Prahlada was immersed in the thought of his beloved Lord, when he was thrown downhill, trampled by the elephant and tortured at the direction of his father. He paid no heed, for he heeded only his Lord; he needed only his Lord. The cowherd maidens lost all attachment to the world and to the senses when they listened to Krishna’s flute; they yearned for the sublime spiritual merger with the infinite Lord. By the purification of impulses, one gets into the higher stage where the mystery of the Divine is grasped — this is the realm-of-spirituality (salokya) stage. Then by contemplation of the Divine, the stages of proximity to Divinity (Sameepyam) and likeness of the form of Divinity (Sarupyam), are won. Many great mystic poets like Jayadeva attained this height and sang in that strain. But if you sing that song in the same way, Krishna will not appear. He wants sincerity, not imitation.
Prahlada tenggelam dalam memikirkan Tuhan yang disayanginya, ketika ia dilempar dari atas bukit, diinjak-injak oleh gajah dan disiksa atas perintah ayahnya. Prahlada tidak memperdulikannya karena ia hanya peduli pada Tuhannya, ia hanya memerlukan Tuhannya saja. Para gadis pengembala sapi kehilangan semua keterikatannya pada duniawi serta pada indria ketika mereka mendengarkan alunan seruling Krishna; mereka merindukan untuk menyatu dalam spiritual yang luhur dengan Tuhan yang tidak terbatas. Dengan pemurnian dari dorongan hati, seseorang bisa masuk pada tahap yang lebih tinggi ketika misteri Tuhan dipahami — ini adalah tahap alam spiritual (salokya). Kemudian dengan kontemplasi pada Tuhan, dilanjutkan dengan tahap kedekatan pada Tuhan (Sameepyam) dan persamaan wujud Tuhan (Sarupyam), dapat diraih. Banyak pujangga yang hebat seperti Jayadeva mencapai ketinggian ini dan bernyanyi dalam alunan itu. Namun jika engkau melantunkan lagu itu dengan cara yang sama, Krishna tidak akan muncul. Karena Krishna menginginkan ketulusan dan bukan imitasi. (Divine Discourse, March 1963)
-BABA
No comments:
Post a Comment