Peace is the nursery of all happiness and all joy. Thyagaraja knew this, for he sang, “No peace, no happiness”. All men need it, whoever they are, be they self-restrained men or vedantins, ascetics or scholars, pious men or philosophers. But people are unable to stand still even for a moment! Absence of mere anger cannot be taken as peace. The winning of a desired object and the satisfaction one then gets should not be confused with peace. The peace that has pervaded the heart must not be shaken subsequently for any reason; only that type of peace (shanti) deserves to be called supreme peace (prasanthi). Supreme peace has no ups and downs; it cannot be partial in adversity and complete in prosperity. It cannot be one thing today and another tomorrow. Always maintaining the same even flow of bliss (ananda), that is supreme peace.
Kedamaian adalah kebun bibit dari semua kebahagiaan dan semua suka cita. Thyagaraja mengetahui hal ini, karenanya beliau bernyanyi, “Tidak ada kedamaian, tidak ada kebahagiaan”. Semua manusia membutuhkan kebahagiaan, siapapun mereka, baik mereka yang menjalankan pengendalian diri atau para penekun Weda, para pertapa atau cendekiawan, orang baik atau filsuf. Namun manusia tidak mampu berdiam bahkan untuk sesaat saja! Tanpa adanya kemarahan tidak bisa disebut sebagai kedamaian. Mendapatkan objek yang diinginkan dan kepuasan yang seseorang dapatkan tidak boleh disamakan dengan kedamaian. Kedamaian yang telah melingkupi hati seharusnya tidak digoyahkan dengan alasan apapun; hanya kedamaian jenis seperti itu (shanti) yang layak disebut dengan kedamaian tertinggi (prasanthi). Kedamaian tertinggi tidak memiliki pasang dan surut; kedamaian tertinggi ini tidak bisa menjadi sebagian saat dalam kesulitan dan penuh dalam kesejahteraan. Tidak bisa satu hal pada hari ini dan lain hal pada hari esok. Selalu menjaga aliran kebahagiaan yang sama (ananda), itu adalah kedamaian tertinggi! (Prasanthi Vahini, Ch 1)
-BABA
No comments:
Post a Comment