If a person is ill or if his mind is immersed in something else, the taste of food cannot be grasped. So also, if the heart is full of ignorance (tamas) or is wayward, no joy can be experienced even if one is engaged in remembrance of the Lord, devotional singing, recitation of the name, or meditation. The tongue will be sweet as long as there is sugar on it. Likewise, if the pillar of light called devotion continues to burn in the corridor of the heart, there will be no darkness. A bitter thing on the tongue makes the whole tongue bitter. Similarly when greed and anger enter the heart, the brightness disappears, darkness dominates the scene, and one becomes the target of countless griefs and losses. Therefore, those who aspire to attain the holy presence of the Lord must acquire certain habits, disciplines, and qualities. The usual ways of life won’t lead to God. They have to be somewhat modified by means of spiritual discipline.
Jika seseorang sakit dan pikirannya sedang tenggelam dalam sesuatu yang lain, maka rasa makanan tidak akan bisa dirasakan. Begitu juga, jika hati penuh dengan kebodohan (tamas) atau suka melawan, maka tidak ada suka cita yang dapat dialami walaupun seseorang terlibat di dalam kegiatan mengingat Tuhan, melantukan lagu rohani, mengulang-ulang nama Tuhan atau meditasi. Lidah akan tetap terasa manis selama masih ada gula di atasnya. Sama halnya, jika pilar pelita yang disebut dengan bhakti terus menerus menerangi ruang hati, maka tidak akan kegelapan di dalamnya. Sesuatu yang terasa pahit di lidah maka akan membuat seluruh lidah terasa pahit. Sama halnya ketika ketamakan dan kemarahan memasuki hati, maka kegelapan akan memenuhi ruangan itu dan cahaya akan menghilang, dan seseorang menjadi target dari kesedihan dan kerugian yang tidak terhitung jumlahnya. Maka dari itu, mereka yang berusaha untuk mendapatkan kehadiran Tuhan yang suci harus memiliki kebiasaan yang tertentu, disiplin dan kualitas. Cara yang hidup yang biasa tidak akan dapat menuntun hidup pada Tuhan. Cara-cara hidup harus dimodifikasi dengan sarana disiplin spiritual. (Prema Vahini, Ch 56)
-BABA
No comments:
Post a Comment