Never once in the Mahabharatha did Dhuryodhana observe the principles of righteousness towards the Pandava brothers; at last, he had to face the inevitable doom, when Bheema challenged him for the duel which was to lay him low. At that moment, Dhuryodhana, the author of the deceitful gambling game, the house of lac which was set on fire, the insult heaped on the honoured Queen, the slaughterer of Abhimanyu by a pack of ferocious foes who fell upon him - the dark designer of all these iniquities, took refuge in Dharma and started quoting texts. Dharma is not a handy excuse to escape the evil consequences of one’s actions. Righteousness is not to be treated as a means of escape; it is a means of living.
Dalam Mahabharatha Dhuryodhana tidak pernah sekalipun mematuhi prinsip-prinsip kebenaran terhadap Pandawa bersaudara, pada akhirnya, ia harus menghadapi takdir yang tak terelakkan, ketika Bima menantangnya untuk duel yang membuatnya dikalahkan secara kejam. Pada saat itu, Dhuryodhana: licik dalam permainan judi, rumah kardus yang dibakar, penghinaan pada Ratu yang dihormati, pembantaian Abimanyu yang tidak ber-perikemanusiaan - perencana dari semua kesalahan, mencari perlindungan pada Dharma dan mulai mengutip teks-teks suci. Dharma bukanlah sesuatu yang dapat memaafkan untuk menghindari akibat buruk dari suatu tindakan. Dharma tidak boleh diperlakukan sebagai sarana untuk melarikan diri; Dharma adalah cara/alat dalam menjalani kehidupan.
-BABA
Sunday, February 17, 2013
Thought for the Day - 17th February 2013 (Sunday)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment