets digested in the stomach and its essence is supplied to all limbs of the body, likewise, when you fill your heart with the divine name, its effect should spread to your eyes, ears, tongue, hands, feet, etc. When the sacred effect of the divine name spreads to your eyes, you will develop sacred vision. Likewise your speech will become sacred, and you will listen only to sacred words. Your hands will undertake sacred deeds and your feet will take you to sacred places. Thus a true devotee will sanctify each of his limbs with sacred activity.”


Pada suatu hari Narayana mengatakan kepada Resi Narada, “Narada, ada banyak bhakta yang seperti dirimu. Engkau bisa menemukan mereka di setiap rumah dan tempat. Mereka akan memuja dan memuliakan nama-Ku. Namun ini bukanlah bhakti yang sejati. Bhakti yang sejati dapat dilihat dalam bentuk ekspresi dari setiap pikiran, perkataan, dan tindakannya. Sebagaimana makanan yang dimakan dan dicernakan di dalam perut dan sari makanan diedarkan ke seluruh bagian tubuh, begitu juga ketika engkau mengisi hatimu dengan nama Tuhan maka dampaknya akan menyebar pada mata, telinga, tangan, kakimu, dsb. Ketika dampak suci dari nama Tuhan menyebar pada matamu maka engkau akan mengembangkan pandangan yang suci. Sama halnya perkataanmu akan menjadi suci dan engkau hanya akan mendengar kata-kata yang suci. Tanganmu akan melakukan perbuatan yang suci dan kakimu akan membawamu pada tempat-tempat yang suci. Jadi bhakta yang sejati akan menyucikan setiap bagian tubuhnya dengan kegiatan-kegiatan yang suci.” (Divine Discourse, Apr 13, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 12th April 2016 (Tuesday)


Once Lord Narayana told Sage Narada, “Narada, there are many devotees like you. You find them in every house and in every place. They will offer worship and chant My Name. But this is not true devotion. True devotion is that which finds expression in every thought, word and deed of man. Just as the food partaken gets digested in the stomach and its essence is supplied to all limbs of the body, likewise, when you fill your heart with the divine name, its effect should spread to your eyes, ears, tongue, hands, feet, etc. When the sacred effect of the divine name spreads to your eyes, you will develop sacred vision. Likewise your speech will become sacred, and you will listen only to sacred words. Your hands will undertake sacred deeds and your feet will take you to sacred places. Thus a true devotee will sanctify each of his limbs with sacred activity.”


Pada suatu hari Narayana mengatakan kepada Resi Narada, “Narada, ada banyak bhakta yang seperti dirimu. Engkau bisa menemukan mereka di setiap rumah dan tempat. Mereka akan memuja dan memuliakan nama-Ku. Namun ini bukanlah bhakti yang sejati. Bhakti yang sejati dapat dilihat dalam bentuk ekspresi dari setiap pikiran, perkataan, dan tindakannya. Sebagaimana makanan yang dimakan dan dicernakan di dalam perut dan sari makanan diedarkan ke seluruh bagian tubuh, begitu juga ketika engkau mengisi hatimu dengan nama Tuhan maka dampaknya akan menyebar pada mata, telinga, tangan, kakimu, dsb. Ketika dampak suci dari nama Tuhan menyebar pada matamu maka engkau akan mengembangkan pandangan yang suci. Sama halnya perkataanmu akan menjadi suci dan engkau hanya akan mendengar kata-kata yang suci. Tanganmu akan melakukan perbuatan yang suci dan kakimu akan membawamu pada tempat-tempat yang suci. Jadi bhakta yang sejati akan menyucikan setiap bagian tubuhnya dengan kegiatan-kegiatan yang suci.” (Divine Discourse, Apr 13, 2002)

-BABA

Monday, April 11, 2016

Thought for the Day - 11th April 2016 (Monday)

Once, a friend of Michelangelo, the famous Italian sculptor, asked him, "Why are you working so hard, chiseling this huge rock? Why don't you go home and get some rest?" Michelangelo replied: "I want to bring out the living Divinity that is embedded in this lifeless stone." If that sculptor could create out of an inanimate piece of stone, a living Image of God, cannot human beings vibrant with life manifest the living Divinity that resides within them? When your clothes get dirty, you change them, because you are ashamed to appear in dirty garments. If your house is dirty you clean it so that visitors do not get a bad impression. But when your minds and your hearts are polluted, you do not feel ashamed. Isn’t it strange that you are so concerned about the cleanness of your clothes or homes, but are not concerned about the purity of your hearts and minds which affects your entire life?


Suatu hari, seorang teman dari Michelangelo (pemahat yang terkenal dari Italia) menanyakannya, "Mengapa engkau bekerja begitu keras dengan memahat batu cadas yang besar ini? Mengapa engkau tidak pulang ke rumah dan istirahat saja?" Michelangelo menjawab: "Saya ingin mengeluarkan keillahian yang ada di dalam batu ini." Jika pemahat itu bisa menciptakan bentuk dari Tuhan yang hidup dari benda mati seperti batu, tidak bisakah manusia hidup dengan kehidupan dan mewujudkan keillahian yang bersemayam di dalam dirinya? Ketika pakaianmu menjadi kotor, maka engkau akan menggantikannya karena engkau merasa malu tampil dengan pakaian kotor. Jika rumahmu kotor maka engkau membersihkannya sehingga tamu yang datang tidak mendapatkan kesan yang tidak baik. Namun ketika pikiran dan hatimu tercemar, namun engkau tidak merasa malu. Bukankah hal ini menjadi aneh bahwa engkau begitu peduli dengan kebersihan pakaian atau rumahmu namun tidak peduli pada kesucian dari hatimu yang mana memberikan dampak pada seluruh hidupmu? (Divine Discourse, 2 Apr 1984)

-BABA

Sunday, April 10, 2016

Thought for the Day - 10th April 2016 (Sunday)

Only a harmonious blend of the secular and spiritual will lend beauty and radiance to life. We should not learn and earn merely to fill our bellies but also to fill our hearts with bliss. The food you eat will fill only your stomach and not the mind, but spiritual food will fill your mind and give you eternal bliss. Hence secular learning and living should be coupled with spirituality. Inculcation of morality is very important in life. Students lead chaste and disciplined lives as long as they live in the hostel, but they lead an altogether different life once they leave the hostel. Your lives should be marked by discipline and morality, whether you live in the hostel or outside. All of your lives should be lived in consonance with the command of your conscience. This rule must remain the same, whether you are being observed or not, whether someone is noticing you or not.


Hanya sebuah perpaduan yang harmonis dari duniawi dan spiritual yang akan memberikan keindahan dan cahaya pada kehidupan. Kita seharusnya tidak belajar dan semata-mata hanya untuk mengisi perut kita namun juga mengisi hati kita dengan kebahagiaan. Makanan yang engkau makan hanya akan mengisi perutmu dan tidak dengan pikiranmu, namun makanan spiritual akan mengisi pikiranmu dan memberikanmu kebahagiaan yang kekal. Oleh karena itu, pembelajaran dan kehidupan duniawi harus dipasangkan dengan spiritual. Menanamkan moralitas adalah sangat penting dalam hidup. Para pelajar  menjalani hidup yang suci dan disiplin selama mereka tinggal di dalam asrama, namun mereka semuanya menjalani hidup yang sama sekali berbeda ketika mereka meninggalkan asrama. Hidupmu harusnya ditandai dengan disiplin dan moralitas, apakah engkau tinggal di asrama atau di luar. Seluruh hidupmu harus selaras dengan perintah dari suara hatimu. Aturan ini harus tetap sama apakah engkau sedang diamati atau tidak, apakah seseorang sedang memperhatikanmu atau tidak. (Summer Showers Ch1, May 20, 1996)

-BABA

Saturday, April 9, 2016

Thought for the Day - 9th April 2016 (Saturday)

Ages have gone by and the world is fast changing, but there is no transformation in the human heart. Some say that education is bringing about a change in human beings. True, but what type of change has it brought? It is a peculiar change that is leading to perversion of human mind instead of transforming their hearts. Human heart in its pristine state is highly sacred and human birth is difficult to attain. Out of all the living beings, the human birth is the rarest (Janthunam narajanma durlabham). Having attained such a precious life, are you making efforts to live like a true human being? Today you have become a bundle of desires, spending all your time and effort in fulfilling them. You are under the mistaken notion that fulfilment of desires will confer happiness on you. Realise that only annihilation of desires will lead you to ultimate bliss. True happiness lies in the state of desirelessness.


Umur telah berlalu dan dunia dengan cepat berubah, namun tidak ada perubahan di dalam hati manusia. Beberapa orang berkata bahwa pendidikan akan membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Itu benar, namun apa bentuk perubahan yang terjadi? Ini hanyalah perubahan yang aneh yang mengarah pada perbuatan yang tidak wajar dalam pikiran manusia daripada perubahan di dalam hati mereka. Hati manusia dalam keadaan sebenarnya adalah sangat suci dan kelahiran manusia adalah sulit didapatkan. Dari semua makhluk hidup, kelahiran sebagai manusia adalah paling sulit diperoleh (Janthunam narajanma durlabham). Setelah mendapatkan kehidupan yang berharga, apakah engkau melakukan usaha untuk hidup sebagai manusia yang sejati? Hari ini engkau telah menjadi sebuah kumpulan dari keinginan, menghabiskan seluruh waktu dan usahamu untuk memenuhi semua keinginan itu. Engkau telah salah mengertikan bahwa dengan memenuhi keinginan itu akan memberikanmu kebahagiaan. Sadarilah bahwa hanya dengan menghancurkan keinginan akan menuntunmu pada kebahagiaan yang tertinggi. Kebahagiaan yang sejati terdapat pada tanpa keinginan. (Divine Discourse, Apr 13, 2002)

-BABA

Friday, April 8, 2016

Thought for the Day - 8th April 2016 (Friday)

Ugadi is the beginning of a New Year. You have celebrated many Ugadis, but have you given up your bad qualities? Do not limit the celebration of Ugadi to merely putting on new clothes and partaking of delicious food. Today you may wear a new shirt, but how long will it remain new? Our life is like a newspaper. Once you have finished reading a newspaper, do you like to read the same newspaper again and again? You have been given this birth, and you have gone through varied experiences of pleasure and pain. Pray to God to take you across this ocean of life and death, and grant you liberation. True Ugadi is the day when you give up bad qualities, fill your heart with love, and take to the path of sacrifice. Stop criticizing others. Respect even those who hate you. Hatred is a bad quality. It will ruin you. Hence get rid of this evil. Love everyone.


Ugadi adalah awal dari tahun baru. Engkau telah merayakan banyak perayaan Ugadi, namun sudahkah engkau melepaskan sifat-sifat burukmu? Jangan membatasi perayaan Ugadi hanya melulu pada memakai baju baru dan menikmati makanan yang lezat. Hari ini engkau memakai sebuah pakaian baru, namun berapa lama pakaian itu akan tetap seperti baru? Hidup kita dapat diibaratkan seperti sebuah surat kabar. Sekali engkau telah selesai membacanya, apakah engkau suka membacanya berulang kali? Engkau telah diberikan kelahiran ini dan engkau telah mengalami berbagai jenis pengalaman baik menyenangkan dan menyedihkan. Berdoalah kepada Tuhan untuk membawamu menyeberangi lautan dari kelahiran dan kematian ini serta memberikanmu kebebasan. Perayaan Ugadi yang sesungguhnya adalah melepaskan sifat-sifat burukmu, mengisi hatimu dengan kasih sayang dan mengambil jalan pengorbanan. Berhentilah mengeritik yang lainnya. Hormatilah bahkan mereka yang membencimu. Kebencian adalah sebuah sifat yang tidak baik dan akan menghancurkanmu. Oleh karena itu lepaskanlah sifat jahat ini dan sayangi setiap orang. (Divine Discourse, Apr 13, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 7th April 2016 (Thursday)

A game of football is played by two teams with ten players in each team playing on each side of the field. Each team strives to score a goal by shooting the ball between the two goal posts. Life is a game in which you must lead your life between the two goal posts of secular and spiritual education. While playing football, one kicks the ball as long as it is filled with air. Once the football is deflated, nobody will kick it. The air in the football signifies the presence of ego. A person swayed by ego will receive blows until they are devoid of ego. A deflated ball is taken by the hands, while an inflated ball is kicked mercilessly. Similarly a humble person is well respected, whereas an egoistic person becomes the target of all sorts of attacks. Secular things come and go, whereas spiritual gains stay forever. Hence let spirituality constitute the basis of all your activities.


Sebuah pertandingan sepak bola dimainkan oleh dua tim dengan sebelas pemain dalam setiap tim di lapangan sepak bola. Setiap tim berusaha untuk mencetak gol dengan menembakkan bola diantara dua gawang. Hidup adalah seperti sebuah permainan dimana engkau harus menuntun hidupmu diantara dua gawang yaitu pendidikan duniawi dan spiritual. Ketika sedang bermain sepak bola, seseorang dapat menendang bola selama bola itu terisi dengan udara. Saat bola itu kempes maka tidak akan ada orang yang akan menendangnya. Udara yang ada di dalam bola sepak adalah sama artinya dengan kehadiran ego. Seseorang yang dipengaruhi oleh ego akan menerima pukulan sampai mereka sama sekali tanpa ego. Sebuah bola yang kempes diambil oleh tangan, sedangkan sebuah bola yang padat berisi angin akan ditendang tanpa ampun. Sama halnya seorang yang rendah hati akan dihormati, sedangkan seorang egois akan menjadi target dari berbagai serangan. Hal-hal duniawi datang dan pergi, sedangkan keuntungan spiritual tetap selamanya. Oleh karena itu, jadikan spiritual menjadi dasar dari semua kegiatanmu. (Summer Showers Ch1, May 20, 1996)

-BABA

Wednesday, April 6, 2016

Thought for the Day - 6th April 2016 (Wednesday)

Bear in mind that youth is the most precious years in one's life and should not be wasted or misspent. To let children watch television from 6 to 10 p.m. is to make them forget all that they have learnt at school or college. In addition, they learn many evil things. If TV is used for teaching good things, it can serve a worthy purpose. But that is not the case, younger generation is being ruined by undesirable films and programs. Their minds are being poisoned. It is not a sign of parental love to let children grow in this manner. Even parents should avoid going to cinemas. All crimes and violence we witness today are largely the result of the evil influence of films on young minds. While science and technology may appear, to confer many benefits, they also have many harmful effects. To make proper use of scientific knowledge we must have the wisdom and discrimination.

Tanamkanlah di dalam pikiran bahwa masa muda adalah tahun-tahun yang paling berharga dalam kehidupan seseorang dan seharusnya tidak disia-siakan atau disalahgunakan. Dengan membiarkan anak-anak menonton televisi dari jam 6 sampai 10 malam adalah membuat mereka melupakan semuanya yang harus mereka pelajari di sekolah atau bangku kuliah. Sebagai tambahan, mereka mempelajari banyak hal-hal yang jahat dari televisi. Jika televisi digunakan untuk menonton hal-hal yang baik maka televisi dapat memiliki fungsi yang bermanfaat. Namun bukan itu masalahnya, generasi yang lebih muda sedang dirusak dengan film dan acara yang jahat. Pikiran mereka sedang diracuni. Ini bukanlah tanda dari kasih sayang orang tua dengan mengijinkan anak-anak tumbuh dengan cara ini. Bahkan orang tua seharusnya menghindari dari pergi ke bioskop. Semua kejahatan dan kekerasan kita saksikan hari ini sepenuhnya berasal dari pengaruh jahat dari film pada pikiran anak-anak muda. Ketika pengetahuan dan teknologi muncul untuk memberikan banyak keuntungan, namun keduanya juga memberikan banyak akibat yang merugikan. Gunakanlah dengan baik pengetahuan ilmiah maka kita harus memiliki kebijaksanaan dan kemampuan membedakan. (Divine Discourse, Feb 5, 1984)

-BABA

Tuesday, April 5, 2016

Thought for the Day - 5th April 2016 (Tuesday)

Though it is hard to restrain the mind, it can be diverted. When the mind steeped in the secular world is diverted toward Divinity, it gains in moral strength. The mind steeped in the worldly matters makes you a prisoner of the world, whereas a mind steeped in God secures liberation for you. Your heart is the lock and your mind is the key. When you turn the key to the left, it locks. But if you turn the key to the right, it unlocks. It is the turning of the key that makes the difference. Hence the mind is the cause for your liberation as well as bondage. What then is liberation (Moksha)? It is not an air-conditioned mansion, but a state devoid of delusion (Moha). Majesty and morality lie in diverting the mind from the world to God. It is this simple and powerful concept that really contributes to your progress and prosperity.


Walaupuan adalah sulit untuk mengendalikan pikiran namun pikiran dapat dialihkan. Ketika pikiran tenggelam dalam duniawi dan dialihkan menuju pada Tuhan maka ini akan mendapatkan kekuatan moral. Pikiran yang tenggelam dalam hal-hal duniawi saja akan membuatmu menjadi seorang tahanan di dunia, dan ketika pikiran tenggelam dalam Tuhan akan menjamin kebebasan bagimu. Hatimu adalah gembok dan pikiranmu adalah kuncinya. Ketika engkau memutar kunci itu ke kiri maka akan terkunci. Namun jika engkau memutar kuncinya ke kanan maka akan terbuka. Adalah arah pemutaran kunci yang memberikan perbedaan. Oleh karena itu pikiran adalah penyebab bagi kebebasan dan juga perbudakanmu. Apakah kebebasan itu (Moksha)? Ini bukanlah tempat tinggal dengan ada AC, namun sebuah keadaan yang bebas dari kyahalan (Moha). Keagungan dan moralitas terdapat dalam mengalihkan pikiran dari duniawi kepada Tuhan.  Ini adalah konsep yang sederhana dan sungguh dahsyat yang benar-benar memberikan pengaruh bagi kemajuan dan kesejahteraanmu. (Summer Showers Ch1, May 20, 1996)

-BABA

Monday, April 4, 2016

Thought for the Day - 4th April 2016 (Monday)

What is the origin of pride? Is it knowledge? No! It is ignorance. What is the cause of ignorance? It is the feeling of duality. Where did duality originate? From attachment and hatred (Raga and Dwesha). What is the origin of these two? They are the products of circumstances. How did circumstances come about? Through Karma (past deeds). What is the cause of Karma? Birth! Thus be clear that birth is the cause of all sorrow. Only by seeking freedom from birth that you can free oneself from sorrow. The opportunity of a human birth must be used for realising this supreme goal. The duty of parents is to set children on the right path from their early years. They should not hesitate to correct them and even punish them when the children take to wrong ways. The best way parents can show their love for their children is to do everything necessary to lead them on the righteous path.


Darimana asalnya kesombongan? Apakah dari pengetahuan? Bukan! Kesombongan berasal dari kebodohan. Apakah penyebab dari kebodohan? Ini disebabkan karena perasaan dualitas. Darimana dualitas ini muncul? Dari keterikatan dan kebencian (Raga and Dwesha). Darimana keduanya ini berasal? Keduanya adalah produk dari keadaan. Bagaimana keadaan itu muncul? Melalui Karma (perbuatan di kehidupan yang lalu). Apakah penyebab dari Karma? Kelahiran! Jadi sangat jelas bahwa kelahiran adalah penyebab dari semua penderitaan. Hanya dengan mencari kebebasan dari kelahiran maka engkau dapat membebaskan dirimu dari penderitaan. Kesempatan dari kelahiran sebagai manusia harus digunakan untuk menyadari tujuan yang tertinggi ini. Kewajiban dari orang tua adalah mempersiapkan anak-anak pada jalan yang benar dari awal kehidupan mereka. Orang tua seharusnya tidak ragu-ragu untuk memperbaiki anak-anak dan bahkan memberikan hukuman ketika anak-anak mengambil jalan yang salah. Cara yang terbaik bagi orang tua untuk memperlihatkan kasih sayang mereka adalah melakukan segalanya yang diperlukan untuk menuntun anak-anak pada jalan kebajikan. (Divine Discourse, 5 Feb 1984)

-BABA