The fisherman uses a rod and line; that line has a float from which hangs inside the water a sharp hook with a worm. The fish is drawn by the worm to the hook, the float shakes, the fisherman feels the pull of the fish on the line, and he draws it on the land, where it is helpless and unable to breathe. The body is the rod, the yearning, the eager longing, is the line; intelligence is the float; discrimination is the hook; knowledge is the worm; Atma, the fish, is caught thus by the clever angler. When you get spiritual wisdom, Kaivalyam (divine status) draws towards you. Travel beyond the realms of lust, anger and hate, into Kaivalyam which is the state in which the Divine is experienced as all-comprehensive, as Will, as Activity, as Bliss, as Intelligence, as Existence. You must suppress your tamas (ignorance), sublimate your rajas (passions) and cultivate satwa (purity) in order to be established in Kaivalyam.
Nelayan menggunakan pancing dan tali; tali itu memiliki umpan yang di dalam air digantung kail tajam dengan cacing. Ikan ditarik oleh cacing yang ada pada kail, umpan bergetar, nelayan merasakan getaran itu dan menarik ikan tersangkut di kail dan menariknya ke daratan, ikan itu menjadi tidak berdaya dan tidak mampu bernafas. Tubuh kita adalah pancing, kerinduan, keinginan memiliki adalah talinya; kecerdasan adalah umpan; kemampuan membedakan adalah kailnya; pengetahuan adalah cacingnya; Atma, yaitu ikan yang ditangkap oleh pemancing yang pintar. Ketika engkau mendapatkan kebijaksanaan spiritual, Kaivalyam (status keilahian) menarik ke arahmu. Berjalan melampaui gengaman nafsu, amarah, dan kebencian, menuju pada Kaivalyam yang mana merupakan keadaan dimana keilahian dialami sebagai meliputi segalanya, sebagai kehendak, sebagai tindakan, sebagai kebahagiaan, sebagai keberadaan. Engkau harus menekan sifat tamasmu (kebodohan), merubah sifat rajasmu (nafsu), dan meningkatkan sifat satwa (kesucian) untuk bisa tetap ada di Kaivalyam. (Divine Discourse, Feb 26, 1968)
-BABA
No comments:
Post a Comment