Thursday, June 30, 2016

Thought for the Day - 30th June 2016 (Thursday)

The five elements that constitute the earth are also controlled by certain laws. Even the infinite ocean moves under certain laws and regulations. In order to get this limitation in the worldly plane, some discipline is necessary. In the context of the whole world, man’s life is only a part. Therefore man’s life has to be regulated. Whether it is for love, for hatred, or for anger, some regulation is necessary. For doing any kind of work in this world, there should be some order and discipline. Any work that you may do without discipline, will not yield good results. That which rules the world is the rule of law. What is required to control oneself and put oneself under the rule of law, is discipline. This control of oneself is like tapas or penance. A life, in which there is no discipline and control, will fail and fall one day or the other. One must recognise the truth that there should be controls on, and limits to, human nature.
Lima unsur yang menyusun bumi juga dikendalikan oleh beberapa hukum tertentu. Bahkan lautan yang luas bergerak oleh beberapa hukum dan aturan tertentu. Dalam upaya untuk mendapatkan pembatasan di dunia, beberapa disiplin diperlukan. Dalam konteks seluruh dunia, kehidupan manusia hanyalah sebuah bagian. Maka dari itu kehidupan manusia harus diatur. Apakah ini untuk kasih, untuk kebencian atau untuk amarah, beberapa aturan diperlukan. Untuk melakukan pekerjaan apapun di dunia ini, harus ada beberapa tata tertib dan disiplin. Pekerjaan apapun yang engkau lakukan tanpa dengan disiplin maka tidak akan menghasilkan hasil yang baik. Yang mengatur dunia adalah aturan hukum. Apa yang diperlukan untuk mengendalikan seseorang dan menempatkannya dibawah aturan hukum adalah disiplin. Pengendalian diri ini adalah seperti tapa atau penebusan dosa. Sebuah kehidupan yang tidak ada disiplin dan kontrol, akan gagal dan jatuh pada satu atau di lain hari. Seseorang harus menyadari kebenaran bahwa seharusnya ada pengendalian dan batas pada sifat manusia. (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 6)

-BABA

Thought for the Day - 29th June 2016 (Wednesday)

When we use the words ‘freedom of choice’ with respect to the spiritual path, we use these words only with regard to our understanding of the Divine. God is limitless; and one can have the freedom to have one’s own image of God, and yet enjoy the limitless aspect of God. The cloth may be different but the basic material, namely the thread which makes the cloth of different kinds, is the same. Ornaments are all different, but the gold which goes into making the ornaments is the same. The colour of the cattle may vary, but the milk is the same. The flowers may be of different types, but the worship for which they are used is one and the same. Human beings have missed this essential point and this is a result of their ignorance. People have submitted themselves to great many difficulties because of such ignorance. God is one, but each individual should be able to create a form for oneself according to one’s taste.


Ketika kita menggunakan kata-kata ‘kebebasan pilihan’ berkenaan dengan jalan spiritual, kita menggunakan kata-kata ini hanya dengan pemahaman kita tentang Tuhan. Tuhan adalah tidak terbatas; dan seseorang dapat memiliki kebebasan untuk memiliki gambaran Tuhan dan pada waktunya menikmati aspek Tuhan yang tidak terbatas. Pakaian mungkin saja berbeda namun bahan dasarnya yaitu benang yang membuat pakaian yang berbagai jenis adalah sama. Perhiasan semuanya adalah berbeda, namun emas yang dipakai untuk membuat perhiasan itu adalah sama. Warna dari ternak mungkin berbeda-beda namun susunya adalah sama. Bunga mungkin ada berbagai jenis, namun pemujaan yang menggunakan bunga adalah sama dan satu. Manusia telah kehilangan point yang mendasar ini dan ini adalah hasil kebodohan mereka. Manusia telah menyerahkan diri mereka sendiri ke dalam banyak kesulitan yang besar karena kebodohan itu. Tuhan adalah satu, namun setiap individu seharusnya mampu menciptakan sebuah wujud untuk dirinya sesuai dengan seleranya sendiri. (Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 5)

-BABA

Tuesday, June 28, 2016

Thought for the Day - 28th June 2016 (Tuesday)

You must all make up your minds to have unwavering faith and a steadfast vision. This is an attempt which you should make. Anyhow you have caught on to something; having caught on to it, keep holding on without leaving it. Anyhow you have desired for something; having desired thus, until the desire is fulfilled, do not leave. Anyhow you have asked for something; having asked for it, until it is given, do not give up. Anyhow you have thought of something; having thought about it, until it is realised, do not go away. Not able to bear any more, He should come to your rescue. Or you will have to keep asking until you lose your consciousness. That is all. Until then, do not change your mind. That is the right path, but to give up your determination is not the right path. Whatever obstacles may come in your way, if you do not bend and have firm faith, then we can build up a Krishna (God’s) army.


Engkau semua harus membentuk pikiranmu agar memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan dan pandangan yang kokoh. Ini adalah sebuah usaha yang engkau harus lakukan. Ketika engkau telah mengejar sesuatu; karena telah mengejarnya, tetap pegang tanpa melepaskannya. Ketika engkau telah menginginkan sesuatu; jangan lepaskan sampai keinginan itu tercapai. Ketika engkau telah meminta sesuatu; jangan menyerah sampai permintaan itu dikabulkan. Ketika engkau telah memikirkan sesuatu; tetap pikirkan sampai hal itu dan jangan pergi sampai hal itu terealisasi. Ketika engkau tidak tahan lagi maka Tuhan akan datang menyelamatkanmu. Atau engkau harus tetap meminta sampai engkau kehilangan kesadaranmu. Itulah semuanya. Sampai pada akhirnya, jangan mengubah pikiranmu. Itu adalah jalan yang benar, namun dengan menyerah akan keteguhan hatimu bukan jalan yang benar. Apapun halangan yang merintangi jalanmu, jika engkau tidak mengubah jalanmu dan tetap memiliki keyakinan yang mantap, kemudian kita dapat membangkitkan kekuatan Krishna (Tuhan). (Divine Discourse, Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 4)

-BABA

Monday, June 27, 2016

Thought for the Day - 27th June 2016 (Monday)

During troubled times, some people offer prayers to God believing that God is somewhere else and listening to their prayers, He comes all the way and solves their difficulties! In a worldly plane, if you go to a person in a position of authority and praise them, then they may do good to you! But God is not like someone who is in a position of authority! As soon as you think of God in your mind, His grace will help you. Scriptures declare, Brahma vid Brahmaiva Bhavati (The knowledge of Divine will transform you into God Himself). The result of your prayers is that divine qualities get cultivated within you and give you relief from suffering. Prayers to God, singing His glory, and thinking of Lord’s divine qualities are done only for your own peace and wellbeing, and to develop your good character. Hence promote good ideas, good ideals and good thoughts at all times.


Pada saat-saat yang sulit, beberapa orang mempersembahkan doa kepada Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan ada di suatu tempat dan sedang mendengarkan pada doa-doa mereka, Tuhan hadir dalam berbagai cara dan memecahkan kesulitan mereka! Dalam kehidupan duniawi, jika engkau pergi menemui seseorang yang memiliki jabatan atau kekuasaan dan engkau memujinya, maka mereka mungkin akan melakukan hal baik untukmu! Namun Tuhan bukanlah seperti seseorang yang memiliki jabatan atau kekuasaan! Saat engkau memikirkan Tuhan di dalam pikiranmu, maka rahmat-Nya akan menolongmu. Naskah suci menyatakan, Brahma vid Brahmaiva Bhavati (pengetahuan tentang Tuhan akan mengubahmu menjadi Tuhan itu sendiri). Hasil dari doamu adalah dimana sifat-sifat keillahian di dalam dirimu meningkat dan memberikanmu pertolongan dari penderitaaan. Berdoa kepada Tuhan, melantunkan kemuliaan-Nya, dan memikirkan sifat-sifat Tuhan dilakukan hanya untuk kedamaian dan kesejahteraan dirimu, dan untuk mengembangkan karakter baikmu. Oleh karena itu tingkatkanlah gagasan yang baik, ideal yang baik, dan pikiran yang baik sepanjang waktu. (Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 4)

-BABA

Sunday, June 26, 2016

Thought for the Day - 26th June 2016 (Sunday)

Imagine, ten children go to a cloth shop and choose some material which they like. These children are then taken to a tailor, and each one gives measurements appropriate to themselves and get a suitably stitched shirt. All the children have used the same cloth to get their shirts, but each one has different measurements. This is the right thing to do! If the tailor stitched all shirts to the same size and asked all the children to wear those shirts, would it be proper? If the child is not given a shirt that fits properly, he would be very uncomfortable wearing it. Similarly, God (Brahman) is shining in the hearts of everyone and depending upon their own picture of the effulgent Brahman present within them, everyone has the right to adore that particular Name and Form. Without this freedom, how can you understand and connect with the limitless, infinite, and omnipresent Divine?


Bayangkan, ada sepuluh anak pergi ke toko kain dan memilih beberapa barang yang mereka sukai. Anak-anak ini kemudian pergi ke tukang jahit pakaian dan setiap anak mengukur kain yang sesuai dengan mereka dan  menjahit pakaian yang sesuai dengan mereka. Semua anak-anak memiliki kain yang sama untuk pakaian mereka namun setiap orang anak memiliki pakaian dengan ukuran yang berbeda. Ini adalah hal yang benar yang dilakukan oleh penjahit! Jika penjahit menjahit semua pakaian dalam ukuran yang sama dan meminta semua anak-anak memakainya, akankah pakaian itu cocok? Jika anak tidak diberikan pakaian yang cocok dengannya, maka anak itu akan merasa tidak nyaman memakainya. Sama halnya, Tuhan (Brahman) bersinar di dalam hati setiap orang dan tergantung dari gambaran mereka tentang sinar Tuhan yang ada di dalam diri mereka, setiap orang memiliki hak untuk memuja Nama dan Wujud (Tuhan) tertentu. Tanpa adanya kebebasan ini, bagaimana engkau dapat memahami dan terhubung dengan Tuhan yang tidak terbatas, kekal dan ada dimana-mana? (Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 5)

-BABA

Thought for the Day - 25th June 2016 (Saturday)

If we think of some disturbing topic while eating our food, it will cause disturbance in our mind. That is why it is our traditional practice that while people are eating their food, no one should talk to them of unpleasant topics. The reason for this is that the moment we think of something and a thought passes through our mind, our heart attunes itself to that kind of thought. When you are sitting at home, if somebody shouts out that there is a scorpion running, irrespective of whether there is a scorpion or not, the very word will make us all shudder, react and move away. Therefore, a particular thing which enters our mind will make us get attuned to that thought in all our actions. So it follows that if we continue to think of the divine qualities of God, there is a chance that we ourselves develop those divine qualities in us.


Jika kita memikirkan beberapa topik yang mengganggu saat kita sedang makan, maka hal ini akan menyebabkan gangguan di dalam pikiran kita. Itulah sebabnya dalam praktik tradisional kita bahwa ketika orang-orang sedang makan maka tidak ada seorangpun yang boleh berbicara kepada mereka tentang topik yang tidak menyenangkan. Alasan untuk hal ini adalah bahwa saat kita memikirkan sesuatu dan sebuah gagasan muncul di dalam pikiran kita, maka hati kita menyesuaikan diri pada bentuk gagasan itu. Ketika engkau sedang duduk di dalam rumah, jika ada seseorang berteriak bahwa ada seekor kalajengking yang sedang lari, tanpa peduli dengan apakah ada kalajengking atau tidak, kata-kata teriakan tadi akan membuat kita semua menjadi ngeri, bereaksi, dan menjauh. Maka dari itu, sesuatu hal yang memasuki pikiran kita akan membuat kita menyesuaikan diri dengan gagasan dalam semua tindakan kita. Jadi, jika kita melanjutkan untuk memikirkan sifat-sifat Tuhan maka ada kesempatan dimana kita bisa mengembangkan sifat-sifat illahi itu di dalam diri kita. (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 4)

-BABA

Saturday, June 25, 2016

Thought for the Day - 24th June 2016 (Friday)

We may get a doubt as to why God should have so many different names. Each of these in fact refers to a particular quality of the Lord. We know that in a house the son comes and addresses the head of the family as father, while the daughter-in-law calls him father-in-law, the grandson addresses him as grandfather, and the wife as “My dear husband”. Here we see that because he has established different types of relationships, he is addressed by different names by different people. Similarly, a brahmin is called a pujari (priest) if he performs puja and is called a cook if he is cooking. He acquires a different name depending on the nature of work that he performs. Similarly depending on the time, situation and the country, God has been given different names that are appropriate to the situation and role He plays.
Kita mungkin menjadi ragu mengapa Tuhan harus memiliki banyak nama yang berbeda. Setiap nama ini sejatinya mengacu pada kualitas Tuhan. Kita mengetahui bahwa di dalam rumah seorang anak memanggil kepala keluarganya dengan sebutan ayah, sedangkan menantu perempuannya, memanggil kepala keluarga dengan mertua laki-laki, sedangkan cucu menyebutnya dengan seorang kakek, dan istrinya memanggilnya dengan “Suamiku tersayang”. Disini kita bisa melihat bahwa karena sang kepala keluarga memiliki berbagai jenis hubungan yang berbeda maka ia disebut dengan nama yang berbeda oleh orang yang berbeda. Sama halnya, seorang brahmin dipanggil dengan nama pujari (pendeta) jika ia melakukan puja dan dipanggil sebagai tukang masak ketika ia memasak. Ia mendapatkan nama yang berbeda tergantung dari sifat pekerjaan yang dilakukannya. Sama halnya tergantung dari waktu, situasi dan Negara, Tuhan telah diberikan nama yang berbeda yang sesuai dengan situasi dan peran yang Beliau mainkan. (Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 5)

-BABA

Thought for the Day - 23rd June 2016 (Thursday)

Many people perform ritual worship (puja) to God, adore Him and want to follow Him. For whose benefit are these offerings? They are only for our own benefit and not for God’s! Consider this example. When we think of something exciting in our mind, we find that our words show positive energy and our actions also show excitement. On the other hand, if there are sad thoughts in our mind, then our external body will reflect the sadness our mind is experiencing. Take an even simpler example - think of a lime and think that you are cutting it! If you like lime, you will find saliva on your tongue! Actually, the lime juice has not come and touched your tongue. Merely the thought of the lime juice makes your tongue water. So too, people adore and worship God such that by thinking of the good qualities of the Divine, they will also be inspired to cultivate noble qualities.
Banyak orang melakukan ritual pemujaan kepada Tuhan, menyembah-Nya dan ingin mengikuti-Nya. Untuk keuntungan siapakah semua persembahan ini? Semuanya itu adalah untuk keuntungan diri kita sendiri dan bukan untuk keuntungan Tuhan! Bayangkanlah contoh berikut ini, ketika kita berpikir sesuatu yang menyenangkan di dalam pikiran kita maka perkataan kita akan memancarkan energi yang positif dan tindakan kita juga memperlihatkan kegembiraan. Sebaliknya, jika ada pikiran yang menyedihkan di dalam benak kita maka kemudian tubuh luar kita juga memantulkan kesedihan yang dialami oleh pikiran kita. Ambillah sebuah contoh yang lebih sederhana – bayangkan sebuah jeruk nipis dan bayangkan engkau sedang memotongnya! Jika engkau suka pada jeruk nipis maka engkau akan mendapatkan air liurmu di lidah! Sejatinya, jeruk nipis itu belum menyentuh lidahmu. Hanya dengan memikirkan jeruk nipis bisa membuat lidah kita menjadi basah. Begitu juga, manusia menyembah dan memuja Tuhan dengan memikirkan sifat-sifat baik Tuhan maka mereka juga akan terinspirasi untuk meningkatkan sifat-sifat yang luhur. (Divine Discourse, Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 4)

-BABA

Wednesday, June 22, 2016

Thought for the Day - 22nd June 2016 (Wednesday)

If you conquer your mind, you will attain peace. If you attain peace, you will look at all things with an equal mind. Good and bad, respect and disrespect, likes and dislikes are all aspects of one and the same thing, Brahman (Divinity). If you are able to get divine grace, everything will flow smoothly. If you are far away from divine grace, evil planets will begin to influence you. Sage Viswamitra pleased Brahma through his intense austerities. Lord Brahma removed the clouds of doubts that were hiding the intrinsic strength present in Sage Viswamitra. Lord Brahma taught Viswamitra to recognise the divine presence everywhere and told him to sing the Lord’s grace and presence. The divine aspect is not something which is separate and distinct, but God is omnipresent. It is not a matter with some specific features. It is spirit (parartha) and not matter or object (padartha). God is, and is present everywhere.


Jika engkau menaklukan pikiranmu, engkau akan mendapatkan kedamaian. Jika engkau mendapatkan kedamaian, engkau akan melihat semuanya dengan pikiran yang sama. Baik dan buruk, hormat dan kurang hormat, suka dan tidak suka semuanya adalah aspek dari satu dan hal yang sama - Brahman (keillahian). Jika engkau mampu mendapatkan rahmat Tuhan, maka segala sesuatunya akan berjalan dengan lancar. Jika engkau berada jauh dari rahmat Tuhan, planet-planet jahat akan mulai mempengaruhimu. Resi Wiswamitra menyenangkan Brahma melalui tapa brata yang hebat. Dewa Brahma menghilangkan awan keraguan yang menyembunyikan kekuatan yang sebenarnya yang ada pada Resi Wiswamitra. Dewa Brahma mengajarkan Wiswamitra untuk menyadari kehadiran Tuhan di setiap tempat dan mengatakan padanya untuk melantunkan rahmat Tuhan dan kehadiran-Nya. Aspek Tuhan bukanlah sesuatu yang bersifat terpisah dan berbeda. Tuhan ada dimana-mana; tidak peduli dengan beberapa ciri-ciri khusus, ini adalah jiwa (parartha) dan bukan zat atau objek (padartha). Tuhan hadir dimana-mana. (Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 5)

-BABA

Tuesday, June 21, 2016

Thought for the Day - 21st June 2016 (Tuesday)

People cry when they are born. People cry when they die. People cry even in between for various things. We have, however, to ask, do people cry for obtaining real knowledge about the ultimate? Do they cry for the grace of God? Do they cry for understanding and realising God? In life, it is the desire of every human being to enjoy peace and happiness. But have we made an effort to know the real reason for lack of peace and happiness in our lives? Such lack of peace and happiness can only be relieved when we know what we ought to know, when we forget what we ought to forget and when we reach the destination we ought to reach. What is it that we should forget and we should know? What is it that we should reach? We have to forget the aspect of jiva (individuality). We should know what our true Self is. We have to reach Godhood.
Manusia menangis ketika lahir. Manusia menangis ketika mereka meninggal. Manusia menangis bahkan untuk berbagai jenis hal. Bagaimanapun juga, kita harus menanyakan apakah mereka menangis untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati tentang yang tertinggi? Apakah mereka menangis untuk rahmat Tuhan? Aapakah mereka menangis untuk memahami dan menyadari Tuhan? Dalam hidup, adalah keinginan dari setiap manusia untuk menikmati kedamaian dan kebahagiaan. Namun sudahkah kita melakukan usaha untuk mengetahui alasan sebenarnya untuk kurangnya kedamaian dan kebahagiaan di dalam hidup kita? Seseorang dapat diselamatkan dari kurangnya kedamaian dan kebahagiaan ketika kita mengetahui apa yang harus kita ketahui, ketika kita melupakan apa yang seharusnya kita lupakan dan ketika kita mencapai tujuan yang harus kita capai. Apa yang seharusnya kita lupakan dan yang harus kita ketahui? Apa yang seharusnya kita capai? Kita harus melupakan aspek dari jiva (individu). Kita harus mengetahui apakah diri yang sejati itu. Kita harus mencapai ketuhanan. (Summer Showers in Brindavan, 1972, Ch 6)

-BABA

Thought for the Day - 20th June 2016 (Monday)

Many clamour to experience spiritual bliss but few earn it, because they are too weak to reject the clamour of the senses! A little enquiry will reveal that senses are bad masters; the joy they bring is transitory and fraught with grief. Mere knowledge of this fact will not endow you with joy; only the contemplation of the might and majesty of God, can be a never-failing source of joy. No two individuals agree on any matter, be they brothers or sisters, life-mates or father and son. It is only as pilgrims on the Godward path that people heartily agree and lovingly co-operate. Be a pilgrim on the spiritual path even while attending to your daily duties. Feel that each moment is a step unto Him. Do everything, dedicating unto Him as He directs, as work for His adoration or to serve His children. Test your actions, words, thoughts on this touchstone: "Will this be approved by God? Will this rebound to His renown?"
Banyak tuntutan untuk mengalami kebahagiaan spiritual namun hanya sedikit yang mendapatkannya, karena mereka terlalu lemah untuk menolak tuntutan dari indera! Sedikit penyelidikan akan mengungkapkan bahwa indera adalah majikan yang buruk; suka cita yang dibawakan oleh indera adalah sementara dan penuh dengan kesedihan. Hanya dengan pengetahuan dari kenyataan ini tidak akan memberikanmu suka cita; hanya dengan merenungkan keagungan dan kemuliaan dari Tuhan, pastinya dapat menjadi sumber dari suka cita. Tidak ada dua individu yang menyepakati hal apa saja, apakah mereka sebagai saudara, pasangan hidup, atau ayah dan anak. Hanya mereka yang berjalan di jalan Tuhan yang dapat sepenuh hati setuju dan bekerjasama penuh dengan kasih. Jadilah peziarah dalam jalan spiritual bahkan dalam menjalankan kewajibanmu setiap hari. Rasakan bahwa setiap moment adalah sebuah langkah menuju kepada-Nya. Kerjakan apapun, persembahkan kepada-Nya seperti yang Beliau arahkan, karena kerja adalah untuk pemujaan kepada-Nya, atau untuk melayani anak-anak-Nya. Ujilah perbuatan, perkataan, dan pikiranmu dalam batu uji ini: "Akankah ini dapat disetujui oleh Tuhan? Akankah ini memantulkan kemashyuran-Nya?" (Divine Discourse, 23-Nov-1968)

-BABA

Monday, June 20, 2016

Thought for the Day - 19th June 2016 (Sunday)

Imagine a book in your hand and a friend comes by as you are reading it. On seeing the friend you ask for a loan of ten rupees. The friend is willing to give the loan but before that, he wishes to see the book you are reading. As the friend turns a few pages, he finds a ten rupee note inside the book and asks you why you want a loan when the ten rupee note is already inside the book. Immediately you respond, “I forgot about this ten rupee note that I placed in the book! I no longer need a loan”, and you are now very happy. The fact is that the ten rupee note really is yours and you forgot it, which your friend pointed out for you! So too, a real Guru points out the divine aspect within you, and draws your attention to the reservoir of strength and wisdom in your own hearts.

Bayangkan sebuah buku di tanganmu dan seorang teman melintas ketika engkau sedang membaca buku itu. Ketika melihat temanmu, engkau meminta untuk meminjam uang sebanyak 10 rupee. Temanmu ingin memberikanmu pinjaman namun sebelum itu ia berharap dapat melihat buku yang sedang engkau baca. Ketika temanmu sedang membuka beberapa halaman dan ia menemukan uang 10 rupee di dalam bukumu serta menanyakan mengapa engkau ingin meminjam uang ketika uang 10 rupee sudah di dalam bukumu. Dengan segera engkau menjawab, “Saya lupa tentang 10 rupee ini yang saya taruh di dalam buku! Saya tidak lagi memerlukan pinjaman”, dan sekarang engkau merasa senang. Kenyataannya adalah bahwa uang 10 rupee adalah milikmu dan engkau melupakannya, yang mana temanmu menunjukkannya untukmu! Begitu juga, seorang guru yang sejati menunjukkan aspek keillahian di dalam dirimu, dan menarik perhatianmu pada gudang dari kekuatan dan kebijaksanaan di dalam hatimu sendiri. - Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch
-BABA

Sunday, June 19, 2016

Thought for the Day - 18th June 2016 (Saturday)

When the tongue craves for some delicacy, assert that you will not cater to its whims. If you persist in giving yourself simple food that is not savoury or hot, but amply sustaining, the tongue may squirm for a few days, but it will soon welcome it. That is the way to subdue it and overcome the evil consequences of it being your master. Since the tongue is equally insistent on scandal and lascivious talk, you have to curb that tendency also. Talk little, talk sweetly, talk only when there is pressing need, talk only to those to whom you must; do not shout or raise the voice in anger or excitement. Such control will improve health and mental peace. It will lead to better public relations and less involvement in contacts and conflicts with others. It will conserve your time and energy; you can put your inner energies to much better use.

Ketika lidah menginginkan makanan yang lezat, tegaskan bahwa engkau tidak akan memenuhi keinginannya. Jika engkau tetap memberikan dirimu sendiri dengan makanan yang sederhana yang tidak lezat atau pedas, namun penuh dengan gizi, lidah mungkin menggeliat untuk beberapa hari, namun lidah segera akan menerimanya. Itulah caranya untuk menundukkan dan mengatasi akibat jahat dari lidah sebagai majikanmu. Karena lidah secara terus menerus terlibat dalam perbuatan yang memalukan dan pembicaraan yang menimbulkan nafsu, engkau juga harus menaklukan kecendrungan itu juga. Sedikit berbicara, berbicara dengan lembut, berbicara hanya ketika ada keperluan yang mendesak, berbicara hanya pada mereka yang harus engkau ajak bicara; jangan berteriak atau menaikkan suara dalam kemarahan atau kegirangan. Pengendalian yang seperti ini akan meningkatkan kesehatan dan kedamaian batin. Selain itu, ini juga dapat menuntun pada hubungan masyarakat yang lebih baik dan lebih sedikit adanya bersinggungan dan konflik dengan yang lainnya. Ini juga akan menghemat waktu dan energimu; engkau dapat menggunakan energi dalam dirimu untuk hal yang lebih banyak berguna. - Divine Discourse, Nov 23, 1968.
-BABA

Thought for the Day - 17th June 2016 (Friday)

After listening to a spiritual discourse, you should not spend your time in irrelevant things, but try to recapitulate and put into practice what you have learnt. You hear while you sit here; you must eat and digest this material when you go back. After taking in what you have listened to here, you must put it into practice so that you may digest it. After you have been able to digest all this, all the doubts will be cleared and you will get the strength of doubtlessness. One who does not have the capacity for digestion will get the disease of indigestion. Unless you try to digest and put into practice all that you listen to, learn, and assimilate, it is of no use. The person who repeats that he or she is full of doubts is really the one who suffers from indigestion. One who can understand themselves clearly will never have doubts.

Setelah mendengarkan ceramah spiritual, engkau seharusnya tidak menghabiskan waktumu pada hal-hal yang tidak relevan, namun cobalah untuk memberikan ikhtisar dan menjalankannya tentang apa yang telah engkau pelajari. Engkau mendengarkan ketika engkau sedang duduk di sini; engkau harus mencerna hal-hal ini ketika engkau kembali pulang. Setelah mendapatkan apa yang telah engkau dengarkan disini, engkau harus menjalankannya sehingga engkau bisa mencernanya. Setelah engkau telah mampu mencerna semuanya ini, maka semua keraguan akan dibersihkan dan engkau akan mendapatkan kekuatan dari tanpa keraguan. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan dalam mencerna akan mendapatkan penyakit kesukaran mencerna. Kecuali kalau engkau mencoba untuk mencerna dan mempraktekkan semua yang engkau dengarkan, belajar dan memahaminya, maka ini tidak ada gunanya. Seseorang yang mengulang bahwa ia penuh dengan keraguan adalah seseorang yang menderita dari ketidakmampuan mencerna. Seseorang yang dapat mengerti dirinya sendiri dengan jelas tidak akan pernah memiliki keraguan. - Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 4
-BABA

Thursday, June 16, 2016

Thought for the Day - 16th June 2016 (Thursday)

All the five elements have been created by the will of the Supreme. They must be used with reverential care and vigilant discrimination. Reckless use of any of them will only rebound on you with tremendous harm. Nature outside must be handled with discretion, caution and awe. It is the same with our inner 'nature' and internal instruments too! Of these, two are capable of vast harm - the tongue and one’s lust. Since lust is aroused and inflamed by the food consumed and the drink taken in, the tongue needs greater attention. While your eye, ear and nose have single uses, the tongue makes itself available for two purposes: to judge taste and to utter word - symbols of communication. You must control the tongue with double care, since it can harm you in two ways. Patanjali, (The author of Yoga Sutras) has declared that when tongue is conquered, victory is yours!

Semua lima unsur telah diciptakan oleh kehendak dari yang tertinggi. Lima unsur itu harus digunakan dengan ketelitian dan rasa hormat serta kemampuan membedakan yang waspada. Penggunaan yang sembrono dari lima unsur ini hanya akan memantulkan kembali pada dirimu kerusakan yang sangat besar. Alam diluar harus diperlakukan dengan berhati-hati, perhatian dan penuh hormat. Adalah sama juga dengan sifat yang ada di dalam diri dan juga sarana di luar! Dari semuanya ini, dua bagian yang bisa memberikan kesalahan yang besar – lidah dan nafsu birahi seseorang. Karena nafsu birahi muncul dan dikobarkan dari makanan dan minuman yang dikonsumsi, lidah membutuhkan perhatian yang lebih besar. Sedangkan mata, telinga dan hidungmu hanya memiliki satu fungsi, lidah memiliki dua fungsi: untuk menilai rasa dan mengucapkan kata – simbul dari komunikasi. Engkau harus mengendalikan lidah dengan perhatian ganda, karena lidah dapat merugikanmu dengan dua jalan. Patanjali, (pengarang Yoga Sutra) telah menyatakan bahwa ketika lidah dapat ditaklukan maka kemenangan menjadi milikmu! Divine Discourse, Nov 23, 1968
-BABA

Thought for the Day - 15th June 2016 (Wednesday)


Selfless Love is just one, in the same way Divinity (Brahman) is also not manifold. That is why scriptures state, “Ekam Eva Advitiyam Brahma”! That means, God is One and is the only One without a second. If we choose to understand the oneness in everything, we must seek to understand that oneness by recognizing the latent Divinity (Brahman) in different living beings that come into contact with us. Simply because you acquired a human form, you should not think that you are only human in nature. Your external form indicates that you are human. Never forget your inner self, the real aspect of Divine, who is firmly present in the depths of your heart. When God is firmly present within you, is it right for you to put up pretenses and false and inappropriate appearances? If under these circumstances, you begin to exhibit desires and show distortions, it will be doing injustice to this permanent aspect resident in your heart.

Kasih yang tidak mementingkan diri sendiri hanyalah satu, sama halnya dengan keillahian (Brahman)adalah tidak berbagai jenis.Itulah sebabnya mengapa dalam naskah suci disebutkan, “Ekam Eva Advitiyam Brahma”! yang artinya, Tuhan adalah satu dan hanya satu-satunya tanpa ada duanya. Jika kita memilih untuk mengerti kesatuan dalam segalanya, kita harus mencari pemahaman kesatuan itu dengan menyadari keillahian yang tersembunyi (Brahman) di dalam makhluk hidup yang berbeda yang datang berhubungan dengan kita.Hanya karena engkau mendapatkan tubuh manusia, engkau seharusnya tidak hanya berpikir bahwa engkau hanya manusia secara alami. Wujud luarmu menandakan bahwa engkau adalah manusia. Jangan pernah melupakan diri sejatimu, yang merupakan aspek sebenarnya dari keillahian, yang sejatinya ada di kedalaman hatimu.Ketika Tuhan sejatinya ada di dalam dirimu, apakah tepat bagimu untuk memasang kepura-puraan dan penampilan palsu dan tidak pantas? Jika dalam keadaan ini, engkau mulai memamerkan keinginan dan memperlihatkan penyimpangan, maka ini akan menjadi ketidakadilan pada aspek yang kekal ini yang bersemayam di dalam hatimu. - Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 4

-BABA

Tuesday, June 14, 2016

Thought for the Day - 14th June 2016 (Tuesday)

When we look at the Avatar of Narasimha, we get a feeling of terror. When Lord Narasimha appeared, it looked as if Prahlada was standing in a corner full of fear. At that time, Lord Narasimha looked at Prahlada and asked him if he was afraid of the fearsome figure which had come to punish his father; but Prahlada explained that he was not afraid of the Lord as it was the sweetest form one can comprehend. He said that he was indeed happy to be able to see the Lord. The Lord then asked why Prahlada was afraid. To this Prahlada replied that he was afraid because the divine vision which he was then having was likely to disappear in a few moments and he would soon be left alone. The fear which was troubling Prahlada was that God will leave him in this world and disappear. Prahlada wanted to ask God not to leave him. God’s divine vision and divine beauty are such that only his devotees can appreciate.


Ketika kita melihat pada Awatara dari Narasimha, maka kita akan memiliki perasaan takut. Ketika Narasimha muncul, kelihatan seolah-olah Prahlada sedang berdiri di sudut dengan penuh ketakutan. Pada saat itu, Narasimha memandang ke arah Prahlada dan menanyakannya jika ia merasa takut dengan wujud yang menakutkan yang Beliau ambil untuk menghukum ayahnya; namun Prahlada menjelaskan bahwa ia tidak merasa takut dengan Narasimha karena wujud dari Narasimha adalah wujud yang paling indah dari yang dapat seseorang pahami. Prahlada berkata bahwa ia benar-benar bahagia karena dapat melihat wujud Narasimha. Narasimha kemudian menanyakan mengapa Prahlada tidak merasa takut? Untuk ini Prahlada menjawab bahwa ia akan merasa takut karena pertemuan dengan Tuhan yang ia dapatkan akan menghilang dalam sekejap dan ia akan ditinggalkan sendirian. Ketakutan yang mengganggu Prahlada adalah Tuhan akan meninggalkannya di dunia ini dan menghilang. Prahlada ingin meminta kepada Tuhan untuk tidak meninggalkannya. Pandangan pada Tuhan dan keindahan Tuhan hanya dapat dihargai oleh bhakta-Nya. (Divine Discourse, Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 4)

-BABA

Monday, June 13, 2016

Thought for the Day - 13th June 2016 (Monday)



Brahman in the form of love enters minds and creates attachment between a person and another. If a mother shows affection to a child, we should interpret it as an aspect of the Divine and not just a bodily relationship. This aspect of Brahman present as love in the mother, expresses itself as affection. When this aspect enters the minds of friends, it takes the shape of friendship. When this spreads to various objects we like, it takes the form of desire. If this aspect is directed towards God, we call it devotion. Because this love is present in everyone, when we say, “Sarvam Brahma Mayam” (All this is Divine) we are stating an irrefutable truth. This is also why we say, “Love is God, Live in Love.” We must practice, “Start the day with Love; spend the day with Love; fill the day with Love; end the day with Love”, as this is the way to God.


Brahman dalam wujud cinta-kasih memasuki pikiran dan menciptakan keterikatan antara seseorang dan orang lain. Jika seorang ibu menunjukkan kasih sayang kepada sang anak, kita harus menafsirkannya sebagai aspek Ilahi dan bukan hanya sekedar hubungan fisik. Aspek Brahman ini muncul sebagai cinta-kasih pada si ibu, mengekspresikan diri sebagai kasih sayang. Ketika aspek ini memasuki pikiran teman-teman, ia mengambil bentuk persahabatan. Ketika aspek ini menyebar ke berbagai obyek yang kita suka, itu mengambil bentuk sebagai keinginan. Jika aspek ini diarahkan pada Tuhan, kita menyebutnya sebagai bhakti (pengabdian). Karena cinta-kasih ini hadir dalam setiap orang, ketika kita mengatakan, "Sarvam Brahma mayam" (Semuanya adalah Tuhan) kita menyatakan suatu kebenaran yang tak terbantahkan. Hal ini juga mengapa kita mengatakan, "Cinta-kasih adalah Tuhan, Hiduplah dalam Cinta-kasih." Kita harus mempraktikkan, "Mulailah hari dengan Cinta-kasih; lalui hari dengan Cinta-kasih; isilah hari dengan Cinta-kasih; akhiri hari dengan Cinta-kasih", karena ini adalah jalan menuju Tuhan. (Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 4)
-BABA


Thought for the Day - 12th June 2016 (Sunday)



The kind of tree that sprouts will be determined by the nature of the seed. The smell which one gets when one has a belch will be determined by the kind of food one eats. When Krishna was sent to the Kaurava court to undertake peace negotiations, the amount of trouble and the hesitation which the Pandava brothers had is not easily understood by others. The Pandava brothers, particularly Nakula and Sahadeva, were worried that their elder brother was sending Krishna into a court filled with evil people. They were greatly worried about a possible harm these people might do to Krishna. Until Krishna returned safely they did not even take a sip of water. Because the Pandavas had such great faith and affection towards Krishna, Krishna in turn was also protecting them at all times. The kind of connection that exists between God and His devotees is always strengthened by the bonds of love.


Jenis pohon yang tumbuh akan ditentukan oleh sifat dari benihnya. Bau yang timbul ketika seseorang bersendawa akan ditentukan oleh jenis makanan yang dimakannya. Ketika Sri Krishna dikirim ke pengadilan Kurawa untuk melakukan perundingan perdamaian, kesulitan dan keragu-raguan Pandawa bersaudara tidak mudah dipahami oleh orang lain. Pandawa bersaudara, terutama Nakula dan Sahadewa, khawatir bahwa saudara tertua mereka mengirim Sri Krishna ke pengadilan yang penuh dengan orang-orang jahat. Mereka sangat khawatir tentang bahaya yang mungkin mereka (Kurawa) lakukan untuk Sri Krishna. Sampai Sri Krishna kembali dengan selamat mereka bahkan tidak meminum seteguk air-pun. Karena Pandawa memiliki keyakinan dan kasih sayang yang besar terhadap Sri Krishna, Sri Krishna pada gilirannya juga melindungi mereka setiap saat. Jenis hubungan yang ada antara Tuhan dan umat-Nya selalu diperkuat dengan ikatan cinta-kasih. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains 1976, Ch 4)

-BABA

Sunday, June 12, 2016

Thought for the Day - 11th June 2016 (Saturday)

Often we prepare laddus (Indian delicacy) and its main ingredient is Bengal gram flour. Have you ever tasted this flour? The flour, by itself, cannot give any taste - it is because we add sugar to the flour, the delicacy acquires a special taste. Similarly, some people prepare special sweets with broken wheat powder (rava) which by itself has no taste. It acquires sweetness when sugar is added to it. Thus in all the various sweets, the basic ingredient and common aspect is sugar. Like in this analogy, in all things and people we see around us in the world, divine sweetness is the common constituent. Similarly in everyone there is this aspect of Truth, Wisdom and Bliss. Therefore, attach importance to the aspect of Divinity (Brahman). Do not promote the illusion of attachment to the body, because then you will not be able to understand the real aspect of Divinity (Brahman).


Sering kita mempersiapkan laddus (makanan lezat India) dan bahan utamanya adalah tepung Bengal. Pernahkah engkau merasakan tepung ini? Tepung sendiri tidak bisa memberikan rasa apapun – ini terasa karena kita menambahkan gula dalam tepung, kelezatan mendapatkan sebuah rasa yang khusus. Sama halnya, beberapa orang mempersiapkan manisan yang khusus dengan menggunakan tepung terigu (rava) yang mana tepung terigu ini tidak punya rasa. Tepung ini menjadi manis ketika ditambahkan gula ke dalamnya. Jadi di dalam semua manisan, bahan dasar dan umum adalah gula. Seperti halnya perumpamaan ini, dalam segala benda dan manusia yang kita lihat di sekitar kita di dunia, rasa manis keillahian adalah dasar yang menyusun semuanya ini. Sama halnya dalam diri setiap orang ada aspek kebenaran, kebijaksanaan, dan kebahagiaan. Maka dari itu, penting untuk terikat pada aspek keillahiaan (Brahman). Jangan mengembangkan khayalan akan keterikatan pada badan, karena engkau akan tidak mampu memehami aspek sejati dan keillahian (Brahman).  (Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 4)

-BABA

Friday, June 10, 2016

Thought for the Day - 10th June 2016 (Friday)

An individual may be an ideal in one particular sphere. But it is rare to find one who, in all spheres — social, political, spiritual, and economic - is able to guide being an ideal. When we take an overview of our ancient history, we find that Krishna was one such rare individual. He could be regarded as an ideal for the entire world. Truly, if we want to comprehend these ideal aspects of Krishna, we have to push aside, to some extent, the Divinity present in Him and concentrate on the human aspects of His life and work. So long as we concentrate on His divine aspects, the good human qualities in Him will not come to our attention in the proper perspective. Today people are prepared to worship man; but they are not prepared to understand man. Understanding the kind of divine strength that is present in human beings is possible only if we attempt to do so through human nature.


Seorang individu mungkin adalah seorang yang ideal dalam satu bidang tertentu. Namun adalah jarang dapat ditemukan seseorang yang dalam semua bidang — sosial, politik, spiritual, dan ekonomi – yang mampu menuntun menjadi ideal. Ketika kita melihat sejarah kita yang dulu, kita menemukan bahwa Sri Krishna adalah individu yang jarang ditemukan tersebut. Beliau dapat dikatakan sebagai seorang yang ideal bagi seluruh dunia. Sejatinya, jika kita ingin memahami ideal ini dari aspek Sri Krishna, maka kita harus mengesampingkan untuk beberapa batas tertentu tentang keillahian yang hadir bersama-Nya dan pusatkan perhatian pada aspek manusia dan hidup serta kerja-Nya. Selama kita berkonsentrasi pada aspek keillahian-Nya, kualitas baik dari aspek kemanusiaan-Nya tidak akan dapat kita pahami dalam perspektif yang tepat. Saat sekarang orang-orang siap untuk memuja manusia; namun mereka tidak siap untuk memahami manusia. Mengerti jenis kekuatan Tuhan yang hadir dalam diri manusia adalah memungkinkan hanya jika kita berusaha melakukannya melalui sifat alami dari manusia. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains 1976, Ch 4)

-BABA

Thought for the Day - 9th June 2016 (Thursday)

All the pains and difficulties that you get will ultimately turn out as a means to give you happiness and pleasure. Even a diamond of high quality does not get its value unless we cut the facets on it. Pure gold will not be turned into a beautiful ornament unless it is repeatedly put into fire and moulded. Whenever you experience pains, trials, obstacles and tribulations, you should recognise them as paths for obtaining ultimate happiness. So we should be prepared to accept pain. To seek pleasure alone and not to welcome pain is not right. Pleasure comes out of pain. We should recognise that all pain will ultimately end in pleasure.


Semua kepedihan dan kesulitan yang engkau dapatkan pada akhirnya ternyata adalah sebagai sarana untuk memberikanmu kebahagiaan dan kesenangan. Bahkan sebuah permata yang berkualitas tinggi memancarkan kualitas nilainya hanya ketika kita memotong permukaannya. Emas murni tidak akan dapat berubah menjadi perhiasan yang indah kecuali emas itu secara berulang kali ditaruh dalam api dan dibentuk. Kapanpun engkau mengalami kepedihan, cobaan, tantangan, dan kesengsaraan maka engkau harus menyadari semuanya itu sebagai jalan untuk dapat mendapatkan kebahagiaan yang tertinggi. Jadi kita harus siap untuk menerima kepedihan. Untuk mencari kesenangan saja dan tidak menerima dengan senang hati kepedihan adalah tidak benar. Kesenangan datang dari kepedihan. Kita seharusnya menyadari bahwa semua kepedihan akan berakhir pada kesenangan. (Divine Discourse, Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 3)

-BABA

Wednesday, June 8, 2016

Thought for the Day - 8th June 2016 (Wednesday)

To have faith in the Vedas and to accept the injunctions of the Veda is being regarded by the modern youth as outmoded and uncivilised. Young people today are not making an enquiry as to what is contained in the Vedas or in the Sastras (scriptures). They go further and say that those people who have faith in the Vedas and the Sastras are only having blind faith. If one argues, after acquainting oneself with the contents of what one is arguing about, one can argue for any length of time, but if a person is arguing without knowing the contents, it is not possible to have an argument. Our Vedas have been teaching us several aspects of Satyam or truth, of Jnanam or wisdom, and of Ananta or infinity. We should ask ourselves whether the people who describe truth as truth and knowledge as knowledge are foolish, or the people who describe truth as untruth and knowledge as ignorance are foolish.


Dengan memiliki keyakinan dalam Weda dan menerima larangan dari Weda dianggap sebagai ketinggalan zaman dan tidak beradab. Anak-anak muda saat sekarang tidak membuat usaha untuk mencari tahu apa yang termuat di dalam Weda atau naskah suci. Mereka berjalan jauh dan mengatakan bahwa mereka yang memiliki keyakinan dalam Weda dan naskah suci hanyalah memiliki keyakinan yang buta. Jika seseorang berdebat setelah menjelaskan tentang isi dari apa yang akan diperdebatkan maka seseorang dapat berdebat dalam waktu yang lama, namun jika seseorang berdebat tanpa mengetahui tentang isi perdebatannya, maka adalah tidak mungkin mendapatkan sebuah uraian. Weda kita telah mengajarkan kepada kita beberapa aspek dari Satyam atau kebenaran, Jnanam atau kebijaksanaan, dan Ananta atau ketidakterbatasan. Kita seharusnya menanyakan diri kita sendiri apakah orang-orang yang menjabarkan kebenaran sebagai kebenaran dan pengetahuan sebagai pengetahuan adalah orang bodoh, atau mereka yang menjelaskan kebenaran sebagai ketidakbenaran dan pengetahuan sebagai kebodohan adalah orang bodoh. (Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 3)

-BABA

Tuesday, June 7, 2016

Thought for the Day - 7th June 2016 (Tuesday)

Acquire the competence to understand the kind of love and tenderness that God showers on His devotees. Pleasure arises from pain and pain results in pleasure. Because the Pandavas were in the jungle for twelve years and hid themselves unrecognised for the thirteenth year, people now appreciate their noble qualities. Because of the many obstacles and troubles that Prahlada encountered, and the punishments meted out to him, the rest of the world now knows how great his devotion was. Prahlada never had tears in his eyes and never exhibited any pain when the demons were harming him. He was simply uttering the name of the Lord and requested the Lord’s presence. His devotion and equanimity in pain and pleasure is a living example even today of what real faith and devotion can do. On the other hand, had Prahlada lived with his father in luxury with care and tenderness, how would his faith be known?


Mendapatkan kemampuan untuk mengerti jenis kasih dan kelembutan hati yang Tuhan berikan kepada bhakta-Nya. Kesenangan muncul dari rasa sakit dan rasa sakit menghasilkan kesenangan. Karena para Pandawa di hutan selama 12 tahun dan menyembunyikan diri mereka agar tidak dikenali selama 13 tahun, orang-orang sekarang menghargai kualitas kebaikan mereka. Karena banyak tantangan dan masalah yang dijumpai oleh Prahlada, dan hukuman yang diberikan kepadanya, seluruh dunia mengetahui betapa hebatnya bhakti yang dimilikinya. Prahlada tidak pernah meneteskan air mata dan tidak pernah memperlihatkan rasa sakit apapun ketika para raksasa menyakitinya. Prahlada hanya mengulang-ulang nama Tuhan dan memohon kehadiran Tuhan. Rasa bhaktinya dan ketenangan hatinya dalam penderitaan dan kesenangan merupakan teladan nyata bahkan untuk saat sekarang tentang apa yang dapat dilakukan oleh keyakinan dan bhakti yang sejati. Sebaliknya, jika Prahlada tinggal bersama dengan ayahnya dalam kemewahan dengan kepedulian dan kelembutan, bagaimana bisa keyakinannya akan dapat diketahui? (Divine Discourse, Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 3)

-BABA

Thought for the Day - 6th June 2016 (Monday)

The word ‘surrender’ conveys that there is someone who gives and someone who accepts and that you are surrendering to someone. There is a feeling of duality implied in this word ‘surrender’. A person with a dual mind is half blind. The true meaning of surrender is the recognition of the fact that in everyone and everywhere God is present. The recognition of the presence of God in all beings (Jivas) is the true meaning of the word ‘surrender’. We should perform all the tasks enjoined upon us as our duty and it is not right to neglect our duty, sit idly and say that you have surrendered everything to the Lord. If you have the feeling that all the work you do is to please God, then that is the right aspect of surrender. You have not surrendered if you give the consequences of all the bad you do to God and take credit for the good consequences.

Kata ‘berserah diri’ menyampaikan bahwa ada seseorang yang memberi dan seseorang yang menerima dan bahwa engkau sedang berserah diri kepada seseorang. Ada sebuah perasaan dualitas yang tersirat dalam kata ‘berserah diri’. Seseorang yang pikiran dualitas adalah setengah buta. Makna yang sesungguhnya dari berserah diri adalah menyadari kenyataan bahwa dalam diri setiap orang dan di setiap tempat Tuhan hadir disana. Menyadari kehadiran Tuhan dalam semua makhluk (jiwa) adalah makna yang sesungguhnya dari kata ‘berserah diri’. Kita seharusnya melakukan semua tugas yang diberikan kepada kita sebagai kewajiban kita dan adalah tidak benar dengan mengabaikan kewajiban kita, duduk dengan malas dan berkata bahwa engkau telah menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Jika engkau memiliki perasaan bahwa semua pekerjaan yang engkau lakukan adalah untuk menyenangkan Tuhan, kemudian baru ada hak untuk aspek berserah diri. Engkau tidak berserah diri jika engkau memberikan semua akibat buruk dari yang engkau lakukan kepada Tuhan dan mendapat pujian untuk semua hasil yang bagus. (Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan, 1974, Vol 1, Ch 3)

-BABA

Monday, June 6, 2016

Thought for the Day - 5th June 2016 (Sunday)

As is the common practice even today, the chauffeur of a car is expected to open the door of the car when the owner gets down. One day, in Mahabharatha, after war, when the chariot returned and stood in front of his house, Arjuna insisted on Lord Krishna, his charioteer, getting down first and opening the door. Krishna disagreed and, in a strong language, admonished Arjuna, asking him to get down first and go inside. Not recognising the inner significance of Krishna’s words, Arjuna reluctantly accepted and no sooner did he go inside, Krishna jumped out of the chariot. The next moment, the entire chariot was in flames. When the surprised Pandavas asked why did the chariot get burnt, Krishna explained that all the powerful arms from the battle were subdued and kept under His feet; now when He left the chariot, they exploded. God always plans and takes care to protect His devotees from harm.


Seperti yang banyak terjadi pada saat sekarang, sopir dari mobil diharapkan untuk membukakan pintu mobil ketika sang pemilik mobil akan keluar. Pada suatu hari dalam Mahabharatha, setelah perang ketika kereta perang kembali dan sampai di depan rumahnya, Arjuna bersikeras pada Sri Krishna yang sebagai kusir keretanya untuk turun lebih dulu dari kereta perang dan membukakan pintu baginya. Sri Krishna tidak setuju dan dengan bahasa yang tegas menegur Arjuna dan memintanya untuk turun dari kereta terlebih dahulu dan masuk ke dalam rumah. Dengan tanpa mengetahui makna yang ada di balik perintah dari Sri Krishna, Arjuna dengan rasa malas menerima dan segera masuk ke dalam rumah, Sri Krishna kemudian melompat dari kereta itu. Sesaat kemudian, seluruh kereta itu terbakar. Karena terkejut, para Pandawa menanyakan mengapa kereta perang itu menjadi terbakar, Sri Krishna menjelaskan bahwa semua senjata yang sangat sakti dari perang itu telah dikendalikan dan tetap dijaga dibawah kaki-Nya; sekarang ketika Beliau meninggalkan kereta itu maka semua senjata sakti itu meledak. Tuhan selalu merencanakan dan melindungi bhakta-Nya dari bahaya. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains 1976, Ch 3)

-BABA

Thought for the Day - 4th June 2016 (Saturday)

The word surrender has been misinterpreted and people promote idleness in the name of surrender. We think that our mind and body have been surrendered to the Lord. Your mind is not under your own control, how then can you hold it and give it to the Lord? You have no control over your own body too. So to say that you have surrendered your mind and body to the Lord is untrue. The flute is a very good example of an instrument close to the Lord and the one great quality in the flute is its complete surrender. There is nothing left in the flute, there are no residual desires. In fact, the inside of the flute is completely hollow. The flute has nine holes in it, and the flute of our body has nine holes too. That flute has been able to go close to the Lord because it is completely hollow. So also, if we can remove all the pulp of desires from our body, then there is no doubt that this flute of our body can also go close to the Lord.


Kata berserah diri telah disalahartikan dan orang-orang meningkatkan sifat malas atas nama berserah diri. Kita berpikir bahwa pikiran dan tubuh kita telah diserahkan kepada Tuhan. Pikiranmu tidak berada di bawah pengawasanmu, lantas bagaimana engkau dapat memegangnya dan menyerahkannya kepada Tuhan? Engkau tidak mampu mengendalikan tubuhmu juga. Jadi dengan mengatakan bahwa engkau sudah menyerahkan pikiran dan tubuhmu kepada Tuhan adalah tidak benar. Seruling adalah sebuah contoh yang bagus dari sebuah sarana yang dekat dengan Tuhan dan satu kualitas yang luar biasa dalam seruling adalah berserah diri sepenuhnya. Tidak ada yang tersisa di dalam seruling, tidak ada keinginan yang masih tertinggal di sana. Sejatinya, yang di dalam seruling sepenuhnya adalah berlubang. Seruling memiliki sembilan lubang dan tubuh kita juga memiliki sembilan lubang. Seruling telah mampu dekat dengan Tuhan karena seruling sepenuhnya berlubang. Begitu juga, jika kita dapat menghilangkan semua isi dalam keinginan dari tubuh kita, kemudian tidak diragukan lagi bahwa seruling tubuh kita ini juga dapat dekat dengan Tuhan. (Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Vol 1, Ch 3)

-BABA