Wednesday, December 31, 2014

Thought for the Day - 31st December 2014 (Wednesday)

It is creditable if a human behaves as a human being. It is laudable if they behave as God, that they really are! But to behave as a demon or as a beast is despicable indeed! For, people were long born a mineral, died a mineral; then they promoted themselves to be born as a tree and died as a tree. Subsequently they got promoted as an animal, and finally rose to the status of a human being. This rise from one scale to another has been acknowledged by science and spiritual experience. Now alas, they are born as human and die as human. It is a greater shame if they slide into a beast or a beastly ogre. Praise is due, only if they rise to the divine status. That is real fulfilment of one’s destiny. Therefore resolve today to avoid contact with vices, develop attachment to virtues, and transmute your heart into an altar for your beloved Lord.

Patut dipuji jika manusia berperilaku sebagai manusia. Sangat terpuji jika mereka berperilaku seperti Tuhan, karena demikianlah seharusnya! Tetapi berperilaku seperti iblis atau binatang memang tercela! Karena, manusia mengalami proses kelahiran yang lama, mereka lahir sebagai mineral, mati sebagai mineral; maka mereka meningkatkan diri mereka untuk dilahirkan sebagai pohon dan mati sebagai pohon. Selanjutnya mereka ditingkatkan sebagai binatang, dan akhirnya naik ke status manusia. Peningkatan dari satu derajad ke derajad yang lainnya telah diakui oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman spiritual. Sekarang sayangnya, mereka dilahirkan sebagai manusia dan mati sebagai manusia. Rasa malu yang lebih besar jika mereka meluncur jatuh ke binatang atau raksasa. Sangat terpuji, hanya jika mereka meningkat ke status Ilahi. Itu adalah pemenuhan takdir sejati seseorang. Oleh karena itu engkau hendaknya menyelesaikan hari ini untuk menghindari kontak dengan kejahatan, mengembangkan keterikatan dengan kebajikan, dan mengubah hatimu menjadi altar untuk Tuhan tercinta. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Thought for the Day - 30th December 2014 (Tuesday)

The nature of human beings is Love (prema). You cannot survive even for a moment, when deprived of Love. It is the very breath of your life. When the six vices, to which you were attached for so long, disappear, Love will be the only occupant of your heart; but Love has to find an object, a loved one. It cannot be alone. Direct your heart full of love towards the dark-blue Divine Child, the charming Lord, who is the Embodiment of Love, Purity, Service, Sacrifice and Selflessness. Then there will be no scope for any other attachment to grow. Let this love for the Lord, step-by-step become deeper, purer and more self-denying; until at last, there is no other need for thought and the individual is merged in the Universal. When Vaasudeva, the Lord, enters the heart of man, demons have no longer a place therein. Darkness and light do not co-exist; Light removes every inch of darkness.

Sifat manusia adalah Cinta-kasih (prema). Engkau tidak dapat bertahan hidup bahkan untuk sesaat, ketika dicabut dari Cinta-kasih. Cinta-kasih adalah nafas kehidupanmu. Ketika enam sifat buruk, yang melekat padamu begitu lama, menghilang, Cinta-kasih akan menjadi satu-satunya penghuni hatimu; tetapi Cinta-kasih harus menemukan sebuah objek, orang yang dicintai. Dia tidak bisa sendirian. Arahkan hatimu yang penuh cinta pada Anak Tuhan biru tua, menawan Tuhan, yang merupakan perwujudan dari cinta-kasih, kemurnian, pelayanan, pengorbanan, dan tanpa pamrih. Maka tidak akan ada ruang untuk setiap keterikatan lain untuk tumbuh. Biarkan cinta-kasih ini untuk Tuhan, langkah-demi-langkah menjadi lebih dalam, lebih murni; sampai akhirnya, tidak ada kebutuhan lain untuk berpikir dan individu menyatu dengan Yang Universal. Ketika Vaasudeva, Tuhan, memasuki hati manusia, setan tidak lagi ada di dalamnya. Kegelapan dan cahaya tidak bisa berdampingan; Cahaya menghapus setiap inci dari kegelapan. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Monday, December 29, 2014

Thought for the Day - 29th December 2014 (Monday)

Everyone should treat whatever happens to them as gifts from God. Pleasure and pain should be treated alike as Divine gifts. There is a unique joy in this process. In daily life we tend to treat defeat, loss or grief as calamities. But nothing occurs in the world without a cause. Hunger is the cause for eating. Thirst is the cause for drinking. Difficulties are the cause of sorrow. If you would like to enjoy enduring happiness, you must discover the source of such happiness. That source is love (prema). There is nothing greater than love in this world. Everything has a price. The price to be paid for enduring happiness is Divine Love. The primary wealth for man is Love. Everyone should seek to acquire this wealth. With this wealth anyone can enjoy enduring bliss.

Setiap orang harus memperlakukan apapun yang terjadi kepadanya sebagai berkat dari Tuhan. Kebahagiaan dan penderitaan harus diperlakukan sama sebagai hadiah Tuhan. Ada sukacita yang unik dalam proses ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita cenderung memperlakukan kekalahan, kerugian atau kesedihan sebagai suatu bencana. Tetapi tidak satupun yang terjadi di dunia ini tanpa alasan. Kelaparan adalah penyebab makanya kita makan. Haus adalah penyebab untuk minum. Kesulitan adalah penyebab kesedihan. Jika engkau ingin menikmati kebahagiaan abadi, engkau harus menemukan sumber kebahagiaan tersebut. Sumber itu adalah cinta-kasih (prema). Tidak ada apapun yang lebih besar dari cinta-kasih di dunia ini. Semuanya memiliki harga. Harga yang harus dibayar untuk kebahagiaan abadi adalah Cinta-kasih Tuhan. Kekayaan utama bagi manusia adalah Cinta-kasih. Setiap orang harus berusaha untuk memperoleh kekayaan ini. Dengan kekayaan ini siapa pun bisa menikmati kebahagiaan abadi. (Divine Discourse, 1 Jan 1998)

-BABA

Sunday, December 28, 2014

Thought for the Day - 28th December 2014 (Sunday)

A cleansed and pure heart is the most appropriate altar or tabernacle for the Lord. In that fragrant bower, the Lord will establish Himself. When the Lord establishes Himself, at that very moment, another incident too will happen. The group of six vices that had infested the place will quit instantly, without any farewell or fanfare. When these vices quit, the wicked retinue of evil tendencies and vulgar attitudes which live on them will break camp and disappear without leaving even their addresses! Then one will shine in one’s native splendour of Truth and Love (Sathya and Prema). That person will endeavour without hindrance to realize the Self, and finally succeed in merging with the Universal and Eternal. Liberated from the tangle of ignorance or maya, the mind will fade away. The long-hidden secret will be revealed.

Hati yang bersih dan murni adalah altar atau tempat beribadat yang paling tepat bagi Tuhan. Dalam tempat yang penuh keharuman tersebut, Tuhan sendiri akan bersemayam disana. Ketika Tuhan sendiri ada disana, pada saat itu, kejadian lain juga akan terjadi. Enam kelompok sifat buruk yang telah memenuhi tempat tersebut akan keluar seketika, tanpa kata perpisahan atau gembar-gembor. Ketika keburukan tersebut keluar, rombongan jahat kecenderungan yang buruk dan sikap yang tidak sopan yang hidup pada mereka akan menghilang bahkan tanpa meninggalkan alamat mereka! Kemudian seseorang akan bersinar dalam kemuliaan sejatinya yaitu Kebenaran dan Kasih (Sathya dan Prema). Orang itu akan berusaha tanpa hambatan untuk menyadari Sang Atma, dan akhirnya berhasil bergabung dengan Yang Universal dan Kekal. Terbebaskan dari jalinan ketidaktahuan atau maya, pikiran akan berangsur-angsur memudar dan rahasia panjang-tersembunyi akan terungkap. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Saturday, December 27, 2014

Thought for the Day - 27th December 2014 (Saturday)

Listening to expositions by a speaker who has had the thrill of genuine experience is a blessing. The speaker’s face will blossom with joy, their eyes will shed tears of exhilaration at the very contemplation of the Lord’s glory. Listeners will easily catch that inspiration and experience the joy themselves as tears stream down their eyes. When an infant smiles, everyone around the infant also smiles in unison. So too the words of those who are saturated with devotion to God will saturate the hearts of the listeners too. Through that process of listening, a dirt-laden heart will be transformed into a clean and illumined heart which shines with genuine light and love. To the foul odours of sense-pursuits, keenness to listen to the glories of God is a valuable disinfectant, besides being in itself so full of sweet fragrance. Listening will effectively cleanse your heart.

Mendengarkan penjelasan yang terperinci oleh pembicara yang memiliki  pengalaman asli yang menggetarkan hati adalah menyenangkan. Wajah sang pembicara akan mekar dengan sukacita, mata mereka akan meneteskan air mata kegembiraan di bagian  kontemplasi kemuliaan Tuhan. Pendengar akan dengan mudah menangkap inspirasi itu dan mengalami sukacita itu sendiri seraya air mata mengalir di mata mereka. Ketika bayi tersenyum, semua orang di sekitar bayi juga tersenyum serempak. Demikian juga kata-kata mereka yang penuh dengan pengabdian kepada Tuhan akan memenuhi hati pendengar juga. Melalui proses mendengarkan, hati yang sarat dengan kotoran akan berubah menjadi hati yang bersih dan diterangi dengan cahaya yang bersinar tulus dan penuh cinta-kasih. Untuk tindakan-tindakan yang buruk, ketajaman untuk mendengarkan kemuliaan  Tuhan adalah disinfektan yang berharga, karena hanya dengan hal tersebut menimbulkan aroma yang manis. Mendengarkan secara efektif akan memurnikan hatimu. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha)

-BABA

Friday, December 26, 2014

Thought for the Day - 26th December 2014 (Friday)

Embodiments of Divine Love! Adhere sincerely to your faith and traditions. Wherever you may be, do not give room for religious or any kind of differences. When we examine the root cause for differences or conflicts, you will find that the real reason is selfish minds, wearing the garb of religion or any other cause, and inciting conflicts amongst the people. If you desire to secure genuine peace in the world, you must hold morality (neethi) as superior to your community (jaathi). Cherish good feelings as more important than religious beliefs. Mutual regard (mamatha), equal mindedness (samatha) and forbearance (Kshamatha) are the basic qualities necessary for every human being. Only the person with these three qualities can be regarded as a true man. Hence all of you must cultivate these three sacred qualities assiduously. Using these qualities, give up all kinds of differences. Then love will develop in you. When love grows, you will have a direct vision of God.

Perwujudan kasih Tuhan! Patuhilah dengan sungguh-sungguh keyakinan dan tradisi. Di mana pun engkau berada, janganlah memberikan ruang untuk perbedaan agama atau apapun perbedaan. Ketika kita meneliti akar penyebab perbedaan atau konflik, engkau akan menemukan bahwa alasan sebenarnya adalah pikiran egois, mengenakan pakaian agama atau penyebab lainnya, dan menghasut konflik antara orang-orang. Jika engkau ingin menjaga perdamaian sejati di dunia, engkau harus memegang moralitas (neethi) sebagai yang utama dalam komunitasmu (jaathi). Menghargai perasaan yang baik lebih penting daripada agama. Saling menghargai (mamatha), pikiran yang sama (samatha) dan kesabaran (Kshamatha) adalah kualitas dasar yang diperlukan bagi setiap manusia. Hanya orang dengan tiga kualitas ini dapat dianggap sebagai manusia sejati. Oleh karena itu kalian semua harus menumbuhkan tiga kualitas suci ini dengan sungguh-sungguh.Gunakanlah semua sifat-sifat ini, tinggalkanlah semua jenis perbedaan. Maka cinta-kasih akan berkembang dalam dirimu. Ketika cinta-kasih berkembang, engkau akan memiliki visi langsung Tuhan. (Divine Discourse, 25th Dec 1990)

-BABA

Thursday, December 25, 2014

Thought for the Day - 25th December 2014 (Thursday)

Two thousand years ago, when narrow pride and thick ignorance defiled mankind, Jesus came as the Embodiment of Love and Compassion and lived among people, holding forth the highest ideals of life. You must pay attention to the lessons He elaborated in the various stages of His life. His first declaration was, “I am the messenger of God”. Yes, each individual has to accept that role and live as examples of divine love and charity. Jesus knew that God wills all. So even when He was on the cross, though He suffered agony, He bore no ill-will towards anyone and in fact exhorted those with Him to treat all as instruments of His Will. "All are one; be alike to everyone" - Practise this attitude in your daily lives. Moon can be seen only through the moonlight. So too God, who is love, can be seen and realised only through love. Love is God, Live in Love. This is the Message I give you. 

Dua ribu tahun yang lalu, ketika kebanggaan sempit dan kebodohan mencemari hati manusia, Yesus datang sebagai perwujudan Cinta dan Kasih dan tinggal di antara orang-orang, menjaga ideal kehidupan mulia. Engkau harus memperhatikan pelajaran yang telah dijabarkan-Nya dalam berbagai tahap kehidupan-Nya. Deklarasi pertamanya adalah, "Aku adalah utusan Tuhan". Ya, setiap individu harus menerima peran itu dan hidup sebagai contoh kasih Ilahi dan kemurahan hati. Yesus mengetahui bahwa semuanya adalah kehendak Tuhan. Jadi bahkan ketika Beliau berada di kayu salib, meskipun Beliau menderita kesakitan, Beliau tidak memiliki niat buruk terhadap siapa pun dan bahkan mendesak mereka dengan-Nya untuk memperlakukan semuanya sebagai instrumen kehendak-Nya. "Semuanya adalah satu, berlakulah sama untuk semua orang" - Praktikkanlah sikap ini dalam kehidupanmu sehari-hari. Bulan dapat dilihat hanya melalui sinar bulan. Demikian juga Tuhan, yang adalah kasih, dapat dilihat dan disadari hanya melalui cinta-kasih. Kasih adalah Tuhan, Hiduplah dalam Cinta-kasih. Ini adalah pesan yang Aku berikan padamu. (Divine Discourse, Dec 24, 1980) 

-BABA

Wednesday, December 24, 2014

Thought for the Day - 24th December 2014 (Wednesday)

Jesus sacrificed His life and poured out His blood to instill Love and Compassion in the heart of man, so that you are happy when others are happy and sad when others are sad. Let Me call upon you today, to give up, in honour of this holy occasion, two evils from your mind: self praise and talking scandal! Give them up! Instead adopt one habit: the habit of loving service to the distressed. If you spend all your time and energy in worldly comfort and sensual delight, you are disgracing this human existence. Do not spend your life in just enjoying food; eat as much as is necessary for living. Maintain your body as temple where God resides. Keep it clean, fresh and fragrant by developing compassion and love; Let holy thoughts, words and deeds emerge from you. Do not demean it by using it for low, trivial and unholy tasks. Wherever you are, make this resolution today!

Yesus mengorbankan hidup-Nya dan mencurahkan darah-Nya untuk menanamkan Cinta dan Kasih Sayang di hati manusia, sehingga engkau bisa merasakan kebahagiaan ketika orang lain berbahagia dan merasakan kesedihan ketika orang lain bersedih. Biarlah Aku memberitahukan engkau hari ini, untuk menghormati peristiwa suci ini, engkau hendaknya meninggalkan dua sifat buruk dari pikiranmu yaitu: memuji diri sendiri dan berbicara skandal! Tinggalkanlah mereka! Sebaliknya engkau hendaknya mengambil salah satu kebiasaan yaitu: kebiasaan melayani dengan cinta kasih bagi mereka yang tertekan. Jika engkau menghabiskan seluruh waktu dan energimu dalam kenyamanan dan kesenangan duniawi, engkau mempermalukan keberadaan manusia ini. Janganlah menghabiskan hidupmu hanya untuk menikmati makanan; makanlah sebanyak yang diperlukan untuk hidup. Engkau hendaknya menjaga badanmu sebagai kuil di mana Tuhan berada. Tetap bersih, segar, dan harum dengan mengembangkan kasih sayang dan cinta-kasih; Biarkan pikiran, kata-kata, dan perbuatan suci muncul dari dirimu. Janganlah merendahkan dirimu dengan menggunakannya untuk tugas-tugas yang rendah, sepele dan tidak suci. Dimanapun engkau berada, buatlah resolusi ini hari ini! (Divine Discourse, Dec 25, 1976)

-BABA

Tuesday, December 23, 2014

Thought for the Day - 23rd December 2014 (Tuesday)

People believe that Divine incarnations happen only for the punishment of the wicked and the protection of the righteous. But these represent only one aspect of the task. The granting of peace and joy, of a sense of fulfillment to seekers who have striven long —this too is His task. The Avatar, or form incarnate, is only the concretization of the yearning of the seekers. It is the solidified sweetness of the devotion of godly aspirants. The Formless assumes the form for the sake of these aspirants and seekers. They are the prime cause. The cow secretes milk for the sustenance of the calf. That is the chief beneficiary. But, as we see, others also benefit from that milk. So too, though the devotees are the prime cause and their joy and sustenance the prime purpose of an incarnation, other incidental benefits also accrue, such as fostering dharma, suppression of evil, and reforming, correcting or destroying the wicked.

Orang-orang percaya bahwa inkarnasi Tuhan terjadi hanya untuk menghukum yang jahat dan melindungi yang benar. Tetapi ini hanya mewakili satu aspek dari suatu tugas. Memberikan kedamaian dan sukacita, merasakan pemenuhan bagi pencari spiritual yang telah berjuang lama -ini juga adalah tugas-Nya. Avatar, atau bentuk inkarnasi, hanya konkretisasi kerinduan para pencari spiritual. Yang tak berwujud mengambil suatu wujud demi para pencari spiritual tersebut. Mereka adalah penyebab utama. Sapi mengeluarkan susu untuk kelangsungan hidup anaknya. Itulah tujuan utamanya. Tetapi, seperti yang kita lihat, orang lain juga memperoleh manfaat dari susu itu. Demikian juga, meskipun para bhakta adalah penyebab utama dan sukacita mereka dan tujuan utama inkarnasi, manfaat yang terkait lainnya juga bertambah, seperti mengembangkan dharma, menindas kejahatan, reformasi, dan memperbaiki atau menghancurkan orang jahat. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Monday, December 22, 2014

Thougt for the Day - 22nd December 2014 (Monday)

There is no compulsive rule that incarnations should occur only on the earth and in human form. Any place and any form can be chosen by the fully free. Whichever place and form promote the purpose of fulfilling the yearning of the devotee, that place and form are chosen by the will of God. God is above and beyond the limits of time and space. He is beyond all characteristics and qualities, and no list of such can describe Him fully. For Him, all beings are equal. The difference between man, beast, bird, worm, insect, and even a god is but a difference of the ‘vessel’ (upadhi). The one single God activates every vessel and gives rise to manifold consequences. God appreciates the consciousness of unity as the basic motive of acts. He doesn’t appreciate the activity itself being one without variety; activity must be suited to the various needs.

Tidak ada aturan yang memaksa inkarnasi harus terjadi hanya di bumi dan dalam wujud manusia. Setiap tempat dan wujud apapun dapat dipilih sepenuhnya dengan bebas.  Apapun tempat dan wujud meningkatkan tujuan memenuhi kerinduan bhakta, tempat dan wujud yang dipilih oleh kehendak Tuhan. Tuhan berada di atas dan di luar batas-batas ruang dan waktu. Beliau berada di luar semua karakteristik dan kualitas, dan tidak ada daftar tersebut dapat menggambarkan-Nya sepenuhnya, bagi Beliau semua makhluk adalah sama. Perbedaan antara manusia, binatang, burung, cacing, serangga, dan bahkan Dewa hanyalah perbedaan 'wujud' (upadhi). Satu-satunya Tuhan Yang Esa mengaktifkan setiap wujud dan menimbulkan konsekuensi yang bermacam-macam. Tuhan menghargai kesadaran kesatuan sebagai  motif dasar tindakan. Beliau tidak menghargai kegiatan itu sendiri menjadi sesuatu tanpa variasi; tindakan harus disesuaikan dengan berbagai kebutuhan. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Thougt for the Day - 21st December 2014 (Sunday)

Exulting in praising the Lord is the hallmark of the real good. Avoid being in the company of people who revel in sensory talks. Choose to spend your time in the company of the Divine and be engaged in the Lord’s activities. Only those who act in accordance to the above are God’s own (Bhagavathas). Reading and enjoying the stories of the glory of Krishna (Lord) in a sacred hall, temple, shrine, or hermitage of a saint, or being in the company of the virtuous and the good — that is a source of great inspiration and joy. You can approach pious people, serve them, and listen to their exposition of the glories of God. Taste for such wholesome literature is the result of accumulated merit and effort. Listening will be enough in the beginning; later, the stories will arouse interest in the nature and characteristics of God, and the aspirant will seek and find for oneself the path to realisation.

Kebesaran dalam memuji Tuhan adalah ciri-ciri yang baik. Hindarilah berada dalam pergaulan orang-orang yang bersenang-senang dalam pembicaraan sensorik. Engkau hendaknya memilih untuk menghabiskan waktumu dalam pergaulan dengan Tuhan dan terlibat dalam kegiatan Tuhan. Hanya mereka yang bertindak sesuai dengan hal tersebut  adalah Tuhan sendiri (Bhagavathas). Membaca dan menikmati cerita-cerita tentang kemuliaan Sri Krishna (Tuhan) dalam ruangan yang suci, candi, kuil, atau pertapaan suci, atau berada dalam pergaulan yang baik - semuanya ini merupakan sumber inspirasi dan sukacita. Engkau dapat mendekati orang-orang yang baik, melayani mereka, dan mendengarkan penjelasan mereka tentang kemuliaan Tuhan. Merasakan literatur yang bermanfaat tersebut adalah hasil dari akumulasi kebaikan dan usaha. Mendengarkan akan cukup di awal; selanjutnya, cerita akan membangkitkan minat dalam sifat dan karakteristik Tuhan, dan aspiran yang akan mencari dan menemukan untuk dirinya sendiri jalan menuju realisasi. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Saturday, December 20, 2014

Thought for the Day - 20th December 2014 (Saturday)

The infant doesn’t know the taste of milk. But by taking it daily, it develops a deep attachment for it, such that when milk is to be given up and rice substituted, it starts to protest. But the mother doesn’t despair; she persuades the child to take small quantities of cooked rice daily, and slowly, the child starts liking rice and gives up milk. Milk though once its natural food, is replaced by rice through practice to such an extent that if rice is not available for a day, the child feels miserable. So too though sense pleasures are ‘natural’ at first, by means of practice and listening to the wise, slowly the joy derived from listening and recapitulating the glories of the Lord is grasped. Over time, the company of the worldly who chatter about the senses or sense-objects will no longer attract; the company that exults in the Love of Lord becomes sweeter and then you begin to genuinely experience the Divine.

Bayi tidak mengetahui bagaimana rasanya susu. Tetapi dengan meminumnya setiap hari, itu mengembangkan keterikatan yang mendalam, sehingga ketika susu harus ditinggalkan dan diganti dengan nasi, ia mulai protes. Tetapi si ibu tidak putus asa; dia membujuk anak untuk mengambil sejumlah kecil nasi setiap hari, dan perlahan-lahan anak mulai menyukai nasi dan meninggalkan susu. Susu meskipun lebih dulu merupakan makanan alami bagi si anak, digantikan oleh nasi melalui latihan sedemikian rupa, namun jika nasi tidak tersedia untuk satu hari, anak merasa menderita. Demikian juga meskipun merasakan kesenangan yang 'alami' pada awalnya, dengan cara latihan dan mendengarkan para bijaksana, perlahan-lahan sukacita yang berasal dari mendengarkan dan mengulang kemuliaan Tuhan dipahami. Seiring berjalannya waktu, pergaulan duniawi tidak akan lagi menarik; bersuka cita dalam Cinta-kasih Tuhan menjadi lebih manis dan kemudian engkau mulai benar-benar mengalami Ilahi. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Friday, December 19, 2014

Thought for the Day - 19th December 2014 (Friday)

Generally people get drawn to sense objects, for they are victims of instincts. And instincts come along with the body and aren’t derived by any training. The infant seeks milk from the mother, no training is needed for this. However for the infant to walk and talk, some training is necessary, because these actions are not automatic but are socially prompted, by example and by imitation of others. Training is essential even for the proper pursuit of sense pleasure, for it is the wild and untrained search for such pleasure that promotes anger, hatred, envy, malice, and conceit. To train the senses along salutary lines and to hold them under control, certain good disciplines like repetition of the name, meditation, fasts, worship at dawn and dusk, etc. are essential. When one is asked to do such spiritual acts, one has no inner prompting at all. Still, one shouldn’t give up in despair. No one has a taste for such practices from the very beginning, but constant practice creates the zest.

Umumnya orang-orang bisa tertarik untuk merasakan suatu objek, karena mereka memiliki naluri. Dan naluri datang bersamaan dengan badan jasmani ini dan tidak diperoleh melalui pelatihan. Bayi mencari susu dari ibunya, tidak ada pelatihan yang diperlukan untuk ini. Namun untuk berjalan dan berbicara, beberapa pelatihan diperlukan, karena tindakan ini tidak otomatis namun merupakan dorongan sosial, dengan contoh dan dengan meniru orang lain. Pelatihan sangat penting bahkan untuk mencari kesenangan duniawi, karena pencarian yang sembarangan dan tidak terlatih dapat meningkatkan kemarahan, kebencian, iri hati, kedengkian, dan kesombongan. Untuk melatih indra sepanjang garis yang bermanfaat dan untuk menahannya tetap berada di bawah kontrol, disiplin ilmu tertentu yang baik seperti pengulangan nama Tuhan, meditasi, puasa, ibadah saat fajar dan senja, dll sangat penting. Ketika seseorang diminta untuk melakukan tindakan spiritual seperti itu, seseorang sama sekali tidak memiliki dorongan. Namun, orang tidak boleh menyerah dalam keputusasaan. Tidak ada seorang pun yang memiliki rasa untuk praktik-praktik tersebut dari awal, tapi praktik yang terus menerus menciptakan semangat tersebut. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Thursday, December 18, 2014

Thought for the Day - 18th December 2014 (Thursday)

The quintessence of the scriptural texts is this: Realise that the awareness of Divine or Brahman cannot be won by the accumulation of wealth nor by giving away the riches. Nor can it be achieved by reading texts, rising to power, acquiring degrees and diplomas, or performing scriptural sacrifices and rituals. The body is an anthill, with the mind inside as a deep cavity. The mind has hidden in it the serpent named ignorance or nescience (a-jnana). The serpent cannot be killed by resorting to satisfaction-oriented works (kamya karma). Spiritual wisdom (jnana) is the only weapon that can kill it. To achieve spiritual wisdom, you must have ‘Steady Faith’. Shraddhavan labhathe jnanam, states the scriptures. Meaning, that person alone, who has steady and unwavering faith, can certainly secure wisdom.

Intisari dari teks-teks kitab suci adalah: Sadarilah bahwa kesadaran Ilahi atau Brahman tidak dapat dimenangkan oleh akumulasi kekayaan atau dengan memberikan kekayaan. Juga tidak bisa dicapai dengan membaca teks, meningkatkan kemampuan, memperoleh gelar dan ijazah, atau melakukan pengorbanan suci dan ritual. Badan dapat diibaratkan sebagai sarang semut, dengan pikiran berada dalam lubang yang dalam. Pikiran telah tersembunyi di dalam ular bernama kebodohan atau ketidaktahuan (a-jnana). Ular tidak dapat dibunuh dengan beralih ke pekerjaan yang berorientasi pada kepuasan (Kamya karma). Kebijaksanaan spiritual (jnana) adalah satu-satunya senjata yang bisa membunuhnya. Untuk mencapai kebijaksanaan spiritual, engkau harus memiliki 'Keyakinan yang Mantap'. Kitab suci menyatakan: Shraddhavan labhathe jnanam. Artinya, orang itu sendiri, yang memiliki keyakinan yang mantap dan tak tergoyahkan, pasti dapat memperoleh kebijaksanaan. (Sutra Vahini, “Stream of Aphorisms of Brahman”)

-BABA

Wednesday, December 17, 2014

Thought for the Day - 17th December 2014 (Wednesday)

You must know that there is no end to the incarnations in which God indulges. He has come down on countless occasions. Sometimes He comes with a part of His glory, sometimes with a fuller equipment of splendour, sometimes for a particular task, sometimes to transform an entire era of time or a complete continent of space. God is like the electric current that flows through various contrivances and expresses itself in many different activities. The wise see only the one uniform current; the ignorant feel that they are all distinct. The Holy Bhagavatha elaborates His Story that transforms humanity. The subject matter of the Bhagavatha is the drama enacted by the Avatar and the devotees who are drawn toward Him. Listening to it promotes the realisation of God. Many sages have testified to its efficacy and extolled the Bhagavatha, which they helped preserve for posterity.

Engkau harus mengetahui bahwa tidak ada akhir untuk inkarnasi sesuai dengan kehendak Tuhan. Beliau telah turun pada kesempatan yang tak terhitung jumlahnya. Kadang-kadang Beliau datang dengan bagian dari kemuliaan-Nya, kadang-kadang dengan peralatan yang lebih lengkap dari kemuliaan-Nya, kadang-kadang untuk suatu tugas tertentu, kadang-kadang untuk mengubah era seluruh waktu atau menyempurnakan semua ruang. Tuhan itu dapat diibaratkan seperti arus listrik yang mengalir melalui berbagai ciptaan dan mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan yang berbeda. Orang bijak melihat ini sebagai satu; sementara mereka yang tidak tahu melihat hal ini berbeda. Bhagavatha menguraikan Cerita-Nya yang mengubah manusia. Subyek dari Bhagavatha adalah drama yang ditetapkan oleh Avatar dan bhakta yang tertarik kepada-Nya. Mendengarkan-nya dapat  meningkatkan kesadaran pada Tuhan. Banyak orang bijak telah bersaksi akan kemanjurannya dan memuji Bhagavatha, yangmana dapat membantu menjaga anak cucu. (Bhagavatha Vahini, Ch 1, “The Bhagavatha”)

-BABA

Thought for the Day - 16th December 2014 (Tuesday)

Om is the sum and essence of all the teachings in scriptures about Divinity; “Om ithi ekaaksharam Brahma” states the Vedas, meaning, the one syllable Om, is Brahman, the Divine! Om is a composite of three sounds A (aa), U (oo) and M (mm). It has to be pronounced rising in a crescendo as slowly as possible, and as gradually coming down, until there remains only the echo of the silence reverberating in the cavity of your heart. Do not take it in two stages, arguing that your breath will not hold so long. Persevere until you are able to be stirred by the upward sweep and the downward curve and the silent sequel. These represent the waking, dreaming and sleeping, and the fourth, beyond the three stages. It represents also the flower of your individuality maturing into a fruit and filling you with sweet juice from your own inner essence, and thereafter the final release.

Om adalah point yang utama dan esensial dari semua ajaran dalam kitab suci tentang Ketuhanan; "Om ithi ekaaksharam Brahma" demikian disampaikan dalam Veda, bermakna, satu suku kata Om, adalah Brahman, Tuhan! Om adalah gabungan dari tiga suara A (aa), U (oo) dan M (mm). Om harus diucapkan meningkat  (crescendo) selambat mungkin, dan secara bertahap turun, sampai tetap ada hanya gema keheningan yang bergema di dalam rongga hatimu. Janganlah mengambilnya dalam dua tahap, dengan alasan bahwa napasmu tidak terlalu panjang. Engkau hendaknya dengan tekun mengusahakan pada tahapan naik kemudian turun sampai pada sekuel diam. Ini menggambarkan keadaan bangun, bermimpi dan tidur, dan yang keempat, di luar ketiga tahapan tersebut. Ini juga menggambarkan bunga individualitasmu yang matang menjadi buah dan mengisi engkau dengan jus manis dari esensi batinmu sendiri, dan setelah itu akhirnya mendapatkan pembebasan. (Divine Discourse, June 9, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 15th December 2014 (Monday)

You dread that it is very difficult, nay, impossible, to realize God. It is very simple; its very simplicity makes you feel that there must be some hidden trap. You do not appreciate simple things and habits. For example, there is nothing so simple as speaking the truth; yet how many stick to Truth! If you venture into untruth, you have to invent new stories all along the line and keep in memory all the stories and all the persons to whom you have related them. Every student has a watch on his wrist. And, you look at the watch at least a hundred times a day. Well, learn from the watch a great lesson. When you watch the watch, remember the five letters of the word, WATCH; each is giving you a fine lesson for life: W tells you ‘Watch your Words’; A warns you ‘Watch your Action’; T indicates 'Watch your Thoughts’; C advises 'Watch your Character’; and H declares 'Watch your Heart.' When you are consulting your watch, imbibe this lesson that the watch is imparting.

Engkau merasa takut, sangat sulit, dan merasa tidak mungkin, untuk menyadari Tuhan. Hal ini sangat sederhana; sangat simple. Engkau tidak menghargai hal-hal dan kebiasaan yang sederhana. Misalnya, tidak ada yang lebih sederhana seperti berbicara kebenaran; namun belum banyak orang yang menjalankan Kebenaran! Jika engkau melakukan ketidakbenaran, engkau harus menciptakan cerita baru sepanjang garis tersebut dan menyimpan dalam memori semua cerita dan semua orang yang berhubungan dengan mereka. Setiap siswa memiliki jam di pergelangan tangannya. Dan, engkau melihat jam tangan setidaknya seratus kali sehari. Nah, belajarlah dari sebuah jam (WATCH). Ketika engkau melihat jam (WATCH), engkau hendaknya mengingat lima huruf dari kata tersebut, WATCH; masing-masing memberikan pelajaran yang baik bagi kehidupan: W memberitahukan kepadamu: perhatikan kata-katamu 'Watch your Words '; A memperingatkan kepadamu: perhatikan tindakanmu 'Watch your Action'; T menunjukkan kepadamu: perhatikan pikiranmu 'Watch your Thoughts'; C menyarankan kepadamu: perhatikan karaktermu 'Watch your Character' dan H menyatakan kepadamu:  perhatikan hatimu 'Watch your Heart'. " Ketika engkau melihat jam tanganmu, engkau hendaknya menyerap pelajaran ini, apa yang jam (WATCH) sampaikan kepadamu. (Divine Discourse, May 13, 1970)

-BABA

Sunday, December 14, 2014

Thought for the Day - 14th December 2014 (Sunday)

Do not get too much attached to the world, and too involved in its tangles. Keep your emotions always within check. The waves agitate only the upper layers of the sea; down below it is calm. So too, when you sink into your depths, you must be free from the agitation of the waves. Know that most things are of no lasting value and can therefore be brushed aside; hold fast to the solid substance alone. Use your discrimination to discover and distinguish lumber from treasure. The Pranava japa (recitation of Om and contemplation of its significance) will help to calm the roaring waves. Gita affirms that when the word ‘Om’ (Supreme Universal Reality) is spelt by the dying with their last breath, they attain the Divine. To be able to spell it then, dwell upon its sweetness and significance throughout your life, from today. Then the final Om that emerges from your lips will be an offering that merges in Him!

Janganlah terlalu banyak terikat pada dunia, dan terlalu terlibat dalam kekusutannya. Jagalah selalu emosimu dengan tepat. Gelombang mengagitasi/menggoncang hanya lapisan atas laut; di bawahnya tetap tenang. Demikian juga, ketika engkau tenggelam dalam kedalaman hatimu, engkau harus bebas dari agitasi gelombang. Ketahuilah bahwa tidak ada sesuatu yang abadi dan karena itu kita dapat menepisnya; berpeganglah dengan teguh hanya pada substansi yang kuat. Gunakan kemampuan diskriminasimu untuk menemukan dan membedakan kayu dari harta berharga. Pranawa japa (mengucapkan Om dan merenungkan maknanya) akan membantu menenangkan gelombang yang  menderu. Gita menegaskan bahwa ketika kata 'Om' diucapkan oleh mereka yang sedang sekarat pada napas terakhir mereka, mereka mencapai Ilahi. Untuk dapat mengucapkan hal tersebut, engkau hendaknya hening dan memaknai kehidupanmu, dari saat ini. Maka kata Om terakhir yang muncul dari bibirmu akan menjadi persembahan sehingga akan menyatu dengan-Nya!
-BABA

Thought for the Day - 13th December 2014 (Saturday)

People have forgotten their real nature and believe that they are the body, the senses, etc. When these (instruments) crave for objective pleasures, people ignorantly convince themselves that this pleasure is wanted by them! Under this mistaken notion, they seek to fulfill the cravings. They delude themselves that they can secure bliss (ananda) by catering to the body and senses. However they are rewarded with disillusionment, defeat and disaster, and reap pleasure and pain. Though the objective world appears real, one must be aware that it is deluding us. As a result, one has to give up the yearning for deriving pleasure from the objects that appear and attract, both here and hereafter. The false knowledge (a-jnana) can be destroyed only when one knows the Atma (the Divine Self) principle. When the false knowledge disappears, the sorrow produced by one’s involvement in the ups and downs of the world of change (samsara) also gets destroyed. (Sutra Vahini, “Stream of Aphorisms of Brahman”)


Orang-orang telah melupakan sifat sejati mereka dan percaya bahwa mereka adalah badan, indra, dll. Bila instrumen ini mendambakan kesenangan obyektif, mereka dengan ketidaktahuannya meyakinkan diri bahwa kesenangan ini dicari oleh mereka! Berdasarkan gagasan keliru ini, mereka berusaha untuk memenuhi keinginannya. Mereka menipu diri sendiri bahwa mereka dapat mendapatkan kebahagiaan (ananda) dengan memenuhi kebutuhan untuk badan dan indera. Namun mereka mendapatkan kekecewaan, kekalahan dan malapetaka, dan mendapatkan kebahagiaan dan penderitaan. Meskipun dunia objektif nampak sebagai dunia nyata, seseorang harus menyadari bahwa itu menipu kita. Sebagai konsekuensinya, kita harus meninggalkan keinginan untuk mendapatkan kesenangan dari benda-benda yang muncul dan menarik, baik di saat ini dan nanti. Pengetahuan palsu (a-jnana) dapat dihancurkan hanya ketika seseorang mengetahui prinsip Atma (prinsip Atma). Ketika pengetahuan palsu menghilang, penderitaan yang dihasilkan oleh keterlibatan seseorang dalam naik turunnya perubahan dunia (samsara) juga akan hancur.
-BABA

Friday, December 12, 2014

Thought for the Day - 12th December 2014 (Friday)

Sorrow affects you because you feel you deserved joy and did not acquire it; but there is one impartial distributor of joy and sorrow, who gives you what you need, rather than what you desire. You may need the tonic of tragedy to set you on the road to recovery. The Compassionate One, the eternal all-knowing God, He knows best. Welcome the tragedy and fight your way through, with the armour of the remembrance of the Divine. As all rivers hurry towards the sea, let all your imaginings wend their way to God. The play is His; the role is His gift; the lines are written by Him; He decides the dress and decoration, the gesture and the tone, the entrance and the exit. You have to act well your part and when the curtain falls receive His approbation. By your efficiency and enthusiasm earn the right to play higher and higher roles - that is the meaning and purpose of life.

Kesedihan mempengaruhimu karena engkau merasa layak untuk mendapatkan kebahagiaan dan tidak memperolehnya; tetapi ada yang tidak memihak, distributor kebahagiaan dan kesedihan, yang memberimu apa yang engkau butuhkan, bukan apa yang engkau inginkan. Engkau mungkin perlu tonik tragedi untuk membuatmu menuju jalan pemulihan. Tuhan Yang Maha Pengasih, yang kekal, Beliau mengetahui yang terbaik. Sambutlah tragedi dan berjuanglah dengan menggunakan baju baja dari mengingat Tuhan. Seperti semua sungai menuju laut, biarlah semua imajinasimu menuju Tuhan. Drama adalah milik-Nya; peran adalah karunia-Nya; garis ditulis oleh-Nya; Dia memutuskan hiasan dan dekorasi, gerakan dan nada, pintu masuk dan pintu keluar. Engkau harus melakukan dengan baik bagianmu dan ketika tirainya jatuh terimalah persetujuan-Nya. Dengan efisiensi dan antusiasme engkau mendapatkan hakmu untuk memainkan peran yang lebih tinggi dan lebih tinggi - yang adalah merupakan makna dan tujuan hidup.

-BABA

Thought for the Day - 11th December 2014 (Thursday)

"Maam anusmara - With Me in memory ever,” said Lord Krishna! In your daily life, do not distinguish one task as bhajan, another as bhojan (eating), and the third as pujan (worship of God) - all acts are offering to the Divine. The food you partake is given by Him and digested by Him, so that it yields strength to do His work. Each moment is worthwhile, for He gives it, He uses it, He fills it, He fashions it, and He fulfils it. When He is fully suffused in your every breath, you can achieve the sovereign task of merging in Him. You have that might within you; The Divine cannot be gained by the weak. The remembrance can become permanently established only when you are free from the shackles of spite and envy. Be An-asuya - without the trace of pride or envy, malice or hate, egoism or conceit. The Lord permanently resides in the heart kept assiduously clean.

"Maam anusmara - simpanlah Aku selalu dalam memorimu, "kata Sri Krishna! Dalam kehidupan sehari-hari, janganlah engkau membedakan satu tugas sebagai bhajan, yang lain sebagai Bhojan (makan), dan yang ketiga sebagai pujan (memuja Tuhan) - semua tindakan hendaknya merupakan persembahan kepada Tuhan. Makanan yang engkau makan diberikan oleh-Nya dan dicerna oleh-Nya, sehingga menghasilkan kekuatan untuk melakukan pekerjaan-Nya. Setiap saat adalah berharga, karena Beliau yang memberikan, Beliau yang menggunakannya, Beliau yang mengisinya, Beliau yang menciptakan, dan Beliau yang menyempurnakannya. Ketika Beliau sepenuhnya ada di setiap tarikan napasmu, engkau dapat mencapai penyatuan dengan-Nya. Engkau memiliki kekuatan dalam dirimu; Ilahi tidak dapat dicapai dengan kelemahan. Ingatan/memori dapat menjadi permanen hanya ketika engkau bebas dari belenggu dendam dan iri hati. Jadilah An-asuya - bebas dari jejak kebanggaan atau iri, dengki atau benci, egoisme atau kesombongan. Tuhan secara permanen berada di dalam hati yang senantiasa murni dan bersih. (Divine Discourse, June 9, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 10th December 2014 (Wednesday)

God assumes many forms and enacts many activities. The name Bhagavatha is given to the descriptions of the experiences of those who have realised Him in those forms and of those who have been blessed by His grace and chosen as His instruments. The great epic called Bhagavatha is a panacea that cures physical, mental and spiritual illnesses. By Bhagavatha we also mean those with attachment to God, those who seek the companionship of God. Being in the midst of such Bhagavathas fosters one’s own devotion. Unless you have a taste for God-ward thoughts, you will not derive joy therefrom. To create that taste, the Bhagavatha tells stories to the earnest inquirer that relate to incarnations. Then one develops the yearning to experience the thrill of God, through all the levels of consciousness. One who has this intense yearning can alone be a true Bhagavatha.

Tuhan mengambil berbagai wujud dan melakukan berbagai kegiatan. Nama Bhagavatha diberikan untuk mendeskripsikan pengalaman mereka yang telah menyadari Beliau dalam berbagai wujud tersebut dan bagi mereka yang telah diberkati oleh berkat-Nya dan dipilih sebagai instrumen-Nya. Epik besar yang disebut dengan Bhagavatha adalah obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, mental, dan spiritual. Dengan Bhagavatha berarti kita menjalin keterikatan dengan Tuhan dan mencari persahabatan dengan Tuhan. Berada di tengah-tengah Bhagavathas dapat mendorong seseorang untuk melakukan pengabdian. Kecuali jika engkau tidak mengarahkan pikiranmu kepada Tuhan, engkau tidak akan memperoleh sukacita dari-Nya. Untuk membuat rasa itu, Bhagavatha menceritakan kisah-kisah bagi para penanya yang sungguh-sungguh yang berhubungan dengan inkarnasi. Lalu seseorang mengembangkan kerinduan untuk mengalami getaran Tuhan, melalui semua tingkat kesadaran. Hanya mereka yang memiliki kerinduan yang intens yang bisa menjadi Bhagavatha sejati.

-BABA

Tuesday, December 9, 2014

Thought for the Day - 9th December 2014 (Tuesday)

Keep the Name of the Lord always radiant on your tongue and mind. That will keep the antics of the mind under control. When the lamp is burning, darkness will not spread its fumes around you. When the word for Brahman (Supreme Universal Reality), Om, is spelt with the last breath by the one dying, they attain the Divine. To make that final utterance of Om, just as the flower blossoms on the creeper of life, you need to dwell upon Om all through the years of your current life. The Geeta advocates the process of continuous meditation in a neat little formula: mam anusmara yuddhya cha! - "Keep Me in your memory and fight!" The cue here for you is to fight the battle of life, have God in your consciousness as your Charioteer at all times. This is not merely a direction for Arjuna; it is a prescription for all humanity.

Engkau hendaknya tetap membiarkan Nama Tuhan selalu bersinar di lidah dan pikiran-mu, sehingga membuat pikiranmu tetap berada di bawah kontrol. Ketika lampu terbakar, kegelapan tidak akan menyebarkan asap di sekitarmu. Ketika kata untuk Brahman (Realitas Tertinggi), Om, diucapkan dengan nafas terakhir oleh seseorang yang sekarat, mereka dapat mencapai Ilahi. Untuk membuat agar engkau dapat mengucapkan kata terakhir Om, dapat diibaratkan seperti bunga mekar yang senantiasa menyertai hidupmu, engkau harus senantiasa menchantingkan Om selama bertahun-tahun hidupmu saat ini. Bhagawad Gita menganjurkan proses meditasi secara terus menerus dalam suatu formula: mam anusmara yuddhya cha! - "Simpanlah Nama-Ku senantiasa dalam memori-mu dan berperanglah!" Dalam hal ini Gita mengisyaratkan kepadamu untuk melawan pertempuran hidup, memiliki Tuhan dalam kesadaran-mu sebagai kusir-mu setiap saat. Hal ini bukan hanya ditujukan untuk Arjuna; itu adalah resep untuk seluruh umat manusia.

-BABA

Monday, December 8, 2014

Thought for the Day - 8th December 2014 (Monday)

The Kaivalya Upanishad declares: “Not by means of works, not by means of human power, not by means of wealth, but by renunciation alone can immortality be attained.” The ‘works’ referred to are rituals like sacrifices, vows, charities, donations, pilgrimages, etc. Through such activities, one cannot achieve liberation; that is to say, one cannot get rid of the veil of ignorance. ‘Human power’ means acquisition of positions of authority, of skill and intelligence which can manipulate people and things, of fame and supremacy, of personal charm, of health and happiness, or of a large family with many children - these cannot confer liberation. The works mentioned above and the acquisition referred to can succeed only when one has ‘wealth’. But the Upanishad announces that spiritual wisdom is not related to riches. So liberation cannot be earned by means of wealth. Renunciation alone can confer immortality.

Kaivalya Upanishad menyatakan: "Bukan dengan cara bekerja, bukan dengan cara kekuatan manusia, bukan dengan cara kekayaan, tetapi hanya dengan melepaskan kehidupan duniawi maka Keabadian dapat dicapai". Kata 'bekerja' menunjuk pada ritual seperti pengorbanan, nazar, amal, donasi, ziarah, dll. Melalui kegiatan tersebut, seseorang tidak dapat mencapai pembebasan; artinya, seseorang tidak dapat menyingkirkan selubung ketidaktahuan. 'Kekuatan Manusia' berarti pencapaian posisi otoritas, keterampilan dan kecerdasan yang dapat memanipulasi orang dan hal-hal lain, ketenaran dan supremasi, pesona pribadi, kesehatan dan kebahagiaan, atau dari keluarga besar dengan banyak anak - semuanya ini tidak bisa memberi pembebasan. Karya-karya tersebut di atas dan pencapaian sebagaimana dimaksud dapat berhasil hanya ketika seseorang memiliki 'kekayaan'. Namun Upanishad menyatakan bahwa kebijaksanaan spiritual tidak berhubungan dengan kekayaan. Jadi pembebasan tidak bisa diperoleh dengan cara kekayaan. Melepaskan kehidupan duniawi dapat memberi keabadian.

-BABA

Sunday, December 7, 2014

Thought for the Day - 7th December 2014 (Sunday)

Yaga (ritualistic sacrificial prayers) is prescribed by the Karma Kanda (the parts that expound on actions or Karma as a spiritual path) of the Vedas. It is for sanctifying time and fulfilling the goal of human birth. The practice of renunciation and dedication through the rite of the yaga promotes worldly happiness as well as spiritual progress. It fosters charity and social cohesion. The ritual sacrifices pleases the deities presiding over the forces of Nature and so brings down rain, which helps growing crops, and increases food for man and beast. Activity that is divorced from spiritual goals, and devoid of reverence and humility, leads to conceit and authoritarianism. It makes one arrogant and cruel; but the sages of India laid down that all activity has to be done as a yaga, as offerings for the glory of God, in an atmosphere of thankfulness and awe, of humility and holiness. The goal of all activity was idealised as the happiness and peace of all living beings.

Yaga (ritual pengorbanan) diresepkan oleh Karma Kanda (bagian-bagian yang menjelaskan tentang tindakan atau Karma sebagai jalan spiritual) dari Weda. Ini bertujuan untuk menyucikan waktu dan memenuhi tujuan kelahiran manusia. Praktik melepaskan kehidupan duniawi dan pengabdian melalui ritual yaga meningkatkan kebahagiaan duniawi serta kemajuan spiritual. Ini mendorong amal dan kohesi sosial. Ritual pengorbanan menyenangkan para dewa mengendalikan Alam, dan membawa turun hujan, yang membantu tanaman tumbuh, dan meningkatkan makanan untuk manusia dan binatang. Kegiatan yang memisahkan dari tujuan spiritual, dan tanpa memperhatikan rasa hormat dan kerendahan hati, menyebabkan kesombongan dan otoritarianisme. Ini membuat orang sombong dan kejam; tetapi para bijak India telah menetapkan bahwa semua aktivitas harus dilakukan sebagai yaga, persembahan bagi kemuliaan Tuhan, dalam suasana syukur dan kekaguman, kerendahan hati dan kesucian. Tujuan dari semua aktivitas adalah untuk kebahagiaan dan kedamaian semua makhluk hidup.

-BABA

Saturday, December 6, 2014

Thought for the Day - 6th December 2014 (Saturday)

To discriminate between good and bad, one must resort to scriptures. The Vedas emerged from the Divine Himself and were ‘heard’ by sages attuned to the voice of the Divine, who in turn, taught them to their disciples. This process of imparting the Vedas and the wisdom enshrined in them has continued through many generations of Gurus and disciples until now. The Upanishads, the Brahma Sutra and the Bhagavad Gita contain the very essence of the Vedas. Hence these are designated as ‘three fundamental texts (Prasthana traya)’ of the science of spirituality. Acquisition of higher knowledge alone can fulfil the main purpose of human life; it makes one aware that one is not the inert non-sentient body but an embodiment of being-awareness-bliss. When this truth dawns and is experienced, you are freed from the fog of ignorance and are liberated, in this very life.

Untuk membedakan antara yang baik dan buruk, kita harus mengambil jalan seperti yang tertuang dalam kitab suci. Weda berasal dari Tuhan sendiri dan 'didengar' oleh orang bijak selaras dengan suara Tuhan, yang pada gilirannya, diajarkan kepada murid-murid mereka. Proses menanamkan Veda dan kebijaksanaan diabadikan di dalamnya secara terus-menerus melalui berbagai generasi Guru dan murid sampai sekarang. Upanishad, Brahma Sutra, dan Bhagavad Gita mengandung esensi dari Weda. Oleh karenanya, ketiganya ini ditunjuk sebagai 'tiga teks dasar (Prasthana Traya)' ilmu spiritualitas. Hanya dengan pencapaian pengetahuan yang lebih tinggi saja dapat memenuhi tujuan utama hidup manusia; ini membuat seseorang menyadari bahwa ia bukanlah hanya badan jasmani yang tak berdaya namun merupakan perwujudan dari makhluk-kesadaran-kebahagiaan. Ketika kebenaran ini baru disadari dan dialami, engkau dibebaskan dari kabut ketidaktahuan dan dibebaskan dalam kehidupan ini.

-BABA

Friday, December 5, 2014

Thought for the Day - 5th December 2014 (Friday)

The conflict between persons who accept God and deny Him, those who declare that God is to be found in this or that place and those who affirm that He can be found nowhere, is never ending; it has been continuing throughout the ages. Remember that it is unnecessary to awaken a person already awake and it is easy to awaken a person who is asleep. You cannot awaken, however much you try, a person not wanting to awaken! Those who do not know, can be taught by means of simple illustrations what they do not know. But those afflicted with half-knowledge and proud of that acquisition are beyond any further education. Your two eyes give a picture of a vast expanse of space, but they cannot see your whole body! For that, you need two mirrors – one in front of you and one behind. So too, to know your reality, you need the mirrors of Self-confidence (Atma-vishwas) and Divine Grace.

Konflik antara orang-orang yang menerima Tuhan dan mengingkari-Nya, orang-orang yang menyatakan bahwa Tuhan dapat ditemukan di tempat ini atau di tempat itu dan mereka yang menegaskan bahwa Beliau tidak dapat ditemukan dimanapun, tidak akan pernah berakhir; perdebatan ini akan terus berlangsung sepanjang zaman. Ingatlah bahwa tidak ada gunanya untuk membangunkan orang yang sudah bangun dan sangat mudah untuk membangunkan orang yang tertidur. Engkau tidak bisa bangun, bagaimanapun engkau mencobanya, seseorang tidak ingin dibangunkan! Mereka yang tidak tahu, dapat diajarkan dengan ilustrasi sederhana apa yang mereka tidak tahu. Tetapi mereka yang hanya memiliki setengah pengetahuan dan bangga akan pencapainnya tersebut, berada di luar pendidikan selanjutnya. Dua mata-mu memberikan gambaran dari hamparan luas suatu ruangan, tetapi mata tersebut tidak dapat melihat seluruh badanmu! Untuk itu, engkau perlu dua cermin - satu di depan dan satu di belakangmu. Demikian juga, untuk mengetahui realitas-mu, engkau memerlukan cermin dari Kepercayaan diri (Atma-vishwas) dan Berkat Tuhan.

-BABA

Thursday, December 4, 2014

Thought for the Day - 4th December 2014 (Thursday)

Mere reading of spiritual texts is not enough. You may master all the commentaries and you may be able to argue and discuss with great scholars about these texts; but without attempting to practise what they teach, it is a waste of time. I never approve of book-learning; practice is what I evaluate. When you come out of the examination hall you know whether you will pass or not, is it not? For you can yourself judge whether you have answered well or not. So too in sadhana (spiritual effort) or in conduct or in practice, each of you can judge and ascertain the success or failure that is in store. The moon is reflected in a pot, provided it has water; so too the Lord can be clearly seen in your heart, provided you have the water of Love (Prema). When you don’t see the Lord reflected in your heart, do not say that there is no Lord; it only means that there is no Love within you.

Hanya sekedar membaca teks-teks spiritual belumlah cukup. Engkau mungkin menguasai semua uraian dan engkau mungkin dapat berdebat dan berdiskusi dengan para cendekiawan besar tentang teks-teks ini; tetapi tanpa berusaha untuk mempraktikkan apa yang mereka ajarkan, itu adalah buang-buang waktu. Aku tidak pernah menyetujui hanya mempelajari buku; praktik adalah apa yang Aku anjurkan. Ketika engkau keluar dari ruang ujian, bukankah engkau tahu apakah engkau akan lulus atau tidak? Karena engkau bisa menilai sendiri apakah engkau telah menjawab dengan baik atau tidak. Demikian juga dalam sadhana (upaya spiritual) atau perilaku atau dalam praktik, masing-masing bisa menilai dan memastikan keberhasilan atau kegagalannya. Bulan tercermin dalam jambangan, asalkan jambangan tersebut berisi air; demikian juga Tuhan dapat terlihat jelas dalam hatimu, asalkan engkau memiliki air Cinta-kasih (Prema). Bila engkau tidak melihat Tuhan tercermin dalam hatimu, jangan katakan bahwa tidak ada Tuhan; itu berarti tidak ada cinta-kasih dalam dirimu.

-BABA

Wednesday, December 3, 2014

Thought for the Day - 3rd December 2014 (Wednesday)

Enter upon that task of Sadhana from now on; that is the lesson you must learn here. Otherwise yatra (pilgrimage) leads only to the accumulation of patra (objects and souvenirs). Devotion is something sweet, soothing, refreshing and restoring. It must confer patience and fortitude. The devotee will not be perturbed if another is blessed with more grace. The devotee is humble and bides one’s time, knowing that there is a higher power that knows more and that it is just and impartial. In the light of that knowledge, the devotees will communicate their troubles and problems only to their Lord; they will not humiliate themselves by talking about them to all and sundry, for what can a man, who is as helpless as another, do to relieve them? It is only those who have that implicit faith in God, who will deign to communicate only with the Lord and none else, who deserve Amrita (nectar of immortality).

Laksanakanlah Sadhana dari sekarang; itulah pelajaran yang harus engkau pelajari di sini. Jika tidak, yatra (ziarah) hanya mengarah pada akumulasi patra (objek dan souvenir). Pengabdian adalah sesuatu yang manis, menenangkan, menyegarkan, dan memulihkan. Pengabdian harus memberi kesabaran dan ketabahan. Bhakta tidak akan merasa terganggu jika yang lainnya diberkati dengan lebih banyak berkat. Bhakta rendah hati dan menunggu waktu, mengetahui bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi yang mengetahui lebih banyak serta adil dan tidak memihak. Dalam cahaya pengetahuan itu, bhakta akan mengkomunikasikan kesulitan dan masalahnya hanya kepada Tuhan; mereka tidak akan mempermalukan diri mereka dengan berbicara tentang mereka kepada semua orang. Apa yang dapat seseorang lakukan untuk meringankan mereka? Hanya mereka yang memiliki keyakinan yang mutlak pada Tuhan, yang akan berkenan untuk berkomunikasi hanya dengan Tuhan dan tidak dengan yang lainnya, yang layak mendapatkan Amrita (nektar keabadian). (Divine Discourse, 28 Dec 1960)

-BABA

Tuesday, December 2, 2014

Thought for the Day - 2nd December 2014 (Tuesday)

People suffer because they have all kinds of unreasonable desires and they pine to fulfil them and they fail. They attach too much value to the objective world. It is only when attachment increases that you suffer pain and grief. If you look upon Nature and all created objects with the insight derived from the Inner Vision, then attachment will slide away, though effort will remain; you will also see everything much clearer and with a glow suffused with Divinity and splendour. Close your external eyes and open your inner eyes - What a grand picture of essential unity you get? Attachment to Nature has limits, but the attachment you develop to the Lord when your inner eye opens, has no limit. Enjoy that reality, not this false picture.

Orang menderita karena mereka memiliki semua jenis keinginan yang tidak masuk akal dan mereka berkeinginan memenuhi keinginan mereka dan mereka gagal memenuhi semuanya itu. Mereka terikat terlalu banyak pada objek-objek duniawi. Hanya ketika keterikatan meningkat maka engkau menderita rasa sakit dan kesedihan. Jika engkau memandang Alam semesta dan semua objek yang dibuat dengan wawasan yang berasal dari pandangan batin, maka keterikatan akan meluncur pergi,  engkau juga akan melihat segala sesuatu lebih jelas dan dengan cahaya diliputi dengan Divinity dan kemuliaan-Nya. Tutuplah mata luarmu dan bukalah mata batinmu - Apa gambaran besar kesatuan esensial yang engkau dapatkan? Keterikatan pada Alam semesta memiliki batas, namun keterikatan yang engkau kembangkan kepada Tuhan ketika mata batinmu terbuka, tidak memiliki batas. Nikmatilah  realitas tersebut, bukan gambar palsu ini. (Divine Discourse, 2 Feb 1958)

-BABA

Monday, December 1, 2014

Thought for the Day - 1st December 2014 (Monday)

To pray to God with excessive adulation and request a favour stems from a tone of despondency. Describing Him as One who is beyond praise by Brahma and other gods, and narrating glories beyond description of how He helped devotees and then asking, "Oh Lord! You have talked to them and given them so much! Why don't You come to my help?" appears to stem from jealousy. It is only when God is regarded as a friend and a companion that He is pleased the most. When you address Him as, "O my dearest friend! My beloved One! The darling of my heart," you are giving Him the greatest joy. We use words of praise towards an unfamiliar person to show respect and regard as he/she is a stranger. But we welcome an old friend with easy familiarity and intimacy. Hence approach God as your loving friend, He will come to your aid and fulfill your needs.

Berdoa kepada Tuhan dengan pujian yang berlebihan dan meminta bantuan-Nya berasal dari nada putus asa. Gambarkanlah Dia sebagai Yang berada di luar pujian oleh Brahma dan dewa-dewa lainnya, dan menceritakan kemuliaan melampaui deskripsi tentang bagaimana Beliau membantu bhakta-Nya. Jika engkau bertanya seperti ini, "Oh Tuhan! engkau telah berbicara dengan mereka dan memberi mereka begitu banyak! Mengapa engkau tidak  datang untuk membantuku?" Engkau bertanya dengan nada kecemburuan. Hanya ketika Tuhan dianggap sebagai teman dan pendamping maka Beliau akan menyenangkan semuanya. Engkau akan memberikan kepada Beliau sukacita  terbesar, ketika engkau memanggil-Nya sebagai, "O teman-ku tersayang! Kekasihku! Kekasih hatiku." Kita menggunakan kata-kata pujian terhadap orang asing untuk menunjukkan rasa hormat dan menganggap mereka adalah orang asing. Tetapi kita menyambut seorang teman lama dengan keakraban dan kekariban. Oleh karena itu engkau hendaknya menghampiri Tuhan sebagai teman yang penuh kasih, maka Beliau akan datang untuk membantumu dan memenuhi kebutuhanmu. (Divine Discourse, Oct 9, 1989)

-BABA

Thought for the Day - 30th November 2014 (Sunday)

Do not be led away by all this present-day talk of equality, either of men and women, or of all men. Each has a certain fund of intelligence, and a peculiar bundle of instincts, impulses and vasanas (past impressions). To the extent that you develop them or divert them or diminish their strength, to that extent there is bound to be difference in your equipment and achievement. Use all chances you get to develop your skills, your health and your character. That is your present duty. Do not by any action of yours cause pain to another; nor suffer pain yourself, by foolishness or sheer bravado. Do not dishonour your elders; cultivate the spirit of service and learn how to serve the sick and the needy, and seize every chance to help others. Or at least, desist from causing sorrow to others.

Janganlah engkau disesatkan mengenai pembicaraan tentang kesetaraan, baik laki-laki dan perempuan, atau semua orang. Masing-masing dari kalian memiliki simpanan inteligensi, dan ikatan yang khas naluri, dorongan, dan vasanas (kenangan masa lalu). Untuk memperluasnya, engkau mengembangkan atau mengalihkannya atau mengurangi kekuatannya, pastinya ada perbedaan dalam peralatan dan pencapaian. Gunakanlah semua kesempatan yang engkau peroleh untuk mengembangkan keterampilanmu, kesehatanmu, dan karaktermu. Itulah kewajibanmu saat ini. Janganlah dengan tindakanmu, engkau menyebabkan penderitaan bagi orang lain; atau membuat dirimu sendiri mengalami penderitaan dengan kebodohan atau omong kosong belaka. Janganlah menghina orang tuamu; kembangkanlah semangat pelayanan dan belajar bagaimana untuk melayani orang sakit dan orang yang membutuhkan, dan merebut setiap kesempatan untuk membantu orang lain. Atau setidaknya, berhenti dari menyebabkan penderitaan bagi orang lain. (Divine Discourse, March 3, 1958)

-BABA