Friday, September 28, 2007

Thoughts for the Day - 30th September 2007 (Sunday)




Once you become aware that the Lord is the omnipotent power and the mainspring of your life, then there will be no fear anymore. Bhakthas (devotees of God) of the past were aware that the Lord is the Aadhara (provider), so they had no fear at all. But, that faith has not taken root in men today. Instead of cultivating faith in God, man today has reposed his faith in worldly things. Hence, this has become an age of fear and anxiety.

Apabila engkau bisa menyadari bahwa Tuhan merupakan sumber kekuatan yang maha kuasa dan sebagai pendorong-utama dalam kehidupanmu, maka rasa takut tidak akan menghampirimu lagi. Para bhakta di zaman dahulu menyadari bahwa Tuhan adalah Aadhara (sang pemberi), oleh sebab itulah, ketakutan tidak ada di dalam kamus mereka. Namun tidak demikian halnya dengan manusia di zaman modern ini, keyakinannya sangatlah tumpul. Alih-alih mengembangkan keyakinan kepada Tuhan, manusia modern justru lebih percaya kepada benda-benda duniawi. Itulah sebabnya, zaman modern ini telah menjelma menjadi zaman ketakutan dan kegelisahan.

- BABA

Thoughts for the Day - 29th September 2007 (Saturday)



Samskriti, the Sanskrit word for culture and civilization is derived from the word Samskara (refinement), which means the dual purpose of removing the dust and dirt of vice and planting the virtues of Sathya (Truth), Dharma (Righteousness), Shanti (Peace) and Prema (Love). The foundation of Dharma laid down by sages teach people that one should not enthuse over victory or despair over defeat; both are to be welcomed as tests of one's faith.

Samskriti (bahasa Sanskerta) diartikan sebagai kebudayaan dan peradaban, kata tersebut berasal dari Samskara (pemurnian), yang mempunyai dwi fungsi berupa penghapusan kotoran-kotoran (batin) dan menanamkan nilai-nilai luhur berupa Sathya (Kebenaran), Dharma (Kebajikan), Shanti (Kedamaian) dan Prema (Cinta-kasih). Fondasi Dharma telah diletakkan oleh para rishi guna memberikan ajaran kepada orang-banyak agar tidak menjadi lupa-daratan pada saat berhasil meraih kemenangan dan sebaliknya tidak menjadi putus-asa di kala mendapatkan kekalahan, sebab kedua peristiwa tersebut hendaknya diterima sebagai batu ujian atas keyakinanmu.

- BABA

Thursday, September 27, 2007

Thoughts for the Day - 28th September 2007 (Friday)



Dharma (righteousness) is that which sustains mankind. True humanness consists in observing unity of thought, word and deed. All actions done with this triple unity are Dharmic actions. There are various rules of conduct which are related to conditions governing time and space. Such rules are liable to change from time to time, and country to country, according to changing situations. But if Sanathana Dharma (the eternal Dharma) changes, humanity will cease to be human. Just as burning wood which loses its heat becomes a mere charcoal; likewise man remains truly human only as long as he adheres to the eternal Dharma which is represented by unity and purity of thought, word and deed.

Penopang kehidupan umat manusia adalah Dharma (nilai-nilai kebajikan). Persatuan (unity) atau sinkronisasi antara pikiran, ucapan dan perbuatan merupakan nilai kemanusiaan yang tulen. Segala bentuk perbuatan yang dilakukan dengan trinitas persatuan ini merupakan tindakan Dharmic. Terdapat beberapa jenis kode-etik yang berhubungan dengan berbagai jenis kondisi ruang dan waktu. Aturan-aturan (atau kode etik) tersebut mengalami perubahan dari waktu ke waktu, berbeda-beda di masing-masing negara, dan disesuaikan dengan situasi setempat. Namun jikalau saja Sanathana Dharma (Dharma abadi) juga mengalami perubahan sedemikian, maka terdapat bahaya dimana kemanusiaan akan mengalami degradasi moral. Seperti halnya kayu yang terbakar akan kehilangan unsur panasnya hingga akhirnya menjadi arang (charcoal); maka demikianlah, manusia hanya tetap dianggap sebagai manusia jikalau ia berpegang-erat pada Sanathana Dharma yang direpresentasikan melalui unity dan purity (kemurnian) dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya.

-BABA

Wednesday, September 26, 2007

Thoughts for the Day - 27th September 2007 (Thursday)



It is an uphill task to reform one's tendencies and character. A man may study all the textbooks on Sadhana (spiritual quest) and all the scriptures, and he may even lecture for hours on them, but he will be led astray when temptation confronts him. What is the real cure for this? It is the unshakeable belief that you are the Brahman (Godhead) at all times.

Mereformasi kecenderungan dan karakter seseorang memang tidaklah mudah. Seseorang boleh saja telah mempelajari seluruh kitab-kitab suci maupun buku-teks tentang Sadhana (latihan spiritual), dan ia bahkan boleh saja sanggup berceramah selama berjam-jam tentang hal yang sama, namun ketika ia berhadapan dengan godaan-godaan, maka ia akan terbuai dan lepas-kendali. Apa jenis pengobatan yang paling cocok untuk keadaan demikian? Obatnya adalah keyakinan yang teguh bahwa setiap saat dirimu adalah Brahman (Tuhan).

-BABA

Tuesday, September 25, 2007

Thoughts for the Day - 26th September 2007 (Wednesday)



The fundamental teaching of the culture of Bharat is love. For generations, youth have been advised, encouraged and taught by precept and example to love the poor, the helpless, the handicapped and the disabled, for the same spark of divinity that is in us, is also active in them. Be lamps of love, there is no need for any other Sadhana (spiritual practice). Love and loving service of others will confer on you the grace of God.

Ajaran pokok kebudayaan Bharat adalah cinta-kasih. Dari generasi ke generasi, para youth telah dinasehati, didorong serta diajarkan melalui ajaran dan contoh nyata agar mereka mencintai mereka yang miskin, yang tak berdaya dan yang cacat, sebab percikan Ilahi yang ada di dalam diri kita juga eksis di dalam diri mereka. Tiada diperlukan Sadhana (latihan spiritual) lainnya, cukup bila engkau menjadi pelita cinta-kasih. Pelayanan yang dilakukan dengan dasar cinta-kasih akan membawa berkah Tuhan bagimu.

-BABA

Monday, September 24, 2007

Thoughts for the Day - 25th September 2007 (Tuesday)



What does Ahimsa (non-violence) signify? It is not merely refraining from causing harm to others. It also implies refraining from causing harm to oneself. Whoever desires to observe Ahimsa must see that he does no violence to himself, for one who harms himself cannot avoid harming others. You must constantly examine whether your conduct is right or wrong. For instance, in the matter of speech, one must examine whether one’s words cause pain to others. One must see that one’s vision is not tainted with evil intentions or thoughts. Nor should one listen to evil talk either. All these things cause harm to a person. Hence one should see to it that one gives no room for bad vision, bad hearing, bad speech, bad thoughts or bad actions. And how do you determine what is bad? By consulting your conscience. Whenever you act against the dictates of your conscience, bad results will follow.

Apakah pengertian sebenarnya dari Ahimsa (tanpa kekerasan)? Ia bukan hanya sekedar diartikan sebagai tidak melukai orang lain, namun ahimsa juga diartikan sebagai menghindari tindakan yang berpotensi untuk melukai dirimu sendiri. Siapapun juga yang ingin mempraktekkan Ahimsa harus memastikan bahwa ia tidak melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri, sebab orang-orang yang cenderung melukai dirinya sendiri tidak akan bisa terhindar dari potensi untuk mencelakai orang lain juga. Secara konstan, engkau perlu mengevaluasi apakah tindakanmu sudah benar atau belum. Sebagai contoh, dalam hal bertutur-kata, engkau harus menilai apakah ucapan-ucapanmu dapat melukai hati orang lain atau tidak? Engkau perlu memastikan agar pandanganmu tidak ternoda oleh niat maupun pikiran yang jahat. Demikian pula, engkau perlu menghindari perbincangan yang tidak berguna. Semua jenis tindakan itu dapat melukai orang lain. Oleh karenanya, engkau perlu memastikan bahwa di dalam dirimu tidak terdapat bad vision (pandangan yang jahat), bad hearing (mendengarkan hal-hal yang tidak berfaedah), bad speech (ucapan yang tidak baik), bad thoughts (pemikiran negatif) atau bad action (perbuatan yang tidak senonoh). Lalu, bagaimanakah caranya engkau dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik? Tak lain adalah dengan cara berkonsultasi kepada hati nuranimu (your conscience). Apabila engkau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan arahan hati nurani, maka bisa dipastikan bahwa hasil yang negatif juga akan mengikuti tindakanmu tersebut.

-BABA

Saturday, September 22, 2007

Thoughts for the Day - 24th September 2007 (Monday)



Difference in beliefs and cultural practices among men are well known. Although climatic conditions may be the same in various regions of the world, the ways of living and practices of people are diverse. This diversity is inherent in nature. It is not a defect, but an adornment. This diversity is not to be seen among beasts and birds. That is because they do not have the power to think. Man alone has this capacity.

Kita mengenal adanya perbedaan dalam hal kepercayaan dan praktek-praktek budaya di antara sesama manusia. Walaupun kondisi iklim cenderung sama untuk berbagai daerah di dunia ini, namun terdapat cara dan praktek kehidupan yang saling berbeda. Kemajemukan ini merupakan bagian dari alam. Ia bukanlah suatu cacat, melainkan justru menambah keindahan hidup ini. Keaneka-ragaman tersebut tidak bisa dijumpai di dunia satwa, hal ini disebabkan oleh karena mereka tidak dibekali dengan kemampuan untuk berpikir. Hanya manusialah yang memiliki kapasitas tersebut.

- BABA

Thoughts for the Day - 23rd September 2007 (Sunday)



Man grieves because he has developed attachment towards the unreal. He cultivates an unreasonable affection for wealth; but he is prepared to sacrifice the riches in order to save the lives of his children, for attachment to children is stronger than to the wealth he has earned. But, the same man stoops so low as to neglect his children when the choice is between his survival and his children's welfare. However, the bliss that one gets when he dwells on the Atma, the source and spring of all joy is unbounded and imperishable. That is the real joy.

Manusia menderita disebabkan oleh karena kemelekatannya terhadap hal-hal yang bersifat semu (maya). Ia sedemikian tergiur oleh harta kekayaan; namun ia juga rela untuk mengorbankan kekayaannya demi untuk menyelamatkan nyawa anak-anaknya, hal ini disebabkan oleh karena kemelekatannya terhadap anak-anaknya masih lebih kuat daripada terhadap kekayaannya. Akan tetapi, orang yang sama berpotensi untuk menjadi sedemikian rendah, apabila ia dihadapkan pada pilihan antara keselamatan dirinya dibandingkan terhadap kesejahteraan/keselamatan untuk anak-anaknya. Ketahuilah bahwa bliss yang diperoleh dari Atma – sumber dari segala keceriaan – bersifat tak terbatas dan tak terhapuskan. Inilah kebahagiaan yang sejati.

- BABA

Friday, September 21, 2007

Thoughts for the Day - 22nd September 2007 (Saturday)


The chief source of Ananda (bliss) is dedication to God; nothing else can give that genuine and lasting joy. Become conscious of your kinship with the Lord. That kinship is not a mere fancy or a faked theory. It has come down since ages, from the beginning of time itself. It will persist till the very end of time.

Sumber utama Ananda (bliss) adalah tindakan dedikatif kepada Tuhan; tiada sesuatupun yang bisa memberikan kebahagiaan yang sejati dan bertahan lama. Sadarilah hubungan erat antara dirimu denganNya. Persahabatan ini bukanlah suatu teori yang muluk-muluk atau palsu. Ia telah ada sejak masa tak berawal dan akan tetap demikian hingga akhir zaman.

- BABA

Thursday, September 20, 2007

Thoughts for the Day - 21st September 2007 (Friday)




Be always saturated with love. Do not use poisonous words against anyone, for words are more fatal than even arrows. Speak softly and sweetly. Sympathise with the suffering and the ignorant. Do your best to apply the salve of soothing words and render timely help. Do not damage anyone’s faith in virtue and Divinity. Encourage others to have that faith by demonstrating in your own life that virtue is its own reward and that Divinity is all-pervasive and all-powerful.

Senantiasalah memelihara cinta-kasih di dalam dirimu. Janganlah mengucapkan kata-kata yang berpotensi untuk melukai hati orang lain, sebab tutur-kata yang salah diucapkan adalah jauh lebih fatal daripada luka yang diakibatkan oleh terjangan anak-panah. Berbicaralah secara lemah-lembut dan sopan-santun. Bersimpatilah terhadap mereka yang menderita dan yang masih diliputi oleh kebodohan (batin). Berupayalah untuk memberi kata-kata penghibur dan bantuan bilamana diperlukan. Janganlah menggoyahkan keyakinan orang lain dalam hal-hal yang berikaitan dengan nilai-nilai luhur dan Divinity. Doronglah setiap orang untuk mengembangkan keyakinannya dengan jalan menjadikan dirimu sendiri sebagai suri teladannya, yaitu bahwa nilai-nilai luhur akan membuahkan manfaat positif dan bahwa Divinity yang maha kuasa mencakupi segala-galanya.

- BABA

Wednesday, September 19, 2007

Thoughts for the Day - 20th September 2007 (Thursday)


The greatest obstacle on the path of surrender is egoism. It is something that has been inhering to your personality since ages, sending its tentacles deeper and deeper, with the experience of every succeeding life. It can be removed by the twin detergents of discrimination and renunciation. Bhakti (devotion) is the water to wash away the dirt of ages. And the soap of Japa (chanting the Lord's Name), Dhyana (meditation) will help to remove it quicker and more effectively.

Rintangan terbesar dalam upaya surrender (pasrah-diri) adalah egoisme. Ia (egoisme) telah bercokol di dalam kepribadianmu sejak berkalpa-kalpa lamanya. Akar-akarnya telah menancap sedemikian dalam dan pengalaman yang dialami di dalam setiap rentang kehidupan akan semakin memperdalam cengkeramannya. Egoisme hanya bisa disingkirkan dengan menggunakan dua deterjen, yaitu: diskriminasi (kemampuan membedakan antara yang baik dan salah) dan renunciation (praktek ketidak-meleketan). Bhakti (devotion) adalah air untuk membersihkan kotoran yang melekat, dan sabun Japa (pengkidungan nama-nama Tuhan) serta Dhyana (meditasi) merupakan alat bantu untuk mempercepat proses pembersihan secara lebih efektif.

-BABA



Tuesday, September 18, 2007

Thoughts for the Day - 19th September 2007 (Wednesday)






Good conduct, good qualities and good character alone constitute our real treasure. But man today has given up these three and is busy seeking worldly goods and is imagining that he is leading a pious life. God cannot be attained through such delusions. Man today is trying to master every kind of knowledge, but is unable to discover his own true nature.

Perilaku yang bajik, kualitas diri dan karakter yang baik merupakan harta kekayaan yang sesungguhnya. Namun manusia modern justru memilih untuk melepaskan harta tersebut dan sebaliknya malah menyibukkan dirinya dalam menumpuk harta-benda material sembari berpendapat bahwa seolah-olah dia sedang menjalani kehidupan yang saleh. Ketahuilah bahwa Tuhan tidak akan bisa diperoleh dengan cara-cara yang dikelabui oleh delusi tersebut. Dewasa ini, manusia berupaya untuk menguasai segala macam jenis pengetahuan, namun yang disayangkan adalah bahwa ia tidak bisa menemukan jati dirinya yang sebenarnya.
-BABA

Thoughts for the Day - 18th September 2007 (Tuesday)






There is no greater quality in man than selfless love, which expresses itself in service to others. Such love can be the source of real bliss. The relationship between Karma and Karma Yoga should be properly understood. Karma (action) done with attachment or desire causes bondage. But desireless, selfless action becomes Karma Yoga (the path of action leading to liberation). Our life should become Yoga (Divine Communion) rather than a Roga (disease).

Tiada kualitas lainnya yang lebih berharga di dalam diri seorang manusia selain cinta-kasih yang tanpa pamrih (selfless love), yang diekspresikan sebagai pelayanan kepada sesamanya. Cinta-kasih ini akan menjadi sumber bliss yang sejati. Hubungan antara karma dan karma yoga haruslah dimengerti secara benar. Karma (action/tindakan) - yang dilakukan dengan unsur kemelekatan ataupun keinginan – akan menyebabkan keterikatan. Sebaliknya, tindakan/action yang dilakukan secara tanpa ke-aku-an (tanpa pamrih) akan menjelma menjadi Karma Yoga (Tindakan-tindakan yang akan menuntun kepada tercapainya pencerahan). Jadikanlah kehidupanmu menjadi Yoga (persekutuan Ilahiah) dan bukannya Roga (penyakitan).
-BABA

Thoughts for the Day - 17th September 2007 (Monday)





Only by following the path of love can you experience bliss. Just as merely reciting the names of the dishes cannot appease your hunger, so too, unless you speak sweet words and do sacred actions, you cannot enjoy life’s sweetness and be happy. You are all children of immortality and embodiments of bliss. It is because you have emerged from bliss that you seek to return to that Source, the bliss. Just as fish born in water cannot live out of water, so does man always crave for happiness, wherever he is and in whatever he does. Man is restless until he returns to the bliss from whence he emerged. True bliss is not found in this world. Keep your mind always on God – only then will you have peace and happiness.

Bliss hanya bisa dialami apabila engkau mengikuti jalan cinta-kasih. Sebagaimana engkau tak akan bisa kenyang dengan hanya sekedar mengucapkan nama-nama makanan/menu yang ada; maka demikian pula, engkau tak akan bisa berbahagia, kecuali apabila engkau bertutur-kata secara sopan-santun (ramah) dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Engkau adalah immortal (mahluk abadi) dan juga merupakan perwujudan bliss. Oleh karena engkau berasal dari bliss, maka itulah sebabnya engkau berupaya untuk kembali kepadanya. Ibarat seperti ikan yang terlahir di dalam air, ia tak akan bisa hidup di darat; demikianlah manusia juga selalu mendambakan kebahagiaan dimanapun dan dalam setiap bentuk perbuatannya. Manusia akan senantiasa gelisah sebelum ia bersatu kembali dengan bliss yang merupakan asal-muasalnya. Bliss yang sejati tak akan bisa ditemukan di dunia ini. Engkau perlu menjaga agar batinmu senantiasa terpusatkan kepada Tuhan – sebab hanya dengan demikianlah, kedamaian dan kebahagiaan akan mejadi milikmu.

-BABA

Thoughts for the Day - 16th September 2007 (Sunday)






Sandalwood gives more and more fragrance when it is subjected to more and more grinding. The sugarcane yields juice as it is chewed more and more. Gold gets refined when it is melted in the fire. So also, a true devotee will not falter in his love for God even when he faces troubles and obstacles in his life. God tests His devotees only to take them to a higher level on the spiritual ladder.

Ketika sandalwood (kayu cendana) semakin digiling, maka ia akan menyebarkan harum yang semakin semerbak. Batang tebu akan menghasilkan semakin banyak sari (juice) jikalau ia semakin diperas ataupun dikunyah. Bongkahan emas akan menjadi semakin murni apabila ia menjalani proses pelumeran di dalam bara api. Demikianlah, seorang bhakta yang sejati tak akan luntur cinta-kasihnya terhadap Tuhan, walaupun ia harus menjalani berbagai macam kesulitan dan rintangan hidup. Tuhan mencoba para bhakta-bhakta-Nya dengan tujuan agar mereka dapat melangkah semakin maju/naik dalam tangga spiritual masing-masing.

-BABA

Friday, September 14, 2007

Thoughts for the Day - 15th September 2007



The Vinayaka-principle has only one meaning, which is relevant to everyone regardless of whether he is a believer or a non-believer. Vinayaka means that he is his own master, he has no master above him. He does not depend on anyone. He is also called 'Ganapathi'. This term means he is the lord of the Ganas - a class of divine entities. This term also means that he is the master of the intellect and the power of discrimination in man. He possesses great intelligence and knowledge. Such knowledge issues forth from a pure and sacred mind. This knowledge leads to Vijnana (wisdom). Since he is the master of Buddhi (intelligence) and Siddhi (realisation), he is described as the Lord of Buddhi and Siddhi, Buddhi and Siddhi being personified as the consorts of Vinayaka.

Prinsip Vinayaka hanya mempunyai satu pengertian, yang relevan untuk setiap orang – tanpa mempersoalkan apakah yang bersangkutan percaya atau tidak. Vinayaka diartikan sebagai seseorang yang merupakan ‘tuan’ bagi dirinya sendiri, atau ia yang tidak didikte dan tidak bergantung pada siapapun juga. Beliau juga memiliki nama lain, yaitu: ‘Ganapathi’. Julukan ini mengandung arti bahwa Ia merupakan penguasa ‘Ganas’[1]. Pengertian lainnya dari ‘Ganapathi’ adalah Ia yang menguasai intellect (buddhi) serta kemampuan diskriminatif umat manusia. Ia memiliki kepintaran dan pengetahuan yang luar biasa. Pengetahuan-Nya diperoleh dari batin yang murni dan suci. Pengetahuan ini akan menuntun kepada Vijnana (kebijaksanaan). Oleh karena Beliau adalah penguasa Buddhi (intellect) dan Siddhi (realisasi), maka Ia juga dijuluki sebagai Lord of Buddhi dan Siddhi, dimana kedua aspek tersebut dipersonifikasikan sebagai pendamping Lord Vinayaka.

-BABA

Thursday, September 13, 2007

Thoughts for the Day - 14th September 2007



Move towards the light and the shadow falls behind; move away from the light and you have to follow your own shadow. Go every moment one step nearer to the Lord and then Maya (illusion), the shadow, will fall behind and will not delude you at all. Be steady and resolved. Do not commit a mistake or take a false step and repent later. To make the right decision first is better than having to regret for a mistake committed.


Berjalanlah mendekati sumber cahaya, maka bayanganmu akan jatuh di belakang; sebaliknya, bila engkau berjalan menjauhinya, maka engkau harus mengikuti bayanganmu sendiri. Majulah setiap saat untuk semakin mendekati Tuhan, maka dengan demikian, sang Maya (ilusi) – bayangan – akan jatuh di belakang dan tak akan mengelabuimu sama sekali. Milikilah keyakinan dan resolusi yang mantap. Janganlah memiliki kebiasaan untuk berbuat salah dan lalu menyesalinya. Akan lebih baik bila sejak awal engkau membuat keputusan yang tepat daripada harus menyesalinya di kemudian hari.



Thoughts for the Day - 13th September 2007



Everyone born in the world has a name and form. But the Divinity within has no name or form. The individual with name and form is filled with egoism and possessiveness. These qualities are the cause of one's pleasure and pain, happiness and sorrow. Hence, everyone must strive to curb these two tendencies. The knowledge of the Supreme Self is associated with total freedom from Ahamkara (egoism). Those who have no taint of ego in them are totally free from the consequences of actions, regardless of the actions they perform.

Setiap orang yang terlahir ke dunia ini pasti memiliki nama dan rupa. Namun tidaklah demikian halnya dengan Divinity yang ada di dalam diri masing-masing, Ia tak mempunyai nama dan rupa. Seseorang individu – yang memiliki nama dan rupa – memiliki sifat-sifat egoisme dan rasa kepemilikan. Kualitas-kualitas diri seperti inilah yang menjadi sumber penyebab dari rasa senang dan sedih, rasa enak dan menderita, dan sebagainya. Oleh sebab itu, setiap orang perlu berupaya untuk mengekang kecenderungan negatif tersebut (ego dan rasa memiliki). Pengetahuan tentang Supreme Self (Atma) diasosiasikan dengan kemerdekaan total dari Ahamkara (egoisme). Bagi yang sudah berhasil mengatasi jeratan ego di dalam dirinya, mereka sudah tidak lagi terikat oleh konsekuensi tindakan-tindakannya.