Tuesday, December 30, 2008

Thought for the Day - 31st December 2008 (Wednesday) - Final


The inner voice is another name for the Buddhi (intellect). Man is guided by this inner voice in the conduct of his life. Whenever problems arise, he awaits the directives of the inner voice. If satisfactory answers are not forthcoming from his inner voice, he will have no satisfaction in life. In other words, one’s satisfaction with the external world is a function of one’s satisfaction with one’s inner world, represented by the inner voice. Sometimes you hear people saying, "My conscience is not satisfied, or my conscience does not approve of this". Here, conscience refers to this inner voice. Only when you follow the dictates of your conscience can you reach the right destination.

Inner voice (suara hati nurani) adalah nama lain dari Buddhi (intellect). Kehidupan manusia dituntun oleh inner voice tersebut. Ketika timbul persoalan atau permasalahan, maka pada umumnya manusia akan menunggu arahan-arahan dari sang inner voice. Jikalau tidak muncul jawaban yang memuaskan, maka ia juga tidak akan puas dalam kehidupannya. Dengan perkataan lain, kepuasaan seseorang terhadap dunia eksternal adalah berkaitan langsung dengan kepuasan yang dimiliki oleh hati nuraninya. Kadang-kala engkau mendengar orang-orang mengatakan demikian, "Conscience-ku tidak puas atau conscience-ku tidak menyetujui hal tersebut." Yang diartikan sebagai conscience dalam hal ini adalah inner voice itu. Artinya, engkau baru bisa sampai ke tempat tujuan yang benar hanya apabila engkau mendengarkan arahan-arahan dari conscience-mu.
-BABA

Monday, December 29, 2008

Thought for the Day - 30th December 2008 (Tuesday)


The wickedness of no man is incorrigible. By conscious effort, habits can be changed and character refined. By selfless service, renunciation, devotion and prayer, the old habits which bind man to earth can be discarded and new habits which take us along the Divine path can be instilled into our lives.

Kejahatan manusia tidaklah sulit untuk dikoreksi. Hanya dengan usaha yang telaten, kebiasaan-kebiasaan jelek itu bisa dirubah dan karakter akan dimurnikan. Melalui pelayanan tanpa pamrih, praktek ketidak-melekatan, bhakti dan doa; semua kebiasaan manusia yang menjeratnya terhadap kehidupan duniawi akan terlepas satu per satu dan sebagai gantinya, muncullah kebiasaan baru yang akan menuntunmu ke jalan Ilahi.
-BABA

Sunday, December 28, 2008

Thought for the Day - 29th December 2008 (Monday)

Man is an amalgam of body, mind and spirit. The senses of perception and action, which form the components of the body, are busy contacting the objective world. The mind examines, experiences and judges. It decides after discrimination, which word or deed will be beneficial. It attempts to separate the good from the bad, the Punya (virtuous deed) from the Paapa (sinful action), the true from the false, and the permanent from the momentary. The Spirit or the Atma is the unaffected basis. Its quality is Sath (being) but it is ever aware, ever Chith (consciousness). And when the consciousness is pure and unchanging, that state is Ananda (divine bliss).

Manusia adalah merupakan perpaduan antara badan jasmani, mind (batin) dan spirit (jiwa). Panca-indera yang merupakan komponen badan jasmani selalu sibuk menjalin kontak dengan dunia luar. Sementara itu, mind (batin) melakukan eksaminasi, mengalami serta menilai. Melalui kemampuan diskriminatifnya, ia menentukan ucapan dan bentuk perbuatan yang membuahkan manfaat. Ia berupaya untuk memilah-milah antara yang baik dan jahat, antara perbuatan bajik dan yang tidak, antara kebenaran dan kebohongan, dan antara yang permanen dari yang temporer. Sedangkan Atma atau Spirit (jiwa) merupakan dasar yang tak pernah mengalami perubahan. Kualitas dasarnya adalah Sath (kebenaran) yang senantiasa sadar, Chith (kesadaran). Ketika kesadaran itu menjadi murni dan abadi, maka keadaan itu disebut Ananda (divine bliss).


-BABA

Saturday, December 27, 2008

Thought for the Day - 28th December 2008 (Sunday)


In the pursuit of the good and godly life, one may encounter many difficulties and disturbances. Many doubts and questions crop up. It is only when these difficulties are faced squarely and the troubles are borne with patience and fortitude that we can understand the true nature of Reality. You should not allow yourselves to be overwhelmed in any way by difficulties and sorrows, doubts and disappointments. You must have faith. Have confidence in yourself and strive to understand well the nature of God's love. To secure that love is the sacred goal of human life. The transforming power of Love is boundless.

Dalam upaya untuk menjalani kehidupan yang benar dan bernuansakan spiritual/ke-Tuhan-an, engkau mungkin akan menghadapi serangkaian kesulitan dan gangguan. Akan timbul banyak keragu-raguan dan pertanyaan. Apabila engkau sanggup menghadapi kesulitan itu dengan penuh keberanian, kesabaran dan keuletan; maka niscaya engkau akan mampu untuk memahami Realita kehidupan ini. Janganlah engkau membiarkan dirimu terbawa oleh arus problema kehidupan, keraguan maupun keputus-asaan. Engkau harus memiliki keyakinan yang kokoh. Milikilah kepercayaan diri dan berusahalah untuk memahami secara benar cinta-kasih Ilahiah. Tujuan hidup sebagai manusia adalah untuk memperoleh cinta-kasih tersebut. Kekuatan transformatif cinta-kasih sungguh amat tak terbatas.
-BABA

Friday, December 26, 2008

Thought for the Day - 27th December 2008 (Saturday)


Jnana (spiritual wisdom) is the attainment of Oneness, the realization that there is nothing high or low. That is the true Divine Principle, the Brahman. Jnana is the panacea of all ills and troubles. To acquire this Jnana, there are many paths, and the best of these is the path of Bhakti (devotion). As the oil is to the flame in the lamp, so is Bhakti to the flame of Jnana. The heavenly tree of joy of Jnana thrives on the refreshing waters of Bhakti.

Jnana (kebijaksanaan spiritual) merupakan hasil dari pencapaian kemanunggalan dengan Sang Ilahi Yang Maha Esa. Jnana juga merupakan hasil pencapaian dimana kita menyadari bahwa tiada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Inilah Divine Principle yang sejati, yakni Sang Brahman. Jnana merupakan obat penawar bagi segala bentuk penyakit dan persoalan. Untuk mencapainya, kita bisa menempuh berbagai macam jalan, namun dari sekian banyak cara/jalan tersebut, yang terbaik adalah jalan Bhakti (devotion). Sebagaimana minyak penting untuk nyala lampu, maka demikian pula pentingnya Bhakti untuk lampu Jnana.
-BABA

Thursday, December 25, 2008

Thought for the Day - 26th December 2008 (Friday)


Just as the Sun can be seen only by its own light, the love of the Divine can be acquired only by Divine Grace and not by trivial spiritual practices. These Sadhanas (spiritual practices) are invariably motivated by selfish objectives. There is an element of selfishness in every service which man undertakes. All his undertakings are tainted by egoism or the acquisitive urge. Only when the Sadhaka's heart is filled with the Divine, will he be able to entertain pure and sacred love.

Sebagaimana matahari hanya bisa terlihat berkat bantuan cahayanya sendiri; maka demikian pula, cinta-kasih Ilahi hanya bisa didapatkan melalui Rahmat Ilahi dan bukan dengan praktek spiritual yang trivial (tidak murni). Sadhana-sadhana seperti itu pada umumnya termotivasi oleh keinginan yang bersifat selfish (mementingkan diri sendiri). Di dalam setiap bentuk pelayanan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya banyak kandungan selfishness-nya. Semua perbuatannya ternoda oleh egoisme ataupun keinginan tertentu dengan unsur serakah. Hanya apabila hati para sadhaka diisi dengan Divine, maka barulah ia akan mendapatkan cinta-kasih yang suci dan murni.
-BABA

Wednesday, December 24, 2008

Thought for the Day - 25th December 2008 (Christmas)


Develop love of God. All other forms of love are not love at all, but only fleeting and impermanent attachments. Man's biggest folly is forgetting his Divinity. All should realize that they come from God. All are children of God. Everyone should seek to get nearer and nearer to God. That is true Sadhana (spiritual practice). You must feel that God dwells in your heart. You must develop compassion in the heart, because without it, the heart is only a stone. That is the message of Jesus: The message of love. Love is God. Live in love. Start the day with love. Spend the day with love. End the day with love. This is the way to God. Only the person who is filled with love will be dear to the Lord.

Kembangkanlah cinta-kasih terhadap Tuhan. Segala bentuk cinta-kasih lainnya bukanlah cinta-kasih dalam arti yang sebenarnya, mereka hanyalah kemelekatan sementara yang bersifat temporer. Kesalahan terbesar yang dimiliki oleh umat manusia adalah melupakan Divinity-nya sendiri. Semuanya seyogyanya menyadari bahwa mereka berasal/bersumber dari Sang Ilahi. Semuanya adalah anak-anak Tuhan. Engkau harus berupaya agar semakin dekat dengan-Nya. Inilah Sadhana yang sejati. Engkau harus merasa bahwa Tuhan berdiam di dalam hatimu. Kembangkanlah kewelas-asihan di dalam hatimu, sebab tanpa adanya welas-asih, maka hatimu bagaikan sebongkah batu. Ini pula yang menjadi pesan Yesus Kristus, yaitu pesan tentang cinta-kasih. Bahwa cinta-kasih adalah Tuhan, hiduplah dalam cinta-kasih. Mulailah harimu dengan cinta-kasih. Jalanilah kehidupanmu dalam nafas cinta-kasih. Akhirilah harimu dengan cinta-kasih, sebab inilah jalan untuk menuju kepada Tuhan. Hanya mereka yang hatinya penuh dengan cinta-kasih akan dekat dengan-Nya.
-BABA

Tuesday, December 23, 2008

Thoughts for the Day - 24th December 2008 (Wednesday)


In one's life, the years sixteen to thirty are the most precious. This is the period when all of one's faculties and energies are at their peak. Hence one should strive to make the best use of this period. Noble qualities like self-confidence, sacrifice, aspiration and courage must be acquired then. If this time of one's life is wasted, there will only be failures in later years. Bad thoughts and bad practices should be eschewed altogether. During this crucial period, one should try to understand the purpose of life and concentrate one's efforts on achieving one's ideals. No spiritual effort is possible when one has dissipated one's physical and mental abilities.

Dalam kehidupan sebagai manusia, rentang waktu antara usia enam belas hingga tiga puluh adalah merupakan momen yang paling berharga. Inilah periode dimana kemampuan dan energi manusia sedang berada dalam kondisi puncaknya. Oleh sebab itu, engkau harus benar-benar memanfaatkan rentang usia itu dengan sebaik-baiknya. Kualitas-kualitas diri yang luhur dan mulia seperti kepercayaan diri, pengorbanan, aspirasi dan keberanian haruslah diberdayakan semaksimal mungkin. Apabila rentang usia itu disia-siakan, maka resikonya adalah kegagalan hidup. Pikiran negatif dan perbuatan zalim haruslah dienyahkan seluruhnya. Dalam periode usia yang penting itu, engkau harus melakukan segala daya-upaya untuk memahami maksud/tujuan hidup dan memusatkan usaha untuk mencapai idealisme-mu. Usaha spiritual sudah tidak memungkinkan lagi bagi mereka yang telah menyia-nyiakan kemampuan fisik dan mentalnya.
-BABA

Monday, December 22, 2008

Thoughts for the Day - 23rd December 2008 (Tuesday)


Man must have Samadrishti (seeing everyone as equal). All creation must appear to his eyes as equally auspicious. He must look upon all beings with as much faith and love as he has for himself. For there is nothing evil in creation, not even an iota. Evil appears as such only through faulty vision. Creation gets coloured by the nature of the 'glasses' we wear. By itself, it is eternally pure and holy.

Manusia haruslah memiliki Samadrishti (melihat dan memperlakukan setiap orang secara sama rata). Setiap mahluk hidup adalah suci adanya dan engkau harus melihatnya sedemikian rupa dengan penuh keyakinan dan cinta-kasih seperti halnya engkau mencintai dirimu sendiri. Pada hakekatnya kita tidak mengenal istilah 'kejahatan' di alam ciptaan yang suci dan murni ini. Kejahatan timbul sebagai akibat pandangan yang salah. Keadaan di sekitarmu akan terlihat berwarna berdasarkan jenis warna lensa yang engkau pakai.
-BABA

Sunday, December 21, 2008

Thoughts for the Day - 22nd December 2008 (Monday)


It is mentioned: "Success begets success." But how is success to be achieved and what is the success you should aim at? The Bhagavad Geeta declares: "Shraddhavan Labhathe Jnanam" (The persevering seeker secures wisdom). This means that without perseverance and earnestness no success can be achieved. Man is not able to make significant progress towards the Divine because of absence of strenuous striving in the spiritual sphere. Without spiritual practice, reading religious books and listening to spiritual discourses have no value. Study of scriptures and reciting God's names may be good acts in themselves. But, if there is no love, which is the basis of all Sadhana (spiritual discipline), they are of no use.


Disebutkan bahwa "Kesuksesan akan membuahkan kesuksesan". Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memperoleh kesuksesan dan jenis kesuksesan seperti apa yang harus kita perjuangkan? Kitab Bhagavad Geeta menyatakan" "Shraddhavan Labhathe Jnanam" (pencari kebenaran yang ulet akan memperoleh kebijaksanaan). Pengertian dari pernyataan ini adalah bahwa tanpa adanya kesabaran dan keuletan, maka tiada kesuksesan yang tercapai. Ketidak-mampuan manusia untuk mencapai kemajuan dalam perjalanannya untuk bersatu dengan Divine adalah disebabkan oleh tidak adanya usaha yang tekun dalam bidang spiritual. Tanpa adanya praktek spiritual, maka upaya untuk membaca buku-buku religius dan mendengarkan wacana spiritual sama sekali tak ada manfaatnya. Tindakan mempelajari kitab suci serta melafalkan nama-nama Tuhan hanya merupakan tindakan yang baik. Namun jikalau perbuatan itu tidak disertai dengan cinta-kasih – yang merupakan landasan dari seluruh disiplin spiritual – maka semuanya itu menjadi tak ada gunanya.

-BABA

Thoughts for the Day - 21st December 2008 (sunday)


Vairagya or non-attachment depends upon Jnana (spiritual wisdom) as well as Bhakti (devotion). Deprive Vairagya of that basis and you will find it crumbling down. Vairagya is the prime cause for spiritual progress. All these three - Bhakti, Jnana and Vairagya - have to be emphasised in Sadhana (spiritual exercise). One cannot separate them and strive for them individually.

Vairagya atau ketidak-melekatan tergantung pada Jnana (kebijaksanaan spiritual) dan Bhakti (devotion). Tanpa kedua hal tersebut sebagai landasannya, maka Vairagya-mu tidak akan stabil. Praktek ketidak-melekatan adalah faktor utama untuk tercapainya keberhasilan spiritual. Ketiga-tiganya, yaitu: Bhakti, Jnana dan Vairgaya haruslah mendapatkan perhatian khusus di dalam sadhana (latihan spiritual). Engkau tidak bisa memisahkannya dan hanya memperjuangkan salah-satunya.


-BABA

Friday, December 19, 2008

Thoughts for the Day - 20th December 2008 (Saturday)


Is the Sadhaka (spiritual aspirant) serving God or is God serving the Sadhaka? The service that the Sadhaka is doing is trivial. Offering to God what God has provided is like offering to the river its own water. The truth is that it is God who is rendering service to the devotee. All the capacities given by God should be used in the service of the Divine. There is no need to go in quest of God. In fact, God is all the time searching for the genuine and steadfast devotee. The Sadhaka is approaching God for the fulfilment of his desires. He is after petty and transient benefits. He does not seek to understand the nature of true love or the Divinity that underlies everything.

Pertanyaannya adalah apakah Sadhaka (aspiran spiritual) sedang melayani Tuhan ataukah justru sebaliknya, Tuhan yang sedang melayani para sadhaka? Jenis pelayanan yang diberikan oleh Sadhaka pada umumnya tidaklah seberapa. Mempersembahkan kepada Tuhan sesuatu yang sudah diberikan oleh-Nya dapatlah diibaratkan seperti mempersembahkan air kembali kepada sungai. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa justru Tuhan yang sedang memberikan pelayanan kepada para bhakta. Segala bentuk kemampuan/ketrampilan yang telah diberikan oleh Tuhan haruslah diberdaya-gunakan untuk pelayanan kepada-Nya. Engkau tidak perlu mencari-cari keberadaan Tuhan. Sebenarnya Beliau sendiri yang justru masih terus mencari bhakta sejati dan yang memiliki keyakinan mantap. Sebaliknya, apabila terdapat sadhaka yang mendekati Tuhan, pada umumnya mereka hanya ingin agar keinginan-keinginannya dikabulkan. Mereka cenderung hanya mengejar manfaat yang bersifat sementara. Ia tidak berupaya untuk mencoba memahami tentang cinta-kasih sejati maupun prinsip Divinity yang melatar-belakangi segala sesuatunya.
-BABA

Thursday, December 18, 2008

Thoughts for the Day - 19th December 2008 (Friday)


How pure is the heart that is full of Bhakti (devotion) to God and Prema (love) towards all beings! Selfless service is possible only by such persons; the rest only prattle about it and pretend to be impelled by it. Only those who are well established in the faith that all are children of God and that He is the Inner Motive Force of every being, can include themselves in that class of Sevaks (people rendering selfless service).

Sungguh mulia bhakta yang hatinya penuh dengan bhakti (devotion) terhadap Tuhan dan Prema (cinta-kasih) terhadap sesamanya! Selfless service (pelayanan tanpa pamrih) hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang seperti ini; yang lain hanya sekedar bergumam dan berpura-pura adanya. Hanya diri mereka yang betul-betul memiliki keyakinan baru layak disebut sebagai anak-anak Tuhan dan bahwa Tuhan memang telah menjadi energi pendorong di dalam dirinya masing-masing. Dengan demikian, bhakta seperti ini layak dikategorikan ke dalam kelas para sevaka (yang memberikan pelayanan tanpa-pamrih).
-BABA

Wednesday, December 17, 2008

Thoughts for the Day - 18th December 2008 (Thursday)


Young people today are totally oblivious to the importance of dedicating their lives to great ideals. It is up to the parents to endeavour to make their children lead purposeful lives. Teachers, on their part, should set an example and inculcate in their wards right values. Only a lighted lamp can serve to light other lamps. If teachers lack idealism how can they inspire their students to lead ideal lives? People talk about the spiritual life, but rarely practise it. They often act contrary to it. The reason is the lack of virtues. Without good qualities, all other attributes are useless. It is like pouring water in to a pot full of holes.

Kaum muda dewasa ini sama sekali buta tentang pentingnya menerapkan idealisme luhur dalam kehidupannya sehari-hari. Para orang-tua ikut bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak-anaknya agar menjalani kehidupan yang bermakna. Sementara itu, para guru harus menjadi contoh suri teladan dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri anak didiknya. Hanya lilin yang sedang menyala baru bisa menyalakan lilin lainnya. Jikalau para guru tidak memiliki nilai-nilai idealisme di dalam dirinya, maka bagaimana mungkin mereka bisa memberi inspirasi kepada anak-didiknya untuk menjalani kehidupan yang ideal? Banyak orang yang membicarakan tentang kehidupan spiritual, namun sangat sedikit yang mempraktekkannya. Sebaliknya mereka justru menjalani kehidupan yang bertentangan. Penyebabnya adalah oleh karena mereka tidak memiliki virtues (niat yang luhur). Tanpa adanya kualitas diri yang baik, maka semua atribut lain menjadi tak ada gunanya. Bagaikan menuang air ke dalam pot yang penuh dengan lubang!
-BABA

Tuesday, December 16, 2008

Thoughts for the Day - 17th December 2008 (Wednesday)


Delusion comes only to those who lose their bearings. Egoism is the greatest factor in making people forget the basic Truth. Once the ego dominates man, he slips from the ideal and precipitates himself from the top of the ladder in quick falls from step to step, down to the bottom. Egoism breeds schism, hatred and attachment.

Delusi hanya akan menghampiri mereka yang kehilangan kontrol (atas dirinya sendiri). Egoisme adalah faktor utama yang mengakibatkan orang-orang melupakan kebenaran hakiki. Selama ego masih mendominasi, maka yang bersangkutan sangat rentan untuk terjatuh dalam perjalanan spiritualnya. Egoisme menimbulkan fanatisme, kebencian dan kemelekatan.
-BABA

Monday, December 15, 2008

Thoughts for the Day - 16th December 2008 (Tuesday)


Everyone should realise that to attain oneness with divinity is the goal of human life. Hence it is everyone's duty to develop faith in the Divine. With the growth of faith, if one leads a life devoted to Dharma (righteousness), Sathya (truth) and Neethi (justice), he will be achieving the purpose of life. When we practise Dharma, the Divinity in us will manifest itself spontaneously. The man who does not follow Dharma is a burden on the earth. It is more important to earn the grace of God than earn all the wealth in the world. Develop the love of God and realise the bliss that is beyond all words.


Setiap orang hendaknya menyadari bahwa tujuan hidup sebagai manusia adalah untuk mencapai persekutuan (persatuan) dengan Divinity. Oleh sebab itu, setiap orang berkewajiban untuk mengembankan keyakinan terhadap Divine. Seiring dengan tumbuhnya keyakinan, apabila engkau menjalani kehidupan yang didedikasikan kepada Dharma (nilai kebajikan), Sathya (kebenaran) dan Neethi (keadilan), maka engkau akan mencapai tujuan kehidupan ini. Apabila engkau mempraktekkan Dharma, maka Divinity yang ada di dalam dirimu juga akan termanifestasikan secara spontan. Mereka yang tidak mengikuti Dharma adalah beban bagi dunia ini. Jauh lebih penting bagimu untuk mendapatkan Rahmat Tuhan daripada seluruh kekayaan duniawi lainnya. Kembangkanlah cinta-kasih terhadap-Nya dan realisasikan bliss yang tiada duanya.

-BABA

Sunday, December 14, 2008

Thoughts for the Day - 15th December 2008 (Monday)


Man thinks that the more he has of worldly goods the happier he will be. But, as desires grow, disappointments and troubles also increase. There should be a limit to our desires, attachments and ambitions. The world is suffering from numerous troubles because people do not keep their desires under check. Nature has prescribed limits for everything - for the temperature of the body, the capacity of the eye to tolerate light or for the ear to listen to sound. When these limits are crossed, harm is caused to the organs concerned. All actions in life should be governed by the limits applicable to each of them. When desires are controlled, genuine happiness is experienced.


Manusia banyak yang beranggapan (salah) bahwa apabila dia semakin banyak memiliki harta-benda duniawi, maka ia akan semakin berbahagia. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah bahwa apabila keinginan (duniawi) semakin bertambah banyak, maka yang justru akan semakin meningkat adalah ketidak-puasan dan persoalan-persoalan lainnya. Hendaknya engkau menerapkan batasan terhadap keinginan-keinginanmu, kemelekatan serta ambisimu juga. Dunia mengalami penderitaan dan kekacauan sebagai akibat manusia tidak mengendalikan keinginannya. Alam telah memberikan batasan terhadap segala sesuatu – misalnya: panas/suhu tubuh kita, kapasitas mata untuk melihat intensitas cahaya yang terbatas, kemampuan telinga untuk mendengar frekuensi tertentu, dan sebagainya... Ketika batasan-batasan itu tidak diindahkan, maka yang terjadi adalah kerusakan terhadap organ-organ bersangkutan. Nah, demikian pula, setiap bentuk tindakan dalam kehidupan ini haruslah berada dalam batasan-batasan yang wajar. Apabila engkau sanggup mengendalikan keinginanmu, maka kebahagiaan sejati akan menjadi milikmu.

-BABA

Saturday, December 13, 2008

Thoughts for the Day - 14th December 2008 (Sunday)


Whatever activity one may be engaged in, one must, as spontaneously as one breathes, always be aware of this: " I am born to serve God and to realise my true self". All actions - eating, walking, studying, serving, etc. should be performed in the faith that they take one to the Divine Presence. Everything should be done in a spirit of dedication to the Lord.


Apapun juga aktivitas yang engkau lakukan dan bagaikan nafas yang dilakukan secara spontan, engkau harus senantiasa menyadari bahwa "Aku terlahir untuk melayani Tuhan dna untuk merealisasikan jati diriku yang sejati." Segala bentuk tindakan – makan, berjalan, belajar, seva dan sebagainya – hendaknya dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa tindakan-tindakan tersebut akan mengantarkanmu menuju kepada Divine. Segalanya harus dilaksanakan dengan semangat dedikasi terhadap-Nya.

-BABA

Friday, December 12, 2008

Thoughts for the Day - 13th December 2008 (Saturday)


Channel the love that arises in you towards God. Dedicate your body to the Divine. This is the true mark of devotion. There are three constituents in man: the mind, the power of speech and the body. These three are called Trikaranas - the three active agencies in man. It is when all three are used for sacred purposes, that man becomes sanctified. Spirituality alone can purify the heart and mind of man. Morality helps to purify speech. Righteous deeds sanctify the body. It is through spirituality, morality and righteousness that the three instruments get purified. Only the one who has achieved this threefold purity can realize the Divine. If any of these instruments are impure, he cannot realize the Divine.

Salurkanlah cinta-kasihmu kepada Tuhan. Dedikasikanlah badan jasmanimu untuk Divine. Inilah pertanda devotion sejati. Di dalam diri seorang manusia, terdapat tiga jenis konstituen, yaitu: mind (pikiran), kekuatan speech (ucapan) dan body (aspek perbuatan). Ketiga-tiganya disebut sebagai Trikaranas. Kehidupan manusia akan mencapai pemurnian apabila Trikaranas diberdaya-gunakan untuk maksud/tujuan yang luhur. Spiritualitas adalah satu-satunya cara untuk memurnikan hati serta batin manusia. Moralitas berfungsi untuk membantu mensucikan ucapan, sedangkan perbuatan bajik berkaitan dengan aspek pemurnian badan jasmani. Dengan perkataan lain, Trikaranas mengalami pemurnian melalui Spiritualitas, Moralitas dan Kebajikan. Divine realisation hanya bisa tercapai oleh mereka yang telah mencapai pemurnian Trikaranas. Jikalau salah-satu instrumen tersebut belum suci & murni, maka ia tak akan bisa mencapai Divine.
-BABA

Thursday, December 11, 2008

Thoughts for the Day - 12th December 2008 (Friday)


Some say knowledge is valuable, but character is more valuable than knowledge. One may be a learned scholar, one may hold high positions of authority, one may be very wealthy or be an eminent scientist but if one has no character, all the other acquisitions are of no use at all. Sacrifice, love, compassion and forbearance are the sterling human qualities that should be fostered, shedding jealousy, hatred, ego and anger which are animal qualities.

Ada orang yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sangatlah berharga, namun sebenarnya (menurut Swami) yang jauh lebih berharga adalah karakter. Walaupun engkau mungkin adalah seorang sarjana terkemuka atau memangku jabatan tinggi, atau barangkali sebagai miliader atau bahkan seorang ilmuwan terkenal - semuanya itu tak ada gunanya jikalau engkau tak memiliki karakter (yang baik). Kualitas kemanusiaan yang perlu dijunjung tinggi adalah pengorbanan, cinta-kasih, welas-asih dan kesabaran. Sebaliknya, yang perlu engkau buang adalah sikap cemburu, benci, ego dan kemarahan - yang mana semuanya itu adalah pertanda kualitas kebinatangan.
-BABA

Wednesday, December 10, 2008

Thoughts for the Day - 11th December 2008 (Thursday)


It is only when attachment to the fruits of one's actions is discarded that the action becomes Yoga (a means to achieve Divine communion). Those who undertake service activities should overcome the sense of 'mine' and 'thine'; they should regard it as a privilege to serve others and look upon it as a form of worship of the Divine. They should consider service to society as the means of finding self-fulfillment in life. They should face whatever problems may arise with faith and courage, and carry on their service activities without fanfare, in a spirit of humility and dedication.

Apabila kemelekatanmu terhadap hasil atau buah perbuatanmu telah dapat dilepaskan, maka pada saat itu, perbuatanmu telah dikategorikan sebagai tindakan Yoga (cara untuk mencapai persekutuan dengan Sang Ilahi). Bagi mereka yang melakukan aktivitas pelayanan, maka terlebih dahulu mereka harus bisa memisahkan perasaan 'kepunyaanku' dan 'kepunyaanmu'; setiap bentuk aktivitas seva hendaknya dianggap sebagai suatu kesempatan untuk melayani orang lain serta menjadikannya sebagai salah satu bentuk pemujaan/ibadah terhadap Tuhan. Hendaknya engkau melihat pelayanan kepada masyarakat sebagai salah-satu cara untuk mencapai self-fulfillment (kepuasan diri) dalam kehidupan sekarang ini. Hadapilah segala bentuk permasalahan yang timbul dengan penuh keberanian dan keyakinan serta terus jalankan aktivitas pelayanan itu tanpa perlu harus digembar-gemborkan, yang terpenting adalah dilakukan dengan semangat kerendahan-hati dan penuh dedikasi.
-BABA

Tuesday, December 9, 2008

Thoughts for the Day - 10th December 2008 (Wednesday)


In the discipline of Bhakti (devotion), one has to stand the test at the hands of the Lord. He has to hold on to the Lord's name at all times and under all conditions, without the slightest trace of dislike or disgust, bearing the ridicule and the criticism of the world and conquering the feelings of shame and defeat.

Dalam menjalankan disiplin Bhakti (devotion), engkau harus siap untuk menjalani cobaan dari-Nya. Engkau harus memegang teguh nama-Nya di setiap saat dan segala kondisi tanpa berkeluh-kesah. Engkau harus tahan terhadap segala bentuk kritikan maupun cemoohan. Hendaknya engkau sanggup mengalahkan perasaan malu maupun perasaan minder lainnya.
-BABA

Monday, December 8, 2008

Thoughts for the Day - 9th December 2008 (Tuesday)


The primary requisite for man is to realize the divine potency in him that is the source of all the faculties and talents in him. This is true whether one is an atheist, a theist or an agnostic. No one in the world can survive without this energy. It may be called by different names. Names are not important. The energy is one. It is this divine energy which directs mankind on the right path. Men should strive to recognise the presence of the Divine in everything.


Manusia memiliki kewajiban untuk merealisasikan potensi (energi) Divine yang merupakan sumber daya bagi seluruh kemampuan dan talenta yang ada di dalam dirinya masing-masing. Kebenaran ini berlaku baik bagi mereka yang mengklaim dirinya atheist, theistic maupun golongan agnostic (yang skeptis terhadap eksistensi Tuhan). Tak ada seorangpun di dunia ini yang bisa selamat/eksis tanpa adanya energi tersebut. Walaupun ia (energi) bisa disebut dengan berbagai macam nama, namun semua nama-nama tersebut tidaklah penting. Divine Energy bersifat Maha Esa, ia merupakan energi Ilahiah yang mengarahkan manusia untuk berjalan di atas jalan yang benar. Yang penting untuk engkau lakukan adalah berupaya untuk menyadari eksistensi Tuhan di dalam segala-galanya.

-BABA

Sunday, December 7, 2008

Thoughts for the Day - 8th December 2008 (Monday)


To reach the stage of a Jnani (Knower of the Supreme), the preliminary steps are Karma and Upasana (righteous action and worship). Without following the paths of Karma and Upasana and succeeding in them, one can not become a Jnani, just as a student cannot acquire a degree without passing out of school. Before one becomes an adult, one has to pass through the stages of childhood and youth. It is idle for any one to claim that he is a Jnani, unless he has gone through the prior disciplines. The mark of a Jnani is perennial joy. It is for realizing the oneness of divinity that the three stages of action, worship and knowledge have been laid down in the Vedas.


Untuk mencapai tingkat kesucian (Jnani), maka terlebih dahulu harus melalui langkah-langkah awal berupa Karma dan Upasana (tindakan bajik dan ibadah). Tanpa melalui kedua langkah tersebut, maka tidaklah mungkin untuk mencapai Jnani, seperti halnya seorang siswa tidak bisa mendapatkan gelar kesarjanaannya bila tanpa terlebih dahulu lulus dari sekolahnya. Sebelum seseorang menjadi dewasa, maka ia harus melalui dulu tahapan sebagai anak-anak dan remaja. Orang yang belum melalui disiplin-disiplin tersebut namun sudah mengklaim dirinya sebagai jnani; maka orang seperti ini sebenarnya sedang mengucapkan omong-kosong. Pertanda seorang Jnani adalah bliss yang ada pada dirinya. Untuk mencapai oneness of divinity, maka kitab Veda telah memberikan ketiga tahapan action (tindakan), worship (ibadah) dan knowledge (kebijaksanaan) (Red: Dalam Buddhisme dikenal sebagai: Sila – Samadhi – Panna).

-BABA

Thoughts for the Day - 8th December 2008 (Monday)


To reach the stage of a Jnani (Knower of the Supreme), the preliminary steps are Karma and Upasana (righteous action and worship). Without following the paths of Karma and Upasana and succeeding in them, one can not become a Jnani, just as a student cannot acquire a degree without passing out of school. Before one becomes an adult, one has to pass through the stages of childhood and youth. It is idle for any one to claim that he is a Jnani, unless he has gone through the prior disciplines. The mark of a Jnani is perennial joy. It is for realizing the oneness of divinity that the three stages of action, worship and knowledge have been laid down in the Vedas.


Untuk mencapai tingkat kesucian (Jnani), maka terlebih dahulu harus melalui langkah-langkah awal berupa Karma dan Upasana (tindakan bajik dan ibadah). Tanpa melalui kedua langkah tersebut, maka tidaklah mungkin untuk mencapai Jnani, seperti halnya seorang siswa tidak bisa mendapatkan gelar kesarjanaannya bila tanpa terlebih dahulu lulus dari sekolahnya. Sebelum seseorang menjadi dewasa, maka ia harus melalui dulu tahapan sebagai anak-anak dan remaja. Orang yang belum melalui disiplin-disiplin tersebut namun sudah mengklaim dirinya sebagai jnani; maka orang seperti ini sebenarnya sedang mengucapkan omong-kosong. Pertanda seorang Jnani adalah bliss yang ada pada dirinya. Untuk mencapai oneness of divinity, maka kitab Veda telah memberikan ketiga tahapan action (tindakan), worship (ibadah) dan knowledge (kebijaksanaan) (Red: Dalam Buddhisme dikenal sebagai: Sila – Samadhi – Panna).

-BABA

Thoughts for the Day - 7th December 2008 (Sunday)


All religions have taught only what is good for humanity. Religion should be practised with this awareness. If the minds are pure, how can religion be bad? It is a mark of ignorance to consider one religion as superior and another as inferior and develop religious differences on this basis. The teachings of all religions are sacred. The basic doctrines are founded on truth. Atma-Tatwa (the truth of the Spirit) is the essence of all religions, the message of all the scriptures and the basis of all metaphysics.


Semua ajaran agama hanya mengajarkan hal-hal yang baik bagi umat manusia. Agama haruslah dipraktekkan dengan kesadaran seperti ini. Jikalau batin kita murni, bagaimana mungkin terdapat agama yang jelek? Jikalau ada orang yang menganggap agamanya lebih superior daripada agama lainnya atau jikalau ada yang mengembangkan fanatisme dengan dasar seperti ini, maka itu merupakan pertanda kebodohan batin yang sangat fatal. Semua ajaran agama adalah suci adanya. Semuanya berdasarkan kebenaran. Atma-Tatwa (kebenaran tentang Atma/Spirit/Jiwa) merupakan esensi dasar dari seluruh ajaran agama, pesan inti dari seluruh kitab suci dan dasar dari semua aspek metafisika.

-BABA


Friday, December 5, 2008

Thoughts for the Day - 6th December 2008 (Saturday)


The entire world is filled with love. The world is Love and Love is the world. In every human being, love is present as an effulgence which shines in his heart. Love is life and life is love. Love is an inborn quality in man. It is his very life-breath. Even as the power to burn is natural for fire, and the power to cool is natural for water, love is a natural trait for man. Without it, he ceases to be human.

Seisi dunia ini dilingkupi oleh cinta-kasih, sebab dunia adalah cinta-kasih dan cinta-kasih adalah dunia. Di dalam diri setiap insan, cinta-kasih eksis sebagai pelita yang bersinar di dalam hatinya. Cinta-kasih adalah kehidupan dan kehidupan adalah cinta-kasih. Cinta-kasih merupakan kualitas yang sudah laten ada di dalam diri manusia sejak lahir. Cinta-kasih merupakan nafas kehidupannya. Sebagaimana halnya kekuatan untuk membakar adalah sifat alamiah dari bara api, dan kekuatan untuk mendinginkan sebagai sifat alami dari air; maka demikianlah, cinta-kasih adalah sifat alami manusia. Tanpa cinta-kasih, maka yang bersangkutan tidaklah layak untuk disebut sebagai manusia.

-BABA

Thursday, December 4, 2008

Thoughts for the Day - 5th December 2008 (Friday)


Only a person who has the attitude of Kshama (forbearance) can be considered to be endowed with sacred love. This cannot be learned from textbooks; nor can it be acquired from preceptors. It is only when we face problems and difficulties that this quality of forbearance and forgiveness has scope for taking root. When one is confronted with problems and difficulties, one should not get upset and become a victim of depression, which is a sign of weakness. Instead, one must confront the situation with an attitude of tolerance and forgiveness, without getting agitated or giving rise to anger, hatred and revengeful thoughts.

Prasyarat seseorang untuk disebut sebagai orang yang memiliki cinta-kasih suci & murni adalah ia yang memiliki sikap Kshama (forbearance = kesabaran). Attitude seperti ini tidak bisa dipelajari dari buku-buku teks; dan ia juga tidak bisa diperoleh dari para preceptor (guru). Sikap seperti itu hanya bisa terlatih ketika engkau sedang menghadapi permasalahan dan kesulitan. Ketika engkau sedang berhadapan dengan persoalan hidup, maka janganlah engkau jengkel dan membiarkan dirimu menjadi korban depresi; sebab bila hal tersebut yang terjadi, maka itu adalah pertanda bahwa engkau masih lemah. Sebaliknya, hendaknya engkau menghadapi situasi yang ada dengan semangat toleransi dan siap untuk memaafkan. Engkau tidak perlu harus menjadi marah, benci maupun timbul keinginan untuk balas-dendam.
-BABA

Wednesday, December 3, 2008

Thoughts for the Day - 4th December 2008 (Thursday)


Where there is Love, there is Peace. Where there is Peace, there is Truth. Where there is Truth, there is Bliss. Where there is Bliss, there is God. To promote love, the first requisite is faith. It is only when you believe that one is your mother that you develop love towards her. If you do not regard her as your mother, you will not have that love for her. First of all, strengthen your faith. Without faith all kinds of worship and all spiritual disciplines are of no use; they are a waste of time. Then cultivate love. Everything grows out of love. That love will reveal to you your true self. That love will confer bliss on you. Therefore, eschew hatred; develop love.

Dimana terdapat cinta-kasih, maka di sana akan terdapat kedamaian. Dimana terdapat kedamaian, maka di situ terdapat kebenaran. Dimana terdapat kebenaran, maka di sana terdapat bliss. Dan apabila terdapat bliss, maka Tuhan akan terealisasikan. Untuk mempromosikan cinta-kasih, maka persyaratan pertama adalah keyakinan. Apabila engkau yakin bahwa seseorang adalah benar ibumu, maka barulah cinta-kasihmu akan dicurahkan terhadapnya. Namun sebaliknya, apabila engkau tidak menganggapnya sebagai ibumu, maka tentunya cinta-kasih seperti itu tidak akan ada. Jadi, sebagai langkah pertama, engkau harus memperkokoh keyakinamu. Tanpa adanya keyakinan, maka segala bentuk ibadah maupun praktek spiritual lainnya menjadi tak ada gunanya; semuanya itu hanya buang-buang waktu saja. Setelah adanya keyakinan, kembangkanlah cinta-kasih. Segala sesuatu tumbuh & berkembang berkat cinta-kasih. Jati dirimu yang sebenarnya akan dapat diketahui melalui cinta-kasih. Melalui cinta-kasih, bliss akan menjadi milikmu. Oleh sebab itu, hentikanlah kebencian dan kembangkanlah cinta-kasih.
-BABA

Tuesday, December 2, 2008

Thoughts for the Day - 3rd December 2008 (Wednesday)


Swimming up the river is a bit hard, but every stroke takes one nearer to the goal and not farther. For overcoming the strain, one must have the raft called Dhyana (meditation). Through Dhyana, the weaknesses of the physical frame can be overcome, the waywardness of the mind can be controlled and the progress towards the seat of the Grace is made easy. One can thus attain Divinity.

Berenang melawan arus sungai memang agak sulit, namun setiap kayuhan tanganmu akan membawamu semakin mendekati tujuan. Agar usahamu menjadi lebih ringan, maka engkau bisa menggunakan perahu yang disebut sebagai Dhyana (meditasi). Melalui Dhyana, kelemahan badan jasmani bisa diatasi; demikian pula, mind yang tidak stabil akan dapat dikendalikan. Dengan demikian, Rahmat Ilahi akan semakin dekat dan pada akhirnya engkau akan mencapai Divinity.
-BABA

Monday, December 1, 2008

Thoughts for the Day - 2nd December 2008 (Tuesday)


Realize that you have within you the source of power, wisdom and joy. Assert that you are unconquerable and free, that you cannot be tempted or frightened in to wrong. So long as a trace of body consciousness persists in you, the search for God must continue. Do not get caught in the sticky tangles of the external world. Do not harden your heart through greed and hate. Instead, soften it with love. Cleanse it through pure habits of living and thinking. Make it your shrine, wherein you install and worship God. Then, you can enter the sacred precincts of Moksha (Liberation).

Sadarilah bahwa di dalam dirimu terdapat sumber kekuatan, kebijaksanaan dan kebahagiaan. Milikilah pandangan yang teguh bahwa engkau tak bisa terkalahkan dan bebas, bahwa engkau tidak akan mudah dijebak untuk menyeleweng ke jalan yang salah. Selama kesadaran badan jasmaniah masih ada di dalam dirimu, maka selama itu pula engkau harus senantiasa berusaha untuk mencari Tuhan. Janganlah engkau terperosok ke dalam perangkap duniawi. Janganlah engkau membiarkan hatimu menjadi keras oleh karena faktor keserakahan dan kebencian. Melainkan, cobalah untuk membuatnya menjadi lunak melalui cinta-kasih. Bersihkanlah hatimu dengan cara mengembangkan kebiasaan-kebiasaan hidup serta pikiran yang suci dan murni. Jadikanlah hatimu sebagai altar dimana engkau bisa menempatkan dan memuja Tuhan. Dengan demikian, maka engkau berhak untuk memasuki halaman Moksha.
-BABA

Thoughts for the Day - 1st December 2008 (Monday)


All that you speak is a reflection of inner thoughts. All that you do is a reflection of inner action. Hence, to act according to your inner impulse is Dharma (right conduct). To speak what you feel inside is Sathya (truth). To contemplate on what you experience in your heart is Shanti (peace). To understand properly the promptings of the heart is Ahimsa (non-violence). Consideration for all emanating from the heart is Prema (love). The five values are thus reflections of feelings emanating from the heart. Being truly human means having complete harmony between thought, word and deed. If there is divergence between thought, word and deed, what is the outcome? Fruitless action.

Segala sesuatu yang engkau ucapkan adalah refleksi dari inner thoughts. Segala sesuatu yang engkau lakukan adalah refleksi dari inner action. Dengan demikian, apabila engkau bertindak sesuai dengan inner impulse (dorongan hati nurani), maka perbuatan itu merupakan Dharma (kebajikan). Mengucapkan hal-hal yang engkau rasakan di dalam (hati) adalah Sathya (Kebenaran). Berkontemplasi terhadap hal-hal yang engkau rasakan adalah Shanti (kedamaian). Memahami secara benar dorongan hati nurani adalah Ahimsa (tanpa-kekerasan). Bertenggang-rasa terhadap segala sesuatu yang muncul dari dalam adalah Prema (cinta-kasih). Kelima nilai-nilai (kemanusiaan) tersebut merupakan refleksi dari perasaan yang muncul dari hati nurani. Manusia sejati adalah mereka yang memiliki keharmonisan dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya. Apa jadinya jikalu terjadi penyimpangan antara pikiran, ucapan dan perbuatan? Tiada lain adalah fruitless action (perbuatan yang tak ada manfaat/faedahnya).
-BABA