Friday, February 28, 2020

Thought for the Day - 28th February 2020 (Friday)

A farmer clears and levels the land, removes the stones and thorns, ploughs and prepares the field, manures and strengthens the soil, and waters and fertilises it. Then, after sowing, transplanting, weeding, spraying and waiting, he reaps the crop. After winnowing and threshing, he stacks the corn. All these various processes are for the sake of the stomach. So too, one must feel that all hunger and thirst, joy and sorrow, grief and loss, suffering and anger, food and appetite are but impulses helping us toward attaining the presence of the Lord. When one has this attitude, sin will never tarnish these activities. The appetites will also vanish, without a vestige of name or form. On the other hand, if the appetites are treated as important, one can earn only sorrow, not joy. It will be impossible to acquire peace. All acts — wearing, eating, walking, studying, serving, moving — should be performed in a spirit of dedication to the Lord. 


Seorang petani membersihkan dan meratakan tanah di ladang, menyingkirkan bebatuan dan duri, membajak dan mempersiapkan tanah sawah, memupuk dan menguatkan tanah, serta mengairi serta menggemburkannya. Kemudian, setelah menaburkan, mencangkok, menyiangi, menyemprot, dan menunggu, kemudian petani mendapatkan panen. Setelah menampi dan menggiling, si petani menumpuk hasil panennya. Semua proses yang berbeda ini adalah untuk kepentingan perut. Begitu juga, seseorang harus merasa bahwa lapar dan haus, suka dan duka cita, kehilangan dan kesedihan, kepedihan dan kemarahan, makanan dan nafsu makan hanyalah merupakan dorongan yang membantu kita menuju pada pencapaian akan kehadiran Tuhan. Ketika seseorang memiliki sikap seperti ini, dosa tidak akan pernah menodai semua bentuk aktifitas ini. Nafsu makan juga akan menghilang, tanpa ada bekas nama dan rupa. Sebaliknya, jika nafsu makan diperlakukan sebagai hal yang penting, seseorang hanya mendapatkan penderitaan, dan bukannya suka cita. Adalah tidak mungkin untuk bisa mendapatkan kedamaian. Semua perbuatan  seperti : memakai, makan, berjalan, belajar, melayani, bergerak seharusnya dilakukan dalam semangat dedikasi kepada Tuhan. (Prema Vahini, Ch 55)

-BABA

Thursday, February 27, 2020

Thought for the Day - 27th February 2020 (Thursday)

Some meditate but get easily distracted by the smell from the kitchen. How can this be termed as a prayer to the Lord? All your spiritual practices are done with a wavering mind. Pray sincerely with a steady mind. You are bound to reap the fruits. Undertake any type of spiritual pursuit, but love wholeheartedly. Love eradicates all types of diseases and acts as a panacea for all afflictions. Hence first cultivate love. This is possible only if you believe that God is the embodiment of Love. Love is the best medicine. If you were to put a plant in a tin pot and water it, the plant will die in due course of time; but if you were to plant the same in the soil and water it, the plant would grow into a fine tree. To yield good fruits, God’s name and form should be implanted in the soil of your heart and nurtured with water of love. 


Beberapa orang melakukan meditasi namun dengan mudah terganggu dengan aroma dari dapur. Bagaimana hal ini bisa disebut sebagai doa kepada Tuhan? Semua praktik spiritualmu dilakukan dengan pikiran yang ragu-ragu. Berdoalah dengan ketulusan disertai pikiran yang mantap. Engkau diikat untuk mendapatkan buah atau hasilnya. Jalankan pencarian spiritual apapun, namun dengan kasih yang sepenuh hati. Kasih menghapuskan semua jenis penyakit dan bertindak sebagai obat mujarab bagi semua penderitaan. Oleh karena itu pertama tingkatkan kasih. Hal ini mungkin hanya jika engkau percaya bahwa Tuhan adalah perwujudan dari kasih. Kasih adalah obat yang terbaik. Jika engkau menaruh tanaman di dalam pot yang sangat kecil dan menyiraminya, maka tanaman itu akan mati seiring  berjalannya waktu; namun jika engkau menanam tanaman yang sama di tanah dan menyiraminya, tanaman akan tumbuh menjadi sebuah pohon yang bagus. Untuk mendapatkan buah yang baik, nama dan wujud Tuhan harus ditanam di dalam tanah hatimu dan merawatnya dengan air kasih.(Divine Discourse, Nov 24, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 26th February 2020 (Wednesday)

Welcome sorrow just as you welcome happiness. In fact the happiness that you derive out of pleasure is negligible compared to the happiness that results from difficulties. History is replete with examples of people who stand testimony to this fact. All noble and ideal people had to undergo ordeals before they experienced happiness. Na sukhath labbyathe sukham (happiness is not derived from happiness). It is derived from pain and suffering, but people want only happiness, not difficulties. This is quite contradictory to the principles of spirituality. People should understand this truth. People desire the fruits of meritorious deeds but do not perform any. Nobody wants the fruits of sinful actions, yet they indulge in them! Whatever you want to achieve, you can do so by proceeding along the right path. Do not go on the wrong path if you are not prepared to face the consequences of it. 


Sambutlah penderitaan seperti halnya engkau menyambut kebahagiaan. Sejatinya kebahagiaan yang engkau dapatkan dari kesenangan adalah tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan yang didapatkan dari kesulitan. Sejarah penuh dengan teladan dari mereka yang memberikan kesaksian akan kenyataan ini. Semua orang-orang yang mulia dan ideal harus mengalami cobaan sebelum mereka mengalami kebahagiaan. Na sukhath labbyathe sukham (kebahagiaan bukan berasal dari kesenangan). Kebahagiaan didapat dari rasa sakit dan penderitaan, namun orang-orang hanya menginginkan kesenangan saja dan tidak dengan kesulitan. Hal ini sangat berbeda dengan prinsip spiritual. Manusia seharusnya memahami kebenaran ini. Orang-orang menginginkan buah dari perbuatan yang baik namun tidak melakukan perbuatan baik apapun. Tidak ada seorang pun yang menginginkan buah dari perbuatan berdosa, namun orang-orang masih menjalankan perbuatan dosa! Apapun yang engkau ingin capai, engkau dapat meraihnya dengan menempuh jalan yang benar. Jangan melangkah di jalan yang salah jika engkau tidak siap untuk menghadapi akibat dari perbuatan itu. (Divine Discourse, Nov 24, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 25th February 2020 (Tuesday)

Simply because a devotee appears like the Lord (sarupya-mukti), we cannot assume that the devotee has the powers of creation, preservation and destruction that the Lord has. Only when all traces of differences disappear and unity is attained, the highest stage is reached. This is called union (sayujya). This comes only by divine grace. The devotee aspires for this mergence (aikya). One wishes to serve the Lord as one pleases and to experience the joy of the form that one has attributed to the Lord. But the Lord, out of His grace, gives the devotee not only existence with the Lord, witnessing always the glory of the Lord, and being suffused with God-consciousness but also union (sayujya)! The path of devotion (bhakti marga) results also in attainment of knowledge of Brahman (Brahma-jnana). Even if the devotee does not crave it, the Lord Himself vouchsafes it to the devotee. Union-with-God liberation (sayujya-mukti) is also referred to as absolute liberation (ekanta-mukti). 


Hanya karena seorang bhakta kelihatan seperti Tuhan (sarupya-mukti), kita tidak bisa berasumsi bahwa bhakta tersebut memiliki kekuatan mencipta, memelihara, dan melebur seperti yang Tuhan miliki. Hanya ketika semua jejak perbedaan-perbedaan itu lenyap dan kesatuan dicapai, maka tahapan yang tertinggi itu dapat diraih. Ini disebut dengan penyatuan (sayujya). Hal ini datang hanya dengan rahmat Tuhan. Bhakta berharap akan penyatuan ini (aikya). Seseorang yang ingin untuk melayani Tuhan seperti yang disukainya dan mengalami suka cita dari wujud yang seseorang telah dikaitkan dengan Tuhan. Namun Tuhan, karena rahmat-Nya memberikan bhakta tidak hanya keberadaan Tuhan, selalu menyaksikan kemuliaan Tuhan, dan diliputi dengan kesadaran Tuhan namun juga penyatuan (sayujya)! Jalan bhakti (bhakti marga) menghasilkan juga pencapaian pengetahuan Brahman (Brahma-Jnana). Bahkan jika bhakta tidak menginginkannya, Tuhan sendiri bersedia memberikannya kepada bhakta. Pembebasan dalam Penyatuan dengan Tuhan (sayujya-mukti) juga disebut sebagai pembebasan yang absolut (ekanta-mukti). (Prema Vahini, Ch 54)

-BABA

Thought for the Day - 24th February 2020 (Monday)

When you worship with fixity of consciousness and purity of feeling, free of all extraneous thought, that itself becomes mental union with the Divine (bhava-samadhi). As a result of this union, the Lord appears before the inner eye of the devotee in the form that the devotee has chosen for worship. The vision is not merely a matter of imagination; it is a ‘face-to-face’ experience. Without changing location, the devotee can abide in the presence of the Lord in the self-same place. This is called, ‘being always with God - salokya-mukti’. Besides being always with the Lord, devotees realise all that they see as the glory of the Lord. The experience of ‘seeing always the glory of the Lord’ is samipya-mukti. Existing ever with the Lord, witnessing always the glory of the Lord, and becoming suffused with God-consciousness is merger in the divine form - sarupya-mukti. This is the final fruit of devotional scriptures. 


Ketika engkau memuja dengan keteguhan kesadaran dan kemurnian perasaan, bebas dari pikiran lain yang tidak ada hubungannya, ibadah itu sendiri menjadi penyatuan batin dengan Tuhan (bhava-samadhi). Sebagai hasil dari penyatuan batin ini, Tuhan muncul di hadapan mata batin dari bhakta dalam wujud yang telah dipilih si pemuja. Penampakan ini bukanlah hanya imajinasi belaka; namun sejatinya adalah pengalaman 'tatap muka' dengan-Nya. Tanpa mengubah lokasi, bhakta dapat berada dalam kehadiran Tuhan dimanapun ia berada. Ini disebut, 'selalu bersama dengan Tuhan - salokya-mukti'. Selain selalu bersama Tuhan, para bhakta menyadari semua yang mereka lihat sebagai kemuliaan Tuhan. Pengalaman ini disebut sebagai  'selalu melihat kemuliaan Tuhan' - samipya-mukti. Hidup dengan Tuhan tiada putusnya, selalu menyaksikan kemuliaan Tuhan, dan menjadi diliputi dengan kesadaran Tuhan adalah menyatu di dalam wujud Tuhan - sarupya-mukti. Ini adalah buah akhir dari jalan kebhaktian. (Prema Vahini, Ch 54)

-BABA

Thought for the Day - 23th February 2020 (Sunday)

The path of surrender is like that of a kitten (marjala kishora nyaya), that simply mews in one place, placing all its burdens on the mother cat. Similarly, the devotee places complete trust on God. The mother cat holds the kitten in its mouth and transports it safely through even very narrow passages. When the devotee places all burdens on the Lord, without fear or worry, and surrenders fully to His will, He will certainly provide everything. Lakshmana is the witness of this path. To serve Rama, Lakshmana renounced all obstacles in his path - wealth, wife, mother, home and even sleep and food for fourteen full years. He felt that Rama was his all, his happiness and joy, and would grant him everything that he needed. His life’s purpose was only to follow Him, serve Him, and surrender his will to Him. This is the characteristic of complete self-surrender. This discipline of surrender (prapatti) is much superior to that of devotion (bhakti). 


Jalan berserah diri adalah seperti seekor anak kucing (marjala kishora nyaya), yang hanya mengeong di satu tempat saja dan menaruh semua bebannya pada induknya. Sama halnya, bhakta yang menempatkan sepenuhnya kepercayaan pada Tuhan. Induk kucing memegang anaknya dengan mulutnya serta membawanya pergi dengan aman bahkan melewati setiap Lorong yang sempit. Ketika bhakta menaruh semua bebannya pada Tuhan, tanpa adanya rasa cemas dan khawatir, serta berserah diri sepenuhnya pada kehendak-Nya, maka Tuhan pastinya akan menyediakan segala sesuatunya. Lakshmana adalah sebagai saksi dari jalan ini. Untuk melayani Sri Rama, Lakshmana meninggalkan semua halangan di jalan ini seperti kekayaan, istri, ibu, rumah, dan bahkan tidur serta makan selama 14 tahun penuh. Laksamana merasakan bahwa Rama adalah segala-galanya, kebahagiaan dan suka citanya, dan akan memberikan segala yang dibutuhkannya. Satu-satunya tujuan hidup Laksamana adalah mengikuti Rama, melayani Rama, dan menyerahkan segala kehendaknya pada Rama. Ini adalah karakteristik dari berserah diri sepenuhnya. Disiplin berserah diri ini (prapatti) adalah jauh lebih unggul daripada bhakti . (Prema Vahini, Ch 51)

-BABA

Saturday, February 22, 2020

Thought for the Day - 22nd February 2020 (Saturday)

Devotion must be continuous, uninterrupted, like the flow of oil from one vessel to another. Without love (prema), nothing in this world can be acquired. Only when there is love does attachment (anuraaga) in its turn produce the desire to protect and guard. In the young-of-the-monkey path of the surrender (markata kishora nyaya), the child has to rely on its own strength to protect itself — wherever the mother might jump about, the child has to attach itself fast to the mother’s belly and not release its hold, even if pulled apart! So too, the devotee must stand the test at the hands of the Lord and hold on to the Lord’s name at all times and under all conditions, tirelessly, without the slightest trace of dislike or disgust, bearing the ridicule and the criticism of the world and conquering the feelings of shame and defeat. The wonderful example of this type of devotion is that first among devotees, Prahlada. 


Bhakti harus mengalir tanpa henti, tidak terputus, seperti aliran minyak dari satu wadah ke wadah yang lainnya. Tanpa adanya kasih (prema), tidak ada di dunia ini yang dapat dicapai. Hanya ketika ada kasih maka keterikatan (anuraaga) pada gilirannya akan menghasilkan keinginan untuk melindungi dan menjaga. Dalam jalan penyerahan diri seekor monyet muda (markata kishora nyaya), anak monyet harus bergantung pada kekuatannya sendiri untuk melindungi dirinya sendiri – dimanapun sang induk akan melompat, sang anak harus menempelkan dirinya sendiri dengan kuat pada perut induknya dan tidak melepaskan pegangannya bahkan jika ditarik terpisah! Begitu juga, bhakta harus menghadapai ujian di tangan Tuhan dan berpegang teguh pada nama Tuhan sepanjang waktu serta dalam keadaan apapun juga, tanpa rasa lelah, tanpa sedikitpun ada perasaan tidak suka atau jijik, menahan cemoohan dan kritik dari dunia serta menaklukkan perasaan malu dan kalah. Contoh indah dari jenis bhakti ini dan pertama diantara bhakta adalah Prahlada. (Prema Vahini, Ch 51)
-BABA



Thought for the Day - 21st February 2020 (Friday)

Every form conceived in the shastras and scriptures has a deep significance. In the end, all Forms merge in the Formless. Shiva is the Principle of the destruction of all names and forms, of all entities and individuals. So, the Linga is the simplest sign of emergence and mergence. Shiva does not ride an animal called in human language, a bull. The bull symbolises stability standing on the four legs - Sathya, Dharma, Shanti and Prema (Truth, Right Conduct, Peace and Love). Shiva’s three eyes represent eyes that see your past, present and future. The elephant skin which forms His cloak represents the beastial primitive traits which His grace destroys. His four faces symbolise Equanimity (Shantam), Rage (Roudram), Grace (Mangalam) and Elevating Energy (Utsaham). Resolve, on this Holy Shivaratri, in the presence of Shiva Sai, to visualise Shiva as the inner power within you and in all. 


Setiap wujud yang terkandung dalam shastra dan naskah suci memiliki sebuah makna yang mendalam. Pada akhirnya, semua wujud menyatu ke dalam yang tanpa wujud. Shiva adalah prinsip pelebur dari semua nama dan wujud, dari semua entitas dan individu. Jadi, Linga adalah sebuah tanda yang paling sederhana dari kemunculan dan penyatuan. Shiva tidak menunggangi seekor binatang yang dalam bahasa manusia disebut dengan banteng. Banteng adalah simbol dari keseimbangan dengan berdiri pada empat kaki - Sathya, Dharma, Shanti, dan Prema (kebenaran, kebajikan, kedamaian, dan kasih). Ketiga mata Shiva melambangkan mata yang dapat melihat masa lalumu, masa sekarang, dan masa depan. Kulit gajah yang membentuk jubah-Nya melambangkan kecenderungan primitif binatang yang dengan rahmat-Nya dihancurkan. Keempat wajah-Nya melambangkan ketenangan hati (Shantam), kemarahan (Roudram), Rahmat (Mangalam), dan energi yang mengangkat (Utsaham). Miliki ketetapan hati pada perayaan suci Shivaratri ini dengan kehadiran Shiva Sai, untuk membayangkan Shiva sebagai kekuatan batin di dalam dirimu dan di dalam semuanya. (Divine Discourse, Feb 1969)

-BABA

Thursday, February 20, 2020

Thought for the Day - 20th February 2020 (Thursday)

Do not waste your days entertaining worldly desires and ambitions, and planning to achieve them. Success or failure should not elate or depress you. When a banquet is in store for you, why run after the droppings from others’ tables? Keep undimmed before you the main goal, the task for which you have come into this school; do not deviate from it, whatever the attraction that tempts you to stray. Command the mind and regulate your conduct, so that the goal is won. Don’t let the care of the body or the fostering of the family or the demands of pride and pomp overwhelm the call of the spirit for self-expression. The Supreme Reality (Siva), individual (jiva), and subjective world (prakriti) are the three principles that confront you; the world has to be utilised by the individual to attain Siva, which is the fundamental fact in both. Until you get Atmic Bliss, by realising Siva, the world will press on you with its weight and well nigh suffocate you. After that, the world will fall off by itself. 


Jangan menyia-nyiakan hari-harimu dengan memenuhi keinginan dan ambisi duniawi, dan merencanakan untuk mencapainya. Keberhasilan atau kegagalan seharusnya tidak membuatmu gembira atau tertekan. Ketika sebuah jamuan sudah disiapkan untukmu, mengapa engkau harus mengejar kotoran dari meja orang lain? Tetap bersinar pada tujuan utamamu, tugas yang membuatmu datang ke sekolah ini; jangan menyimpang darinya, apapun daya tarik yang menggodamu untuk menyimpang. Perintahkan pikiran dan aturlah tingkah lakumu, sehingga tujuan bisa dicapai. Jangan biarkan perawatan pada tubuh atau mengembangkan keluarga atau tuntutan akan kebanggan atau kesombongan meliputi panggilan jiwa untuk pengungkapan jati diri. Kenyataan yang tertinggi (Siva), individu (jiva), dan dunia subyektif (prakriti) adalah tiga prinsip yang engkau hadapi; dunia harus digunakan oleh setiap individu untuk mencapai Siva, yang merupakan kenyataan yang mendasar dari keduanya. Sampai engkau mendapatkan kebahagiaan Atma, dengan menyadari Siva, dunia akan terus menekanmu dengan bobotnya dan hampir mencekikmu. Setelah itu, dunia akan jatuh dengan sendirinya. (Divine Discourse Apr 28, 1962)

-BABA

Thought for the Day - 19th February 2020 (Wednesday)

The Lord will protect in all ways and at all times those who worship Him in complete and uncontaminated devotion (bhakti) —just as a mother protects her infants, a cow saves her calf from danger, and the eyelids guard the eyes effortlessly and automatically. When the infant grows up into an adult, the mother won’t pay so much attention to its safety. So too, the Lord doesn’t pay much attention to the wise one (jnani). The devotee of form (saguna bhakta), like an infant of the Lord, has no strength except the strength of the Lord. For the realized soul (jnani), their own strength is enough. Therefore, until one can rely on one’s own strength, one must be an infant in the Lord’s Hands, as a devotee of the form, right? No one can become a devotee of the formless Supreme (nirguna bhakta) without having been a devotee of the form. 


Tuhan akan melindungi dalam segala cara dan sepanjang waktu pada mereka yang memuja Tuhan sepenuhnya dan bhakti yang murni  — seperti halnya seorang ibu yang melindungi bayinya, seekor sapi yang menyelamatkan anaknya dari bahaya, dan kelopak mata yang menjaga mata dengan mudah dan secara otomatis. Ketika bayi tumbuh berkembang menjadi dewasa, sang ibu tidak akan memberikan perhatian pada keselamatannya. Begitu juga, Tuhan tidak akan memberikan banyak perhatian pada mereka yang bijaksana (jnani). Bhakta yang memuja wujud (saguna bhakta), adalah seperti bayi bagi Tuhan, dimana mereka tidak memiliki kekuatan kecuali kekuatan Tuhan. Untuk jiwa yang tercerahkan (jnani), kekuatan mereka sendiri sudah cukup. Maka dari itu, sampai seseorang dapat mengandalkan kekuatannya sendiri, seseorang harus menjadi bayi di tangan Tuhan, sebagai bhakta yang masih memuja bentuk, bukan? Tidak ada seorangpun yang dapat menjadi bhakta yang memuja tanpa bentuk (nirguna bhakta) tanpa menjadi bhakta yang memuja bentuk. (Prema Vahini, Ch 48)

-BABA

Tuesday, February 18, 2020

Thought for the Day - 18th February 2020 (Tuesday)

The Name is the spring of all the essence of the Supreme Spirit (the Chaithanya) that you get by remembrance of the Name; it is the life-giving nectar; it is the fountain of primal energy. Recite the Name and the Named will be before you; picture the Named and the Name will leap to your lips. Name and form are the reverse and the obverse of the same coin. Some vow to write the name of the Lord a million times, but very often it is just a matter of the fingers and the pen. The mind should not wander from the name. It should dwell on the sweetness that the name connotes; it should ruminate on the beauty of the form that it recalls and the perfume that it spreads. The conduct and behaviour of the writer should be such as befits a servant of God — others should be inspired by them, and their faith should get freshened by the experience of the writer.

Nama suci Tuhan adalah sumber dari semua intisari jiwa yang tertinggi (Chaithanya) yang engkau dapatkan dari mengingat nama suci Tuhan; ini adalah nektar pemberi kehidupan; ini adalah sumber energi yang terpenting. Mengulang-ulang nama suci Tuhan dan Tuhan akan ada dihadapanmu; gambarkan nama suci itu dan nama suci itu akan menari di bibirmu. Nama dan wujud adalah dua sisi dari koin yang sama. Beberapa melakukan ikhtiar menulis nama suci Tuhan sebanyak jutaan kali, namun sangat sering ini hanya sebatas gerakan jari dan pena. Pikiran seharusnya tidak berkeliaran dari nama itu. Pikiran seharusnya tenggelam dalam rasa manis dari makna nama suci Tuhan; pikiran seharusnya merenungkan keindahan dari wujud yang diingatnya serta bau wangi yang disebarkannya. Tingkah laku dari mereka yang menulis nama Tuhan seharusnya seperti layaknya pelayan Tuhan – yang lainnya harus terinspirasi oleh mereka, dan keyakinan mereka disegarkan oleh pengalaman dari penulis nama suci Tuhan. - Divine Discourse Apr 28, 1962

-BABA

Thought for the Day - 17th February 2020 (Monday)

When Narada once asked Sri Ramachandra about the nature and characteristics of His servants and spiritual aspirants, He answered, “They are full of love; they always stand by righteousness; they speak the truth; their hearts melt with mercy; they are devoid of wrong; they avoid sin; their nature is well-founded; they will renounce everything gladly; they eat in moderation; they are engaged in doing good to others; they have no selfishness; they aren’t worried by doubts. They won’t lend their ears to flattery but are eager to listen to the praise of the good nature of others. They have beautiful, strong, and holy character. Spiritual aspirants are those who endeavour to acquire such qualities. Now I shall tell you about those who are dear to Me: Anyone who is engaged in repetition of the name, penance, and vows, anyone who has self-control and discipline, anyone who has faith, patience, comradeship, kindness and joy as well as unalloyed love towards Me — such a person is dear to Me.”

Suatu ketika Narada bertanya kepada Sri Ramachandra tentang sifat alami dan karakteristik dari pelayan-Nya serta peminat spiritual, Beliau menjawab, “Mereka penuh dengan kasih; mereka selalu mendukung kebajikan; mereka berbicara kebenaran; hati mereka melebur dengan welas asih; mereka tanpa kesalahan; mereka menghindari dosa; sifat alami mereka adalah cukup beralasan; mereka akan meninggalkan segalanya dengan senang hati; mereka makan secukupnya; mereka terlibat dalam melakukan kebaikan untuk orang lain; mereka tidak memiliki egoisme; mereka tidak cemas dengan keraguan. Mereka tidak akan mau mendengarkan pujian namun sangat mau mendengarkan pujian bagi sifat-sifat baik orang lain. Mereka cantik, kuat, dan berkarakter suci. Para peminat spiritual adalah mereka yang berusaha untuk mendapatkan kualitas yang seperti itu. Sekarang Aku akan mengatakan kepadamu tentang mereka yang Aku sayangi: siapapun yang terlibat dalam pengulangan nama suci Tuhan, melakukan penebusan dosa, dan berjanji, siapapun yang memiliki pengendalian diri serta disiplin, siapapun yang memiliki keyakinan, kesabaran, persahabatan, kebaikan, dan suka cita serta kasih yang murni kepada-Ku – orang seperti itu adalah yang Aku sayangi.” - Prema Vahini, Ch 48

-BABA

Thought for the Day - 16th February 2020 (Sunday)

The demons (danavas) are those who trample on love and consider inferior qualities as important, while the humans (manavas) are those who consider love as the only quality to be fostered and inferior qualities as snakes to be destroyed. Are they humans who have no sweetness in them and who endeavour to suppress the craving for immortality? Theirs is the nature of demons, though the form is human! For, the character and not the form is primary. How can those with human form be called humans if they have no kindness and no rightness, and if they have the nature of demons? Humans engage in soft and sweet deeds of kindness, rightness, love, and truth; they are witnesses to the possibility of realising and manifesting one’s immortality. Their good nature is resplendent on their faces as bliss (ananda). Without goodness, even if one is infatuated with joy, the faces will indicate only the destructive fire of the demon; it will not shine with the grace of spiritual bliss.

Raksasa (danava) adalah mereka yang menginjak-injak kasih dan menganggap sifat bawahan adalah sebagai sesuatu yang penting, sedangkan manusia (manava) adalah mereka yang menganggap kasih sebagai satu-satunya kualitas yang harus dikembangkan dan sifat bawahan sebagai seekor ular yang harus dimusnahkan. Apakah mereka adalah manusia yang tidak memiliki sifat kebaikan di dalam diri mereka dan yang berusaha untuk menekan hasrat untuk mencapai keabadian? Sifat alami mereka adalah raksasa, walaupun dalam wujud manusia! karena, karakter yang utama dan bukan wujud atau bentuknya. Bagaimana bisa mereka yang berwujud manusia dapat dipanggil manusia jika tidak memiliki kebaikan dan kebajikan, dan jika mereka hanya memiliki sifat raksasa? Manusia terlibat di dalam perbuatan baik yang lembut dan menyenangkan, benar, kasih, dan kebenaran; mereka adalah saksi yang menunjukkan kemampuan manusia untuk menyadari dan mewujudkan kekekalannya. Sifat-sifat baik mereka memancar berseri-seri dari wajah mereka sebagai kebahagiaan (ananda). Tanpa kebaikan, bahkan jika seseorang sedang bersenang hati, wajah orang semacam itu akan memperlihatkan api raksasa yang membinasakan; ini tidak akan bersinar dengan rahmat kebahagiaan spiritual. - Prema Vahini, Ch 47

-BABA

Thought for the Day - 15th February 2020 (Saturday)

Peace is the characteristic of the mind of humans. That is its innate quality. In searching for peace there is no need to go anywhere else. Just as gold and silver lie hidden under the earth, and pearl and coral under the sea, peace and joy lie hidden in the activities of the mind. Desirous of acquiring these hidden treasures, if one dives and turns mental activities inward, one becomes full of love. Only one who has so filled oneself with love and who lives in the light of that love can be called human. Those devoid of love are demons, monsters, and subhumans. Remember, the holy quality of love will not remain unmanifested off and on; it will be ever present, without change. It is one and indivisible. Those saturated with love are incapable of spite, selfishness, injustice, wrong, and misconduct. Good people are full of love (prema). Their hearts are springs of mercy. They are endowed with truth in speech.

Kedamaian adalah karakteristik dari pikiran manusia. Itu adalah sifat bawaannya. Dalam pencarian kedamaian tidak perlu pergi ke tempat manapun. Sama halnya seperti emas dan perak yang ada tersembunyi di bawah tanah, dan permata serta kerang yang ada di bawah laut, kedamaian dan suka cita tersembunyi di dalam aktifitas pikiran. Karena berkeinginan untuk mendapatkan harta karun yang tersembunyi ini, jika seseorang menyelam serta mengarahkan aktifitas batin ke dalam diri, maka seseorang akan menjadi penuh dengan kasih. Hanya ketika seseorang yang telah memenuhi dirinya dengan kasih dan hidup dalam cahaya kasih yang dapat dipanggil manusia. Bagi mereka yang tanpa kasih adalah iblis, monster, dan manusia rendahan. Ingatlah, kualitas suci dari kasih adalah tetap dan tidak hilang timbul; kasih yang suci akan selalu ada dan tanpa mengalami perubahan. Kasih adalah satu dan tidak terbagi. Mereka yang dipenuhi dengan kasih tidak mampu untuk dendam, mementingkan diri sendiri, tidak adil, salah, dan kelakukan jahat. Manusia yang baik adalah penuh dengan kasih (prema). Hati mereka adalah sumber dari welas asih. Mereka diberkati dengan kebenaran dalam perkataan. - Prema Vahini, Ch 47

-BABA

Saturday, February 15, 2020

Thought for the Day - 14th February 2020 (Friday)

Love can conquer anything. Selfless, pure, unalloyed love leads the human being to God. Selfish and constricted love binds one to the world. Unable to comprehend the pure and sacred love, human beings today are prey to endless worries because of attachment to worldly objects. One’s primary duty is to understand the truth about the Love Principle. Once a person understands the nature of love, he or she will not go astray. The various contexts in which the word love is used today have no relation to the true meaning of love. The affection, between a mother and child or between a husband and wife is incidental to a certain temporary relationship and is not real love at all. True love has neither a beginning nor an end. It exists in all the three categories of time—past, present and future. That alone is true love which can fill the human being with enduring bliss.


Kasih dapat menaklukkan segalanya. Kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, suci, tidak ternoda menuntun manusia pada Tuhan. Kasih yang mementingkan diri sendiri dan terbatas mengikat seseorang pada dunia. Ketidakmampuan untuk memahami kasih yang murni dan suci, manusia saat sekarang menjadi mangsa dari kecemasan yang tiada akhirnya karena keterikatan pada objek-objek duniawi. Kewajiban yang utama dari seseorang adalah memahami kebenaran dari prinsip kasih. Sekali seseorang memahami sifat alami dari kasih, dia tidak akan tersesat. Berbagai jenis konteks kata kasih yang digunakan saat sekarang tidak memiliki hubungan pada makna kasih yang sebenarnya. Kasih sayang diantara ibu dan anak atau diantara suami dan istri adalah bersifat insidental pada hubungan tertentu yang sementara dan sama sekali bukan merupakan kasih yang sesungguhnya. Kasih yang sesungguhnya tidak memiliki awal ataupun akhir. Kasih itu ada dalam tiga kurun waktu yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Hanya kasih seperti itu yang disebut kasih yang sejati yang mana dapat mengisi manusia dengan kebahagiaan yang kekal. - Divine Discourse Dec 25, 1995

-BABA

Friday, February 14, 2020

Thought for the Day - 13th February 2020 (Thursday)

If you wear blue eyeglasses, you see only blue, even though nature is resplendent with many colours, right? If the world appears to you as with differences, that is due only to the fault in you. If all appears as one love, that too is only your love. For both of these, the feeling in you is the cause. It is only because you have faults within you that you see the world as faulty. When there is no knowledge of fault in yourself, no fault can be found even by search, for you wouldn’t know which are the faults. Now, the question may arise whether the Lord Himself has faults because He also searches for faults. But how can it be said that the Lord searches for faults? He searches only for goodness, not for faults and sins. The Lord won’t examine the wealth, family, caste, status, or sex. He sees only the righteousness (sadbhava). He considers those endowed with such righteousness as deserving His grace, whoever they are, whatever they are. 

Jika engkau memakai kaca mata warna biru, engkau hanya akan melihat warna biru saja, walaupun alam cerah dan gemerlapan dengan banyak warna, bukan? Jika engkau melihat dunia dengan perbedaan, itu adalah hanya karena kesalahan di dalam dirimu. Jika semuanya kelihatan sebagai satu kasih sayang, itu juga karena kasih di dalam dirimu. Untuk kedua hal ini, perasaan di dalam dirimu adalah penyebabnya. Karena ada kesalahan di dalam dirimu maka engkau melihat dunia sebagai kesalahan. Ketika tidak ada pengetahuan akan kesalahan di dalam dirimu, maka tidak akan ada kesalahan yang dapat ditemui bahkan dengan mencarinya sekalipun, karena engkau tidak tahu mana yang salah. Sekarang, pertanyaan mungkin muncul apakah Tuhan sendiri memiliki kesalahan karena Tuhan juga mencari kesalahan. Namun bagaimana bisa dikatakan bahwa Tuhan mencari kesalahan? Tuhan hanya mencari kebaikan, dan bukan kesalahan serta dosa. Tuhan tidak akan memeriksa kekayaan, keluarga, kasta, status, atau jenis kelamin. Tuhan hanya melihat kebaikan saja (sadbhava). Tuhan menganggap bahwa mereka yang diberkati dengan kebaikan yang seperti itu layak mendapatkan karunia-Nya, siapapun mereka dan apapun mereka.  (Prema Vahini, Ch 46)

-BABA

Wednesday, February 12, 2020

Thought for the Day - 12th February 2020 (Wednesday)

Can an ass change into an elephant simply by carrying a bundle of sandalwood? It may appreciate the weight but not the scent! But the elephant pays no regard to the weight; it inhales the sweet scent, right? So too, the spiritual aspirant, renunciant, or devotee will take in only the pure truth, the pure essence of good activities, of Godliness, and of the scriptures, Vedas, and Upanishads. On the other hand, one who goes on arguing for the sake of mere scholarship, learning and disputation will know only the weight of logic and will miss the scent of truth! For those in search of the essence, the burden is no consideration. If mere reason is employed, nothing worthwhile is gained. Love (prema) is the one big instrument for the constant remembrance of the Lord. Keeping that instrument safe and strong needs no other appliance than the scabbard of discrimination (viveka). 


Dapatkah seekor keledai merubah dirinya menjadi seekor gajah hanya dengan membawa seikat kayu cendana? Keledai mungkin bisa mengerti berat namun tidak dengan aromanya! Namun gajah tidak memperhatikan beratnya; gajah menghirup wanginya aroma itu, bukan? Begitu juga, peminat spiritual, orang yang melepaskan kehidupan duniawi atau bhakta hanya akan menerima kebenaran murni, intisari yang murni dari aktifitas-aktifitas yang baik, kebaikan-kebaikan, dari naskah-naskah suci, Weda dan Upanishad. Sebaliknya, seseorang yang terus berdebat untuk pencarian kesarjanaan, pembelajaran dan perdebatan hanya akan mengetahui bobot logika dan akan kehilangan aroma dari kebenaran! Bagi mereka yang dalam pencarian pada intisari, beban tidak menjadi pertimbangan. Jika hanya alasan yang digunakan, maka tidak ada hal berharga yang bisa didapatkan. Kasih (prema) adalah satu sarana yang besar untuk mengingat Tuhan secara terus menerus. Menjaga sarana atau instrument itu tetap aman dan kuat tidak memerlukan peralatan yang lainnya selain sarung kemampuan membedakan (viveka). (Prema Vahini, Ch 44)

-BABA

Tuesday, February 11, 2020

Thought for the Day -11th February 2020 (Tuesday)


Never forget that any and every spiritual effort is of no avail if your heart is not pure! Look at the fish! Living as it does perpetually in water, has it got rid itself of its foul smell to any extent? No! Inclinations (vasanas) will not disappear as long as one’s heart is full of the illusion of egotism, even if one is immersed in many different heart-purifying spiritual disciplines. Light and darkness can never coexist at the same place and at the same time, right? Similarly, negative tendencies (vikaras) such as egoism, etc. cannot coexist in the same heart with that of pure virtues. One whose heart is ruled by the group of six passions can have only ego (ahamkara) as counselor (manthri)! Those people, who would like to get rid of the feeling of “I” and “mine”, must worship the Lord (Hari). They must become true spiritual aspirants, free from preferences, likes and dislikes. 


Jangan pernah lupa bahwa setiap dan semua upaya spiritual tidak ada gunanya jika hatimu tidak murni! Lihatlah ikan! Hidup terus-menerus di dalam air, apakah ia menghilangkan bau amisnya pada batas tertentu? Tidak! Kecenderungan dalam hati (vasanas) tidak akan hilang selama hati seseorang dipenuhi dengan ilusi egoisme, walaupun ketika seseorang tenggelam dalam berbagai disiplin spiritual untuk memurnikan hati. Terang dan gelap tidak akan pernah bisa hidup bersatu di tempat yang sama dan pada saat yang sama, kan? Demikian pula, kecenderungan negatif (vikara) seperti egoisme, dll, tidak akan dapat hidup bersatu dalam hati yang sama dengan kebajikan. Seseorang yang hatinya diperintah oleh enam nafsu hanya dapat memiliki ego (ahamkara) sebagai penasihat (manthri)! Orang-orang itu, yang ingin menyingkirkan perasaan "aku" dan "milikku", harus menyembah Tuhan (Hari). Mereka harus menjadi peminat spiritual sejati, bebas dari preferensi, suka dan tidak suka. (Prema Vahini, Ch 43)

-BABA

Thought for the Day - 10th February 2020 (Monday)

Human birth is very difficult to attain. Your body is like a caravanserai; your mind is its watchman and your individual soul (jivi) is the pilgrim. None of these has any kinship with the others. The pilgrim is bound for Salvation City (Moksha-puri). For a trouble-free journey, there is nothing as reliable as repeating the name of God (namasmarana), the remembrance of the name of the Lord. Once the sweetness of that name has been experienced, the person won’t have exhaustion, unrest, or sloth but will fulfil the pilgrimage of spiritual practice joyfully, enthusiastically, and with deep conviction. Still, to achieve this spiritual practice, righteousness (sadbhava) is very important. Without fear of the consequences of an act of sin, righteousness will not originate, and love of God will not develop either. This fear will help righteousness and devotion grow, resulting in true worship of the Lord. 


Lahir sebagai manusia adalah sangat sulit untuk didapatkan. Tubuhmu adalah seperti sebuah tempat penginapan; pikiranmu adalah sebagai penjaganya, dan jiwamu adalah sebagai peziarah. Tidak ada satupun dari ketiganya ini memiliki pertalian kekeluargaan dengan yang lainnya. Peziarah terikat untuk mencapai kota keselamatan (Moksha-puri). Untuk bebas dari masalah dalam perjalanan, tidak ada yang dapat diandalkan selain mengulang-ulang nama Tuhan (namasmarana), mengingat nama Tuhan. Sekali rasa manis nama Tuhan sudah dialami, maka orang itu tidak akan memiliki kelelahan, kegelisahan, atau kemalasan namun akan memenuhi praktek perjalanan spiritual dengan penuh suka cita, semangat, dan keyakinan yang mendalam. Masih, untuk mencapai praktik spiritual ini, kebajikan (sadbhava) adalah sangat penting. Tanpa adanya rasa takut akan konsekunesi dari perbuatan dosa, kebajikan tidak akan muncul, dan kasih pada Tuhan tidak akan berkembang juga. Rasa takut ini akan membantu kebajikan dan bhakti tumbuh, menghasilkan pemujaan yang sejati pada Tuhan. (Prema Vahini, Ch 42)

-BABA

Thought for the Day - 9th February 2020 (Sunday)

People experience joy and misery through the ear. Therefore, avoiding the cruel arrows of hard words, one should use sweet, pleasant and soft ones. And to that softness, add the sweetness of truth. Making the word soft by adding falsehood only clears the way for more misery. A person who has become a spiritual aspirant should use very soft, sweet, true and pleasant words. Such a person can be recognised by their good qualities. Thus, of those who have become spiritual aspirants, the mind (manas) is Mathura (birthplace of Krishna), the heart (hridaya) is Dwaraka (Krishna’s capital), and the body (deha) is Kasi (Benares). 


Orang-orang mengalami suka cita dan penderitaan melalui telinga. Maka dari itu, hindari penggunaan anak panah yang kejam berupa kata-kata yang kasar, seseorang seharusnya menggunakan kata-kata yang lembut, menyenangkan dan manis. Pada kelembutan kata-kata, tambahkan rasa manis dari kebenaran. Membuat perkataan lembut dengan menambahkan kebohongan hanya memperjelas jalan yang lebih banyak pada penderitaan. Seseorang yang telah menjadi peminat spiritual seharusnya menggunakan perkataan yang sangat lembut, manis, benar, dan menyenangkan. Orang yang seperti itu dapat dikenali dari sifat-sifat baik mereka. Jadi, bagi mereka yang telah menjadi peminat spiritual, pikiran (manas) adalah Mathura (tempat lahir Krishna), hati (hridaya) adalah Dwaraka (kota Krishna), dan tubuh (deha) adalah Kasi (Benares). (Prema Vahini, Ch 43)

-BABA

Thought for the Day - 8th February 2020 (Saturday)


What is the use in planning a well when the house is on fire? Where is the time to dig it now? When will water become available? When can you extinguish the fire? If, at the very start, a well was ready, how helpful it would be on such critical occasions! Beginning to contemplate on God during the last moments is like beginning to dig the well when the house is on fire. Therefore if right now, you contemplate on God, off and on, it will stand you in good stead when the end approaches. Start today the spiritual discipline that has to be done tomorrow! Start now the spiritual discipline that has to be done today! One doesn’t know what is in store the next moment; therefore, there should be no delay in engaging oneself in the spiritual practice that has to be done. Physical stamina is also necessary for this spiritual practice, so the body has to be tended, though overtending causes damage. To the degree that is essential, it should be looked after with great care. 


Apa gunanya mempersiapkan sebuah sumur jika rumah sedang terbakar? Kapan waktunya untuk menggali sumur? Kapan sumur itu akan mengeluarkan air? Kapan engkau bisa memadamkan api yang berkobar? Jika, pada awalnya, sebuah sumur sudah siap, maka betapa sangat bergunanya ketika dalam keadaan seperti itu! Mulailah untuk merenungkan Tuhan, karena pada saat-saat terakhir dapat diibaratkan seperti mulai menggali sumur ketika rumah sedang terbakar. Oleh karena itu, jika saat ini, engkau mulai merenungkan Tuhan, secara terus-menerus, itu akan memberimu manfaat yang baik ketika saat-saat terakhir mendekat. Mulailah hari ini untuk disiplin spiritual yang harus dilakukan besok! Mulailah sekarang disiplin spiritual yang harus dilakukan hari ini! Seseorang tidak mengetahui apa yang terjadi pada saat berikutnya; oleh karena itu, seharusnya tidak ada penundaan dalam menjalani latihan spiritual yang harus dilakukan. Stamina fisik juga diperlukan untuk latihan spiritual ini, sehingga tubuh harus dirawat, meskipun perawatan yang berlebihan menyebabkan kerusakan. Untuk tingkat yang penting, tubuh seharusnya dijaga dengan penuh perhatian. (Prema Vahini, Ch 41)

-BABA

Friday, February 7, 2020

Thought for the Day - 7th February 2020 (Friday)

The body is the essential vehicle for the individual soul to understand its real nature. Still, who knows when it may become the target for the attention of Yama (the Lord of death)? Who knows when this body will get entrapped in the coils of Yama’s ropes? The individual soul, burdened with this easily destructible body, must grasp the above-mentioned caution and be all-eager to merge in Siva, whatever the moment, that very moment! No single moment that is passed by can be turned back. People usually delay doing their things, yesterday’s work till today and today’s till tomorrow. But the tasks of spiritual discipline are not of such a nature. For them, there is no yesterday and no tomorrow. This very moment is the moment! The minute that just elapsed is beyond your grasp; so too, the approaching minute is not yours! Only that individual soul who has this understanding engraved on its heart can merge in Siva. 


Tubuh jasmani adalah kendaraan yang sangat mendasar bagi jiwa individu untuk memahami sifat aslinya. Namun, siapa yang dapat mengetahui kapan waktunya menjadi sasaran perhatian dari Dewa Yama (Dewa kematian)? Siapa yang dapat mengetahui kapan tubuh ini akan dijerat oleh tali kematian dari Dewa Yama? Jiwa individu dibebani dengan tubuh yang sangat gampang rusak, harus memahami kehati-hatian yang disebutkan diatas dan sangat ingin sekali menyatu dalam Shiva, apapun momennya, saat itu juga! Tidak ada waktu yang telah lewat dapat datang kembali. Manusia biasanya menunda melakukan kewajiban mereka, pekerjaan yang kemarin sampai hari ini dan pekerjaan hari ini sampai besok hari. Namun kegiatan dalam disiplin spiritual bukanlah seperti itu. Dalam kegiatan spiritual, tidak ada hari kemarin dan tidak ada hari esok. Saat ini juga adalah waktunya! Momen yang baru saja berlalu berada di luar jangkauanmu; begitu juga, momen yang semakin mendekat bukanlah milikmu! Hanya jiwa-jiwa individu yang memiliki pemahaman ini yang terukir di dalam hatinya dapat menyatu dalam Shiva. (Prema Vahini, Ch 40)

-BABA

Thought for the Day - 6th February 2020 (Thursday)

The attitude of the worshiper and the worshiped is the seed of devotion (bhakti). First, the worshiper’s mind is attracted by the special qualities of the object of worship. The worshipper tries to acquire these special qualities. This is spiritual discipline (sadhana). In the early stages of sadhana, the distinction between worshiper and worshiped is full, but as the spiritual discipline progresses, this feeling diminishes and, when at¬tainment is reached, there is no distinction whatsoever! Whatever be the object of worship one has grasped and loved and sought by spiritual discipline, one should have firm faith that the individual self (jivatma) is the supreme Lord (Paramatma). There is only one wish fit to be entertained by the aspirant: the realisation of the Lord (Iswara Sakshatkara). There is no room in the mind for any other wish. 


Sikap dari pemuja dan yang dipuja adalah benih dari bhakti. Pertama, pikiran pemuja ditarik oleh kualitas khusus dari objek yang dipuja. Pemuja mencoba untuk mendapatkan kualitas-kualitas yang khusus ini. Ini adalah disiplin spiritual (sadhana). Dalam tahap awal dari sadhana, perbedaan antara pemuja dan yang dipuja adalah penuh, namun ketika disiplin spiritual berkembang, perasaan ini menghilang dan ketika pencapaian ini tercapai, maka tidak ada lagi perbedaan sama sekali! Apapun yang menjadi objek pemujaan yang telah dipahami, dikasihi serta dicari dengan disiplin spiritual, seseorang harus memiliki keyakinan yang mantap bahwa jiwa dalam individu (jivatma) adalah Tuhan yang tertinggi (Paramatma). Hanya ada satu keinginan yang sesuai untuk dicari oleh para peminat spiritual: kesadaran akan Tuhan (Iswara Sakshatkara). Tidak ada ruang di dalam pikiran untuk keinginan yang lainnya lagi. (Prema Vahini, Ch 39)

-BABA

Thought for the Day - 5th February 2020 (Wednesday)

Everything is suffused with love. So we can unhesitatingly declare that the Supreme Lord is the embodiment of love. In the entire creation, in all living things, love manifests itself in various forms. Though it is known under different names like love for offspring, affec¬tion, devotion to God, desire (vatsalya, anuraga, bhakti, ishtam) etc., according to the direction in which it is canalised, the nature of love does not change. Whatever be the form, the essence of love is unaltered. Based on this knowledge and experience, you must clearly conclude that the supreme Lord is the inner Atma of all created things (Sarva-bhootha-antar-atma). That which teaches the highest knowledge of this unity is known as nondualism (advaita); that which teaches the principle of the lover and the Loved, the individual (jiva) and the Brahman, is known as dualism (dvaita); that which teaches about all three - love, lover, and loved - or the nature (prakriti), jiva, and Brahman, is known as qualified nondualism (vishishta-advaita). But these three are one. 


Segala sesuatunya diliputi oleh kasih sayang. Jadi kita dapat menyatakan tanpa adanya keraguan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah perwujudan dari kasih. Di dalam seluruh ciptaan, di dalam semua makhluk hidup, kasih mewujudkan dirinya dalam berbagai bentuk. Walaupun kasih dikenal dengan nama yang berbeda seperti sayang pada anak dan cucu, welas asih, bhakti kepada Tuhan, keinginan (vatsalya, anuraga, bhakti, ishtam) dsb, sesuai dengan arah dari kasih yang dituju namun kualitas alami dari kasih tidaklah berubah. Apapun bentuknya, intisari dari kasih adalah tidak berubah. Berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman ini, engkau harus dengan jelas menyimpulkan bahwa Tuhan tertinggi adalah Atma yang ada di dalam diri semua ciptaan (Sarva-bhootha-antar-atma). Ajaran yang mengajarkan pengetahuan tertinggi dari kesatuan ini dikenal sebagai tanpa dualitas (advaita); sedangkan yang mengajarkan prinsip dari yang mengasihi dan yang dikasihi, jiwa dalam setiap individu dan Brahman, dikenal sebagai dualitas (dvaita); sedangkan yang mengajarkan tentang ketiganya yaitu - kasih, yang mengasihi, yang yang dikasihi – atau alam (prakriti), jiva, dan Brahman, dikenal sebagai non dualitas (vishishta-advaita). Namun ketiganya ini adalah satu. (Prema Vahini, Ch 38)

-BABA