Tuesday, March 31, 2015

Thought for the Day - 31st March 2015 (Tuesday)


The vehicle of human life is drawn by the senses, driven by the intellect, with discrimination and detachment as the reins on the two wheels of Time and Action. The spokes of the wheel are the rules of righteousness, bound by the rim of Love. Your journey will be smooth, if your axle is Truth and your goal is Peace. Be careful to not exaggerate the importance of things that have material utility. They fade, even while you grasp them. Search for truth (Sath) - that which suffers no change, and Awareness (Chith) - the state of consciousness which is pure, unaffected by gusts of passion and is free from egoism or the desire to possess. Then you will experience Light, and illumine the Path for others. Experience the joy that emanates from Love with no blemish of attachment.
Kendaraan kehidupan manusia ditarik oleh indera, dikemudikan oleh intelek, dengan diskriminasi dan tanpa kemelekatan sebagai kendali pada kedua roda Waktu dan Aksi. Jari-jari roda adalah aturan kebenaran, terikat oleh tepi Cinta. Perjalananmu akan menjadi lancar, jika poros/as-mu adalah Kebenaran dan tujuan-mu adalah kedamaian. Berhati-hatilah untuk tidak membesar-besarkan pentingnya hal-hal yang memiliki utilitas material. Mereka memudar, bahkan ketika engkau memahami mereka. Carilah kebenaran (Sath) - apa yang tidak mengalami perubahan, dan Kesadaran (Chith) - keadaan kesadaran yang murni, tidak terpengaruh oleh hembusan hawa nafsu dan bebas dari egoisme atau keinginan untuk memiliki. Maka engkau akan mengalami Cahaya, dan menerangi jalan bagi orang lain. Engkau akan mengalami sukacita yang berasal dari Cinta-kasih tanpa ternoda kemelekatan. (Divine Discourse, 25 April 1961)

-BABA

Monday, March 30, 2015

Thought for the Day - 30th March 2015 (Monday)


Since many separate religions have spread worldwide, they have lost fraternal feelings and thereby have suffered in validity. There is an urgent need for harmony. The principle of harmonizing is the very heart of all religions and faiths. The principles of coordination and reconciliation must be expanded and expounded. Though religions have separate names and distinct doctrines, in essence, all are one emphasising a common core. The experience and wisdom of great seers who have unveiled the mystery of the cosmos and their feelings of universal love are not appreciated, accepted, and respected. The same God is extolled and adored in various names through varied ceremonial rituals. In every age, in every race, God sent prophets to establish peace and goodwill. All great people are images of God. They form one single caste in the realm of God; they belong to one nation, the Divine Fellowship.
Sejak banyak agama terpisah telah menyebar ke seluruh dunia, mereka telah kehilangan perasaan persaudaraan dan dengan demikian telah menderita dalam validitas. Ada kebutuhan mendesak untuk harmoni. Prinsip harmonisasi adalah hati dari semua agama dan keyakinan. Prinsip-prinsip koordinasi dan rekonsiliasi harus diperluas dan diuraikan. Meskipun agama memiliki nama yang terpisah dan doktrin-doktrin yang berbeda, pada dasarnya, semuanya adalah satu, menekankan inti umum. Pengalaman dan kebijaksanaan para bijak yang telah menyingkap misteri kosmos dan perasaan mereka akan cinta-kasih yang universal tidak dihargai, tidak diterima, dan tidak dihormati. Tuhan yang sama dipuja dan disembah dalam berbagai nama melalui beragam ritual seremonial. Di setiap zaman, di setiap arena, Tuhan mengutus para nabi untuk membangun perdamaian dan niat baik. Semua orang-orang hebat adalah gambar Tuhan. Mereka membentuk satu kasta tunggal di ranah Tuhan; mereka milik satu bangsa, Persahabatan Ilahi. (Sutra Vahini, Ch. 2)
-BABA

Sunday, March 29, 2015

Thought for the Day - 29th March 2015 (Sunday)


If the I-consciousness in you, produces the pride “I know all”, a fall is inevitable; the delusion causes death. The secret of salvation lies in the realisation of this danger. Rebirth is inevitable if this danger is not averted. Immerse yourself in spiritual practices, then the world and its worries will not affect you. It is only when you are far from this truth that you suffer, feel pain, and experience travail. At a distance from the bazaar, one hears only a huge indistinct uproar. But as you approach it, you can clearly distinguish the separate bargainings. So too, till you get to know the reality of the Supreme, you are overpowered and stunned by the uproar of the world; but once you enter deep into the realm of spiritual endeavour, everything becomes clear and the knowledge of the reality awakens within you. Until then, you will swirl in the meaningless noise of argumentation, disputation, and exhibitionist flamboyance.
Jika kesadaran akan “aku” ada di dalam dirimu, menghasilkan kebanggaan "aku tahu semuanya", kemerosotan tidak bisa dihindari; delusi tersebut menyebabkan kematian. Rahasia keselamatan terletak pada kesadaran akan bahaya ini. Kelahiran kembali tidak bisa dihindari jika bahaya ini tidak dihindari. Engkau hendaknya melibatkan dirimu dalam praktik spiritual, maka dunia dan kekhawatiran tidak akan mempengaruhimu. Ini ketika engkau berada jauh dari kebenaran ini bahwa engkau menderita, merasa sakit, dan mengalami kesusahan. Dari kejauhan pasar, seseorang hanya mendengar keributan yang tidak jelas. Tetapi ketika engkau mendekatinya, engkau dapat dengan jelas membedakan pedagang-pedagang secara terpisah. Demikian juga, sampai engkau menyadari realitas Yang Agung, engkau dikuasai dan terpana oleh keributan dunia; tetapi setelah engkau masuk jauh ke ranah spiritual, semuanya menjadi jelas dan pengetahuan tentang realitas muncul dalam dirimu. Sampai kemudian, engkau akan berputar-putar dalam kebisingan argumentasi, perdebatan, dan pamer yang tiada artinya. (Prema Vahini, Ch. 16)

-BABA

Saturday, March 28, 2015

Thought for the Day - 28th March 2015 (Saturday)


Today is a sacred day to recapitulate the Glory of God and His relationship with human beings. Ramayana is not a story that had an end. You are living it. Ramayana must be experienced in the heart; not investigated as a mental phenomenon. As you go on reading and ruminating, its inner meaning will become clear even as your mind is cleansed. Rama is the son of Dasharatha (one with ten chariots). The ten chariots are the senses, the five Karmendhriyaas (sense organs of action) and the five Jnaanendhriyaas (organs of perception). Sathya, Dharma, Shanthi and Prema are the four children of King Dasharatha. Rama is Sathya; Bharatha is Dharma; Lakshmana is Prema and Shatrughna is Shanthi. Take these great characters from Ramayana as your life’s ideals, your life will be filled with peace and joy.
Saat ini adalah hari suci untuk rekapitulasi kemuliaan Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia. Ramayana bukanlah sebuah cerita yang memiliki akhir. Engkau hidup disana. Ramayana harus dialami dalam hati; tidak diselidiki sebagai fenomena mental. Ketika engkau membaca dan merenungkan, makna batinnya akan menjadi jelas bahkan ketika pikiranmu dibersihkan. Rama adalah putra Dasaratha (seseorang dengan sepuluh kereta). Sepuluh kereta adalah indera, lima Karmendhriyaas (organ-organ indera tindakan) dan lima Jnaanendhriyaas (organ persepsi). Sathya, Dharma, Shanthi, dan Prema adalah empat anak dari Raja Dasaratha. Rama adalah Sathya; Bharatha adalah Dharma; Laksmana adalah Prema dan Satrugna adalah Shanthi. Ambillah tokoh-tokoh besar dari Ramayana sebagai ideal hidupmu, hidupmu akan dipenuhi dengan kedamaian dan sukacita. (Divine Discourse, 25 April 1961)

-BABA

Friday, March 27, 2015

Thought for the Day - 27th March 2015 (Friday)


The almanac (calendar) might indicate that ten units of rain will fall, but even if the daily sheet on the calendar is folded ten times and squeezed, not a drop of rain can be extracted. The purpose of the calendar is not to give rain but only to give information about rain and its quantity; its pages do not contain the ten units of rain which is there only in the clouds above. So too, the scriptures (shastras) can only give information about doctrines, axioms, rules, regulations, and duties. The sublime characteristics of the Vedas, the Upanishads, and scriptures are that they give instruction in the methods of attaining peace and liberation. But they aren’t saturated with these essences of bliss; one can’t collect the essences by squeezing the texts. One has to discover the path, direction, and goal as described in them, and then tread the path, follow the direction, and reach the goal.
Almanak (kalender) mungkin menunjukkan bahwa sepuluh unit hujan akan turun, tetapi bahkan jika lembar harian di kalender dilipat sepuluh kali dan diperas, tidak setetes-pun hujan dapat diekstraksi. Tujuan dari kalender tidak memberikan hujan tetapi hanya untuk memberikan informasi tentang hujan dan kuantitasnya; halaman-halamannya tidak mengandung sepuluh unit hujan, hujan tergantung pada awan di atas (langit). Demikian juga, Kitab Suci (Shastra) hanya dapat memberikan informasi tentang doktrin, aksioma, aturan, peraturan, dan tugas. Karakteristik luhur dari Veda, Upanishad, dan kitab suci adalah bahwa mereka memberikan instruksi dalam metode mencapai kedamaian dan pembebasan. Tetapi mereka tidak dipenuhi dengan esensi kebahagiaan; seseorang tidak bisa mengumpulkan esensi kebahagiaan dengan memeras teks-teks tersebut. Kita harus menemukan jalan, arah, dan tujuan seperti yang dijelaskan di dalamnya, dan kemudian menapaki jalan, mengikuti arah, dan akhirnya mencapai tujuan. (Prema Vahini, Ch. 16)

-BABA

Thursday, March 26, 2015

Thought for the Day - 26th March 2015 (Thursday)


Everyone in this ephemeral and transient world aspires for peace and security. But money, education, position of authority and physical comforts cannot confer peace and security. Peace originates from the heart. You can experience peace and security only when your heart is filled with love. Most people today are bereft of gratitude, which is one of the most essential qualities. They forget the help rendered to them by others. As long as you are alive, you should be grateful for the help you received from others. There are two things you must forget: the help you rendered to others and the harm others have done to you. If you remember the help you rendered, you will always expect something in return. Remembrance of the harm done to you by others generates in you a sense of revenge. Always remember only the help you received from others. The one with these sacred qualities is an ideal human being.
Semua orang yang berada di dunia fana dan sementara ini berkeinginan untuk kedamaian dan keamanan. Tetapi uang, pendidikan, posisi otoritas dan  kenyamanan fisik tidak bisa memberikan kedamaian dan keamanan. Kedamaian berasal dari hati. Engkau dapat mengalami kedamaian dan keamanan hanya ketika hatimu penuh dengan cinta-kasih. Kebanyakan orang saat ini kehilangan rasa syukur, yang merupakan salah satu kualitas yang paling penting. Mereka lupa bantuan yang diberikan kepada mereka oleh orang lain. Selama engkau masih hidup, engkau harus berterima kasih atas bantuan yang engkau terima dari orang lain. Ada dua hal yang harus engkau lupakan: bantuan yang engkau berikan kepada orang lain dan kesalahan yang orang lain telah lakukan untukmu. Jika engkau mengingat bantuan yang engkau berikan pada orang lain, engkau akan selalu mengharapkan sesuatu sebagai balasannya. Mengingat  kesalahan yang dilakukan orang lain padamu menghasilkan rasa balas dendam pada dirimu. Selalu ingatlah bantuan yang engkau terima dari orang lain. Orang dengan sifat-sifat suci adalah manusia yang ideal. (Divine Discourse, 18 March 1999)

-BABA

Wednesday, March 25, 2015

Thought for the Day - 25th March 2015 (Wednesday)


Every human being has the evil tendencies of kama (lust), krodha (anger), lobha (greed), etc. in them. The epics teach us to control these real enemies. Hiranyakasipu was a great scientist. He had control over all five elements, but became a victim of his anger. His anger was directed at God and ultimately, he ruined himself. He subjected his son to many trials and tribulations and sought to kill him by throwing him from the hilltop, casting him into the sea, pushing him into a pit of poisonous snakes and making elephants trample on him. Prahlada chanted the name of Narayana ceaselessly, and emerged unscathed and victorious. That is why it is said, Yath bhavam, that bhavathi (As is the feeling, so is the experience). God manifests on the basis of the feelings of the devotee. If you pray to God with purity of heart and love, you will experience Him as such.
Setiap manusia memiliki kecenderungan buruk yaitu kama (nafsu), krodha (kemarahan), lobha (keserakahan), dll di dalamnya. Epos mengajarkan kita untuk mengendalikan musuh-musuh sejati ini. Hiranyakasipu adalah seorang ilmuwan besar. Dia memiliki kendali atas lima elemen, tetapi menjadi korban kemarahannya. Kemarahannya diarahkan pada Tuhan dan pada akhirnya, ia hancur sendiri. Dia memperlakukan anaknya dengan banyak cobaan dan kesengsaraan dan berusaha untuk membunuhnya dengan melemparkannya dari puncak bukit, melemparkannya ke laut, mendorongnya ke dalam lubang ular berbisa, dan membuat gajah menginjak-injaknya. Prahlada meneriakkan nama Narayana tak henti-hentinya, dan muncul tanpa cedera dan menang. Itulah sebabnya dikatakan, Yath bhavam, that bhavathi (bagaimana perasaannya, demikianlah pengalamannya). Tuhan bermanifestasi atas dasar perasaan bhakta-Nya. Jika engkau berdoa kepada Tuhan dengan kemurnian hati dan cinta-kasih, engkau akan mengalami-Nya seperti itu. (Divine Discourse, 18 March 1999)

-BABA

Tuesday, March 24, 2015

Thought for the Day - 24th March 2015 (Tuesday)

There are three stages of sadhana (spiritual practice). They are concentration, contemplation and meditation. Concentration entails fixing your gaze on one form. Contemplation occurs when you are able to perceive the form within you, even in its absence. Meditation means when, as a result of this exercise, this form is permanently imprinted in your heart. If you continue to meditate in this manner, the form will constantly be fixed in your heart. You should not confine your spiritual practices only to concentration and contemplation. While it is true that these are the first steps in your spiritual practices, you must progress further; you must transform concentration to contemplation, and then contemplation into meditation. When you carry this out, you will continue to visualize the form of God at all times. The ancient rishis (seers) adopted this form of meditation. That is why God manifested before them whenever they wished, talked to them and fulfilled their desires.
Ada tiga tahapan sadhana (praktik spiritual), yaitu konsentrasi, kontemplasi, dan meditasi. Konsentrasi memperbaiki pandanganmu pada satu wujud (Tuhan). Kontemplasi terjadi ketika engkau dapat melihat wujud (Tuhan) dalam dirimu, bahkan dalam ketiadaan. Meditasi berarti ketika sebagai hasil dari praktik ini, wujud (Tuhan) ini secara permanen tercetak di dalam hatimu. Jika engkau terus bermeditasi dengan cara ini, wujud (Tuhan) akan terus diperbaiki dalam hatimu. Engkau tidak harus membatasi praktik spiritual-mu hanya untuk konsentrasi dan kontemplasi. Meskipun benar bahwa ini adalah langkah pertama dalam praktik spiritual-mu, engkau harus maju lebih jauh; engkau harus mengubah konsentrasi menjadi kontemplasi, dan kemudian kontemplasi menjadi meditasi. Ketika engkau melakukan hal ini, engkau akan terus memvisualisasikan wujud Tuhan setiap saat. Para Rsi zaman dulu mengambil wujud ini dalam meditasi. Itulah sebabnya Tuhan diwujudkan dihadapan mereka setiap kali mereka inginkan, berbicara dengan mereka, dan memenuhi keinginan mereka. (Divine Discourse, Feb 23, 2009)

-BABA

Monday, March 23, 2015

Thought for the Day - 23rd March 2015 (Monday)


The entire Universe is suffused with Divinity. Since your mind is steeped in Prakruthi (worldly objects) you are not able to see Paramatma (Divine). Just as when you focus your attention at a necklace, you shut your eyes to what it is made of, similarly as long as you look at the world with a materialistic attitude, Divinity shuts itself off from us. Once you gaze at the world with a divine attitude you see only Divinity. Who are the thieves that steal from every human being their peace and joy? They are the thieves of desire, pride, greed, infatuation, anger and jealousy, who rob a man of all his riches. But the worst of all thieves who inflicts the worst damage is matsarya (envy). We must win over our internal enemies and turn our gaze to Divinity who pervades the entire Universe.
Seluruh Alam semesta diliputi dengan Divinity. Karena pikiranmu tenggelam dalam Prakruthi (objek-objek duniawi) engkau tidak dapat melihat Paramatma (Tuhan). Sama seperti ketika engkau memusatkan perhatian pada kalung, engkau menutup matamu, terbuat dari apa kalung tersebut, demikian juga selama engkau melihat dunia dengan sikap materialistis, Divinity menutup diri dari kita. Setelah engkau menatap dunia dengan sikap ilahi, maka engkau hanya melihat Divinity. Siapakah pencuri yang mencuri kedamaian dan sukacita pada setiap manusia? Pencuri itu adalah keinginan, kebanggaan, keserakahan, kegila-gilaan, kemarahan, dan cemburu, yang merampok manusia dari segala kekayaannya. Tetapi yang terburuk dari semua pencuri yang menimbulkan kerusakan terburuk adalah matsarya (iri hati). Kita harus menang atas musuh internal kita dan mengubah pandangan kita menuju Divinity yang meliputi seluruh alam semesta. (Summer Showers in Brindavan 1993, Ch 6)

-BABA

Sunday, March 22, 2015

Thought for the Day - 22nd March 2015 (Sunday)


Love is God, love is Nature, love is life and love is the true human value. It is on the basis of the principle of love that sages declared: Loka samastha sukhino bhavantu (May the whole world be happy!). Love even the worst of your enemies. Sanctify every day by cultivating sacred thoughts and broad feelings. Today, humanity is stricken with fear and restlessness. Courage and strength are on the decline, because you have unsacred thoughts and wicked feelings. Your enemies are not outside. Your bad thoughts are your worst enemies and thoughts based on Truth are your best friends. You must make Sath, the eternal Truth, as your best friend. Worldly friends and enemies change with passage of time, but God is your true and eternal friend. This friend is always with you, in you, around you, above you, below you and protects you just as the eyelid protects the eye.
Kasih adalah Tuhan, Kasih adalah Alam Semesta, kasih adalah kehidupan, dan kasih adalah nilai manusia yang sejati. Hal ini berdasarkan prinsip cinta-kasih yang disampaikan oleh orang bijak: Loka samastha sukhino Bhavantu (Semoga seluruh dunia berbahagia!). Kasihilah bahkan musuhmu yang terburuk. Sucikanlah setiap hari dengan mengolah pikiran suci dan perasaan yang luas. Saat ini, umat manusia terserang rasa takut dan gelisah. Keberanian dan kekuatan menurun, karena engkau memiliki pemikiran yang tidak murni dan perasaan yang jahat. Musuhmu tidak berada di luar. Pikiran burukmu adalah musuh terburukmu dan pikiran berdasarkan Kebenaran adalah teman terbaikmu. Engkau harus membuat Sath, Kebenaran abadi, sebagai teman terbaikmu. Teman dan musuh duniawi berubah dengan berlalunya waktu, tetapi Tuhan adalah teman sejati dan temanmu yang abadi. Teman ini selalu bersamamu, di dalam dirimu, di sekitarmu, di atasmu, di bawahmu, dan melindungimu seperti kelopak mata melindungi mata (Divine Discourse, 18 March 1999)

-BABA

Friday, March 20, 2015

Thought for the Day - 21st March 2015 (Saturday)

You would have celebrated many Ugadi (New Year day) festivals in your life. Certain traditional practices go with every festival, such as having a sacred bath, wearing new clothes, cleaning the house and decorating it with buntings of green leaves. Greatness lies in purifying our thoughts, not merely the transient human body. The significance of a festival does not lie in wearing new clothes but in cultivating new and noble thoughts. The house should be decorated not merely with the buntings of green leaves, but with buntings of love. Share your love with everyone who visits your house. Only then would we be celebrating the festival in its true spirit. This is the beginning of Nuthana Samvatsara (New Year). Vatsara is another name of God. Time is God.
Engkau telah merayakan banyak perayaan Ugadi (Tahun Baru) dalam hidupmu. Praktik-praktik tradisional tertentu berlalu pada setiap perayaan, seperti mandi suci, mengenakan baju baru, membersihkan rumah, dan mendekorasi dengan bendera daun hijau. Kebesaran terletak pada memurnikan pikiran kita, bukan hanya pada badan jasmani yang bersifat sementara. Signifikansi perayaan tidak terletak pada mengenakan pakaian baru, tetapi dalam mengembangkan pikiran-pikiran baru dan mulia. Rumah harus dihiasi tidak hanya dengan bendera daun hijau, tetapi dengan bendera cinta-kasih. Engkau hendaknya berbagi cinta-kasih dengan semua orang yang mengunjungi rumahmu. Hanya setelah itu kita merayakan festival dengan semangat sejati. Inilah awal dari Nuthana Samvatsara (Tahun Baru). Vatsara adalah nama lain dari Tuhan. Waktu adalah Tuhan. (Divine Discourse, 18 March 1999)

-BABA

Thought for the Day - 20th March 2015 (Friday)

God is not found separately in a temple or in an ashram. Truth is God. Love is God. Dharma is God. When you worship God by following these principles, He will manifest Himself then and there. Do not doubt this. Love God wholeheartedly. Pray to God and make friends with Him. You can achieve anything if you have God as your friend. Learn today to fill your heart with love and adorn your hand with the ornament of sacrifice. Sacrifice is the jewel for the hands. Truth is the necklace one should wear. You must develop the habit of adorning these jewels. Develop divine love and foster peace in the country. Pray with a broad feeling: Loka samastha sukhino bhavantu (May the whole world be happy)! Start every day with this prayer. Then, you will lead a blissful and peaceful life which is full of enthusiasm. Love God and make friendship with Him, and you are bound to be successful in all your endeavours.
Tuhan tidak ditemukan secara terpisah di kuil atau di ashram. Kebenaran adalah Tuhan. Kasih adalah Tuhan. Dharma adalah Tuhan. Ketika engkau memuja Tuhan dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, Ia akan mewujudkan diri-Nya saat itu juga. Jangan meragukan hal ini. Kasihilah Tuhan dengan sepenuh hati. Berdoalah kepada Tuhan dan berteman dengan-Nya. Engkau dapat mencapai apa pun jika engkau memiliki Tuhan sebagai temanmu. Pelajarilah hari ini untuk mengisi hatimu dengan kasih dan menghiasi tanganmu dengan ornamen pengorbanan. Pengorbanan adalah permata untuk tangan. Kebenaran adalah kalung yang harus dipakai. Engkau harus mengembangkan kebiasaan menghiasi perhiasan tersebut. Kembangkanlah cinta-kasih Tuhan dan kedamaian di negara ini. Berdoalah dengan perasaan yang luas: Loka samastha sukhino Bhavantu (Semoga seluruh dunia berbahagia)! Mulailah setiap hari dengan doa ini. Maka, engkau akan menjalani hidup bahagia dan damai yang penuh antusiasme. Engkau hendaknya mengasihi Tuhan dan membuat persahabatan dengan-Nya, maka engkau terikat untuk berhasil dalam semua usahamu. (Divine Discourse, 18 March 1999)

-BABA

Thursday, March 19, 2015

Thought for the Day - 19th March 2015 (Thursday)

In everything you do, speak and act truthfully, using all the strength and talent you are endowed with. At first, you might fail in this and encounter difficulties and sufferings. But ultimately, by virtue of your behaviour, you are bound to succeed, and achieve victory and bliss. A person who is a genuine vehicle of power can be recognised by the characteristics of truth, kindness, love, patience, forbearance and gratefulness. Wherever these reside, ego (ahamkara) cannot subsist. Therefore, seek to develop these. The effulgence of the Divine (Atma) is obscured by ego. When ego is destroyed, all troubles end, all discontents vanish, and bliss is attained. Just as the Sun is obscured by mist, so the feeling of ego hides eternal bliss. Even if the eyes are open, a piece of cloth can prevent vision from functioning effectively and usefully. So too, the screen of selfishness prevents one from seeing God, who is nearest to you.
Dalam semua hal yang engkau lakukan, berbicara dan bertindaklah dengan jujur, menggunakan semua kekuatan dan bakat yang diberikan kepadamu. Pada awalnya, engkau mungkin gagal dalam hal ini dan menghadapi kesulitan dan penderitaan. Tetapi pada akhirnya, berdasarkan perilakumu, engkau terikat untuk berhasil, dan mencapai kemenangan dan kebahagiaan. Seseorang dengan sarana kekuatan sendiri dapat dikenali dengan karakteristik kebenaran, kebaikan, cinta-kasih, ketelatenan, kesabaran, dan rasa syukur. Dimanapun ini berada, ego (Ahamkara) tidak dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, berusahalah untuk mengembangkan hal ini. Cahaya dari Ilahi (Atma) digelapkan oleh ego. Ketika ego dihancurkan, semua masalah berakhir, semua ketidakpuasan lenyap, dan kebahagiaan dicapai. Sama seperti Matahari yang dikaburkan oleh kabut, sehingga perasaan ego menyembunyikan kebahagiaan abadi. Bahkan jika mata terbuka, sepotong kain dapat mencegah pandangan dari berfungsi secara efektif dan berguna. Demikian juga, layar keegoisan mencegah seseorang untuk melihat Tuhan, yang dekat denganmu. (Prema Vahini, Ch 14)

-BABA

Wednesday, March 18, 2015

Thought for the Day - 18th March 2015 (Wednesday)

The scriptures are as affectionate to us as a mother. They teach lessons as a mother to her children, in conformity with the level of intelligence and according to the needs of time and circumstance. A mother of two children gives the healthy one every item of food for which it clamours, but she takes great care not to overfeed the sick child and gives it only items that can restore it soon to good health. Can we accuse her of being partial to one and prejudiced against the other in conferring love? The scriptures also draw the attention of those who know the secret of work (karma) to its innate value. Karma can improve life and set its ideals aright. Everyone must be instructed on how to transform work into beneficial activity. Yet, work is not all.
Kitab suci penuh kasih sayang kepada kita seperti seorang ibu. Kitab suci mengajarkan pelajaran seperti seorang ibu pada anak-anaknya, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan sesuai dengan kebutuhan waktu dan keadaan. Seorang ibu dengan dua orang anak, kepada anaknya yang sehat ia memberikan makanan apapun, tetapi ia mengambil perhatian besar untuk tidak mengijinkan makan sembarangan bagi anaknya yang sakit dan memberikan hanya makanan yang bisa memulihkan kesehatannya. Bisakah kita menganggapnya berat sebelah untuk satu anak terhadap anak lainnya dalam hal pemberian cinta-kasih? Kitab suci juga menarik perhatian bagi orang-orang yang mengetahui rahasia kerja (karma) dengan nilai bawaannya. Karma dapat meningkatkan kehidupan dan mengatur ideal yang benar. Setiap orang harus diinstruksikan tentang bagaimana untuk mengubah pekerjaan menjadi aktivitas yang bermanfaat. Namun, pekerjaan bukanlah segala-galanya. (Sutra Vahini, Ch 2)

-BABA

Tuesday, March 17, 2015

Thought for the Day - 17th March 2015 (Tuesday)


People create and develop in themselves an abounding variety of selfish habits and attitudes, causing great discontent for themselves. The impulse for all this comes from the greed for accumulating authority, domination, and power. Greed for things can never be eternal and full; it is just impossible for anyone to be satiated in fulfilling greed. Omnipotence belongs only to the Lord of all (Sarveswara). You may feel elated to become the master of all arts, owner of wealth, possessor of all knowledge, or repository of all the scriptures, but where did these come from? You may claim that you earned this through your own efforts, labour, and toil. But surely, it was given to you by someone some way or other. The source from which all authority and all power originate is the Lord of all. Ignoring that omnipotence, and deluding yourself that the little power you acquired is your own — is indeed is selfishness, conceit and pride (ahamkara).
Orang-orang menciptakan dan mengembangkan dalam diri mereka berbagai kebiasaan dan sikap mementingkan diri sendiri, yang menyebabkan ketidakpuasan besar untuk diri mereka sendiri. Dorongan untuk semua ini berasal dari keserakahan untuk mengumpulkan otoritas, dominasi, dan kekuasaan. Keserakahan untuk hal-hal tersebut, tidak pernah bisa abadi dan sempurna; itu hanya mungkin bagi siapa pun yang akan puas dalam memenuhi keserakahan. Kemahakuasaan hanya milik Tuhan (Sarveswara). Engkau mungkin merasa gembira untuk menjadi master dari semua seni, pemilik kekayaan, pemilik dari semua pengetahuan, atau repositori semua kitab suci, tetapi dari mana semuanya ini berasal? Engkau dapat menyatakan bahwa engkau mendapatkan ini melalui usahamu sendiri, tenaga kerja, dan kerja keras. Tetapi tentunya, itu diberikan kepadamu oleh seseorang dengan beberapa cara atau lainnya. Sumber dari mana semua otoritas dan semua kekuasaan berasal adalah Tuhan. Mengabaikan kemahakuasaan itu, dan menipu diri sendiri bahwa kekuatan kecil yang diperoleh adalah engkau sendiri - benar-benar merupakan tanda keegoisan, kesombongan dan kebanggaan (Ahamkara). (Prema Vahini, Ch 14)

-BABA

Monday, March 16, 2015

Thought for the Day - 16th March 2015 (Monday)

When the moon is just a little arc in the sky and one desires to see it, a person indicates it by pointing a finger towards it. Or, when one desires to look at a particular star, a person says, “There, just above that branch of this tree.” The moon is far away, and the star is much farther. At the moment it could be seen just above the branch, but that is only a temporary location. Soon, the location changes. The finger can no longer be correct, for the star or moon moves across the sky. But the genuine characteristic never undergoes change. The form may suffer change; the name may change; times may change; and the space it occupies may change. But the core of Truth will not change. That core is denoted as existence, luminescence, and attractiveness (asthi, bhathi, priyam) in Vedantic texts. The above three together are the nature of God. On these as the basis, forms are constructed by the mind, and names for the forms follow.
Ketika bulan hanya berbentuk sabit kecil di langit dan seseorang berkeinginan untuk melihatnya, seseorang menunjuk itu dengan menunjuk jari ke arah itu. Atau, ketika seseorang berkeinginan untuk melihat bintang tertentu, seseorang mengatakan, "Ada, tepat di atas cabang pohon ini." Bulan berada  jauh, dan bintang lebih jauh lagi. Pada saat itu, bintang bisa dilihat di atas cabang pohon, tetapi itu hanya lokasi sementara. Segera, kemudian lokasinya berubah. Jari tidak lagi menunjuk ke arah yang benar, karena bintang atau bulan bergerak melintasi langit. Namun karakteristik sejatinya tidak pernah mengalami perubahan. Bentuknya mungkin mengalami perubahan; nama bisa berubah; waktu dapat berubah; dan ruang yang ditempati dapat berubah. Tetapi inti dari Kebenaran tidak akan berubah. Inti dilambangkan sebagai eksistensi, cahaya, dan daya tarik (asthi, bhathi, priyam) dalam teks-teks Vedanta. Di atas ketiganya adalah sifat Tuhan. Pada bagian dasar ini, bentuk dibangun oleh pikiran, dan nama mengikuti wujud-Nya. (Sutra Vahini, Ch 2)

-BABA

Sunday, March 15, 2015

Thought for the Day - 15th March 2015 (Sunday)

All action (karma) done for the sake of three goals viz. to leverage the Universe for the worship of the Lord, to establish peace and justice in society, and to control and coordinate the functions of the body, is sacrifice. The first is called a holy, sacrificial ritual (yajna); the second, charity (dhana); the third, penance (tapas). All human acts must subserve these three needs, and an ethical life is the foundation for attaining that stage. This ethical life is based upon discrimination between truth and falsehood. Just as the pearl is retained while the shell is discarded, the essence that is Truth must be accepted and the nonessential rejected. For this, individual exertion and divine grace, both should be present. One should also constantly practice the great lesson that the body and the Atma are separate. This is a highly beneficial exercise. Such discrimination is necessary for secular as well as spiritual life.
Semua tindakan (karma) dilakukan demi tiga tujuan yaitu untuk memanfaatkan alam semesta untuk memuja Tuhan, untuk membangun kedamaian dan keadilan di masyarakat, dan untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan fungsi badan yaitu pengorbanan. Yang pertama disebut suci, ritual pengorbanan (yajna); kedua, amal (dhana); ketiga, penebusan dosa (tapas). Semua tindakan manusia harus mengabdi pada tiga kebutuhan tersebut, dan kehidupan yang beretika adalah pondasi untuk mencapai tahapan itu. Kehidupan yang beretika ini didasarkan pada diskriminasi antara kebenaran dan kepalsuan. Sama halnya dengan mutiara dipertahankan sementara kerangnya dibuang, esensinya adalah kebenaran harus diterima dan yang tidak esensial ditolak. Untuk ini, usaha individu dan rahmat Tuhan, keduanya harus ada. Seseorang juga harus terus berlatih pelajaran besar bahwa badan dan Atma terpisah. Inilah latihan yang sangat menguntungkan. Diskriminasi tersebut diperlukan untuk kehidupan sekuler serta kehidupan spiritual. (Prema Vahini, Ch 1)

-BABA

Saturday, March 14, 2015

Thought for the Day - 14th March 2015 (Saturday)


The cosmos is a magnificent wonder, a source of continuous amazement. It will impress anyone, whoever you are, as a supreme marvel. When an object has to be made, we know it needs someone with skill, intelligence, and power to make it. Without a maker, it is just impossible. Therefore, how could these visible objects — the sun, moon, stars, and constellations— move and behave as they do without a Supreme Creative Designer? Can they exist and function with any ordinary power? No. After observing the creation with such mighty capabilities, intelligent people can easily infer how immeasurable the power of the Maker must be. Not just that, look at the uniqueness and variety in creation! No one thing is the same as another; no one person resembles another. This can only be the sport (leela) of the phenomenon with limitless glory - God! No lesser power could be the source. From the mystery inherent in creation, understand the Creator.
Kosmos adalah sebuah keajaiban yang luar biasa, sumber yang mengagumkan tiada henti. Ini akan mengesankan bagi siapa pun, siapa pun engkau, sebagai suatu keajaiban tertinggi. Ketika sebuah benda harus dibuat, kita tahu itu membutuhkan seseorang dengan keterampilan, kecerdasan, dan kekuatan untuk membuatnya. Tanpa sang pencipta, itu tidak mungkin. Oleh karena itu, bagaimana mungkin benda-benda yang terlihat - matahari, bulan, bintang, dan perbintangan - bergerak dan berperilaku seperti yang mereka lakukan tanpa Sang Pencipta Yang Maha Agung? Dapatkah mereka ada dan berfungsi dengan kekuatan yang biasa? Tidak. Setelah mengamati penciptaan dengan kemampuan yang kuat seperti itu, orang-orang yang cerdas dapat dengan mudah menyimpulkan bagaimana tidak terbatasnya kekuatan Sang Pencipta. Bukan hanya itu, lihatlah keunikan dan variasi dalam penciptaan! Tidak ada satu hal yang sama seperti yang lain; tidak ada satu orang menyerupai yang lainnya. Ini hanyalah permainan (Leela) dari fenomena dengan kemuliaan yang tak terbatas - Tuhan! Tidak ada kekuatan yang lebih rendah yang bisa menjadi sumber. Dari misteri yang melekat dalam penciptaan, pahamilah Sang Pencipta. (Sutra Vahini, Ch 1)

-BABA

Friday, March 13, 2015

Thought for the Day - 13th March 2015 (Friday)

In this material world, one cannot appreciate the value of spiritual endeavor without experience in spiritual life and its purity. It may be said that one can undertake spiritual endeavor only after appreciating its value, but this is like saying that one should get into water only after learning to swim. Swimming can be learned only by getting into water with a float attached to the body. In the same way, with some float attached to the mind, plunge without fear into spiritual discipline. Then, you will yourself understand the value of spiritual endeavor. The nature and conditions of the spiritual path are known only to those who have journeyed along the road. They know that the path of truth and discrimination (Sathya and Viveka) leads to God (Paramatma). Those who have not trodden that path and those who are not aware of its existence cannot explain it to themselves or to others.
Dalam dunia materi ini, seseorang tidak bisa menghargai nilai usaha spiritual tanpa pengalaman dalam kehidupan spiritual dan kemurniannya. Bisa dikatakan bahwa seseorang dapat melakukan usaha spiritual hanya setelah menghargai nilainya, tetapi ini seperti mengatakan bahwa seseorang harus masuk ke dalam air setelah belajar berenang. Berenang dapat dipelajari hanya dengan masuk ke dalam air dengan pelampung yang melekat pada badan. Dengan cara yang sama, dengan beberapa pelampung yang melekat pada pikiran, terjunlah tanpa takut ke dalam disiplin spiritual. Maka, engkau akan memahami nilai usaha spiritual dirimu. Sifat dan kondisi jalan spiritual hanya diketahui orang-orang yang telah berjalan di sepanjang jalan itu. Mereka tahu bahwa jalan kebenaran dan diskriminasi (Sathya dan Viveka) mengarah kepada Tuhan (Paramatma). Mereka yang belum menginjak jalan itu dan mereka yang tidak menyadari keberadaannya tidak bisa menjelaskannya kepada diri sendiri atau orang lain. (Prema Vahini, Ch 14)

-BABA

Thursday, March 12, 2015

Thought for the Day - 12th March 2015 (Thursday)


Today people are too immersed in the all-pervasive delusion to take advantage of the natural characteristics in the Universe and elevate themselves. They are unable to hold on to the good and avoid the bad, and establish themselves on the righteous (dharmic) path. They are ignorant of the path of peace and harmony in the world. The scriptures clearly teach: From which you are born, by which you live, into which you dissolve —‘That’ is Brahman. God is ‘That’ from which the manifested cosmos emanated with its moving and unmoving entities; ‘That’ prompts, promotes and fosters your progress. The cosmos is not one continuous flux. It progresses persistently toward achieving totality in its evolution. Everyone can transform themselves from their present status only through their own self-effort and discrimination. The moral forces permeating the cosmos will certainly promote your achievement.
Saat ini orang-orang terlalu tenggelam dalam semua khayalan untuk mengambil keuntungan dari karakteristik alam di alam semesta dan meningkatkan diri mereka sendiri. Mereka tidak dapat berpegang pada yang baik dan menghindari yang buruk, dan membangun dirinya ke jalan yang benar (dharma). Mereka tidak mengetahui jalan kedamaian dan harmonis di dunia. Kitab-kitab suci dengan jelas mengajarkan: Dari mana engkau dilahirkan, dimana engkau tinggal, di mana engkau lebur -'Itu' adalah Brahman. Tuhan adalah 'Itu’ dari mana kosmos diwujudkan terpancar dengan entitas yang bergerak dan tak bergerak; 'Itu’ mendorong, meningkatkan, dan memupuk kemajuanmu. Kosmos melakukan perubahan secara terus-menerus bukan satu kali,  ini berlangsung secara terus-menerus untuk mencapai totalitas dalam evolusinya. Setiap orang dapat mengubah diri dari statusnya saat ini hanya melalui usaha mereka sendiri dan kemampuan diskriminasinya sendiri. Kekuatan moral meresapi kosmos tentu akan meningkatkan pencapaianmu. (Sutra Vahini, Ch 2)

-BABA

Wednesday, March 11, 2015

Thought for the Day - 11th March 2015 (Wednesday)


The Divine is the base, and also the superstructure. The beads are many, but the interconnecting, integrating string of the rosary is one. So also for the entire world of living beings; God, the permanent, omnipresent Parabrahman, is the base. The scriptures proclaim, “He who realises Divine verily becomes Divine (Brahmavid Brahmaiva Bhavathi)”. The bubble born of water floats in it and bursts to become one with it. All the visible objective worlds are like bubbles emanating from the vast ocean of Divinity, Brahman. They are on the water and are sustained by water. How else can they arise and exist? Finally, they merge and disappear in water itself. For their origination, subsistence, and mergence, they depend only on water. Water is the basis; bubbles are delusive forms of the same imposed on it.
Divine adalah dasar, dan juga suprastruktur. Manik-manik jumlahnya banyak, tetapi interkoneksi, yang mengintegrasikan benang rosario/tasbih adalah satu. Begitu juga bagi seluruh  makhluk hidup di dunia; Tuhan, yang permanen, Parabrahman yang ada di mana-mana, adalah dasar. Kitab suci menyatakan, "Dia yang menyadari Tuhan sesungguhnya menjadi Ilahi (Brahmavid Brahmaiva Bhavathi)". Gelembung tercipta dari air, mengapung di dalamnya dan menyembur menjadi satu dengannya. Semua dunia obyektif terlihat seperti gelembung yang berasal dari lautan luas Divinity, yaitu Brahman. Mereka berada di air dan ditopang oleh air. Bagaimana lagi mereka bisa muncul dan eksis? Akhirnya, mereka menyatu dan menghilang di dalam air itu sendiri, karena asal, subsisten/penghidupan, dan penyatuan, mereka hanya bergantung pada air. Air adalah dasar; gelembung adalah bentuk menyesatkan yang sama yang dikenakan pada itu. (Sutra Vahini, Ch 2)

-BABA

Tuesday, March 10, 2015

Thought for the Day - 10th March 2015 (Tuesday)

In order that one might do selfless service (seva), a little eating (bhoga) has to be gone through. Such eating is a part of sacrifice (yajna). To make this body-machine function, the fuel of food (anna) has to be used. Food is not sacrifice, but it makes sacrifice possible. Therefore, eating food is not to be laughed at as catering to greed, as feeding of the stomach. It is part of worship. Worship (puja) is not merely plucking a flower and placing it on top of the image; the gardener who toiled to nurse the plant that gave the flower is also a worshipper. Even the means for a sacrifice is an offering. Eating doesn’t mean placing food on the tongue; it is worthwhile only when chewed, swallowed, digested, assimilated into the bloodstream, and transformed into muscle and bone, into strength and vigour. So too, spiritual understanding must permeate and invigorate all moments of life. It must be expressed through all the organs and senses.
Agar seseorang bisa melakukan pelayanan tanpa pamrih (seva), makan sedikit (Bhoga) harus dilaluinya. Cara makan seperti itu, merupakan bagian dari pengorbanan (yajna). Untuk membuat badan berfungsi sebagai mesin, bahan bakar makanan (anna) harus digunakan. Makanan bukan pengorbanan, tetapi itu membuat pengorbanan menjadi mungkin terjadi. Oleh karena itu, makanlah makanan yang seperlunya agar tidak menimbulkan keserakahan, bukan sekedar memberi makanan bagi perut. Ini adalah bagian dari ibadah. Ibadah (puja) bukan hanya memetik bunga dan menempatkannya di atas gambar (Tuhan); tukang kebun yang bekerja keras untuk memelihara tanaman yang memberi bunga juga merupakan pemuja. Bahkan sarana untuk pengorbanan juga merupakan pengorbanan. Makan tidak berarti menempatkan makanan di lidah; akan lebih bermanfaat hanya jika makanan dikunyah, ditelan, dicerna, berasimilasi ke dalam aliran darah, dan berubah menjadi otot dan tulang, menjadi kekuatan dan semangat. Demikian juga, pemahaman spiritual harus menembus dan memperkuat semua momen kehidupan. Ini harus dinyatakan melalui semua organ dan indera. (Prema Vahini)

-BABA

Monday, March 9, 2015

Thought for the Day - 9th March 2015 (Monday)

When you perform an activity (kriya) as an offering to the Lord, your own good, what is good for others, and the highest good (swartha, parartha, and paramaartha) all merge! First, you and I become we. Next we and He becomes One. The individual soul, the ‘I’ (jiva) should accomplish identity first with the creation (prakriti) and then with the Supreme Divine (Paramatma). This indeed is the significance of the mantra Om Tat Sat (which connects the identity of the individual with the Universal Brahman). ‘He’ and ‘I’ are always there; the spiritual practice (sadhana) is always there too. Just as the sun is inseparable and is never apart from its rays, under no circumstances should any aspirant part with one’s sadhana. It is only then they can be said to be one with Om.
Bila engkau melakukan suatu kegiatan (kriya) sebagai persembahan kepada Tuhan, baik untuk dirimu sendiri, baik bagi orang lain, dan untuk kebaikan tertinggi (swartha, parartha, dan paramaartha) semuanya menyatu! Pertama, engkau dan Aku menjadi kita. Selanjutnya kita dan Dia menjadi satu. Jiwa individu, 'I' (jiva) harus mencapai identitas pertama dengan penciptaan (Prakriti) dan kemudian dengan Yang Ilahi (Paramatma). Ini merupakan arti dari mantra Om Tat Sat (yang menghubungkan identitas individu dengan  Brahman yang Universal). ‘Dia' dan 'aku’ selalu ada; praktik spiritual (sadhana) juga selalu di sana. Sama seperti matahari tidak dapat dipisahkan dan tidak pernah terlepas dari sinarnya, dalam keadaan apapun hendaknya setiap peminat spiritual mengambil bagian dalam sadhana. Hanya setelah itu, mereka bisa dikatakan satu dengan Om. (Prema Vahini)

-BABA

Sunday, March 8, 2015

Thought for the Day - 8th March 2015 (Sunday)


A bird in flight in the sky needs two wings; a person walking needs two legs; an aspirant eager to attain liberation needs two qualities: renunciation and wisdom — renunciation of worldly desires and wisdom to become aware of the Atma. When a bird has only one wing, it can’t rise up into the sky, can it? In the same manner, if one has only renunciation or only wisdom, one cannot attain the Divine. The sense of ‘mine’ is the bond of deluding attachment. How long can one cling to what one fondles as mine? Someday you must give up everything and leave, alone and empty handed. This is the inescapable destiny. Hence give up as quickly as possible assumed relationships and artificial attachments through rigorous analysis of their nature. Attachment breeds fear and egotism. The wise will never bow to the fancies of objective desire. Constantly stick to the everlasting truth and adhere to the immortal virtues that the Atma represents.
Seekor burung terbang di langit membutuhkan dua sayap; orang berjalan membutuhkan dua kaki; seorang aspirant (peminat) spiritual untuk mencapai pembebasan memerlukan dua kualitas: melepaskan keterikatan duniawi  dan kebijaksanaan - melepaskan diri dari keinginan duniawi dan kebijaksanaan untuk menyadari Atma. Ketika burung hanya memiliki satu sayap, bukankah ia tidak dapat terbang di langit? Dengan cara yang sama, jika seseorang hanya melepaskan keterikatan duniawi atau hanya memiliki kebijaksanaan, seseorang tidak bisa mencapai Tuhan. Peraasaan 'milikku' adalah ikatan yang memperdaya keterikatan. Berapa lama seseorang dapat berpegang teguh pada apa yang disukainya sebagai milikku? Suatu hari, engkau harus memberikan segalanya dan pergi, sendirian dan dengan tangan kosong. Inilah takdir yang tak terelakkan. Oleh karena itu secepat mungkin engkau hendaknya meninggalkan yang diasumsikan sebagai hubungan dan kemelekatan buatan melalui analisis yang keras sesuai dengan sifatnya. Kemelekatan menimbulkan ketakutan dan egoisme. Orang bijak tidak akan pernah tunduk pada keinginan-keinginan obyektif. Engkau hendaknya secara terus-menerus terikat pada kebenaran yang kekal dan mematuhi kebajikan abadi yang mewakili Atma. (Sutra Vahini, Ch 1)
-BABA

Saturday, March 7, 2015

Thought for the Day - 7th March 2015 (Saturday)

A time may come when you become tired and weak. Then you should pray thus: “Lord, things are beyond my capacity. I am finding it difficult to do any effort. Please give me strength!” At first, God stands at a distance, watching your efforts, like the invigilator teacher watching students write answers during examination. Then when you shed attachment to sensual pleasures (bhoga) and take to good deeds and selfless service, God comes nearer to you. Like the Sun, He waits outside your closed door. Like a servant who knows their master’s rights and their own limitations, God doesn’t bang the door but simply waits outside. When one opens the door just a little, like the Sun, God rushes in and promptly drives darkness out from within. So all you need is the discrimination (viveka) to pray and the spiritual wisdom (jnana) to remember Him.
Suatu waktu mungkin datang ketika engkau menjadi lelah dan lemah. Maka engkau harus berdoa sedemikian: "Tuhan, semuanya di luar kemampuan saya. Saya menemukan kesulitan untuk melakukan usaha apapun. Tolong berilah saya kekuatan! "Pada awalnya, Tuhan berdiri di kejauhan, menyaksikan usahamu, diibaratkan seperti guru pengawas ujian yang menyaksikan siswanya menulis jawaban selama ujian. Kemudian ketika engkau melepaskan keterikatan kesenangan sensual (Bhoga) dan melaksanakan perbuatan baik dan pelayanan tanpa pamrih, Tuhan datang lebih dekat kepadamu. Seperti Matahari, Dia menunggu di luar pintumu yang tertutup. Seperti seorang pengabdi yang mengetahui hak-hak majikan mereka dan keterbatasan mereka sendiri, Tuhan tidak menggedor pintu tetapi hanya menunggu di luar. Ketika seseorang membuka pintu hanya sedikit, seperti Matahari, Tuhan bergegas masuk dan segera mendorong kegelapan keluar dari dalam. Jadi semua yang engkau butuhkan adalah kemampuan diskriminasi (viveka) untuk berdoa dan kebijaksanaan spiritual (jnana) untuk mengingat-Nya. (Prema Vahini, Ch 1)

-BABA

Friday, March 6, 2015

Thought for the Day - 6th March 2015 (Friday)

Desire and bondage to the objects desired and the plans to secure them are attributes of the individualised selves, not of the Self or Atma resident in the body. The sense of me and mine and the emotions of lust and anger originate in the body-mind complex. Only when this complex is conquered and outgrown can true virtue emanate and manifest. The sense of ‘doer’ and ‘enjoyer’, of ‘agentship’, might appear to affect the Atma, but they are not part of the genuine nature of the Atma. Things get mirrored and produce images, but the mirror is not tarnished or even affected thereby. It remains as clear as it was. So too, a virtuous person might be subjected to some contaminating activities due to a backlog of acts in previous lives, but they cannot obstruct the person’s present nature or activities. The virtuous person has these genuine, basic attributes: purity, serenity, joy and is ever cheerful.
Keinginan dan perbudakan dengan objek yang diinginkan dan rencana untuk mengamankan mereka adalah atribut dari individu, bukan dari Sang Atma yang bersemayam dalam badan. Perasaan aku dan milikku dan emosi nafsu dan amarah berasal dari badan dan pikiran yang kompleks. Hanya ketika keruwetan ini ditaklukkan dan dikuasai maka kebajikan yang sejati memancar dan terwujud. Perasaan 'pelaku' dan 'penikmat', dari 'penyebab', mungkin muncul untuk mempengaruhi Atma, tetapi mereka bukan bagian dari sifat alami Atma. Ambillah cermin maka cermin dapat menghasilkan gambar, tetapi cermin tidak ternoda atau bahkan terpengaruh karenanya. Cermin tetap seperti itu. Demikian juga, orang yang berbudi luhur mungkin mengalami beberapa kegiatan mencemari karena tindakan-tindakan yang tertimbun dalam kehidupan sebelumnya, tetapi mereka tidak bisa menghalangi sifat atau aktivitas seseorang. Orang yang berbudi luhur memiliki sifat sejati ini, atribut dasar: kemurnian, ketenangan, sukacita, dan pernah ceria. (Sutra Vahini, Ch 1)

-BABA