Date: Thursday, September 04, 2014
People think that giving up hearth and home is renunciation. This is not what Vairagya (detachment) implies. Whatever we do should be done in a spirit of goodwill and service. It should be for the wellbeing of the nation. And the welfare of all must be looked upon as the motto of the nation. From very early times, Bharatiyas have lived up to the ideal: "May all the worlds be happy!" To uphold this ideal, rulers, scholars, sages and everyone made many sacrifices. Today the spirit of sacrifice is not to be seen anywhere. It is selfishness that is the root cause of all the cruelty and violence today. All that we have in this century are strife, disputes, riots and violence. Selfishness has reared its head. Embodiments of Love! Get rid of selfishness. Regard yourself as an integral member of society. Develop the faith that your welfare is bound with the well being of all.
Orang-orang berpikir bahwa dengan meninggalkan rumah berarti melakukan pertapaan/penebusan dosa. Ini bukanlah arti yang tersirat dari Vairagya (tanpa kemelekatan). Apapun yang kita lakukan hendaknya dilakukan dengan semangat kebaikan dan pelayanan, untuk kesejahteraan bangsa. Dan kesejahteraan bagi semuanya harus dipandang sebagai motto bangsa. Dari zaman dahulu, putra Bhaarat telah memiliki motto ideal: "Semoga semua dunia berbahagia!" Untuk menegakkan ideal ini, para penguasa, para terpelajar, orang bijak, dan semua orang hendaknya membuat pengorbanan. Saat ini semangat pengorbanan tidak terlihat dimanapun. Sikap mementingkan diri sendiri adalah akar penyebab dari semua kekejaman dan kekerasan yang terjadi saat ini. Semua yang kita miliki di abad ini adalah perselisihan, sengketa, kerusuhan dan kekerasan. Sikap mementingkan diri sendiri telah mengemuka. Perwujudan kasih! Singkirkanlah keegoisan/sikap mementingkan diri sendiri. Engkau hendaknya menghargai dirimu sebagai bagian integral dari masyarakat. Kembangkanlah keyakinan karena kesejahteraan-mu terikat dengan kesejahteraan semuanya. (Divine Discourse, Apr 27, 1990)
-BABA
Date: Friday, September 05, 2014
Desire (kama) must be got rid of by Tyaga (sacrifice) and Yoga (communion) to secure God (Rama). Desire discolours the intelligence, perverts judgment, and sharpens the appetites of the senses. It lends a false lure to the objective world. When desire is directed to God, the self-luminous intelligence within shines in its pristine splendour, and reveals God within and without, and you attain Self-Realisation (Atma Sakshatkara). I bless all of you to succeed in your Sadhana (spiritual efforts)! If you have not been practicing sincerely until now, take up the simple practice of remembrance of the Divine (Namasmarana), along with reverence towards parents, teachers and elders, and service to the poor and needy. See everyone as your lshtadhevata (Beloved Lord). That will fill your heart with Love and give you stability of mind and peace.
Keinginan (kama) harus disingkirkan dengan Tyaga (pengorbanan) dan Yoga (penyatuan dengan Tuhan) untuk mendapatkan Tuhan (Rama). Keinginan (yang tanpa batas) dapat merusak akal budi, merusak pengadilan, dan mempertajam keinginan duniawi. Keinginan ini membuat daya tarik pada dunia objektif. Ketika keinginan diarahkan kepada Tuhan, akal budi akan memancarkan cahayanya dalam kemuliaan murni, dan mengungkapkan Tuhan yang berada di dalam dan di luar, dan engkau mencapai Self-Realisasi/Kesadaran Atma (Atma Sakshatkara). Aku memberkati kalian semua untuk berhasil dalam Sadhana-mu (upaya spiritual)! Jika engkau belum mempraktikkan dengan sungguh-sungguh sampai sekarang, ambillah praktik sederhana dengan mengingat Nama Tuhan (Namasmarana), disertai dengan hormat terhadap orang tua, guru, dan melakukan pelayanan pada orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Lihatlah semua orang sebagai lshtadhevata-mu (Tuhan terkasih). Hal ini yang akan mengisi hatimu dengan cinta-kasih dan memberikan stabilitas pikiran dan kedamaian. (Divine Discourse, May 15, 1969)
-BABA
Date: Saturday, September 06, 2014
Emperor Bali demonstrated through his sacrificing nature that if one sacrifices everything, one will attain moksha (liberation). The real sacrifice involves two things: First, to realise the cause of our bondage in this life, and second, to sever this bondage. People mistakenly think that wealth, family, etc., are their bondages, and that by severing connections with them they will be able to sacrifice everything and become eligible to attain moksha. But these are not the real bondage. Real bondage is one’s ignorance in identifying oneself with the body. He who cuts off this bondage as Bali did, will attain moksha. For cutting off this bondage, purification of the heart is very necessary. In this Kaliyuga, namasmarana (constant remembrance of God) is the easiest way to purify one's mind; and surrendering to God with a pure mind is the surest way to attain moksha.
Raja Bali menunjukkan melalui pengorbanan, bahwa jika seseorang mengorbankan segalanya, maka akan mencapai moksha (pembebasan). Pengorbanan sejati, melibatkan dua hal: Pertama, untuk menyadari penyebab keterikatan kita dalam kehidupan ini, dan kedua, untuk memutuskan belenggu ini. Orang-orang keliru berpikir bahwa kekayaan, keluarga, dll, adalah belenggu yang mengikat mereka, dan bahwa dengan memutuskan hubungan dengan mereka, mereka akan dapat mengorbankan segalanya dan menjadi layak untuk mencapai moksha. Tetapi ini bukanlah keterikatan yang nyata. Keterikatan adalah ketidaktahuan seseorang dalam mengidentifikasi diri dengan badan jasmani. Dia yang memotong ikatan ini seperti yang dilakukan oleh Raja Bali, akan mencapai moksha. Untuk memotong ikatan ini, pemurnian hati sangat diperlukan. Dalam Kaliyuga ini, namasmarana (mengingat Tuhan secara terus menerus) adalah cara termudah untuk memurnikan pikiran seseorang; dan pasrah kepada Tuhan dengan pikiran yang murni adalah cara paling pasti untuk mencapai moksha. (Divine Discourse, 4 Sep 1979)
-BABA