The mind must become the servant of the intellect, not the slave of the senses. It must discriminate and detach itself from the body. Like the ripe tamarind fruit, which becomes loose inside the shell, it must be unattached to this shell or casement which is the body. Strike a green tamarind fruit with a stone and you cause harm to the pulp inside. But do this to a ripe fruit and what happens? It is the dry rind that falls off, nothing affects the pulp or the seed. The ripe aspirant does not feel the blow of fate or fortune. It is the unripe man, who is wounded by every blow. So too, your ignorance must fall off through your own efforts. It will not come to you as a gift or miracle. Truth, Bliss and Peace that is won by your own struggle with untruth and injustice will be the lasting treasure for you.
Mind (Pikiran) harus menjadi pelayan bagi intelek (buddhi), bukan menjadi budak dari indera. Ia (mind) harus sanggup melakukan diskriminasi (kemampuan membedakan) dan tidak melekat pada badan jasmani. Seperti buah tamarind (buah asam) yang sudah matang, menjadi tidak melekat dengan kulit luarnya, demikian juga mind hendaknya tidak terikat pada badan fisik ini. Cobalah lempar buah tamarind yang belum matang dengan batu maka engkau akan menyebabkan kerusakan pada bagian dalam pulp (daging buah). Tetapi lakukan hal ini untuk buah tamarind yang sudah matang dan apakah yang terjadi? Hanya kulit kering yang jatuh, tidak mempengaruhi daging buah atau bijinya. Artinya, bagi para aspiran (peminat spiritual) yang sudah matang tidak begitu terpengaruh dengan nasib atau keberuntungan. Sementara bagi yang belum matang, akan sangat terluka bila mendapat pukulan. Demikian juga, kebodohanmu harus berkurang dengan usahamu sendiri. Ini tidak akan datang padamu sebagai suatu hadiah atau mukjizat. Kebenaran, Bliss, dan Kedamaian yang didapat melalui suatu perjuangan sendiri dengan ketidakbenaran dan ketidakadilan akan menjadi harta abadi untukmu.
-BABA
Monday, March 5, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment