From the point of view of what one achieves at the end of the journey, there is no difference between a liberated soul (jivanmukta) and a devotee; both are beyond ego (ahamkara), nature (prakriti) with its three attributes or gunas, and the rules and regulations (Dharma) that govern the caste-stage of life (varna-ashrama). The hearts of such will be full of compassion and be filled with the urge to do good to the world. Their divine bliss born of oneness impels them to act in this way. They will have no desires, for desires are the products of feelings of ‘I’ and ‘mine’. Only after these desires are uprooted do people become true devotees, right? So there can be no room in them for desires. They are truly speaking devotees of the embodiments of immortality (amrita-swarupa). For those with that immortal nature, there can be no appetite except for the sweetness of spiritual bliss (ananda).
Melihat dari sudut pandang apa yang seseorang akan raih di akhir perjalanannya maka tidak ada perbedaan diantara jiwa yang terbebaskan (jivanmukta) dan seorang bhakta (pemuja Tuhan) ; Kedua-duanya adalah melampaui ego (ahamkara), alam (prakriti) dengan sifatnya, dan aturannya (Dharma) yang mengatur empat tahap dalam kehidupan (varna-ashrama). Hati mereka penuh dengan welas asih dan diisi dengan dorongan untuk melakukan kebaikan bagi dunia. Kebahagiaan illahi mereka lahir dari kesatuan yang mendorong mereka bertindak dengan cara ini. Mereka tidak akan memiliki keinginan karena keinginan merupakan hasil dari ‘aku’ dan ‘milikku’. Hanya setelah keinginan-keinginan ini dicabut maka mereka akan menjadi bhakta yang sejati, bukan? Jadi tidak ada ruang untuk keinginan lagi bagi mereka. Mereka ini sebenarnya adalah bhakta yang merupakan perwujudan dari keabadian (amrita-swarupa). Bagi mereka dengan sifat keabadian, tidak ada lagi hasrat yang lainnya kecuali manisnya kebahagiaan spiritual (ananda). (Prema Vahini, Ch 39)
-BABA
No comments:
Post a Comment