Man is a prisoner of his senses as long as the feelings of 'I' and 'mine' remain. Man strays into misery and pain, because he aspires for the temporary and the trivial. He ignores the voice of God that warns and guides from within, and pays the penalty for the transgression. Life is to be dedicated not to mere food and drink and catering to the cravings of the senses. It has to be devoted to the attainment of the bliss that God alone can confer.
Manusia bagaikan dipenjara oleh panca inderanya sendiri. Hal ini terjadi selama perasaaan 'I' (aku) dan 'mine (milikku) masih dominan di dalam dirinya. Sebagai akibat dirinya yang begitu terpesona dengan hal-hal yang bersifat sementara, maka manusia terseret di dalam penderitaan. Ia telah mengabaikan suara Tuhan yang senantiasa memperingati dan menuntunnya dari dalam (hati nurani), dan akibatnya, ia harus membayar penalti atas ulahnya sendiri. Kehidupan ini hendaknya didedikasikan bukan hanya demi makanan dan minuman maupun untuk pemuasan nafsu-nafsu indriawi belaka. Kehidupanmu hendaknya didedikasikan untuk pencapaian bliss yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan.
Manusia bagaikan dipenjara oleh panca inderanya sendiri. Hal ini terjadi selama perasaaan 'I' (aku) dan 'mine (milikku) masih dominan di dalam dirinya. Sebagai akibat dirinya yang begitu terpesona dengan hal-hal yang bersifat sementara, maka manusia terseret di dalam penderitaan. Ia telah mengabaikan suara Tuhan yang senantiasa memperingati dan menuntunnya dari dalam (hati nurani), dan akibatnya, ia harus membayar penalti atas ulahnya sendiri. Kehidupan ini hendaknya didedikasikan bukan hanya demi makanan dan minuman maupun untuk pemuasan nafsu-nafsu indriawi belaka. Kehidupanmu hendaknya didedikasikan untuk pencapaian bliss yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan.
-BABA
No comments:
Post a Comment