The attitude of forbearance (Titiksha) refuses to be affected or pained when afflicted with sorrow, loss, or ingratitude and wickedness of others. In fact, you must remain calm, and bear all blows patiently and gladly, without any form of retaliation, for these are results of your own past actions. The natural reactions of people, when someone injures them are to hurt them in return, that is, return harm and insult to those who harm them and insult them. These are characteristics of the worldly path (pravritti). Those who seek the inner path of sublimation and purification (nivritti) must desist from such reactions. For, if you choose to return injury for evil, you are only adding to your own karmic burden! Paying evil with evil may confer immediate relief and contentment, but will never lighten the weight of karma. Forbearance, therefore, requires people to do good even to those who injure them.
Sikap sabar (Titiksha) menolak untuk terpengaruh atau sedih ketika menderita kesedihan, kehilangan, atau tidak berterima kasih dan keburukan lainnya. Bahkan, engkau harus tetap tenang, dan menanggung semua pukulan dengan sabar dan dengan senang hati, tanpa bentuk balas dendam, karena ini adalah hasil dari tindakan masa lalumu sendiri. Reaksi alami orang-orang, ketika seseorang melukai mereka, menyakiti mereka, sebagai balasannya, mereka akan kembali menyakiti mereka dan menghina mereka. Ini adalah karakteristik jalan duniawi (pravritti). Mereka yang mencari jalan yang mulia dan pemurnian (nivritti) harus berhenti dari reaksi tersebut. Sebab, jika engkau memilih untuk kembali melakukan keburukan, engkau hanya menambah beban karma-mu sendiri! Membayar kejahatan dengan kejahatan mungkin memberikan kelegaan dan kepuasan langsung, tetapi tidak pernah akan meringankan berat karma. Bersabarlah, karena, kita membutuhkan orang untuk berbuat baik bahkan bagi siapa yang melukai mereka. (Sutra Vahini, Ch 1)
-BABA
No comments:
Post a Comment