Monday, September 30, 2024

Thought for the Day - 30th September 2024 (Monday)

Always try to put yourselves in the position of the other and judge your actions against that background. Then you will not be wrong. Be pure in word and deed, and keep impure thoughts away. I am in every one of you and so, I become aware of your slightest wave of thought. When the clothes become dirty, you have to give them for wash. When your mind is soiled, you must be born again, for the cleansing operations. The dhobi beats the cloth on the hard stone and draws over it the hot iron to straighten the folds. So too, you will have to pass through a train of travail to become fit to approach God. See Me as the resident in everyone; give them all the help you can, all the service they need; do not withhold the sweet word, the supporting hand, the assuring smile, the comforting company, and the consoling conversation. 


- Divine Discourse, Oct 11, 1969.

God has endowed man with all the organs of perception and action, not for selfish activities, but to do godly deeds and help others


Selalulah mencoba untuk menempatkan dirimu pada posisi orang lain dan evaluasi perbuatanmu berdasarkan latar belakang itu. Kemudian engkau tidak akan menjadi salah. Jadilah suci dalam perkataan dan perbuatan, dan jauhkan pikiran-pikiran yang tidak murni. Aku bersemayam di dalam diri setiap orang darimu, sehingga Aku menyadari setiap gelombang pikiranmu sekecil apapun. Ketika pakaian menjadi kotor, engkau harus mencucinya. Ketika pikiranmu kotor maka engkau harus dilahirkan kembali untuk membersihkannya. Tukang cuci memukulkan pakaian di atas batu yang keras dan menaruh pakaian itu dibawah setrika panas untuk meluruskannya. Begitu juga, engkau harus melewati serangkaian penderitaan agar menjadi layak untuk mendekati Tuhan. Lihatlah Aku sebagai penghuni dalam diri setiap orang; berikan mereka semua bantuan yang engkau bisa berikan, semua pelayanan yang mereka butuhkan; jangan menahan perkataan sopan, tangan-tangan yang menopang, senyuman yang meyakinkan, pergaulan yang menenangkan, dan percakapan yang menghibur. 


- Divine Discourse, 11 Oktober 1969.

Tuhan telah memberkati manusia dengan semua organ persepsi dan tindakan, bukan untuk perbuatan yang mementingkan diri sendiri, namun untuk melakukan perbuatan baik dan membantu yang lainnya


Sunday, September 29, 2024

Thought for the Day - 29th September 2024 (Sunday)

There are four goals in life - dharma (righteous living), artha (material well-being), kama (achievement of desires), and moksha (ultimate liberation). These four can be grouped in pairs. While artha and kama thrive in modern times, dharma and moksha have almost disappeared. Modern man craves for wealth and sensual pleasures and neglects righteousness and salvation. Since dharma and moksha are like the feet and the head of a body, man today seems to be existing without these two essential organs. These four values of life should instead be grouped as dharma-artha and kama-moksha. In other words, wealth should be acquired for the sake of righteous living, and man should aspire only for liberation. Only such a judicious combination of these four goals shall enable man to find fulfilment in life. 


- Ch 27, Summer Showers 1979.

You will lead a blissful life only when the mind is suffused with divine love. Divine love is the ultimate goal of life.


Ada empat tujuan dalam hidup - dharma (hidup yang benar), artha (kesejahtraan materi), kama (pencapaian keinginan), dan moksha (kebebasan tertinggi). Keempat bagian ini dapat digolongkan dalam dua bagian. Saat artha dan kama berkembang di jaman modern ini, dharma dan moksha hampir lenyap. Manusia modern mendambakan kekayaan dan kesenangan sensual serta mengabaikan kebajikan dan keselamatan. Karena dharma dan moksha adalah seperti kaki dan kepala dari badan jasmani, manusia pada saat sekarang kelihatan hidup tanpa kedua organ yang mendasar ini. Keempat nilai hidup ini seharusnya dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu dharma-artha dan kama-moksha. Dengan kata lain, kekayaan seharusnya dicari untuk hidup yang benar, dan manusia seharusnya hanya menginginkan kebebasan. Hanya dengan kombinasi yang bijaksana dari empat tujuan ini akan memungkinkan manusia mencapai pemenuhan dalam hidup. 


- Ch 27, Summer Showers 1979.

Engkau akan menjalani hidup yang penuh kebahagiaan hanya ketika pikiran diliputi dengan kasih Tuhan. Kasih Tuhan adalah tujuan tertinggi dari hidup.

Saturday, September 28, 2024

Thought for the Day - 28th September 2024 (Saturday)

People ask, "Where is God?" The answer is provided by Nature. Who is it that has created the five elements, the five life breaths, the five sheaths, the five external sense organs and the five internal sense organs, which are all ceaselessly carrying on their functions according to their prescribed roles? The seasons in their regular cycle are teaching a good lesson to man. Therefore Nature is the demonstrable proof of the existence of God. Nature is not under any obligation to any man, it takes no orders from any man, and it operates according to the will of the Divine. The artificial instruments produced by man function for a time and then become useless. Scientists today have launched many satellites in space. Sooner or later they cease to function and drop away. No one knows how, when and in what circumstances the planets in Nature were created but they have been going around in space ceaselessly and unfailingly for billions of years. These planets have been created for the welfare of mankind and not for destructive purposes. God is the creator of the world for man's good. 


- Divine Discourse, Jul 12, 1988.

There can be no greater bliss than realising the truth that God is everywhere.


Orang-orang bertanya, "Dimanakah Tuhan?" Jawaban dari pertanyaan itu disediakan oleh alam. Siapa yang telah menciptakan lima unsur, lima nafas kehidupan, lima lapisan, lima organ indria luar dan lima organ indria dalam, yang mana semuanya tanpa henti menjalankan fungsi mereka sesuai dengan peran yang telah ditentukan? Musim-musim dalam siklus teratur dari alam mengajarkan sebuah pelajaran baik bagi manusia. Maka dari itu Alam adalah bukti nyata dari keberadaan Tuhan. Alam tidak mempunyai kewajiban apapun pada manusia, alam tidak menerima perintah dari siapapun, dan alam bekerja sesuai dengan kehendak Tuhan. Peralatan buatan yang dihasilkan oleh manusia berfungsi untuk satu waktu dan kemudian menjadi tidak berguna. Para ilmuwan pada hari ini telah meluncurkan banyak satelit di luar angkasa. Cepat atau lambat satelit tersebut berhenti berfungsi dan jatuh. Tidak seorangpun yang mengetahui, kapan dan dalam keadaan bagaimana planet-planet di alam diciptakan namun planet-palnet tersebut telah beredar di luar angkasa tanpa henti dan sepanjang waktu selama miliaran tahun. Planet-planet ini telah diciptakan untuk kesejahtraan umat manusia dan bukan untuk tujuan merusak. Tuhan adalah Sang Pencipta dunia untuk kebaikan manusia. 


- Divine Discourse, 12 Juli 1988.

Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada menyadari kebenaran bahwa Tuhan ada dimana-mana.

Thursday, September 26, 2024

Thought for the Day - 26th September 2024 (Thursday)

Like the string for the garland, Brahman is the string that penetrates and holds together the garland of souls. Like the foundation for the building, Brahman is the foundation for the structure of creation. Note this. The string and foundation are not visible; only flowers and building are evident. That does not mean that the string and foundation are non-existent! In fact, they support the flowers and the building. Well, you can know of their existence and their value by little effort or reasoning. If you do not take that trouble, they escape your notice! Reason, examine, and you will discover that it is the string that holds the flowers together and there is a foundation hidden in the earth! Do not be misled by the thing being contained (adheya) into denying the holder, the container, the basis, the support (adhara). If you deny it, you miss the truth and hold on to a delusion. Reason and discriminate; then believe and experience! For the seen, there is an unseen basis; to grasp the unseen, the best means is inquiry and the best proof is experience. 


- Ch 12, Gita Vahini

Flowers cannot become a garland without the string; so too, Divinity unites all souls!


Seperti halnya tali yang ada pada kalung bunga, Brahman adalah tali yang melekatkan dan menyatukan bersama kalung bunga jiwa. Seperti halnya pondasi pada bangunan, Brahman adalah pondasi dari struktur ciptaan. Perhatikan ini dengan baik. Tali dan pondasi adalah tidak terlihat; hanya bunga-bunga dan bangunan yang nampak dengan jelas. Hal ini bukan berarti bahwa tali dan pondasi adalah tidak ada! Sesungguhnya, keduanya menjadi penopang dari bunga-bunga dan bangunan. Engkau dapat mengetahui keberadaan dan nilai keduanya itu dengan sedikit usaha atau penalaran. Jika engkau tidak mengambil usaha dalam hal itu, maka keduanya akan luput dari perhatianmu! Pikirkan, periksa dan engkau akan menemukan bahwa tali itulah yang menyatukan bunga-bunga menjadi satu rangkaian dan ada pondasi yang tersembunyi di dalam tanah! Jangan menjadi terkecoh dengan benda yang ditampung (adheya) sehingga mengingkari wadahnya, dasarnya, penopangnya (adhara). Jika engkau menyangkalnya, engkau kehilangan kebenaran dan terus berpegang pada khayalan. Pikirkan dan bedakan; kemudian percaya dan alami! Bagi sesuatu yang terlihat, ada sebuah dasar yang tidak terlihat; untuk bisa memahami yang tidak terlihat, cara yang terbaik adalah penyelidikan dan bukti terbaik adalah mengalami. 


- Bab 12, Gita Vahini

Bunga-bunga tidak bisa menjadi sebuah kalung bunga tanpa adanya tali; begitu juga, keilahian menyatukan semua jiwa! 


Wednesday, September 25, 2024

Thought for the Day - 25th September 2024 (Wednesday)

From a stone to a diamond, from an ant to an elephant, from an ordinary man to a sage, everything and every being in Bharat was regarded as a manifestation of the Divine. Every object was considered worthy of worship. That was why they sanctified a stone image and worshipped it. Bharat is the land in which the tender Tulasi plant and the giant banyan tree were worshipped with equal devotion. Cows, horses, elephants and other animals were treated as sacred objects of worship. Even ants were considered worthy of care and protection and rice flour or sugar was offered to them every day. Crows and eagles, dogs and monkeys were deemed worthy of worship. Not realising the deeper truth underlying this attitude to various objects in creation, ignoramuses choose to regard this worship as a silly superstition. This is wholly wrong. Bharat considered that the expression of Divine love should not be confined to human beings but should be extended to all beings. This is the great ideal that Bharath has held out to the world. 


- Divine Discourse, Sep 03, 1988.

Develop nearness, proximity, kinship with God. Win Him by obedience, loyalty, humility and purity.


Dari sebongkah batu hingga sebuah berlian, dari seekor semut hingga pada seekor gajah, dari seorang manusia biasa hingga pada guru suci, segala sesuatu dan setiap makhluk di Bharat dianggap sebagai perwujudan dari Tuhan. Setiap objek dianggap layak untuk dipuja. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Bharat menyucikan sebuah arca dari batu dan memujanya. Bharat adalah tanah dimana tanaman Tulasi yang lembut dan pohon beringin yang besar dipuja dengan rasa bhakti yang sama. Sapi, kuda, gajah dan binatang lainnya diperlakukan sebagai objek yang suci untuk dipuja. Bahkan semut dianggap layak untuk dijaga dan dilindungi dimana tepung beras atau gula diberikan pada semut setiap harinya. Burung gagak dan elang, anjing dan kera dianggap layak untuk dipuja. Dengan tanpa menyadari kebenaran mendalam yang mendasari sikap ini terhadap berbagai jenis objek dalam ciptaan, orang-orang bodoh memilih dengan menganggap bentuk pemujaan ini sebagai sebuah takhayul yang konyol. Pandangan ini sepenuhnya adalah salah. Bharat menganggap bahwa ungkapan kasih Tuhan tidak hanya dibatasi pada sesama manusia saja namun harus diperluas pada semua makhluk. Ini adalah idealisme yang begitu agung yang telah dibawa oleh Bharath pada dunia. 


- Wejangan Bhagawan, 3 September 1988.

Kembangkan kedekatan, keakraban, kekerabatan dengan Tuhan. Dapatkan Tuhan dengan kepatuhan, kesetiaan, kerendahan hati dan kemurnian.

Tuesday, September 24, 2024

Thought for the Day - 24th September 2024 (Tuesday)

We walk in the thick dusk of evening when things are seen but dimly; a rope lies haphazardly on the path! Each one who sees it, has their own idea of what it is, although it is really just a rope! One steps across it, taking it to be a garland. Another takes it to be a mark made by running water and treads on it! A third person imagines it to be a vine, a creeper plucked off a tree and fallen on the path. Some are scared that it is a snake, right? Similarly, the one highest Brahman, without any change or transformation affecting It, being all the time It and It only, manifests as the world of many names and forms. The cause of all this is the dusk of delusion (maya). The rope might appear as many things — it might provoke various feelings and reactions in people; it has become the basis for variety. But it never changes into many; it is ever one! The rope is ever the rope! It doesn’t become a garland or a streak of water or a creeper or a snake. Brahman might be misinterpreted in a variety of ways, but it is ever Brahman only. 


- Ch 12, Gita Vahini

The illusion (Maya) is the wind, individuals are the waves, and the ocean is Sat-Chit-Ananda.


Kita berjalan di senja yang gelap pada malam hari ketika segala sesuatu terlihat samar; seutas tali tergeletak sembarangan di jalan! Setiap orang yang melihat tali ini, memiliki pandangan sendiri terkait benda apakah itu, walaupun itu sesungguhnya hanyalah seutas tali! Satu orang melangkahi tali itu dan menganggapnya sebagai kalung bunga. Sedangkan yang lainnya menganggap tali itu sebagai tanda yang dibuat oleh air dan melewatinya! Orang yang ketiga membayangkan tali itu sebagai tanaman sulur, tanaman merambat yang dipetik dari pohon dan terjatuh di jalan. Beberapa orang lainnya ketakutan karena membayangkan tali itu adalah seekor ular, bukan? Sama halnya, Brahman yang tertinggi, tidak adanya perubahan yang dapat mempengaruhi-Nya, sepanjang waktu sebagai Brahman dan hanya Brahman, mewujudkan diri-Nya sebagai dunia dengan banyak nama dan wujud. Penyebab dari berbagai jenis bentuk nama dan wujud ini adalah gelapnya khayalan (maya). Tali mungkin kelihatan dengan berbagai bentuk – dan tali itu juga bisa membangkitkan berbagai jenis perasaan dan reaksi dalam diri orang-orang; tali itu telah menjadi dasar dari semua jenis keragaman. Namun tali itu tidak pernah berubah menjadi banyak; tali itu tetaplah satu! Tali itu selamanya sebagai tali! Tali itu tidak menjadi kalung bunga atau aliran air atau tanaman sulur atau seekor ular. Brahman mungkin ditafsirkan dengan berbagai jenis cara, namun Brahman selamanya adalah Brahman. 


- Bab 12, Gita Vahini

Khayalan (Maya) adalah angin, setiap individu adalah gelombang, dan lautan adalah Sat-Chit-Ananda.

Monday, September 23, 2024

Thought for the Day - 23rd September 2024 (Monday)

Man is born in this world but does not realise the purpose of his birth. Forgetting this purpose, he regards himself as the master of Nature and in his insane conceit forgets his own divinity. He is unable to recognise that it is Nature that provides or takes away, that blesses or punishes, that Nature's sway is extensive. Nature presides over every aspect of life. In his deep involvement with mundane concerns man tends to forget his divinity and what he owes to Nature. All things in creation are equal in the eyes of God. God is immanent in all of them. Hence God and Nature should not be regarded as distinct entities. They are inseparably interrelated like the object and its image. Man, however, looking at Nature externally, considers it as purely physical and intended to provide the amenities he seeks. Nature is the best teacher for man. Every object, every individual, is offering lessons of various kinds to man every moment. This truth was recognised by Bharatiyas from the earliest times. This is the primary characteristic of the sacred Bharatiya culture. 


- Divine Discourse, Sep 03, 1988.

Nature's role is to help man, the crowning achievement of the evolutionary process, to realise the Divinity immanent in creation.


Manusia lahir ke dunia namun manusia tidak menyadari tujuan dari kelahirannya. Dengan melupakan tujuan kelahiran ini, manusia menganggap dirinya sebagai penguasa alam dan dalam kesombongannya yang gila melupakan sifat keTuhanan dirinya. Manusia tidak mampu menyadari bahwa Alam yang memberikan atau mengambil, yang memberkati atau menghukum, bahwa kekuasaan dari alam sangatlah luas. Alam mengatur seluruh aspek dari kehidupan. Dalam keterlibatan alam yang begitu mendalam dengan kehidupan duniawi, manusia cendrung melupakan keilahiannya dan apa yang manusia hutang pada alam. Semua hal dalam ciptaan adalah sama di mata Tuhan. Tuhan meresapi semua ciptaan. Karena itu Tuhan dan Alam seharusnya tidak dipandang sebagai entitas yang berbeda. Kedunya saling terkait dan tidak terpisahkan seperti halnya objek dengan bayangannya. Namun, Manusia melihat Alam secara ekternal dan murni menganggap Alam sebagai fisik serta ditujukan untuk menyediakan kenyamanan yang manusia cari. Alam adalah guru yang terbaik bagi manusia. Setiap objek, setiap individu, menawarkan pelajaran yang beragam bagi manusia dalam setiap saat. Kebenaran ini telah disadari oleh Bharatiya dari jaman dahulu. Ini adalah karakteristik utama dari kebudayaan Bharatiya yang suci. 


- Wejangan Bhagavan, 3 September 1988.

Peran Alam adalah untuk membantu manusia, pencapaian tertinggi dari proses evolusi, untuk menyadari keilahian yang ada dalam ciptaan.


Saturday, September 21, 2024

Thought for the Day - 21st September 2024 (Saturday)

The human body is made up of karma (action). Consequently, scriptures described the man as karmaja, born as a result of action. All actions performed by man with his limbs and organs are rendered possible by the Divine. Hence man should regard all actions as sacred. But whatever man does is motivated by ego, self-interest, and desire for the fruits thereof. To enjoy the fruits of actions done with the expectation of reward, man is reborn! Gita says: Karmanu-bandhini Manushya-loke (Karma is the bond in this world of human beings). Man is bound by karma. When actions are performed as offerings to the Divine, they get sanctified. All actions that are natural to man should be converted by the spiritual aspirant into Karma Yoga. The distinction between karma and Karma Yoga should be clearly understood. Actions performed selfishly with egoism and desire for reward are karma that bind. Actions done unselfishly, without ego and any expectation of reward, become Karma Yoga. 


- Divine Discourse, Nov 19, 1990.

Whether you perform any kind of worship or not, when you render selfless service, you will be able to experience the bliss of Divine love.


Tubuh manusia disusun oleh karma (perbuatan). Akibatnya, naskah suci menjabarkan manusia sebagai karmaja, lahir dari hasil perbuatan. Seluruh perbuatan yang dilakukan manusia dengan organ dan bagian tubuhnya memungkinkan dilakukan oleh karena Tuhan. Maka dari itu manusia harus memandang semua perbuatan sebagai hal yang suci. Namun apapun yang manusia lakukan yang didorong oleh ego, kepentingan diri, dan keinginan akan hasilnya, serta untuk bisa menikmati buah dari perbuatan itu maka manusia dilahirkan kembali! Gita menyatakan: Karmanu-bandhini Manushya-loke (Karma adalah pengikat manusia di dunia ini). Manusia diikat oleh karma. Ketika perbuatan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan, maka perbuatan itu akan disucikan. Semua perbuatan yang alami bagi manusia harus dirubah menjadi karma yoga oleh peminat spiritual. Perbedaan diantara karma dan Karma Yoga harus dengan jelas dipahami. Perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri dengan egoisme dan keinginan untuk hasilnya adalah karma yang mengikat. Perbuatan yang dilakukan tanpa kepentingan diri sendiri, tanpa ego dan tanpa adanya keinginan pada hasilnya, menjadi Karma Yoga. 


- Wejangan Bhagavan, 19 November 1990.

Apakah engkau melakukan ibadah atau tidak, ketika engkau melakukan pelayanan tanpa pamrih, engkau akan mampu mengalami kebahagiaan kasih Tuhan.


Wednesday, September 18, 2024

Thought for the Day - 18th September 2024 (Wednesday)

Socrates used to gather young men around him and expound to them how to enquire into what is transient and what is permanent. He told them that only those who have devotion and dedication are entitled to wield power. A ruler should adhere to truth and show his gratitude to God. Puffed up with ego, he should not forget the Almighty. Those who did not relish Socrates's teachings brought charges against him. When he was sentenced to death, he chose to die by drinking the cup of hemlock from the hands of his disciples. Before his death, he told his disciples that none should die leaving an undischarged debt. He told a disciple that he owed a cock to a friend and asked to discharge that obligation. Prophet Mohammed told his disciples before his passing that money he owed to a camel driver should be paid before his end came. The discharging of one's debts is regarded as a pious obligation. Harischandra sacrificed everything for the sake of honouring his plighted word. All religions have emphasised the greatness of truth, sacrifice and unity. 


- Divine Discourse, Dec 25, 1990.

Like the current that illumines every bulb, however weak or strong, your God is present in every living being!


Socrates biasanya mengumpulkan anak-anak muda di sekitarnya dan mengungkapkan pada mereka bagaimana caranya menyelidiki apa yang bersifat sementara dan apa yang bersifat kekal. Socrates mengatakan pada mereka bahwa hanya mereka yang memiliki bhakti dan dedikasi yang berhak memegang kekuasaan. Seorang penguasa harus berpegang pada kebenaran dan memperlihatkan rasa syukurnya kepada Tuhan. Dalam keadaan diliputi ego, dia seharusnya tidak melupakan Yang Maha Kuasa. Mereka yang tidak menyukai ajaran Socrates mengajukan perlawanan terhadapnya. Ketika Socrates dijatuhi hukuman mati, dia memilih untuk mati dengan minum secangkir hemlock (racun) dari tangan muridnya. Sebelum kematiannya, dia mengatakan pada murid-muridnya bahwa tidak seorangpun boleh mati dengan meninggalkan hutang yang belum terbayarkan. Dia mengatakan pada salah satu muridnya bahwa dia berhutang seekor ayam Jantan pada seorang temannya dan meminta muridnya itu untuk melunasi hutang itu. Nabi Mohammad mengatakan kepada muridnya sebelum wafat bahwa beliau berhutang uang pada seorang penunggang unta harus dibayar sebelum ajalnya menjemput. Melunasi hutang dianggap sebagai kewajiban yang mulia. Harischandra mengorbankan segalanya demi menghormati janji yang telah diucapkannya. Semua agama telah menekankan keagungan dari kebenaran, pengorbanan dan persatuan. 


- Wejangan Bhagavan, 25 Desember 1990.

Seperti arus yang menerangi setiap bola lampu, betapapun lemah atau kuatnya, Tuhanmu bersemayam di dalam setiap makhluk hidup!


Tuesday, September 17, 2024

Thought for the Day - 17th September 2024 (Tuesday)

Light alone has the power to dispel darkness. Light has yet another power. Light (or the flame) always moves upwards. Even if you keep a lamp in a pit, the light will only spread upwards. The two important characteristics of light are to dispel darkness and go upwards. However, if the light has to shine without intermission as Akhanda Jyoti it needs a proper basis. First, the light needs a container. There must be a wick to light the flame. There must be oil in the wick and in the container. These three are not enough to make the light burn. A matchstick is needed to light the lamp. Can you make a light burn merely with a container, a wick and oil? Can you make jewels if you have only gold and gems? Can you have a garland with a needle, thread and flowers alone? You need someone to make the garland out of them. You need a goldsmith to make jewels from gold and gems. Similarly, there is need for someone to light the lamp, even when you have the other four materials. That someone is God. 


- Divine Discourse, Oct 20, 1990.

See the hand of God in everything that happens; then, you will not exult or grieve. Then your life will be one continuous worship or meditation.


Hanya cahaya memiliki kekuatan untuk menghilangkan kegelapan. Cahaya juga memiliki kekuatan lainnya. Cahaya (atau api) selalu bergerak ke atas. Bahkan jika engkau menaruh lampu di dalam sebuah lubang, cahaya hanya akan menyebar ke atas. Dua karakteristik penting dari cahaya yaitu menghilangkan kegelapan dan bergerak ke atas. Namun, jika cahaya harus bersinar tanpa henti sebagai Akhanda Jyoti maka cahaya memerlukan sebuah landasan yang tepat. Pertama, cahaya membutuhkan sebuah wadah. Harus ada sumbu untuk bisa mendapatkan cahaya pada lampu. Harus ada minyak pada sumbu dan di dalam sebuah wadah. Ketiga bagian ini belumlah cukup untuk membuat cahaya itu menyala. Sebuah korek api dibutuhkan untuk menyalakan cahaya. Dapatkah engkau membuat cahaya hanya bermodalkan sebuah wadah, sumbu dan minyak? Dapatkah engkau membuat perhiasan jika engkau hanya memiliki emas dan permata? Dapatkah engkau memiliki kalung bunga hanya dengan jarum, benang dan bunga saja? Engkau membutuhkan seseorang untuk merangkai kalung bunga tersebut. Engkau membutuhkan seorang tukang emas untuk membuat perhiasan dari emas dan permata. Sama halnya, dibutuhkan seseorang untuk menyalakan lampu, bahkan ketika engkau memiliki keempat bahan lainnya. Seseorang itu adalah Tuhan. 


- Wejangan Bhagavan, 20 Oktober 1990.

Lihatlah tangan Tuhan dalam segala sesuatu yang terjadi; kemudian, engkau tidak akan terllau bergembira dan bersedih. Kemudian hidupmu akan menjadi satu ibadah atau meditasi yang terus menerus.


Monday, September 16, 2024

Thought for the Day - 16th September 2024 (Monday)

The cultivation of good qualities implies getting rid of all bad qualities. Among the latter, two are particularly undesirable. They are asuya (jealousy) and dwesha (hatred). These two bad qualities are like two conspirators, one aids and abets the other in every action. Asuya is like the pest which attacks the root of a tree. Dwesha is like the insect which attacks the branches, leaves and flowers. When the two combine, the tree, which may look beautiful and flourishing, is utterly destroyed. Similarly, asuya attacks a person from inside and is not visible. Dwesha exhibits itself in open forms. There is hardly anyone who is free from the vice of jealousy. Jealousy may arise even over very trivial matters, and out of jealousy hatred arises. To get rid of hatred one must constantly practise love. Where there is love, there will be no room for jealousy and hatred, and where there is no jealousy and hatred, there is ananda (real joy). 


- Divine Discourse, Sep 06, 1984.

Of what use is a mountain of knowledge without good qualities?


Memupuk sifat-sifat baik menyiratkan melenyapkan semua sifat-sifat buruk. Diantara sifat-sifat buruk, ada dua sifat buruk yang mengerikan. Keduanya adalah asuya (iri hati) dan dwesha (kebencian). Kedua sifat buruk ini adalah seperti dua orang bersekongkol yang saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam setiap perbuatan. Asuya adalah seperti hama yang menyerang akar dari sebuah pohon. Dwesha adalah seperti serangga yang menyerang cabang, daun dan bunga. Ketika keduanya bergabung, maka pohon yang kelihatan indah dan rindang akan hancur total. Sama halnya, asuya menyerang seseorang dari dalam diri dan tidak kelihatan. Dwesha memperlihatkan wujudnya secara terbuka. Hampir tidak ada siapapun yang bebas dari sifat iri hati. Iri hati dapat muncul bahkan untuk hal yang sangat sepele, dan dari iri hati ini akan muncul kebencian. Untuk melenyapkan kebencian maka seseorang harus secara terus menerus mempraktekkan kasih. Dimana ada kasih, disana tidak akan ada ruang untuk iri hati dan kebencian, dan dimana tidak ada iri hati dan kebencian, maka disana ada suka cita sejati (Ananda). 


- Wejangan Bhagavan, 6 September 1984.

Apa gunanya segunung pengetahuan tanpa adanya sifat-sifat yang baik? 


Sunday, September 15, 2024

Thought for the Day - 15th September 2024 (Sunday)

Bali had understood the glory and majesty of God. He told his Guru, "The Hand that grants boons to countless devotees, that Hand is stretched to receive what I offer in answer to the Lord's desire. That Hand has all the worlds in its grasp. And, what does the Lord wish to get from me? He is asking only for that which He has given me! He has come to me in this Form to ask from me all that I have because the same is what He has given me." Bali had convinced himself that the Lord gives and the Lord takes, that he is but an instrument, and that his destiny is to merge in the Lord. So, on this festival day, when we celebrate his dedication and renunciation, we must strengthen our faith that God's will must prevail and is prevailing over all human effort. And, we must realise that tyaga (sacrifice) is the highest Sadhana. Be like Prahlada and Bali. Do not be Hiranyakashipus, for these are blinded by egoism. Pray to God; let prayer be your breath. Do not conflict with God and be cursed. Take this as the message on this Onam Day. 


- Divine Discourse, 1 September 1982.

The ego has to sacrifice itself so that man's divine nature can manifest itself.


Maharaja Bali telah memahami kemuliaan dan keagungan dari Tuhan. Dia berkata pada Gurunya, "Tangan yang menganugerahkan rahmat pada bhakta yang tidak terhitung jumlahnya, Tangan itu terulur untuk menerima apa yang saya persembahkan sebagai jawaban atas kehendak Tuhan. Tangan itu menggenggam seluruh dunia dalam genggamannya. Dan, apa yang Tuhan ingin dapatkan dariku? Tuhan hanya meminta hanya apa yang telah Tuhan berikan kepadaku! Tuhan telah datang kepadaku dalam Wujud ini untuk meminta dariku semua yang aku miliki karena itu adalah apa yang Tuhan berikan kepadaku." Maharaja Bali telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa Tuhan memberi dan Tuhan mengambil, bahwa dirinya hanyalah alat, dan bahwa takdirnya adalah untuk menyatu dengan Tuhan. Jadi, dalam hari perayaan ini, ketika kita merayakan dedikasi dan pengorbanannya, kita harus memperkuat keyakinan kita bahwa kehendak Tuhan pasti terjadi dan menguasai semua usaha manusia. Dan, kita harus menyadari bahwa tyaga (pengorbanan) adalah Sadhana yang tertinggi. Jadilah seperti Prahlada dan Maharaja Bali. Jangan menjadi seperti Hiranyakashipu yang dibutakan oleh egoisme. Berdoa kepada Tuhan; jadikan doa sebagai nafasmu. Jangan bertentangan dengan Tuhan dan terkena kutukan. Jadikan ini sebagai pesan dalam perayaan Onam. 


- Wejangan Bhagavan, 1 September 1982.

Ego harus mengorbankan dirinya sendiri sehingga sifat keilahian manusia dapat terwujud.

Saturday, September 14, 2024

Thought for the Day - 14th September 2024 (Saturday)

It is generally believed that God incarnated as Vamana in order to uproot the ego of Bali. This is not the truth. The incarnation had as its purpose the conferment of the boon of liberation. For, Bali had no inkling of ego in him. When Vamana asked for 'three feet of ground' from him, his Guru tried his best to prevent him from giving it to Vamana. "My dear fellow! This is no ordinary mendicant. He is God Narayana Himself. If you agree to give Him what He asks for, you are certain to be mined!" But, Emperor Bali replied, "Whoever it be, he has asked and giving what is asked is my duty. It is my great good fortune that God Narayana has come, with hands extended to receive a gift from me. I shall not listen to your teachings now. The hand that gives is on top of the hand that receives. This is indeed unique luck," he said. The three steps are the physical (Adhibhautika), the mental (Adhidaivika) and the spiritual (Adyathmika). The first two steps covered earth and sky and for the third, Emperor Bali's heart was the most appropriate gift! Since the heart was offered to God Narayana, his body sank into patala (the Nether Regions). The first two steps mean the identification with the body and the mind was eliminated. Bali had achieved the stage of total surrender. His heart, mind and intelligence were the Lord's.


- Divine Discourse, Sep 01, 1982.

If you cannot sacrifice trivial and transient pleasures, how can you experience the Bliss of the Eternal?


Secara umum diyakini bahwa Tuhan mengambil inkarnasi sebagai Vamana untuk mencabut ego dari Raja Bali. Ini tidaklah benar. Inkarnasi Tuhan memiliki tujuannya untuk menganugerahkan rahmat pembebasan. Karena, Raja Bali tidak memiliki ego di dalam dirinya. Ketika Vamana meminta 'tanah seluas tiga langkah kaki-Nya' dari Raja Bali, gurunya telah mencoba dengan sekuat tenaga mencegahnya untuk mengabulkan permintaan Vamana. "Muridku terkasih! Dia bukanlah pengemis biasa. Dia adalah Narayana sendiri. Jika engkau mengabulkan permintaan-Nya, engkau pastinya akan terancam!" Namun, Raja Bali menjawab, "Siapapun dia, jika dia telah meminta maka kewajibanku untuk mengabulkannya. Ini merupakan keberuntungan yang sungguh luar biasa bagiku dimana Narayana sendiri telah datang, dengan tangan terulur untuk menerima pemberian dariku. Untuk saat sekarang aku tidak dapat mengikuti nasehat guru. Tangan yang memberi berada di atas dari tangan yang menerima. Ini adalah keberuntungan yang sangat istimewa," kata Raja Bali. Tiga langkah kaki itu adalah fisik (Adhibhautika), batin (Adhidaivika) dan spiritual (Adyathmika). Dua langkah pertama meliputi bumi dan langit sedangkan langkah ketiga, hati dari Raja Bali adalah tempat yang sesuai! Karena Hatinya dipersembahkan kepada Narayana, maka tubuhnya tenggelam ke dalam patala (wilayah bawah). Dua langkah pertama berarti identifikasi dengan tubuh dan pikiran telah dihapus. Raja Bali telah mencapai tahap penyerahan diri sepenuhnya. Hati, pikiran dan kecerdasannya adalah milik Tuhan. 


- Wejangan Bhagavan, 1 September 1982.

Jika engkau tidak bisa mengorbankan kesenangan yang sementara dan sepele, bagaimana engkau dapat mengalami Kebahagiaan yang kekal? 


Friday, September 13, 2024

Thought for the Day - 13th September 2024 (Friday)

Among the Pandavas, there were some who were superior to Arjuna in some respect. Dharmaraja, the eldest brother, was more serene. Why then was the sacred Gita not taught to him? In terms of physical prowess, Bhima was a much stronger person. Why was it not directed to Bhima? Why was it taught to Arjuna? Dharmaraja was the embodiment of Dharma, no doubt. But, he did not have the foresight to visualise the ravages of war. He did not consider the consequences of his action. He became wise only after the event. Bhima had enormous physical strength and valour, but he did not have enough intelligence. But, Arjuna had foresight. He told Krishna, "I would rather be dead than fight against these people, because, if I should win, it would be at the cost of putting them to death and causing much suffering." In contrast to this, Dharmaraja waged the war and when he lost his kith and kin, he sat down in gloom regretting all that had happened! When one acts without foresight, one has to repent for the consequences of the indiscriminate action.


- Divine Discourse, Sep 05, 1984.

Sai is ever engaged in warning you and guiding you so that you may think, speak and act in this attitude of Love.


Diantara para Pandawa, ada beberapa yang lebih hebat dari Arjuna dalam beberapa hal tertentu. Dharmaraja adalah saudara sulung yang lebih tenang. Mengapa kemudian Gita yang suci tidak diajarkan padanya? Dalam hal penguasaan fisik, Bhima adalah saudara yang jauh paling kuat. Mengapa Gita tidak diajarkan pada Bhima? Mengapa Gita diajarkan pada Arjuna? Dharmaraja adalah perwujudan dari Dharma, tidak diragukan lagi. Namun, Dharmaraja tidak memiliki pandangan masa depan untuk membayangkan terkait kehancuran dari perang. Dia tidak mempertimbangkan akibat dari perbuatannya. Dharmaraja menjadi bijak hanya setelah kejadian. Bhima memiliki kekuatan fisik yang luar biasa dan pemberani, namun Bhima tidak cukup memiliki kecerdasan. Namun, Arjuna memiliki pandangan masa depan. Arjuna berkata pada Krishna, "aku lebih baik mati daripada harus berperang melawan orang-orang ini, karena, jika saya menang dalam peperangan itu berarti aku harus membunuh mereka dan menyebabkan begitu besar penderitaan." Bertentangan dengan ini, Dharmaraja memimpin peperangan dan ketika para keluarga dan kerabatnya meninggal, dia duduk dalam kesedihan meratapi semua yang telah terjadi! Ketika seseorang bertindak tanpa pandangan masa depan, seseorang harus menyesali akibat dari perbuatannya yang ceroboh.


- Wejangan Bhagavan, 5 September 1984.

Sai selalu memperingatkan dan menuntunmu sehingga engkau dapat berpikir, berbicara dan bertindak dalam sikap kasih.


Thursday, September 12, 2024

Thought for the Day - 12th September 2024 (Thursday)

You may be worried because you have promised Me something and later, you are tempted to break your word. Now, do not hesitate. When you promise that you will not smoke, or will not attend films, the promise must be clear, firm and complete. I do not gain by your promise nor do I lose, if you break it. You gain self-confidence, you gain strength, you gain moral fibre, you gain Ananda. Yes; your Ananda is My Food. So, I gain, too! The snows on the mountain peaks soften during the day as a result of the Sun; they harden during the night since the Sun is absent. So too, your hard heart hardens Me; your soft hearts soften Me. Understand this: Each of you knows the love of a single mother only. But My affection, My love towards every one of you is that of a thousand mothers! Do not deny yourself of that affection, that love, by denying Me your Love! 


- Divine Discourse, Oct 04, 1970.

I always teach you love, love and love alone.


Engkau mungkin merasa cemas karena engkau telah menjanjikan-Ku sesuatu dan kemudian engkau tergoda untuk mengingkari perkataanmu. Sekarang, jangan ragu-ragu. Ketika engkau berjanji bahwa engkau tidak akan merokok, atau tidak akan menonton film, janji yang disampaikan harus jelas, tegas dan lengkap. Aku tidak mendapatkan keuntungan dari janjimu atau kehilangan sesuatu, jika engkau mengingkari janjimu itu. Engkau mendapatkan kepercayaan diri, engkau mendapatkan kekuatan, engkau mendapatkan kekuatan moral, engkau mendapatkan Ananda. Iya; kebahagiaanmu adalah makanan bagi-Ku. Jadi, Aku mendapatkan manfaat! Salju yang ada di atas puncak gunung meleleh di siang hari karena panas matahari; salju itu menjadi lebih keras pada saat malam hari karena tidak adanya matahari. Begitu juga, kerasnya hatimu membuat-Ku keras; hatimu yang lembut membuat-Ku menjadi lembut. Pahamilah hal ini: setiap orang darimu hanya mengatahui kasih dari satu ibu. Namun welas asih-Ku, kasih-Ku kepada setiap orang dari dirimu adalah kasih dari ribuan ibu! Jangan menyangkal welas asih itu, kasih itu, dengan menyangkal kasihmu kepada-Ku! 


- Wejangan Bhagavan, 4 Oktober 1970.

Aku selalu mengajarkanmu kasih, kasih dan hanya kasih.

Wednesday, September 11, 2024

Thought for the Day - 11th September 2024 (Wednesday)

Life is a campaign against foes, a battle with obstacles, temptations, hardships, and hesitations. These foes are within man and so the battle must be incessant and perpetual. Like the virus that thrives in the bloodstream, vices of lust, greed, hate, malice, pride and envy sap the energy and faith of man and reduce him to untimely fall. Ravana had scholarship, strength, wealth, power, authority, and grace of God. But the virus of lust and pride which lodged in his mind brought about his destruction despite all his attainments! He could not dwell in peace and joy for a moment after the virus started work. Virtue is strength, vice is weakness. Man differs from man in this struggle against inner foes. Each gets the result that his Sadhana deserves, that his acts in this and previous births deserve! Life is not a mathematical formula, where 2 + 2 always equals 4. To some, it may be 3, to some, 5. It depends on how each values the 2. Moreover, in the spiritual path, each one must move forward from where one already is according to one’s own pace, and the light of the lamp which each one holds in one’s hand.


- Wejangan Bhagavan, Mar 16, 1966.

As long as one is caught in this net of delusion, which is spread by the inner foes, the yearning for liberation will not dawn in the mind


Hidup adalah sebuah perjuangan melawan musuh, sebuah peperangan dengan halangan, godaan, kesulitan, dan keraguan. Musuh-musuh ini ada di dalam diri manusia sehingga peperangan ini tiada putusnya dan abadi. Seperti virus yang hidup dalam aliran darah, sifat-sifat buruk yaitu nafsu, ketamakan, kebencian, kedengkian, kesombongan dan iri hati menguras energi dan keyakinan manusia serta menurunkan manusia pada kejatuhan begitu cepat. Ravana memiliki pengetahuan, kekuatan, kekayaan, kekuasaan, kewenangan dan Rahmat Tuhan. Namun virus berupa nafsu dan kesombongan yang hidup di dalam pikirannya membawakan kehancuran terhadap semua pencapaiannya! Dia tidak bisa dalam keadaan tenang dan suka cita dalam sesaat setelah virus itu mulai bekerja. Keluhuran budi adalah kekuatan, sifat buruk adalah kelemahan. Setiap manusia berbeda dengan yang lainnya dalam perjuangan melawan musuh di dalam diri. Setiap orang mendapatkan hasil dari Sadhana (latihan spiritual) sesuai dengan usaha yang dilakukan, baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan sebelumnya! Hidup bukanlah rumus matematika, dimana 2 + 2 selalu hasilnya adalah 4. Untuk beberapa orang hasilnya bisa 3 dan untuk beberapa orang lainnya hasilnya bisa 5. Hal ini tergantung bagaimana setiap orang menilai angka 2 itu. Selain itu, dalam jalan spiritual, setiap orang harus bergerak maju dari posisi yang ada sesuai dengan kecepatan dan cahaya penerang yang setiap orang pegang. 


- Wejangan Bhagavan, 16 Maret 1966.

Selama seseorang terjebak dalam perangkap jaring khayalan, yang disebar oleh musuh dalam diri, maka kerinduan untuk kebebasan tidak akan muncul dalam pikiran


Tuesday, September 10, 2024

Thought for the Day - 10th September 2024 (Tuesday)

Our body itself may be called a Dharmakshetra. For, when a child is born, it is pure and without blemish. It is not a victim yet of any of the six 'enemies of man' - anger, greed, lust, egotism, pride and jealousy. It is always happy. It cries only when hungry. Whoever fondles, king or commoner, saint or thief, the child is happy. The child's body is not affected by any of the three gunas (innate qualities) and is a Dharmakshetra. As the body grows, it begins collecting qualities such as jealousy, hatred and attachment. When these evil tendencies develop the body becomes a 'Kurukshetra’. The battle between the Pandavas and the Kauravas did not last more than 18 days, but the war between good and bad qualities in us is waged all through life. Rajo guna and tamo guna (qualities of passion and inertia) are associated with the ego and the sense of 'mine’. The word ‘Pandava’ itself stands for purity and satwik nature. ‘Pandu’ means whiteness and purity. The children of Pandu, the five Pandavas, were pure. The war between the Pandavas and the Kauravas signifies the inner war in each of us - the war of Satwa guna against the other two gunas, rajas and tamas.


- Wejangan Bhagavan, Sep 05, 1984.

The mind is the Kurukshetra (battlefield) where good and bad, right and wrong contest for supremacy.


Tubuh jasmani kita sendiri disebut dengan sebuah Dharmakshetra. Karena, ketika seorang anak lahir, anak ini masih suci dan tanpa adanya noda. Anak yang baru lahir ini belum menjadi korban dari ‘enam musuh manusia’ seperti : kemarahan, ketamakan, nafsu, egoisme, kesombongan dan rasa cemburu. Anak yang baru lahir selalu dalam keadaan bahagia. Dia menangis hanya ketika lapar. Siapapun yang mengasuhnya, baik raja atau rakyat biasa, orang suci atau pencuri, anak tersebut tetap bahagia. Tubuh anak ini tidak terpengaruh oleh tiga guna yang manapun (kualitas bawaan) dan merupakan sebuah Dharmakshetra. Seiring tubuh jasmani ini tumbuh, maka tubuh ini mulai mengumpulkan kualitas seperti rasa cemburu, kebencian dan keterikatan. Ketika kecendrungan jahat ini berkembang maka tubuh jasmani menjadi sebuah 'Kurukshetra’. Pertempuran diantara para Pandava dan para Kaurava tidak lebih berlangsung selama 18 hari, namun peperangan diantara sifat baik dan sifat buruk dalam diri kita berkobar sepanjang hidup. Rajo guna dan tamo guna (kualitas bergairah dan malas) terkait dengan ego dan kepunyaan 'milikku’. Kata ‘Pandava’ sendiri melambangkan kemurnian dan sifat satwik. ‘Pandu’ berarti putih dan murni. Anak-anak dari Pandu, yaitu lima Pandava adalah murni. Peperangan diantara para Pandava dan para Kaurava melambangkan peperangan di dalam batin setiap orang dari kita – peperangan dari Satwa guna melawan dua guna lainnya yaitu rajas dan tamas.


- Wejangan Bhagavan, 5 September 1984.

Pikiran adalah Kurukshetra (medan perang) dimana baik dan buruk, benar dan salah berperang untuk tempat tertinggi.


Monday, September 9, 2024

Thought for the Day - 9th September 2024 (Monday)

Awareness of one’s identity, of being the Atma, is the sign of wisdom, the lighting of the lamp which scatters darkness. That Atma is the embodiment of Bliss, of Peace, of Love but, without knowing that all these exist in oneself, man seeks them from outside of himself and exhausts himself in that disappointing pursuit. Birds that fly far from the masts of a ship must return to those very masts, for they have no other place to fold their tired wings and stay! Devoid of this wisdom (jnana), all efforts to seek spiritual bliss and peace are futile. You may have rice, lentils, salt, vegetables and tamarind; but without a fire to cook them soft and palatable, they are as good as non-existent! So too, japam, dhyanam, puja, and pilgrimage are all ineffective, if the knowledge of one's basic reality and identity is not there to warm up the process. The Atma is the source and spring of all joy and peace; this must be cognised and dwelt upon. Without this cognition, human life is an opportunity that is lost! 


- Wejangan Bhagavan, Mar 16, 1966.

Love is the basis for this self-discovery. Love is the means and love is the proof.


Kesadaran pada jati diri sejati, yaitu kesadaran pada Atma, adalah tanda dari kebijaksanaan, lentera penerang yang melenyapkan kegelapan. Atma adalah perwujudan dari kebahagiaan, kedamaian dan kasih, namun tanpa mengetahui bahwa semuanya ini ada di dalam dirinya, manusia mencarinya di luar diri dan menghabiskan tenaga dalam pengejaran yang mengecewakan. Burung-burung yang terbang jauh dari tiang kapal harus kembali ke tiang tersebut, karena mereka tidak memiliki tempat lain untuk melipat sayap mereka yang lelah dan beristirahat! Tanpa adanya kebijaksanaan ini (jnana), semua bentuk usaha untuk mencari kebahagiaan spiritual dan kedamaian menjadi sia-sia. Engkau mungkin memiliki beras, lentil, garam, sayur dan asam; namun tanpa adanya api untuk memasak bahan-bahan tersebut menjadi lembut dan lezat, maka bahan-bahan tersebut hampir tidak ada artinya! Begitu juga, japam, dhyanam, puja, dan mengunjungi tempat suci semuanya menjadi tidak efektif, jika pengetahuan pada kenyataan diri sejati tidak ada untuk menghangatkan proses tersebut. Atma adalah sumber dan mata air dari segala suka cita dan kedamaian; ini harus dipahami dan direnungkan. Tanpa pemahaman ini, hidup manusia yang merupakan sebuah kesempatan menjadi salah arah! 


- Wejangan Bhagavan, 16 Maret 1966.

Kasih adalah dasar dari penemuan jati diri ini. Kasih adalah sarana dan kasih adalah buktinya.


Friday, September 6, 2024

Thought for the Day - 6th September 2024 (Friday)

The Divine is Full; Creation is Full; even when Creation happened and the Cosmos appeared to be produced from the Divine, there was no diminution in the Fullness of the Full. You go to the bazaar to purchase a kilogram of jaggery. The keeper of the shop brings from his store a big lump, and he slices off a portion, weighing about a kilogram; he then weighs it and gives us in return for the price amount, one kilogram of jaggery. We sample a piece from the big lump and we expect the portion to behave as sweetly as the original lump. We go home and take a little to prepare the sweet drink called panakam. The panakam is sweet; the kilogram of jaggery and the mother lump - all are equally sweet. Fullness is the quality of the Divine; it is found in part or portion or in half or whole. Quantity is not the criterion; quality is. In the visible world that has been taken from the substance of the Divine, this quality is found equally full. We shall not consider the world as anything less than God.


- Wejangan Bhagavan, Jul 23, 1975.

To experience the fullness of Love, you must fill your hearts completely with Love.


Tuhan adalah sempurna; Ciptaan adalah sempurna; bahkan ketika ciptaan ini tercipta dan alam semesta muncul dari Tuhan, tidak ada pengurangan dalam kesempurnaan dari sempurna. Engkau pergi ke pasar untuk membeli satu kilogram gula merah. Penjual mengambil potongan besar gula merah dari gudangnya, kemudian dia memotong sebagian yang beratnya sekitar satu kilogram; dia menimbangnya dan memberikan kembali kepada kita dengan harga yang setara, satu kilogram gula merah. Kita mencicipi sepotong bagian kecil dari potongan besar gula merah itu dan mengharapkan potong kecil tersebut memiliki rasa manis yang sama dengan potongan besar aslinya. Kita pulang dan mengambil sedikit untuk membuat minuman manis yang disebut panakam. Panakam itu manis; satu kilogram potongan gula merah dan potongan besar aslinya - semuanya sama-sama manis. Kesempurnaan sifat dari Tuhan; itu ditemukan dalam bagian, potongan, setengah, atau keseluruhan. Dalam hal ini jumlah atau kuantitas bukanlah menjadi ukuran; namun kualitaslah yang menentukan. Dalam dunia yang kasat mata ini diambil dari substansi Tuhan, kualitas tersebut ditemukan sama nilainya. Kita tidak boleh menganggap dunia sebagai sesuatu yang kurang dari Tuhan. 


- Wejangan Bhagavan, 23 Juli 1975.

Untuk mengalami kesempurnaan kasih Tuhan, engkau harus mengisi hatimu sepenuhnya dengan kasih.


Thursday, September 5, 2024

Thought for the Day - 5th September 2024 (Thursday)

Teachers! Teach your young pupils the ideals of Bharat's great sages, heroes and heroines, who upheld the highest virtues and set an example to the world. They should be taught to behave as ideal sons like Shravanakumar. One good son can redeem a whole family. Ekalavya exemplifies supreme devotion to the Guru. Prahlada should be held out as the supreme example of total faith in God. Teachers should instil such devotion to God in the young. In the name of secularism, governments should not interfere with the practice of their respective religions by the citizens. No one should criticize the creed of others. The Divinity that is adored by all religions is one and the same, though different names may be used. In the name of religion, violent conflicts should not be encouraged. Children should be taught to respect all religions. Teachers should also make children realise the true purpose of education. Education should be a preparation for righteous living and not for earning money. Good qualities are more valuable than money.


- Wejangan Bhagavan, Jul 22, 1994.

A good student is an offering that a good teacher makes to the nation.


Para Guru! Didik anak-anak dengan idealisme yang luhur dari para guru-guru suci dan para pahlawan dari negeri Bharat, yang menjunjung tinggi kebajikan tertinggi dan memberikan teladan pada dunia. Anak-anak harus diajarkan untuk berperilaku sebagai putra yang ideal seperti halnya Shravanakumar. Satu putra yang baik dapat menyelamatkan seluruh keluarga. Ekalavya memberikan teladan tentang pengabdian tertinggi pada Guru. Prahlada harus dijadikan contoh tertinggi dalam keyakinan penuh pada Tuhan. Para guru harus menanamkan bentuk pengabdian pada Tuhan seperti itu pada anak-anak. Atas nama sekularisme, pemerintah tidak boleh mencampuri pengamalan agama masing-masing warga. Tidak ada seorangpun yang boleh mengkritik keyakinan orang lain. Ke-Tuhan-an yang dipuja oleh semua agama adalah satu dan sama, walaupun nama yang disampaikan adalah berbeda. Atas nama agama, konflik kekerasan tidak boleh dibenarkan. Anak-anak harus diajarkan untuk menghormati semua agama. Para guru juga membantu anak-anak untuk menyadari tujuan sesungguhnya dari Pendidikan. Pendidikan harus dijadikan sebagai persiapan untuk hidup benar dan bukan untuk mencari nafkah. Kualitas yang baik adalah lebih berharga daripada uang.


- Wejangan Bhagavan, 22 Juli 1994.

Seorang murid yang baik adalah sebuah persembahan yang bisa diberikan guru yang baik kepada bangsa.


Wednesday, September 4, 2024

Thought for the Day - 4th September 2024 (Wednesday)

Embodiments of the Divine Atma! From ancient times, the questions, "Where is God?" and "How does He appear?" have been agitating the minds of people. The answers have been sought by different ways of investigation. The believers, non-believers, those with doubts and others have not been able to get clear answers to these questions. To comprehend the truth, one should look within oneself. This cannot be learnt from textbooks or from teachers. Chaitanya (Consciousness) is there in the mind and pervades everywhere. The power of vision in the eye and of taste in the tongue is derived from this Chaitanya. People are using the sense organs but do not know the source of the power which activates them. Chaitanya cannot be comprehended by the physical vision. It is within everyone in very close proximity. People undertake external exercises and spiritual practices in vain to find it. The entire Creation is a manifestation of the Divine Will. Prakriti (Nature) is the manifestation of God. Man is also part of Prakriti and thus has the Divine power in him.


- Wejangan Bhagavan, Sep 19, 1993.

To experience the Divinity within, one has to see the Divine in all others and render them service in that spirit.


Perwujudan dari Atma ilahi! Dari sejak jaman dahulu kala, pertanyaan terkait, "Dimana Tuhan berada?" dan "Bagaimana Tuhan hadir?" telah mengganggu pikiran manusia. Jawaban dari pertanyaan ini telah dicari dengan berbagai cara penyelidikan. Golongan yang meyakini, golongan yang tidak meyakini, golongan mereka yang ragu dan yang lainnya tidak mampu mendapatkan jawaban yang jelas terkait pertanyaan-pertanyaan ini. Untuk memahami kebenaran, seseorang harus melihat ke dalam diri mereka sendiri. Hal ini tidak bisa dipelajari dari buku atau dari guru. Chaitanya (kesadaran) ada di dalam pikiran dan meresapi segalanya. Kekuatan pandangan yang ada pada mata dan rasa yang ada pada lidah adalah berasal dari Chaitanya ini. Manusia sedang menggunakan organ-organ Indera namun tidak mengetahui sumber dari kekuatan yang mengaktifkan semuanya ini. Chaitanya tidak bisa dipahami dengan pandangan fisik. Kesadaran ini ada di dalam diri setiap orang dalam kedekatan yang sangat dekat. Manusia melakukan praktek eksternal dan spiritual secara sia-sia untuk menemukan kesadaran ini. Seluruh ciptaan adalah sebuah manifestasi dari kehendak Tuhan. Prakriti (alam) adalah manifestasi dari Tuhan. Manusia adalah juga bagian dari Prakriti dan oleh karena itu memiliki kekuatan Tuhan di dalam dirinya.


- Wejangan Bhagavan, 19 September 1993.

Untuk mengalami keilahian di dalam diri, seseorang harus melihat Tuhan dalam diri orang lain dan memberikan pelayanan dengan kesadaran itu.

Tuesday, September 3, 2024

Thought for the Day - 3rd September 2024 (Tuesday)

You hear nowadays of equality (Samanatva), of each being equal to the rest. This is a wrong notion, for we find parents and children differently equipped; when one is happy, the other is miserable! There is no equality in hunger or joy! Of course, all are equally entitled to love and empathy, and to the grace of God. All are entitled to medicines in the hospital, but what is given to one should not be given to another! There can be no equality in doling out medicines! Each deserves the medicine that will cure him of his illness. I know that this struggle in the name of equality is only one of the ways in which man is trying to get Ananda! In almost all parts of the world, man is today pursuing many such shortcuts and wrong paths to achieve Ananda. But let Me tell you, without reforming conduct, daily behaviour, the little acts of daily life, Ananda will be beyond reach. I consider pravartna (conduct), as the most essential!


- Wejangan Bhagavan, 23 November 1964.

When you recognise the One as present in all beings and respect everyone as a manifestation of the Divine, you will achieve true equality.


Engkau mendengar saat sekarang gagasan tentang kesetaraan (Samanatva), yaitu gagasan bahwa setiap individu setara dengan yang lainnya. Ini adalah gagasan yang salah, karena kita melihat bahwa orang tua dan anak-anak memiliki bekal yang berbeda; ketika satu orang bahagia, bisa jadi yang lain menderita! Tidak ada kesetaraan dalam rasa lapar atau suka cita! Tentu saja, semua adalah sama-sama berhak atas kasih dan empati, dan juga Rahmat Tuhan. Semuanya berhak atas obat-obatan di rumah sakit, namun obat yang diberikan pada satu orang tidak harus sama diberikan pada orang lain! Tidak dapat ada kesetaraan dalam pembagian obat-obatan! Setiap orang layak mendapatkan obat yang akan menyembuhkan penyakitnya. Aku mengetahui bahwa perjuangan atas nama kesetaraan ini hanyalah satu cara yang manusia coba untuk mendapatkan Ananda! Hampir di seluruh bagian dunia, manusia pada hari ini sedang menempuh banyak jalan pintas dan jalan yang salah untuk mendapatkan Ananda. Namun Aku akan mengatakan kepadamu, tanpa merubah tindakanmu, kebiasaanmu setiap hari, tindakan kecil dalam kehidupan sehari-hari, Ananda akan sulit didapatkan. Aku melihat bahwa pravartna (perilaku), sebagai hal yang paling mendasar!


- Wejangan Bhagavan, 23 November 1964.

Ketika engkau menyadari Tuhan bersemayam di dalam semua makhluk dan menghormati setiap orang sebagai perwujudan dari keilahian, engkau akan mencapai kesetaraan yang sejati.


Monday, September 2, 2024

Thought for the Day - 2nd September 2024 (Monday)

The Nirakara (Formless) comes in Narakara (human form) when the virtue of the good and vice of the wicked reach a certain stage. Prahlada's devotion and his father's disregard, both had to ripen before Narasimha Avatar could take place. To know the truth of the  Avatar, the Sadhaka must culture the mind, as a farmer does the field. He must clear the field of thorny undergrowth, wild creepers and tenuous roots. He must plough the land, water it and sow seeds well. He must guard the seedlings and tender plants from insect pests as well as from the depredations of goats and cattle; he must put up a fence all around. So too, egoism, pride and greed must be removed from the heart; Sathya, Japa, Dhyana (truth, repetition of the Lord's name and meditation), form ploughing and levelling; Love is the water that must soak into the field and make it soft and rich; the Name is the seed and Bhakti is the sprout; Kama and Krodha (desire and anger) are the cattle and the fence is discipline; Ananda (bliss) is the harvest!


- Wejangan Bhagavan, Nov 23, 1964.

He comes, to confer Ananda, to foster Ananda, to teach ways of acquiring and activating Ananda.


Nirakara (tidak berwujud) hadir menjadi Narakara (wujud manusia) ketika Kebajikan dari orang-orang baik dan kejahatan dari orang-orang jahat mencapai tingkat tertentu. Bhakti dari Prahlada dan kebodohan dari ayahnya, keduanya telah mencapai kematangan sebelum avatara Narasimha hadir. Untuk mengetahui kebenaran dari avatara, Sadhaka (peminat spiritual) harus mengolah pikiran seperti halnya petani yang mengolah sawah. Dia harus membersihkan ladang dari semak-semak yang berduri, tanaman liar dan tanaman dengan akar yang lemah. Dia harus membajak tanah, mengairinya dan menabur benih dengan baik. Dia harus menjaga bibit dan tanaman muda dari hama serangga serta dari perusakan kambing dan ternak; dia harus melindungi tanaman muda itu dengan memasang pagar sekelilingnya. Begitu juga, egoisme, kesombongan dan ketamakan harus dihilangkan dari dalam hati; Sathya, Japa, Dhyana (kebenaran, pengulangan nama suci Tuhan dan meditasi), adalah bentuk dari pembajakan dan perataan tanah; kasih adalah air yang harus disiramkan pada tanah untuk membuatnya menjadi lembut dan gembur; Nama adalah benih dan Bhakti adalah tunasnya; Kama dan Krodha (keinginan dan amarah) adalah ternak dan pagar pelindung adalah disiplin; Ananda (kebahagiaan) adalah hasil panennya!


- Wejangan Bhagavan, 23 November 1964.

Inkarnasi Tuhan hadir untuk menganugerahkan Ananda, untuk memupuk Ananda, untuk mengajarkan cara mendapatkan dan mengaktifkan Ananda.


Sunday, September 1, 2024

Thought for the Day - 1st September 2024 (Sunday)

The body is like a sugarcane stalk. Only when it goes through various difficulties, you can experience the sweet bliss of Self-realisation. That sweetness is Divinity itself. Where does that sweetness reside in man? It is in every limb and organ. All have faith in the power of love. But how is this love to be fostered and developed? This question may arise in the minds of many. When people ask, "How can we develop our love for the Lord?" the answer is: "There is only one way. When you put into practice the love in which you have faith, that love will grow." Because you do not practise what you profess, your faith gets weakened. A plant will grow only when it is watered regularly. When you have planted the seed of love, you can make it grow only by watering it with love every day. The tree of love will grow and yield the fruits of love. Men today do not perform those acts that will promote love. When you wish to develop love for the Lord, you must continually practise loving devotion to the Lord.


- Wejangan Bhagavan, 2 September 1991.

It is to teach mankind the truth about Divine Love that Love itself incarnates on earth in human form.


Tubuh jasmani adalah seperti batang tebu. Hanya ketika tubuh mengalami berbagai jenis kesulitan, engkau dapat mengalami manisnya kebahagiaan dari kesadaran Diri Sejati. Rasa manisnya itu adalah keilahian sendiri. Dimana letak rasa manis itu dalam diri manusia? Rasa manis itu ada dalam setiap bagian tubuh dan organ manusia. Semua memiliki keyakinan pada kekuatan kasih. Namun bagaimana kasih ini dipupuk dan dikembangkan? Pertanyaan ini muncul di dalam pikiran banyak orang. Ketika orang-orang bertanya, "bagaimana kita dapat mengembangkan kasih kita pada Tuhan?" jawabannya adalah: "Hanya ada satu jalan. Ketika engkau mempraktekkan kasih yang engkau yakini, maka kasih akan tumbuh berkembang." Karena engkau tidak mempraktekkan apa yang engkau katakan, keyakinanmu menjadi melemah. Sebuah tanaman hanya akan tumbuh ketika tanaman itu disirami secara teratur. Ketika engkau telah menanam benih kasih, engkau dapat membuat kasih itu tumbuh hanya dengan menyiraminya dengan kasih setiap hari. Pohon kasih akan tumbuh dan menghasilkan buah kasih. Manusia pada hari ini tidak melakukan kegiatan tersebut yang mana akan mengembangkan kasih. Ketika engkau berharap mengembangkan kasih untuk Tuhan, engkau harus secara terus menerus mempraktekkan bhakti penuh kasih pada Tuhan.


- Wejangan Bhagavan, 2 September 1991.

Adalah untuk mengajarkan umat manusia kebenaran tentang kasih Tuhan maka kasih itu sendiri mengambil inkarnasi dalam wujud manusia.