Divinity is inherent and immanent in every living being and the process of reminding man of that fact began with the very dawn of human history. What has to be done to lead the Divine Life is just the removal of the fog that hides the Truth and makes one imagine one is something else — something inferior, evanescent, material, and momentary. All are holy, pure, and part of eternity. But these things shine in each in proportion to their spiritual practices, just as bulbs spread illumination according to the wattage. There is no body that is not sustained by the Absolute; there is no name that does not indicate the Universal. All objects are suffused by that Principle; all names are attributes of its Glory. Divine Life is based on the quality of calm serenity (satwa guna), which must be cultivated.
Keillahian adalah bersifat melekat dan tetap ada di dalam setiap makhluk hidup dan proses dalam mengingatkan manusia akan kenyataan itu telah dimulai dari sejarah awal kehidupan manusia. Apa yang harus dilakukan untuk menempuh hidup illahi adalah hanya dengan melenyapkan kabut yang menyembunyikan kebenaran dan membuat seseorang membayangkan bahwa dirinya adalah sesuatu yang lain — sesuatu yang rendah, yang cepat berlalu, material, dan sementara. Semuanya adalah murni, suci, dan bagian dari keabadian. Namun semuanya hal ini akan bersinar dalam proporsinya masing-masing sesuai dengan latihan spiritualnya, seperti halnya bola lampu yang menyebarkan cahaya sesuai dengan tegangannya. Tidak ada seorangpun yang tidak ditopang oleh yang bersifat Absolut; tidak ada nama yang tidak menunjukkan Universal. Semua objek diliputi dengan prinsip itu; semua nama adalah menetapkan kemuliaannya. Hidup illahi didasarkan pada kualitas dari ketenangan (satwa guna), yang mana harus ditingkatkan. (Divine Discourse, 14 Dec, 1958)
-BABA
No comments:
Post a Comment