Thursday, January 28, 2016

Thought for the Day - 28th January 2016 (Thursday)

If you are careless about the discipline of truth, every duty laid on you by dharma and every action prompted by dharma will hang heavy as a burden. Hence, you must search for the reality behind all these phenomena in your daily living, and that search will make all your duties, which are dharmic actions, light and pleasant. The Lord has designed people such that they are inclined towards God and are delighted at the expansion of their vision, and are happy when they are moral and virtuous. So, people must serve their own best interests by adhering to their basic nature, by concentrating on the Divine (Brahman), by assiduously cultivating truth, and by rigorously practicing right conduct (dharma).


Jika engkau mengabaikan disiplin kebenaran, setiap kewajiban yang diberikan kepadamu oleh dharma dan setiap tindakan yang didorong oleh dharma akan menjadi beban yang berat. Oleh karena itu, engkau harus mencari kenyataan yang sejati di belakang semua bentuk gejala ini di dalam hidupmu sehari-hari, dan pencarian itu akan membuat semua kewajibanmu yang merupakan tindakan dharma akan menjadi ringan dan menyenangkan. Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga mereka cenderung mengarah kepada Tuhan dan menikmati perluasan pandangan mereka, dan merasa senang ketika mereka bermoral dan berbuat baik. Jadi, demi kebaikannya sendiri maka manusia harus berpegang teguh pada sifat dasarnya, dengan memusatkan perhatian pada Tuhan (Brahman), dengan memupuk kebanaran dan dengan tekun menjalankan kebajikan (dharma). (Dharma Vahini, Ch 13)

-BABA

Wednesday, January 27, 2016

Thought for the Day - 27th January 2016 (Wednesday)

Worship with deep-rooted consciousness on the Divine, purity of feeling, and being free from all extraneous thought, becomes itself mental union with the Divine (bhava-samadhi). As a result of this mental union, the Lord appears before the inner eye of the devotee in the form that they have chosen for worship. The vision is not merely a matter of imagination; it is a ‘face-to-face’ experience. Without changing location, the devotee can abide in the presence of the Lord in the self-same place. This is called ‘being always with God (salokya-mukti)’. Besides being always with the Lord, the devotee realises all that they see as the glory of the Lord. The experience is referred to as ‘seeing always the glory of the Lord (samipya-mukti)’. Existing ever with the Lord, witnessing always the glory of the Lord, and becoming suffused with God-consciousness is merger in the divine form (sarupya-mukti). This is the final fruit of devotional scriptures.


Beribadah dengan kesadaran yang akarnya begitu mendalam pada Tuhan, kesucian perasaan, dan bebas dari pikiran lain yang tidak ada hubungannya, ibadah ini sendiri akan menjadi penyatuan batin dengan Tuhan (bhava-samadhi). Sebagai hasil dari penyatuan batin ini, Tuhan akan muncul di depan mata batin dari bhakta dalam wujud yang telah mereka pilih dalam berdoa. Penampakan ini bukanlah hanya khayalan belaka; namun sejatinya pengalaman bertemu langsung dengan-Nya. Tanpa mengganti lokasinya, bhakta dapat berada dalam kehadiran Tuhan dimanapun ia berada. Ini disebut dengan ‘selalu bersama dengan Tuhan (salokya-mukti)’. Disamping selalu dengan Tuhan, bhakta menyadari semua yang mereka lihat adalah sebagai kemuliaan Tuhan. Pengalaman ini disebut sebagai ‘selalu melihat kemuliaan Tuhan (samipya-mukti)’. Hidup dengan Tuhan tiada putusnya, selalu menyaksikan kemuliaan Tuhan dan menjadi diliputi dengan kesadaran Tuhan adalah menyatu di dalam wujud Tuhan (sarupya-mukti). Ini adalah buah akhir dari jalan kebhaktian. (Prema Vahini, Ch 54)

-BABA

Thought for the Day - 26th January 2016 (Tuesday)

From the most ancient times Bharatiyas considered Truth as God, loved it, fostered it and protected it and thereby achieved divinity. Bharatiyas were devoted to Truth, wedded to Dharma (Righteousness) and esteemed morality in society as the foremost duty. It is high time you realised what a sacred country Bharat is. In this holy land, nothing is lacking. \"What cannot be found in Bharat cannot be found elsewhere\" is an ancient saying. In spite of these multifarious endowments, this country is being regarded as poor and backward. This is born of delusion. When everything is available within Bharat, why go begging to other countries? Everything has originated from Bharat. Hence, having taken birth in Bharat, strive to promote the glory of Bharat. Every devotee should take a pledge to protect and promote the greatness of Bharat. Like an elephant that does not know its own strength, Bharatiyas are unaware of their power. Despite their myriad capacities, they are behaving as weaklings like an elephant before its mahout. You have to get rid of this weakness.


Dari zaman kuno Bharatiya menganggap kebenaran sebagai Tuhan, mencintainya, mengembangkannya dan melindunginya, dan dengan demikian mencapai Tuhan. Bharatiya dipersembahkan pada kebenaran, disatukan pada Dharma (kebajikan), dan memandang moralitas di dalam masyarakat sebagai kewajiban yang utama. Sudah saatnya bagimu untuk menyadari betapa sucinya negeri Bharat. Di tanah suci ini, tidak ada yang kekurangan. "Apa yang tidak dapat ditemui di Bharat maka tidak dapat ditemukan dimanapun juga" adalah sebuah pepatah kuno. Walaupun begitu banyak anugerah, negeri ini dianggap sebagai negeri yang miskin dan terbelakang. Hal ini muncul dari khayalan. Ketika segala sesuatu tersedia di Bharat, mengapa pergi dan mengemis di negeri lain? Segala sesuatu telah berasal dari Bharat. Oleh karena itu, dengan lahir di Bharat, berusahalah untuk meningkatkan kemuliaan dari Bharat. Setiap bhakta harus mengambil sebuah sumpah untuk melindungi dan meningkatkan kebesaran dari Bharat. Seperti seekor gajah yang tidak mengetahui kekuatannya sendiri, para penduduk Bharat tidak menyadari kekuatan mereka. Meskipun kapasitas mereka banyak sekali, mereka bertingkah laku lemah seperti seekor gajah di depan penunggangnya. Engkau harus melepaskan kelemahan ini. (Divine Discourse 23 Nov 1990)

-BABA

Monday, January 25, 2016

Thought for the Day - 25th January 2016 (Monday)

Overcoming senses that stray outward is difficult – they are attracted by taste, looks, and feels. The internal tendencies are like pure water which has no form, taste, or heaviness and is good for you! Impure water hurts you and harms you. You must purify your mental behavior, which is presently spoiled by the delusions of the world. If you desire happiness, you must first control and conquer the external delusion. Then your internal tendencies will easily move in the direction of securing bliss (Atma-ananda). Spiritual practices and penance (Yoga and Tapas) are only other names for the path to control and conquer these external tendencies and shield you from delusions. Choose any path through which you feel grace is flowing to you. Liberation is achieved by strict adherence to the rules and observances of following your chosen path. The path will give you the strength to overcome delusion and grant you one-pointedness.


Mengatasi indera yang menyimpang ke luar adalah sulit – indera tersebut ditarik dengan rasa, pandangan dan perasaan. Kecendrungan di dalam batin adalah seperti air suci yang tidak memiliki bentuk, rasa atau berat dan ini adalah baik bagi dirimu! Air yang tidak suci dapat menyakiti dan membahayakanmu. Engkau harus menyucikan kegiatan mentalmu yang segera dikotori oleh khayalan dari dunia. Jika engkau menginginkan kebahagiaan maka pertama engkau harus mengendalikan dan menaklukkan khayalan luar. Kemudian kecenderungan mentalmu akan dengan mudah digerakkan ke arah untuk mendapatkan kebahagiaan illahi (Atma-ananda). Praktek Spiritual dan pengendalian diri (Yoga dan Tapa) adalah hanya nama lain dari jalan pengendalian dan menaklukkan kecenderungan lahiriah dan melindungimu dari khayalan. Pilihlah jalan mana saja yang membuat engkau merasa rahmat Tuhan mengalir pada dirimu. Kebebasan bisa didapatkan dengan mematuhi aturan dengan ketat dan ketaatan dalam mengikuti jalan yang telah engkau pilih. Jalan itu akan memberikanmu kekuatan untuk mengatasi khayalan dan memberikanmu pemusatan pikiran. (Prema Vahini, Ch 53)

-BABA

Thought for the Day - 24th January 2016 (Sunday)

Sometimes, when the steering of a car is turned one way, you may experience the wheels dragging the car in another way – this indicates there is a problem you must fix! When the tyres are flat with no air, they behave as if there is no relationship with the steering. But they can never go beyond the bounds of steering. The steering in the hand must be connected to the wheels below for the journey to happen, that connection is mandatory and inevitable. For the one who has struggled with and conquered their out-going senses, their internal instruments become easily controllable. The external world distracts your senses and attracts you and you succumb by becoming objects of experience. To overcome them is indeed a difficult task. But your internal instruments have no form even though they may be endowed with name; they have experienced spiritual bliss (ananda) before, so they can be tamed with greater ease.


Kadang-kadang, ketika kemudi mobil diputar ke suatu arah, engkau mungkin mengalami dimana roda dapat melaju ke arah yang lain – ini menandakan bahwa ada sebuah masalah yang harus engkau perbaiki! Ketika ban kempes dan tidak diisi udara maka ban itu tidak dapat terhubung dengan kemudi. Namun ban-ban itu tidak bisa melampaui batasan dari kemudi. Kemudi yang di tangan harus terhubung dengan roda yang ada di bawah agar perjalanan bisa dilakukan, hubungan itu adalah bersifat perintah dan tidak dapat dielakkan. Bagi seseorang yang berjuang untuk menundukkan indera yang cenderung melihat ke luar maka keadaan batin akan menjadi mudah untuk dikendalikan. Dunia luar mengganggu inderamu dan menarik dirimu dan engkau mengalah dengan menjadi objek pengalaman. Untuk mengatasi ini adalah sesungguhnya pekerjaan yang sulit. Namun keadaan batinmu tidak memiliki wujud walaupun memiliki nama; keadaan batin sudah mengalami kebahagiaan spiritual (ananda) sebelumnya, sehingga mereka dapat dikuasai dengan jauh lebih mudah. (Prema Vahini, Ch 53)

-BABA

Saturday, January 23, 2016

Thought for the Day - 23rd January 2016 (Saturday)

Always love and follow only truth; falsehood is never beneficial. Some people may respect, but you will find that no one honors falsehood, deceit, and injustice all the time. On the contrary, everyone respects truth, honesty, integrity, and justice. Who is a divine person (devatha)? It is just a name for the person who observes truth as their vow (vratha) in daily living. The right conduct (dharma) as prescribed in the scriptures (Vedas) is tested, proven and capable of standing the test of time. It is impartial and just. Faith in it grows with practice. The worship of the Divine must follow the rules prescribed in the Scriptures (Vedas); through this means, people get strengthened in leading a righteous (dharmic) life. This dharma is the command of the Lord; it is the authentic voice of God, so it might as well be followed by all. Dharma brings goodness to all; it confers bliss (ananda) here and hereafter.


Selalulah mengasihi dan hanya mengikuti kebenaran; kebohongan tidak akan pernah bermanfaat. Beberapa orang mungkin menghormati, namun engkau akan menemukan bahwa tidak ada seorangpun yang menghormati kebohongan, penipuan, dan ketidakadilan sepanjang waktu. sebaliknya, setiap orang menghormati kebenaran, kejujuran, integritas, dan keadilan. Siapakah sebenarnya dewata? Ini hanya nama saja bagi seseorang yang mematuhi dan menjalankan kebenaran sebagai sumpah mereka (vratha) di dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku yang benar (dharma) seperti yang dijabarkan dalam naskah suci (Weda) telah teruji, terbukti, dan mampu bertahan dari ujian waktu. Dharma itu bersifat tidak berat sebelah dan adil. Keyakinan terhadapnya tumbuh melalui pelaksanaan. Pemujaan kepada Tuhan harus mengikuti aturan yang dijabarkan dalam naskah suci (Weda); Dengan cara ini, manusia dikuatkan dalam menjalankan hidup yang baik (dharmic). Dharma ini adalah perintah Tuhan; ini merupakan sabda sejati dari Tuhan, jadi dapat diikuti oleh semua orang. Dharma membawa kebaikan bagi semuanya dan juga menganugerahkan kebahagiaan (ananda) di dunia dan di akhirat. (Dharma Vahini, Ch 13)

-BABA

Thought for the Day - 22nd January 2016 (Friday)

Many argue about how discipline (as described in the scriptures) can result in the dawn of knowledge. Aren’t these mere bodily limitations, they ask. Knowledge can arise only by the realisation of the principle that guarantees self-realisation, they argue. But this line of thought is based on a big mistake. Through these physical regulations, traits (vasanas) are destroyed and concentration is established. One-pointedness is essential to establish spiritual wisdom firmly in the heart, and this one-pointedness can easily be gained by bodily disciplines and austerities (tapas) prescribed in the Upanishads. External control helps internal control in many ways. To succeed in external controls indeed is more difficult than to achieve success in controlling the internal! In a working car, the wheels will always follow the direction of the steering. A turn of the steering wheel in one’s hand in any direction makes the wheels of the car, which are not in your hand, move in the same direction of the steering wheel – isn’t it?
Banyak yang memperdebatkan tentang bagaimana disiplin (seperti yang dijelaskan dalam naskah suci) dapat menghasilkan penerangan batin. Bukankah semua bentuk disiplin ini hanya merupakan pembatasan jasmani, mereka bertanya. Pengetahuan hanya dapat dicapai dengan menyadari prinsip yang menjamin kesadaran diri, mereka memperdebatkan. Namun pandangan ini dilandaskan pada sebuah kesalahan yang besar. Melalui aturan yang terkait fisik, maka sifat (vasana) dihancurkan dan dapat membangun konsentrasi. Kesatuan pikiran adalah mendasar untuk membentuk kebijaksanaan spiritual yang mantap di dalam hati, dan kesatuan pikiran bisa dengan mudah didapatkan dengan disiplin pada jasmani dan pertapaan yang dijelaskan dalam Upanishad. Pengendalian lahir membantu dalam pengendalian di dalam batin dalam banyak cara. Untuk bisa berhasil dalam pengendalian lahiriah sesungguhnya adalah lebih sulit daripada untuk bisa berhasil dalam mengendalikan batin! Dalam mengemudikan mobil, roda-roda akan selalu mengikuti arah dari kemudi. Sebuah putaran kemudi yang diarahkan kemana saja oleh seseorang akan membuat roda berputar ke arah yang sama, bukan? (Prema Vahini, Ch 53)

-BABA

Thursday, January 21, 2016

Thought for the Day - 21st January 2016 (Thursday)

To attain the knowledge of righteousness (dharma), first, you must receive training under wise people, who are imbued with righteousness (dharma). Next, you must aspire to purify yourself (Atma shuddhi) and practice truth (sathya). Thirdly, you must realize the value of knowledge of the scriptures (Vedas), which is the voice of God. When these three steps are completed, you will clearly understand the truth and discriminate it from untruth. This enquiry into truth must be done in amity and cooperation. Everyone is entitled to attain spiritual wisdom. Everyone must be equally eager to discover the truth and benefit from it. All opinions must be tested on the touchstone of dharma, of universal goodness (sarvaloka-hitha). The principles that pass this test alone must be chosen and practiced, and shared with the world. Then will help humanity to progress. Then, everyone will develop joy and happiness in equal measure. All of you must use this method and perform noble and pure deeds consistently.


Untuk mencapai pengetahuan kebajikan (dharma), pertama engkau harus menerima pelatihan dari orang yang bijaksana yang diilhami dengan kebajikan (dharma). Selanjutnya, engkau harus bercita-cita untuk memurnikan dirimu sendiri (Atma shuddhi) dan menjalankan kebenaran (sathya). Bagian yang ketiga, engkau harus menyadari nilai pengetahuan dari naskah-naskah suci (Veda), yang merupakan suara dari Tuhan. Ketika langkah-langkah ini diselesaikan, engkau akan dengan jelas mengerti kebenaran dan mampu membedakannya dari ketidakbenaran. Penyelidikan pada kebenaran ini harus dilakukan dalam persahabatan dan kerjasama. Setiap orang diberikan hak untuk mencapai kebijaksanaan spiritual. Setiap orang harus sama-sama berhasrat untuk mengungkap kebenaran dan mendapatkan keuntungan dari ini. Semua pendapat harus diuji dengan batu uji dharma, atau kebaikan semesta (sarvaloka-hitha). Hanya prinsip-prinsip yang lolos ujian ini harus dipilih dan dijalankan serta dibagi dengan dunia. Kemudian akan membantu kemanusiaan untuk maju. Kemudian, setiap orang akan mengembangkan suka cita dan kebahagiaan dalam ukuran yang sama. Semua dari kalian harus menggunakan metode ini dan menjalankan perbuatan yang suci dan mulia secara konsisten. (Dharma Vahini, Ch 13)

-BABA

Wednesday, January 20, 2016

Thought for the Day - 20th January 2016 (Wednesday)

The path of surrender is like the life of a kitten. Just as the kitten places all its burdens in the mother cat, so too the devotee must place their complete trust on the Lord. The mother cat holds the kitten in its mouth and transports it safely at all times, including very narrow passages. So too, the devotee must place all their burdens on the Lord and surrender fully to His will. Lakshmana is a great exemplar of this path. To serve Rama, Lakshmana renounced all obstacles in his path, like wealth, wife, mother, home, even sleep and food for full fourteen years. He felt that Rama was his all, his happiness and joy, that Rama would grant everything he needed, and his life’s purpose was only to follow Him, serve Him, and surrender his will to Him. If you place all burdens on the Lord and adore Him continuously and consistently, He will certainly provide everything you need.


Jalan berserah diri adalah seperti kehidupan seekor anak kucing. Seperti halnya anak kucing yang menaruh semua beban pada induknya, begitu juga dengan bhakta harus menempatkan seluruh kepercayaannya kepada Tuhan. Induk kucing memegang anaknya di mulutnya dan membawanya dengan aman sepanjang waktu, termasuk melalui lintasan yang sempit. Begitu juga dengan bhakta harus menaruh semua bebannya pada Tuhan dan berserah diri sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Lakshmana adalah teladan yang luar biasa dalam jalan ini. Untuk melayani Rama, Lakshmana meninggalkan semua rintangan yang menghalangi jalannya, seperti kekayaan, istri, ibu, rumah, bahkan tidur, dan makan untuk selama 14 tahun. Ia merasa bahwa Rama adalah semua baginya, kebahagiaan dan suka citanya, bahwa Rama akan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkannya, dan tujuan hidupnya hanyalah untuk mengikuti, melayani, dan berserah pada kehendak Rama. Jika engkau menaruh semua bebanmu pada Tuhan dan memuja-Nya dengan tanpa henti dan konsisten, Tuhan pastinya menyediakan segala sesuatu yang engkau butuhkan. (Prema Vahini, Ch 51)

-BABA

Thought for the Day - 19th January 2016 (Tuesday)

Devotion has to be continuous and uninterrupted like the flow of oil from one vessel to another. Without love (prema), nothing in this world can be acquired. Only when there is love, does attachment (anuraga) in its turn create the desire to protect and guard. In the path of self-effort based devotion, also called as ‘young-one-of-the-monkey’ path, the child has to rely on its own strength to protect itself — wherever the mother might jump about, the child has to attach itself fast to the mother’s belly and not release its hold, even if pulled apart! So too, the devotee has to stand the tests at the hands of the Lord and hold on to the Lord’s name at all times and under all conditions, tirelessly, without the slightest trace of dislike or disgust, bearing the ridicule and the criticism of the world and conquering the feelings of shame and defeat. This type of devotion was practiced by little child Prahlada.

Bhakti harus bersifat terus menerus dan tidak terputus seperti halnya aliran minyak dari satu wadah ke wadah yang lainnya. Tanpa adanya cinta kasih (prema), tidak ada apapun di dunia yang dapat diraih. Hanya ketika ada cinta kasih, maka keterikatan (anuraga) pada gilirannya menciptakan keinginan untuk melindungi dan menjaga. Dalam jalan mengandalkan kekuatan sendiri berdasarkan pada bhakti, juga disebut dengan jalan ‘bayi monyet’, dimana bayi monyet harus mengandalkan kekuatannya sendiri untuk melindungi dirinya sendiri — kemanapun induknya melompat, ia harus berpegang erat pada perut induknya dan tidak melepaskan pegangannya walaupun jika dipaksa ditarik! Begitu juga, bhakta harus bertahan di tangan Tuhan atas cobaan yang ada dan tetap berpegang pada nama Tuhan sepanjang waktu dan dalam keadaan apapun juga, tanpa lelah, tanpa ada rasa tidak suka atau jengkel, menahan ejekan dan kritikan dari dunia dan menaklukkan perasaan malu dan kekalahan. Ini adalah jenis bhakti yang dijalankan oleh anak kecil yang bernama Prahlada. (Prema Vahini, Ch 51)

-BABA

Monday, January 18, 2016

Thought for the Day - 18th January 2016 (Monday)

Consider how much talent the Lord has given to people. With that endowment, seek the four goals (purusharthas). Move forward on the path to the Lord, adhering strictly to the demands of truth. That is the purpose of the gift of talent. Only those gifted with eyesight can see things; those bereft of sight do not have that fortune. So too, only those gifted with truth, longing for the four goals and adherence to dharma, can see the Lord; all others are blind. The Lord has also given people instruments for developing their intellect and discrimination. If they use them well and try to realise God within themselves, the Lord will add unto them fresh talent and new sources of power, for He is full of grace toward the struggling. When people seek to follow dharma, the truth will also reveal itself to them.


Bayangkan berapa banyak bakat yang telah Tuhan berikan kepada manusia. Dengan anugerah itu carilah empat tujuan hidup (purusharthas). Bergeraklah maju pada jalan Tuhan, taatilah dengan disiplin pada tuntutan kebenaran. Itulah tujuan dari anugerah bakat. Hanya mereka yang diberikan dengan penglihatan dapat melihat apapun juga; mereka yang kehilangan penglihatan tidak memiliki keberuntungan ini. Begitu juga, hanya mereka yang diberkati dengan kebenaran, yang menginginkan empat tujuan, dan mematuhi dharma, bisa melihat Tuhan; sedangkan semua yang lainnya adalah buta. Tuhan juga telah memberikan manusia sarana untuk mengembangkan intelektual dan kemampuan membedakan dalam diri mereka. Jika manusia menggunakan semuanya itu dengan baik dan mencoba untuk menyadari Tuhan di dalam diri mereka, Tuhan akan menambahkan pada mereka bakat yang segar dan sumber kekuatan baru, karena Tuhan penuh dengan rahmat pada mereka yang sedang berjuang. Ketika manusia mencari untuk mengikuti dharma, kebenaran juga akan mengungkapkan dirinya pada mereka. (Dharma Vahini, Ch 13)

-BABA

Thought for the Day - 17th January 2016 (Sunday)

The Lord will protect in all ways and at all times those who worship Him in complete and pure uncontaminated devotion (bhakti), just as a mother protects her infants, a cow saves her calf from danger, and the eyelids guard the eyes effortlessly and automatically. When the infant grows up into an adult, the mother won’t pay so much attention to its safety. So too, the Lord doesn’t pay much attention to the wise one (jnani). The devotee who worships any form (saguna bhakta), like an infant of the Lord, has no strength except the strength of the Lord. For the realized soul (jnani), their own strength is enough. Therefore, until one can rely on one’s own strength, one must be an infant in the Lord’s hands, just like a devotee of the Lord’s form. No one can become a devotee of the Formless Supreme (nirguna bhakta) without having been a devotee of the form.


Tuhan akan melindungi dalam semua jalan dan sepanjang waktu bagi mereka yang memuja-Nya dalam bhakti yang sempurna dan murni, seperti halnya ibu yang melindungi bayinya, seekor sapi yang menyelamatkan anaknya dari bahaya, dan kelopak mata yang menjaga mata secara otomatis. Ketika bayi sudah tumbuh besar menjadi dewasa, sang ibu tidak akan memberikan banyak perhatian pada keselamatannya. Begitu juga dengan Tuhan tidak memberikan banyak perhatian kepada seseorang yang bijaksana (jnani). Bhakta yang memuja wujud apapun (saguna bhakta), adalah sama seperti seorang bayi bagi Tuhan, dimana tidak memiliki kekuatan kecuali kekuatan dari Tuhan. Bagi para jiwa yang tercerahkan (jnani), kekuatan mereka sendiri adalah sudah cukup. Maka dari itu, sampai seseorang dapat bersandar pada kekuatannya sendiri, maka seseorang harus menjadi bayi di tangan Tuhan, seperti halnya seorang bhakta yang memuja wujud Tuhan. Tidak ada seorangpun yang dapat menjadi bhakta Tuhan yang tidak berwujud yang tertinggi (nirguna bhakta) tanpa pernah menjadi bhakta yang memuja wujud Tuhan. (Prema Vahini, Ch 48)

-BABA

Sunday, January 17, 2016

Thought for the Day - 16th January 2016 (Saturday)

Dependence on righteousness (dharma) will ensure your happiness and increase it. It can remove the spite that one develops toward others. It will not allow you to swell with pride when another suffers or grieves. Can such wickedness confer happiness on you? Remember you can be happy only when all are happy! The mind and conscience have to be kept straight on the path of welfare of all mankind (sarva-manava-sukha). Dharma will shine and illumine only in the person who serves all and confers joy on all. Such a person will receive not only the grace of the Lord but also the unique privilege of merging in Him. Whenever you give or take anything from anyone, see that you do not transgress the boundaries of dharma. Do not go against its commands. Follow it at all times, believing this to be your bounden duty. Fill every ounce of your energy with the essence of dharma and endeavour to progress in that path, more and more, with every passing day.


Ketergantungan pada kebajikan (dharma) akan memastikan dan memperbesar kebahagiaanmu. Dharma akan melenyapkan dengki yang timbul terhadap yang lainnya. Dharma tidak akan mengijinkanmu untuk berbesar kepala ketika yang lainnya menderita atau sedih. Dapatkah kejahatan yang semacam itu memberikan kebahagiaan kepadamu? Ingatlah bahwa engkau dapat bahagia hanya ketika semuanya berbahagia! Pikiran dan kesadaran harus tetap dijaga lurus pada jalan kesejahteraan bagi semuanya (sarva-manava-sukha). Dharma akan bersinar dan bercahaya hanya dalam diri seseorang yang melayani semuanya dan memberikan suka cita bagi semuanya. Orang yang seperti itu tidak hanya akan mendapatkan rahmat Tuhan namun juga kesempatan yang spesial dan menyatu dengan-Nya. Kapanpun engkau memberi atau mengambil apapun dari siapa saja, ketahuilah bahwa engkau jangan sampai melewati batasan dharma. Jangan sampai menentang perintah dharma. Ikutilah dharma sepanjang waktu, percayalah ini adalah menjadi kewajibanmu. Isilah setiap bagian dari energimu dengan intisari dari dharma dan berusahalah untuk tetap semakin maju di jalan itu setiap harinya. (Dharma Vahini, Ch 13)

-BABA

Friday, January 15, 2016

Thought for the Day - 15th January 2016 (Friday)

The Sankranthi festival should be regarded as the day on which one turns one’s vision towards God. Your life may be compared to a stalk of sugarcane. Like the cane, which is hard and has many knots, life is full of difficulties. These difficulties must be overcome to enjoy the bliss of the Divine, just as sugarcane must be crushed and its juice converted into jaggery to enjoy its permanent sweetness. Enduring bliss is got only by overcoming trials and tribulations. Gold cannot be made into an attractive jewel without melting it in a crucible and converting it into a beautiful shape. When I address devotees as Bangaaru (golden one), I consider you very precious! Only by going through the vicissitudes of life with forbearance you become most valuable. Never allow yourselves to be overwhelmed by difficulties. Develop self-confidence and firm faith in God. With unshakeable faith, dedicate yourselves to serve your fellowmen and lead exemplary lives.


Perayaan Sankranthi seharusnya diperhatikan sebagai hari dimana seseorang mengarahkan pandangannya kepada Tuhan. Hidupmu mungkin dapat dibandingkan dengan sebatang tebu. Seperti halnya tebu yang keras dan memiliki banyak simpul dan hidup penuh dengan kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini harus diatasi untuk bisa menikmati kebahagiaan Tuhan, sama halnya dengan tebu yang harus diremukkan dan sari tebunya dirubah menjadi gula dan bisa dinikmati rasa manisnya. Kedamaian abadi hanya bisa didapat dengan mengatasi cobaan dan kesulitan. Emas tidak akan bisa dirubah menjadi berbagai bentuk perhiasan yang menarik tanpa meleburnya dan merubahnya ke dalam berbagai bentuk. Ketika Aku menyebut bhakta sebagai Bangaaru (yang seperti emas), Aku menganggapmu adalah sangat berharga! Hanya dengan menjalani gelombang perubahan hidup dengan ketabahan hati maka engkau menjadi yang paling berharga. Jangan pernah ijinkan dirimu sendiri diliputi oleh kesulitan. Kembangkanlah kepercayaan diri dan milikilah keyakinan yang kuat pada Tuhan. Dengan keyakinan yang kokoh, dedikasikan dirimu untuk melayani sesama dan jalankan hidup yang ideal. (Divine Discourse, 15 Jan 1992)

-BABA

Thursday, January 14, 2016

Thought for the Day - 14th January 2016 (Thursday)

Once when Narada asked Lord Rama about the nature of His servitors and of spiritual aspirants, the Lord answered, “My servitors are full of love; they always stand by righteousness and truth; their hearts melt with mercy; they avoid sin and renounce everything gladly; they eat in moderation, engage in doing good to others, and have no selfishness and doubts. They won’t lend their ears to flattery but are eager to listen to the praise of the good in others. Spiritual aspirants are those who endeavour to acquire such qualities and possess such a character. Anyone engaged in repeating the Lord’s name has self-control and discipline, faith, patience, comradeship, kindness, and joy as well as unalloyed love towards Me — such a person is dear to Me. Whoever with discrimination and renunciation, humility and wisdom is aware of the knowledge of Reality; who is immersed in the contemplation of My divine play (leela), dwells on My name at all times and sheds tears of love whenever the Lord’s name is heard from any lip —these are My genuine devotees.” Thus did Sri Rama answer Narada.


Suatu hari ketika Narada bertanya kepada Sri Rama tentang kualitas dari abdi-Nya dan peminat spiritual, Sri Rama menjawab, “Para abdi-Ku adalah penuh dengan kasih; mereka selalu menjunjung kebajikan dan kebenaran; hati mereka meleleh dengan kemurahan hati; mereka menghindari dosa dan melepaskan semuanya dengan senang hati; mereka makan dengan tidak berlebihan, sibuk berbuat baik bagi yang lainnya, dan tidak memiliki keegoisan dan keraguan. Mereka tidak mau mendengarkan pujian namun lebih ingin mendengarkan pujian dari kebaikan orang lain. Peminat spiritual adalah mereka yang berusaha untuk mendapatkan kualitas dan memiliki karakter yang seperti itu. Siapapun yang mengulang-ulang nama Tuhan, memiliki pengendalian diri dan disiplin, keyakinan, kesabaran, persahabatan, kebaikan, dan suka cita seperti halnya dengan kasih yang murni kepada-Ku – orang yang seperti itu adalah yang Aku sayangi. Siapapun juga dengan kemampuan membedakan dan penyangkalan diri, kerendahan hati, dan kebijaksanaan adalah sadar akan pengetahuan tentang kenyataan yang sejati; mereka yang tenggelam dalam perenuangan pada permainan-Ku (leela), selalu mengingat nama-Ku sepanjang waktu dan menitikkan air mata cinta kasih kapanpun nama Tuhan diucapkan oleh siapapun — semuanya ini adalah tanda dari bhakta-Ku yang sejati.” Demikian jawaban dari Sri Rama kepada Narada. (Prema Vahini, Ch 48)

-BABA

Thought for the Day - 13th January 2016 (Wednesday)

For all actions, the inspirer, the performer and the experiencer is the Sun-God. For people caught up in a meaningless existence and going through an endless round of futile activities, the Sun-God stands out as the exemplar of tireless and selfless service. He enjoys no respite from work. He is above praise and censure. He carries on his duties with absolute equanimity. Everything he does is only for the well-being of the world and not to cause any harm. Draw inspiration from Sun-God. The world cannot survive without the Sun. Life on earth is possible only because of the Sun. The Sun teaches man the lesson of humble devotion to duty, without any conceit. The Sun is the supreme example for everyone that one should do one’s duty with devotion and dedication. Doing one\'s duty is the greatest Yoga, as pointed out by Krishna in the Gita. Let your actions and thoughts be good. You will then experience the Bliss Divine.


Untuk semua perbuatan, yang menginspirasi, yang melakukan dan yang mengalami adalah Dewa Surya (matahari). Bagi manusia yang terjebak di dalam kehidupan yang tidak bermakna dan akan mengalami perputaran dari perbuatan yang sia-sia dan tanpa henti, Dewa Surya adalah menjadi contoh dari pelayanan yang tanpa kenal lelah dan tidak mementingkan diri sendiri. Beliau menikmati dengan tidak pernah berhenti dari pekerjaannya. Beliau ada diatas pujian dan celaan. Beliau menjalankan kewajibannya dengan penuh ketenangan hati. Segala sesuatu yang beliau lakukan hanya untuk kesejahetraan dunia dan tidak menyebabkan kerusakan apapun. Ambillah inspirasi dari Dewa Surya (matahari). Dunia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa adanya matahari. Kehidupan di bumi hanya dimungkinkan karena adanya matahari. Matahari mengajarkan manusia pelajaran tentang pengabdian rendah hati pada kewajiban tanpa adanya kesombongan. Matahari adalah teladan yang tertinggi bagi setiap orang bahwa seseorang seharusnya menjalankan kewajibannya dengan penuh pengabdian dan dedikasi. Mengerjakan kewajiban adalah yoga yang tertinggi, seperti yang disampaikan oleh Sri Krishna dalam Gita. Biarkan perbuatan dan pikiranmu menjadi baik. Engkau kemudian akan mengalami kebahagiaan illahi. (Divine Discourse, 15 Jan 1992)

-BABA

Wednesday, January 13, 2016

Thought for the Day - 12th January 2016 (Tuesday)

The greatest disease is the absence of peace. When the mind is peaceful, your body will be healthy. So everyone who craves for good health must pay attention to their emotions, feelings, and motives that animates them. Just as you wash clothes, you must wash your mind free from dirt every day. To cleanse your mind you should mix in good company and avoid dirt elements like falsehood, injustice, indiscipline, cruelty, hate, etc. Truth, righteousness, peace, love — these form the clean elements. If you inhale the pure air of clean elements, your mind will be free from evil bacilli and you will be mentally sturdy and physically strong. As Vivekananda said, you should have nerves of steel and muscles of iron. You must brim in hope and joy as your unshakable resolution, not display despair and dejection.


Penyakit yang paling berbahaya adalah tidak adanya kedamaian. Ketika pikiran penuh dengan kedamaian maka tubuhmu akan sehat. Jadi setiap orang yang mencari kesehatan yang baik harus memberikan perhatian pada emosi, perasaan, dan niat yang melandasi mereka. Sama halnya ketika engkau mencuci pakaian, engkau juga harus mencuci pikiranmu untuk bebas dari kotoran setiap harinya. Untuk membersihkan pikiran, engkau harus bergaul dalam pergaulan yang baik dan menjauh dari unsur-unsur yang kotor seperti kebohongan, ketidakdilan, ketidakdisiplinan, kekejaman, kebencian, dsb. Kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang - bentuk-bentuk ini akan membersihkan unsur-unsur yang ada. Ketika engkau menarik nafas maka udara yang bersih akan membersihkan unsur-unsur itu, pikiranmu akan bebas dari kuman yang jahat, dan engkau secara mental akan mantap dan secara fisik akan kuat. Seperti yang disampaikan oleh Vivekananda, engkau harus memiliki syaraf baja dan otot besi. Engkau harus penuh dalam harapan dan suka cita karena keputusanmu telah mantap dan tidak terlihat adanya keputus-asaan dan penolakan. (Divine Discourse, 21-Sep-1960)
-BABA

Thought for the Day - 11th January 2016 (Monday)

Bharatiya Samskriti (Culture of Bharat) is a composite of purity, divinity, sublimity and beauty. This combination is reflected in sports and games. Although there may be differences among nations in their food and recreational habits, the spirit of harmony and unity displayed in sports is a gratifying example to all. It is a distinctive quality of sports that differences are forgotten and persons engage themselves in games in a divine spirit of friendliness and camaraderie. Sports help the players not only to improve their health but also to experience joy. Students, however, should not be content with realising these benefits. It is equally essential to promote purity of the mind and develop large heartedness. True humanness blossoms only when the body, the mind and the spirit are developed harmoniously. The enthusiasm and effort which you display in sports should also be manifested in the spheres of morality and spirituality.

Bharatiya Samskriti (kebudayaan dari Bharat) adalah gabungan dari kesucian, keillahian, keagungan, dan keindahan. Gabungan dari semuanya ini dicerminkan dalam olahraga dan permainan. Walaupun ada perbedaan diantara bangsa-bangsa dalam makanan dan kebiasaan rekreasi mereka namun semangat kerukunan dan kesatuan ditampilkan dalam olahraga merupakan contoh yang memuaskan bagi semuanya. Adalah kualitas khusus dari olahraga yang melupakan perbedaan dan mereka yang melibatkan diri mereka dalam permainan berada dalam semangat keillahian dari keramahan dan persahabatan.  Olahraga membantu pemain tidak hanya untuk meningkatkan kesehatan mereka namun juga mengalami suka cita. Para pelajar, bagaimanapun juga, seharusnya tidak puas dengan menyadari keuntungan-keuntungan ini. Hal ini sama mendasarnya untuk meningkatkan kesucian dalam pikiran dan mengembangkan ketulusan yang besar. Sifat manusia yang sejati mekar hanya ketika badan dan jiwa dikembangkan secara harmonis. Semangat dan usaha yang engkau tampilkan dalam olahraga seharusnya juga diwujudkan dalam bidang moralitas dan spiritual. (Divine Discourse, 14-Jan-1990)

-BABA

Sunday, January 10, 2016

Thought for the Day - 10th January 2016 (Sunday)

Many do not invest time to understand the sacredness and value of their culture. ‘Culture’ means that which sanctifies the world, which enhances the greatness and glory of a country, and which helps to raise the individual and society to a higher level of existence. The observance of morality in daily life, divinisation of all actions and thoughts related to life, and adherence to ideals - all these together constitute culture. Culture contributes to the refinement of life. The process of refinement or transformation is essential for improving the utility of any object. For instance, paddy has to be milled and the husk has to be removed before the rice is fit for cooking. This is the process known as Samskriti or transformation. This means getting rid of the unwanted elements and securing the desirable elements. With regards to people, Samskriti (culture) means getting rid of bad qualities and cultivating virtues. A cultured person is one who has good thoughts and good conduct.


Banyak yang tidak menyediakan waktu untuk memahami kesucian dan nilai dari kebudayaan mereka sendiri. ‘Kebudayaan’ berarti yang menyucikan dunia, yang mempertinggi keutamaan dan memuliakan sebuah bangsa, dan yang membantu mengangkat individu dan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dari sebuah keberadaan. Ketaatan moralitas dalam kehidupan sehari-hari, menyucikan semua tindakan dan pikiran terkait dalam kehidupan, dan kesetiaan pada teladan yang sempurna - semuanya ini yang mendasari kebudayaan. Kebudayaan memberikan sumbangsih untuk perbaikan kehidupan. Proses perbaikan atau perubahan adalah mendasar untuk meningkatkan kegunaan dari objek apapun. Sebagai contoh, padi harus digiling dan sekamnya harus dilepaskan sebelum beras layak untuk dimasak. Proses ini disebut dengan Samskriti atau perubahan. Ini berarti membuang unsur-unsur yang tidak diinginkan dan menjaga unsur-unsur yang diinginkan. Berkaitan dengan manusia, Samskriti (kebudayaan) berarti membuang sifat-sifat buruk dan meningkatkan kebajikan. Seseorang yang berbudaya adalah seseorang yang memiliki pikiran dan perbuatan yang baik. (Divine Discourse, 14-Jan-1990)

-BABA

Saturday, January 9, 2016

Thought for the Day - 9th January 2015 (Saturday)

Humans are those who consider love as the only quality to be fostered and stay away from inferior qualities as if they are snakes. Bad conduct and bad habits distort the humanness of people. Hearts filled with the nectar of love indicate genuine humanity in people. True love is unsullied, unselfish, devoid of impurity, and continuous. The difference between human (manava) and demon (danava) is only ‘ma’ and ‘da’! The letter ‘ma’ is soft, sweet, and immortal in symbolism, while the sound ‘da’ is merciless, lawless, and burning. Are they humans who have no sweetness in them and who endeavour to suppress the craving for immortality? Theirs is the nature of demons, though the form is human! For, it is the character and not the form which is primary. Good nature is resplendent on the faces of true humans as bliss (ananda). But without that goodness, even if they are infatuated with joy, the face will indicate only the destructive fire of the demon; they won’t have the grace of spiritual bliss.


Manusia adalah mereka yang menganggap kasih sayang sebagai satu-satunya sifat yang harus dikembangkan dan menjauh dari sifat-sifat rendahan seperti jika mereka adalah ular berbisa. Tingkah laku yang tidak baik mengubah sifat welas asih dari manusia. Hati yang dipenuhi dengan nektar welas asih menunjukkan sifat manusia yang sejati. Kasih sayang yang sejati adalah tidak tercela, tidak mementingkan diri sendiri, tanpa adanya kotoran dan tidak ada hentinya. Perbedaan antara manusia (manava) dan setan (danava) hanyalah pada huruf ‘ma’ dan ‘da’! Huruf ‘ma’ adalah melambangkan lembut, manis dan kekal, sedangkan suara ‘da’ adalah tidak ada belas kasihan, anarkis, dan membakar. Apakah mereka manusia yang tidak memiliki keindahan di dalam diri mereka dan yang berusaha untuk menindas keinginan untuk keabadian? Sifat mereka ini adalah sifat setan walaupun dalam wujud manusia! Karena karakternya ini yang menentukan dan bukan wujudnya. Sifat yang baik adalah tercermin dari wajah yang bersinar cerah dari manusia yang sejati sebagai kebahagiaan (ananda). Namun tanpa adanya kebaikan, bahkan jika mereka tergila-gila akan suka cita maka wajah hanya akan menunjukkan api penghancur dari setan; mereka tidak akan memiliki rahmat kebahagiaan spiritual. (Prema Vahini, Ch 47)

-BABA

Friday, January 8, 2016

Thought for the Day - 8th January 2016 (Friday)

Whatever you are dealing with, you must first grasp its real meaning. Then, you have to cultivate it daily, for your benefit. By this means, wisdom grows and lasting joy is earned. The two basic things everyone must be super clear are dharma and karma (action). Righteousness (Dharma) has no prejudice or partiality; it is imbued with truth and justice. So if you choose to adhere to dharma, you must see that you never go against it. It is wrong to deviate from it. The path of dharma mandates that you give up hatred against others and cultivate mutual concord and amity. Through concord and amity, the world will grow, day by day, into a place of happiness. If these practices are well established, the world will be free from disquiet, indiscipline, disorder, and injustice. The wise, who are impartial and unprejudiced and have resolved to follow Dharma, must walk on the path of truth (sathya).


Apapun yang engkau kerjakan maka pertama engkau harus memahami makna yang sebenarnya. Kemudian, engkau harus meningkatkan hal ini setiap hari untuk kebaikanmu. Dengan cara ini, kebijaksanaan akan berkembang dan kebahagiaan yang kekal bisa didapatkan. Ada dua hal yang setiap orang harus super jelas yaitu dharma dan karma (tindakan). Kebajikan (Dharma) tidak memiliki prasangka atau sikap memihak; dharma sarat dengan kebenaran dan keadilan. Jadi, jika engkau memilih untuk menjunjung tinggi dharma, engkau harus melihat bahwa engkau tidak pernah bertentangan dengan dharma. Adalah salah jika menyimpang dari dharma. Jalan dharma mengamanatkan bahwa engkau harus melepaskan kebencian kepada sesama dan memupuk kerukunan dan persahabatan. Melalui kerukunan dan persahabatan, dunia akan berkembang hari demi hari menjadi sebuah tempat yang diliputi kebahagiaan. Jika praktek ini dijalankan dengan baik, dunia akan bebas dari kegelisahan, ketidakdisiplinan, kekacauan, dan ketidakadilan. Orang yang bijaksana yang tidak berat sebelah dan tidak berprasangka dan telah memutuskan untuk mengikuti Dharma, harus berjalan di jalan kebenaran (sathya). (Dharma Vahini, Ch 13)

-BABA

Thought for the Day - 7th January 2016 (Thursday)

Lord Krishna declared in the Gita, “Among sacrifices (yajnas), I am the repetition of the name (nama-yajna).” For curing grief and earning joy, temples where the name of God can be remembered are very essential. Remembering the name (smarana) grants bliss; there is nothing more fruitful, charming or blissful than this activity! Sage Vyasa wondered, “Having the great yet simple name, on the ever available tongue, and the temple where His enchanting image is installed so that people can sing His glory in an exalted voice... why should people hasten toward the gates of hell?” So too, Saint Tulsidas, who lived constantly in the temple and sang of the joy he tasted, lamented, “Alas! When people give up the name and the temple, and seek peace and joy in other places, I am reminded of the foolishness of those who forsake the rich and tasty fare on their plates and beg with outstretched hands for the remains from other’s plates!”


Sri Krishna bersabda di dalam Gita, “diantara pengorbanan suci (yajna), Aku adalah pengulangan nama Tuhan (nama-yajna).” Untuk melenyapkan kesedihan dan mendapatkan suka cita, tempat suci dimana nama Tuhan dapat diingat adalah sangat mendasar. Mengingat nama Tuhan (smarana) memberikan kebahagiaan; tidak ada yang lebih berfaedah, lebih mempesona, dan lebih membahagiakan daripada kegiatan ini! Resi Vyasa bertanya, “dengan memiliki nama Tuhan yang sungguh luar biasa dan mudah diucapkan, lidah yang selalu siap sedia, dan tempat suci dimana wujud-Nya yang menawan hati dipasang sehingga banyak orang dapat melantunkan kemuliaan-Nya dengan suara yang syahdu... mengapa manusia harus bergegas memasuki gerbang neraka?” Begitu juga, guru suci Tulsidas, yang selalu tinggal di tempat suci dan menyanyikan kebahagiaan hati yang dirasakannya, meratapi, “Aduh! Ketika manusia meninggalkan nama Tuhan dan tempat suci serta mencari kedamaian dan kesenangan di tempat lain, saya diingatkan oleh kebodohan mereka yang meninggalkan hidangan serba lezat dan bergizi di atas piring mereka dan menengadahkan tangan sambil mengemis untuk sisa-sisa makanan orang lain!” (Dharma Vahini, Ch 12)

-BABA

Thought for the Day - 6th January 2016 (Wednesday)

Humans are full of love (prema). Their hearts are springs of mercy. They are endowed with true speech. Peace is the characteristic of the mind of humans. It is the innate quality of the mind. Do not search for peace outside. Just as gold and silver lie hidden under the earth, and pearl and coral under the sea, peace and joy lie hidden in the activities of the mind. If you desire to acquire these hidden treasures, dive deep and turn your mental activities inward, you will become full of love. Only one who has so filled themselves with love and who lives in the light of that love deserves to be called human. Those devoid of love are demons and monsters. Within every man, the holy quality of love is ever present, without change. It is one and indivisible. Those saturated with love are incapable of spite, selfishness, injustice, wrong, and misconduct.


Manusia adalah penuh dengan kasih sayang (prema). Hati mereka adalah mata air dari belas kasihan. Manusia diberkati dengan perkataan yang benar. Kedamaian adalah ciri dari pikiran manusia. Ini merupakan kualitas bawaan dari pikiran. Jangan mencari kedamaian di luar diri. Seperti halnya emas dan perak yang tersimpan di bawah perut bumi serta batu karang terdapat di bawah laut, maka kedamaian dan suka cita terdapat dalam aktifitas pikiran. Jika engkau berkeinginan untuk mendapatkan harta karun yang terpendam itu, maka menyelamlah lebih dalam dan bawalah aktifitas mentalmu ke dalam diri, engkau akan menjadi penuh dengan kasih sayang. Hanya seseorang yang telah mengisi dirinya dengan kasih sayang dan ia yang tinggal dalam cahaya kasih itu layak disebut dengan manusia. Bagi mereka yang sama sekali tanpa adanya kasih adalah iblis dan monster. Dalam diri setiap manusia, sifat kasih yang suci, selalu ada tanpa adanya perubahan. Kasih itu adalah satu dan tidak dapat terpisahkan. Mereka yang dipenuhi dengan kasih sayang tidak mampu untuk dendam, mementingkan diri sendiri, tidak adil, salah, dan jahat. (Prema Vahini, Ch 47)

-BABA

Tuesday, January 5, 2016

Thought for the Day - 5th January 2015 (Tuesday)

Temples are invitations and signboards directing people to their Divine home. Temples are intended to instruct people in the art of removing the veil of attachment that lies over their heart. That is why Tyagaraja cried in the temple at Tirupathi, “Remove the veil within me, the veil of pride and hate.” The fog of illusion (maya) melted away with the touch of the rays of grace. Then he sang out describing the image of divine charm in the song, “Sivudavo Madhavudavo”; he drank deep the sweetness of that form. The churning of his heart by the divine formula produced the spark of wisdom (jnana), and it grew into the flame of realisation. On one occasion, Lord Sri Ramachandra spoke thus: “Dawn breaks and dusk falls. With dawn, greed awakes in people; with dusk, lust gets hold of them. Is this to be your goal and way of life? With every passing day, you are nearing one step closer towards the cave of death, missing precious opportunities. Do you ever worry over a wasted day?”


Tempat suci adalah undangan dan papan petunjuk untuk mengarahkan manusia ke rumah illahi mereka. Tempat suci dimaksudkan untuk memerintahkan manusia dalam cara melepaskan selubung keterikatan yang menutupi hati mereka. Itulah sebabnya mengapa Tyagaraja menangis di tempat suci di Tirupathi, “Lepaskanlah selubung di dalam diri saya yaitu selubung kesombongan dan kebencian.” Kabut khayalan (maya) meleleh ketika disentuh oleh cahaya rahmat kasih Tuhan. Kemudian ia melantunkan gambaran dari pesona Tuhan dalam kidung, “Sivudavo Madhavudavo”; ia mereguk dalam-dalam rasa manis dari wujud Tuhan itu. Dari hatinya yang diaduk dengan rumusan suci Tuhan menghasilkan percikan kebijaksanaan (jnana), dan kemudian berkobar menjadi nyala api kesadaran. Pada satu kesempatan, Sri Ramachandra berkata: “fajar menyingsing dan senja tiba. Bersamaan dengan fajar, ketamakan mulai bangun dalam diri manusia; pada saat senja tiba, nafsu syahwat menguasai manusia. Apakah ini menjadi tujuan dan cara hidupmu? Dengan berlalunya hari maka engkau sedang mendekat satu langkah menuju gua kematian dan kehilangan kesempatan yang sangat berharga. Apakah engkau pernah merasa cemas karena telah menyia-nyiakan waktu?” (Dharma Vahini, Ch 12)

-BABA

Thought for the Day - 4th January 2015 (Monday)

Many dull-witted moderns are puzzled at the purpose of all the constructions and conditions, conventions and customs that revolve around the temple. They cannot grasp the significance of any answer because it is beyond their limited understanding. A patient suffering from high fever will find even sweet things bitter; so too, those afflicted with the high fever of worldliness can never taste the real sweetness of truth. The fever must subside; then they can appreciate the value of the things of the spirit. Similarly if you deny yourself of the bliss derivable from surrender to the Lord, and run about madly pursuing sacred spots, sages, and holy rivers, how can you be helped? Cultivate an ounce of pure devotion! That is sufficient for you to be awakened from this delusion! Devotion will teach you that you can attain peace only by returning to your own native home, which is God within you. Until then, homesickness will haunt!


Banyak manusia modern yang dungu kebingungan pada tujuan dari semua bangunan dan keadaan, aturan, serta adat istiadat yang berlaku di sekitar tempat ibadah. Mereka tidak bisa mengerti makna dari setiap jawaban karena jawaban ini melampaui dari pemahaman mereka yang terbatas. Seorang pasien yang menderita demam yang tinggi akan merasakan pahit bahkan pada makanan yang manis; begitu juga, bagi mereka yang menderita demam tinggi dari keduniawian tidak akan pernah bisa merasakan rasa manis yang sesungguhnya dari kebenaran. Demam itu harus disembuhkan terlebih dahulu; baru mereka dapat menghargai nilai dari hal-hal yang bersifat kerohanian. Sama halnya jika engkau menyangkal dirimu sendiri dari kebahagiaan yang didapat dari penyerahan diri total kepada Tuhan dan sangat suka jalan kemana-mana untuk mencari tempat suci, orang suci, dan sungai suci, lantas bagaimana engkau dapat ditolong? Tingkatkanlah satu ons bhakti yang suci! Ini adalah cukup bagimu untuk bisa dibangunkan dari khayalan ini! Bhakti akan mengajarkanmu bahwa engkau dapat meraih kedamaian hanya dengan kembali pulang ke rumah asalmu yaitu Tuhan yang bersemayam di dalam dirimu. Sebelum kembali ke Tuhan, kerinduan akan kampung halaman akan menghantui! (Dharma Vahini, Ch 12)

-BABA

Sunday, January 3, 2016

Thought for the Day - 3rd January 2016 (Sunday)

What is important is not the acquisition of argumentativeness but the acquisition of single-mindedness, equanimity, and freedom from likes and dislikes. Why does one undertake these spiritual disciplines, this chanting, meditation, devotional singing, etc.? Isn’t it for acquiring single-mindedness and one-pointedness? Once that one-pointedness has been earned, human effort becomes unnecessary; the inner significance of life gets revealed. So those eager to become spiritual aspirants, should not yield to arguments and counterarguments. They should not be enticed by the wiles of bad feeling. They should see their own faults and not repeat them again. They should guard and protect the one-pointedness they have acquired, with their eyes fixed on the goal they are after, dismissing as trash whatever difficulties, defeats, and disturbances they encounter on their path. They must dwell on subjects that would give enthusiasm and joy, and not waste valuable time building up doubts regarding all things, big and small.


Apa yang penting adalah bukan pada perolehan dalam kemahiran berdebat namun perolehan pada pemusatan pikiran, ketenangan hati, dan bebas dari perasaan suka dan tidak suka. Mengapa seseorang menjalankan disiplin spiritual ini seperti mengulang nama Tuhan, meditasi, kebhaktian, dsb? Bukankah semuanya ini untuk bisa mendapatkan keterpusatan pikiran dan satu kemanunggalan? Sekali keterpusatan pikiran bisa didapatkan maka usaha manusia menjadi tidak perlu; dan makna yang terkandung di dalam kehidupan akan terungkap. Jadi, mereka yang berhasrat menjadi peminat spiritual seharusnya tidak terlibat dalam perdebatan dan sanggahan. Mereka seharusnya tidak tertarik oleh tipu muslihat dari perasaan buruk. Mereka seharusnya melihat kesalahan di dalam diri mereka sendiri dan tidak mengulangi kesalahan itu lagi. Mereka juga harus menjaga dan melindungi keterpusatan pikiran yang telah mereka dapatkan dengan mata tetap tertuju pada tujuan mereka, mengabaikan sebagai sampah apapun kesulitan, kekalahan, dan gangguan yang mereka hadapi dalam perjalanan mereka. Mereka juga harus membicarakan pelajaran secara panjang lebar yang akan memberikan semangat dan suka cita, dan tidak menyia-nyiakan waktu yang berharga dengan membangun keraguan pada semua hal baik itu hal yang besar atau kecil. (Prema Vahini, Ch 45)

-BABA

Saturday, January 2, 2016

Thought for the Day - 2nd January 2016 (Saturday)

Do all lucky people who possess wealth, gold, riches and comfort have peace? Are all highly learned people, or those of extraordinary beauty, or of superhuman physical strength, in peace with themselves and the world? No! The reason for this lack of peace in many is that they forget the divine basis of creation. All lives lived without faith and devotion to the Supreme Lord are despicable lives; they are all wasted chances. It is indeed very strange! Your genuine basis, the fountain of your joy, your ultimate fundamental (paramartha) principle, has become unnecessary and unsought for; on the other hand, the world with its tinsel tawdriness has for you become necessary and desirable. Even the most comfortable house, equipped with all the luxuries and heaps of treasure that people crave, is worthless to endow you with peace. Peace can be won only by surrender to God, who is the very core of one’s being, the very source of all life and living.


Apakah semua orang beruntung yang memiliki kekayaan, emas, dan kenyamanan memiliki kedamaian? Apakah semua orang yang sangat terpelajar atau mereka yang sangat cantik atau mereka yang memiliki kekuatan badan yang begitu besar berada dalam kedamaian dalam diri mereka dan di dunia? Tidak! Alasan dari kurangnya kedamaian dalam banyak hal adalah karena mereka melupakan Tuhan sebagai dasar dari ciptaan. Semua kehidupan dimana hidup tanpa keyakinan dan bhakti kepada Tuhan yang tertinggi adalah kehidupan yang tercela; mereka semuanya menyia-nyiakan kesempatan. Ini merupakan sesuatu yang benar-benar aneh! Dasar dari dirimu yang sejati, sumber dari suka citamu, yang menjadi prinsipmu yang paling penting (paramartha), semuanya ini telah menjadi tidak ada gunanya lagi dan tidak diinginkan; sebaliknya, dunia dengan kemilauannya yang tidak berharga telah menjadi penting dan sangat diinginkan. Bahkan rumah yang paling nyaman yang dilengkapi dengan semua kemewahan dan menumpuk kekayaan yang manusia cari, adalah tidak berharga untuk bisa memberikanmu kedamaian. Kedamaian bisa didapat hanya dengan berserah kepada Tuhan yang merupakan inti dari setiap makhluk hidup, dan juga sebagai sumber yang utama dari semua hidup dan kehidupan. (Dharma Vahini, Ch 12)

-BABA