Friday, February 28, 2025

Thought for the Day - 28th February 2025 (Friday)

Thousands of you have gathered here from all corners of this world. You have put up with many discomforts, hardships, and inconveniences, in your struggle to earn grace. It has been for each of you a lesson in love, tolerance, fortitude and patience. Your innate quality of love has enabled you to share in joy and peace. Love makes you all theists. You must be labelled an atheist, if you have no love in you, however demonstrative your religiosity may be! If you believe that you can win the grace of God by means of vows, fasts, feasts, recitation of hymns of praise, offering of flowers, etc., you are woefully mistaken. Love alone is the essential condition. The Gita says you must be adhweshta sarva bhutanam - one with non-hatred towards all beings; but that is not enough. A wall has no hatred towards any being. Is that the ideal? No. You must positively love all beings, actively love, and actively engage yourself in acts of love. That alone wins the grace you crave for! 


- Divine Discourse, Feb 23, 1971.

When you become all-embracing infinite Love, the Divine will manifest in and through you.


Ribuan darimu telah berkumpul disini dari seluruh penjuru dunia. Engkau telah menanggung banyak ketidaknyamanan, kesulitan dan kesusahan, dalam usahamu untuk mendapatkan anugerah. Hal ini telah menjadi pelajaran bagi setiap orang darimu tentang kasih, toleransi, ketabahan dan kesabaran. Kualitas kasih bawaanmu telah memungkinkan bagimu untuk berbagi dalam suka cita dan kedamaian. Kasih membuatmu semua menjadi beriman. Engkau pastinya disebut sebagai ateis, jika engkau tidak memiliki kasih di dalam dirimu dan betapapun demonstratifnya religiusitasmu! Jika engkau percaya bahwa engkau bisa mendapatkan anugerah Tuhan dengan cara nazar, puasa, perayaan, melantunkan kidung pujian, mempersembahkan bunga, dst, maka engkau sangat keliru. Hanya kasih yang merupakan syarat yang mendasar. Bhagavad Gita menyatakan bahwa engkau harus menjadi adhweshta sarva bhutanam – seseorang yang tidak membenci semua makhluk; namun itu saja tidaklah cukup. Tembok tidak memiliki kebencian pada siapapun juga. Apakah itu yang ideal? Tidak. Engkau harus mengasihi semua makhluk secara positif, mengasihi secara aktif, dan secara aktif melibatkan dirimu dalam tindakan kasih. Hanya itu yang dapat memenangkan anugerah yang engkau dambakan! 


- Divine Discourse, 23 Februari 1971.

Ketika engkau menjadi kasih yang tidak terbatas yang mencakup segalanya, maka keilahian akan mewujud dalam dan melalui dirimu.

Thought for the Day - 27th February 2025 (Thursday)

The mind of man has to undergo transformation. It must promote not bondage but liberation. It must turn Godward and inward, not worldward and outward. Only then can attempts at economic, political and social transformation succeed in uplifting man's destiny. The mind plays many tricks to please you and give you a great opinion about yourselves. It revels in hypocrisy, riding on two horses at the same time. You may prostrate before Swami and declare that you have surrendered. But, once you are away, you may behave otherwise and allow faith to fade away. Even the thought that you have not benefited from the puja or japam you do, should not pollute your faith. To practise Sadhana is your duty, your innermost urge, your genuine activity. Leave the rest to the Will of God. This must be your resolve on holy Shivaratri! 


- Divine Discourse, Feb 29, 1984.

Without the training that the practice of dharma (righteousness) gives to your senses, feelings, and emotions, you cannot have steady faith and steady detachment.



Pikiran manusia harus mengalami perubahan. Pikiran harus didorong bukan untuk perbudakan tapi untuk pembebasan. Pikiran harus mengarah pada Tuhan dan ke dalam diri, dan bukannya pada duniawi dan ke arah luar. Hanya dengan demikian upaya dalam perubahan secara ekonomi, politik dan sosial dapat berhasil mengangkat nasib manusia. Pikiran memainkan banyak tipu muslihat untuk menyenangkanmu dan memberikanmu sebuah pandangan hebat tentang dirimu sendiri. Pikiran bersenang-senang dalam kemunafikan, menunggangi dua kuda pada waktu bersamaan. Engkau mungkin bersujud di hadapan Swami dan menyatakan bahwa engkau telah berserah diri. Namun, sekali engkau menjauh pergi, engkau mungkin berperilaku sebaliknya dan membuat keyakinan menjadi pudar. Bahkan pikiran yang berkata bahwa engkau tidak mendapatkan manfaat dari puja atau japam yang engkau lakukan, seharusnya tidak mencemari keyakinanmu. Untuk melakukan latihan spiritual (sadhana) adalah kewajibanmu, dorongan terdalammu, aktifitasmu yang tulus. Serahkan sisanya pada kehendak Tuhan. Ini harus menjadi tekadmu yang teguh pada perayaan Shivaratri yang suci! 


- Divine Discourse, 29 Februari 1984.

Tanpa pelatihan praktek dharma (kebajikan) diberikan pada Indera, perasaan dan emosimu maka engkau tidak bisa memiliki keyakinan dan tanpa keterikatan yang teguh.

Thought for the Day - 26th February 2025 (Wednesday)

Today is Shivaratri, the ratri (night) of Shivam (Goodness, Godliness, Good Fortune). It is an auspicious night because the mind can be made to lose its hold on man by devoting the night to prayer. The Moon is the presiding deity of the mind, according to the scriptures. The mind is kindred to the Moon as the eyes are to the Sun. Shivaratri is prescribed for the fourteenth night of the dark half of the month, the night previous to the new moon when the Moon suffers from total blackout. The Moon and the mind which it rules over are drastically reduced every month on the fourteenth night. When that night is devoted to vigilant adoration of God, the remnant of the wayward mind is overcome and victory is ensured. This month's Shivaratri is holier than the rest and so, it is called Mahashivaratri. With firm faith and a cleansed heart, the night should be spent in glorifying God. No moment should be wasted in other thoughts.


- Divine Discourse, 26 Februari 1987.

Shivaratri speaks of an auspiciousness which is inherent in darkness. It refers to the wisdom which exists in the midst of ignorance.


Hari ini adalah Shivaratri, ratri (malam) dari Shivam (kebajikan, keilahian, keberuntungan). Ini adalah malam yang penuh berkah karena pikiran dapat dibuat melepaskan cengkeramannya pada manusia dengan mendedikasikan malam dalam berdoa. Menurut naskah suci, Bulan adalah Dewa yang menguasai pikiran. Pikiran memiliki hubungan yang sangat erat dengan bulan sama halnya mata dengan matahari. Shivaratri dirayakan pada malam ke empat belas dalam paruh gelap bulan, yaitu malam sebelum bulan baru ketika bulan mengalami kegelapan total. Bulan dan pikiran yang dikuasainya secara drastis melemah setiap bulan pada malam keempat belas. Ketika malam itu didedikasikan sepenuhnya untuk memuja Tuhan dengan penuh kesadaran, maka sisa-sisa pikiran yang gelisah dapat diatasi dan keberhasilan bisa dicapai. Shivaratri bulan ini adalah lebih suci dibandingkan dengan yang lainnya, maka disebut dengan Mahashivaratri. Dengan keyakinan teguh dan hati yang disucikan, malam harus dihabiskan dalam memuliakan Tuhan. Tidak ada momen atau waktu yang boleh terbuang sia-sia untuk hal lainnya. 


- Divine Discourse, 26 Februari 1987.

Shivaratri menyampaikan ada keberkahan tersembunyi dalam kegelapan. Hal ini mengacu pada kebijaksanaan yang tetap ada di tengah-tengah ketidaktahuan.

Tuesday, February 25, 2025

Thought for the Day - 25th February 2025 (Tuesday)

The river is a part, a portion of the sea; it earns fulfilment when it returns to the sea and merges in its source. Fishes are of water. They live in water and die when deprived of water. The baby is a part of the mother. It cannot survive apart from the mother. The branch is a part of the tree. Cut it off, the tree gets dry and dies. Man is an amsha (a part) of God. He too cannot survive without God. He lives because of the urge to know God, his source. In the Bhagavad Gita the Lord declares (15-7): "All living beings are My amsha (part). I am in them as the Eternal Atma" He indicates. Man lives for a high purpose, not for submitting as the beast does to every demand of instinct and impulse. He has to install himself as the master, not crawl as a slave. He has the right to proclaim Shivoham (I am Shiva), "I am Achyuta" (I am the undiminishable fullness), "I am Ananda" (I am bliss). As soon as one becomes aware of his reality, the chains that bind him, iron as well as gold, fall off and he attains moksha (liberation).


- Divine Discourse, Feb 26, 1987.

Goodness, compassion, tolerance - through these three paths, one can see the Divinity in oneself and others.


Sungai adalah bagian dari laut; sungai mencapai pemenuhannya ketika sungai kembali ke laut dan menyatu dengan sumbernya. Ikan berasal dari air. Ikan-ikan hidup dalam air dan akan mati ketika terpisah dari air. Bayi adalah bagian dari ibunya. Bayi tidak bisa bertahan hidup tanpa ibunya. Cabang adalah bagian dari pohon. Jika cabang itu dipotong maka pohon itu akan mengering dan mati. Manusia adalah bagian (amsha) dari Tuhan. Manusia juga tidak bisa bertahan hidup tanpa adanya Tuhan. Manusia hidup karena dorongan untuk mengetahui Tuhan yang merupakan sumber dari manusia. Dalam Bhagavad Gita (15-7) Krishna menyatakan: "semua makhluk hidup adalah bagian (amsha) dari diri-Ku. Aku ada di dalam semuanya sebagai Atma yang kekal". Manusia hidup untuk tujuan yang luhur, dan bukan menyerah pada setiap dorongan atau tuntutan insting seperti halnya binatang buas. Manusia harus menempatkan dirinya sebagai tuan majikan dan bukannya merangkak sebagai budak. Manusia memiliki hak untuk menyatakan Shivoham (aku adalah Shiva), "aku adalah Achyuta" (aku adakah kesempurnaan yang tidak tergoyahkan), "aku adalah Ananda" (aku adalah kebahagiaan). Begitu seseorang menyadari kenyataannya yang sejati, maka rantai yang mengikatnya, apakah rantai itu terbuat dari emas atau besi akan terlepas dan manusia mencapai pembebasan (moksha).


- Divine Discourse, 26 Februari 1987.

Kebajikan, welas asih, toleransi – melalui tiga jalan ini, seseorang dapat melihat keilahian dalam dirinya dan diri orang lain.

Thought for the Day - 24th February 2025 (Monday)

The bee hovers around the lotus, it sits upon it, drinks the nectar; while drinking the sweet honey, it is silent, steadfast, concentrated, forgetful of all else! Man too behaves like that when he is in the presence of God. The hum of the bee ceases and is silent when drinking of nectar begins. Man too, sings, extols, argues, asserts, only until he discovers the rasa (sweet essence). That rasa is prema-rasa (the sweetness of love). Where there is love, there can be no fear, no anxiety, no doubt, no ashanti (absence of peace). When you are afflicted with ashanti you can be sure that your love is restricted, your love has some ego mixed in it. The experiencer of the prema (love) is the inner I, which is the reflection of the real ‘I’, the Atma (soul). When the senses are out of action, that ‘I’ will shine in its full glory. The senses are one's deadly foes; for, they drag your attention away from the source of joy inside you, to objects outside you. When you are convinced that they are at the bottom of this conspiracy to mislead you, you will certainly stop catering to them!


- Divine Discourse, Feb 26, 1968.

To be immersed in God's love and thoughts of God is the greatest enjoyment as well as true yoga.


Lebah terbang mengitari bunga teratai, hinggap di atasnya, minum nektar; saat minum madu nektar yang manis, lebah itu diam, teguh, fokus dan melupakan semua hal lainnya! Manusia juga berperilaku seperti itu ketika manusia ada dalam kehadiran Tuhan. Suara dengungan lebah berhenti dan menjadi tenang ketika kegiatan minum nektar dimulai. Manusia juga bernyanyi, memuji, berdebat, menegaskan, hanya sampai manusia menemukan rasa (intisari yang manis). Rasa itu adalah prema-rasa (rasa manis dari kasih). Dimana ada kasih, disana tidak akan ada ketakutan, tidak ada kecemasan, tidak ada keraguan, tidak ada ashanti (hilangnya kedamaian). Ketika engkau merasakan ashanti maka engkau dapat dipastikan bahwa kasihmu adalah terbatas, kasihmu memiliki ego yang tercampur di dalamnya. Dia yang mengalami prema (kasih) adalah sang Aku yang bersemayam di dalam diri, yang merupakan pantulan dari sang “Aku” yang sejati yaitu Atma (jiwa). Ketika indera-indera ini tidak berfungsi maka sang “Aku” ini akan bersinar dalam kemuliaan penuhnya. Indera adalah musuh bebuyutan dimana Indera menarik perhatianmu menjauh dari sumber suka cita yang ada di dalam dirimu, menuju pada objek yang ada di luar dirimu. Ketika engkau yakin bahwa indera-indera ini adalah dalang dari konspirasi yang menyesatkanmu, maka engkau pastinya berhenti melayani Indera-indera tersebut!


- Divine Discourse, 26 Februari 1968.

Dengan tenggelam dalam kasih Tuhan dan memikirkan Tuhan adalah kenikmatan yang terbesar yang sekaligus merupakan Yoga sejati.

Sunday, February 23, 2025

Thought for the Day - 23rd February 2025 (Sunday)

To make coal white, it is foolish to wash it in milk; the milk too gets black. You have to heat it red-hot, and continue the process until it is transformed into white ash! The white ash remains ash forever. Similarly, the tamasik mind (dull-witted and ignorant, represented by black) has to be transmuted into the rajasik stage (red or active and passionate) and then, to the satwik stage (white or calm and pious), by the process of spiritual discipline or heating. The blackness and the redness are produced by the qualities of greed and lust. Regular treatment with the drug of self-control (nigraha) will cure you of these. Holy days and occasions have been prescribed for inaugurating the treatment. The scriptures extol the drug and lay down the method of administration. The lives of saints encourage you to seek it and save yourself by it. Through these, man can ascend from the animal to the human level and from the human to the Divine! 


- Divine Discourse, Mar 09, 1967.

Transformation does not come easily; it has to happen slowly but steadily.


Untuk membuat batubara menjadi putih, adalah kebodohan mencucinya di dalam susu; hal ini akan membuat susu menjadi hitam. Engkau harus memanaskan batubara hingga merah membara, dan melanjutkan prosesnya sampai batubara berubah menjadi abu putih! Abu putih akan tetap menjadi abu selamanya. Sama halnya, pikiran yang bersifat tamasik (bodoh dan tidak tahu apa-apa dilambangkan dengan warna hitam) harus dirubah menjadi pikiran bersifat rajasik (merah atau aktif dan bersemangat) dan kemudian dilanjutkan merubahnya menjadi sifat satwik (putih atau tenang dan mulia), melalui proses disiplin spiritual atau pemanasan. Warna gelap dan kemerahan dihasilkan oleh sifat-sifat tamak dan birahi. Pengobatan teratur dengan obat berupa pengendalian diri (nigraha) akan menyembuhkanmu dari kedua sifat tadi. Perayaan hari suci dan acara tertentu telah ditetapkan untuk memulai pengobatan. Naskah suci memuji obat tersebut dan menetapkan metode pemberiannya. Sedangkan kehidupan orang-orang suci mendorongmu untuk mencarinya dan menyelamatkan dirimu melaluinya. Melalui semuanya ini, manusia dapat meningkat dari Tingkat binatang menuju tingkat manusia dan dari Tingkat manusia menuju illahi! 


- Divine Discourse, 09 Maret 1967.

Perubahan tidak datang dengan mudah; hal ini harus terjadi secara perlahan namun pasti.

Thought for the Day - 21st February 2025 (Friday)

Some people say that since God has no form, He does not exist. But, God has form. In this world, there is nothing that exists without form. According to science, the entire world is made up of atoms. They too have form. The Vedas say, Anoraneeyan Mahatomaheeyan (God is smaller than the smallest and bigger than the biggest). The atom is God. Right from the water you drink and the food you eat, everything is pervaded by atoms. It took thousands of years for the scientists to understand this truth. But the same truth was proclaimed by the tiny tot Prahlada ages ago. He said, “Do not have the feeling that God is here and He is not there. In fact, He is everywhere. You can find Him wherever you search for Him.” Bharat has been the birthplace of many noble souls like Prahlada who had experienced the omnipresent Divinity. Since ancient times, the Bharatiyas have worshipped earth, trees, anthills, and mountains because they believed that God is everywhere and in everything. 


- Divine Discourse, Mar 12, 1999.

Have Faith! The Lord always rushes toward the devotee faster than the devotee rushes toward Him!


Beberapa orang berkata bahwa karena Tuhan tidak memiliki wujud, maka Tuhan itu tidak ada. Namun, Tuhan memiliki wujud. Dalam dunia ini, tidak ada sesuatupun yang ada tanpa wujud. Sesuai dengan pengetahuan, seluruh dunia disusun oleh atom. Atom-atom ini juga memiliki wujud. Dalam Weda dikatakan, _Anoraneeyan Mahatomaheeyan_ (Tuhan adalah lebih kecil daripada yang paling kecil dan lebih besar daripada yang paling besar). Atom itu adalah Tuhan. Mulai dari air yang engkau minum dan makanan yang engkau makan, segala sesuatu dipenuhi oleh atom. Memerlukan waktu ribuan tahun bagi para ilmuwan untuk memahami kebenaran ini. Namun kebenaran yang sama telah dinyatakan oleh seorang anak kecil yang bernama Prahlada sebelumnya. Prahlada berkata, “Jangan memiliki perasaan bahwa Tuhan ada disini dan tidak ada disana. Sejatinya, Tuhan ada dimana-mana. Engkau dapat menemukan dimanapun engkau mencari-Nya.” Bharat telah menjadi tempat lahir dari banyak jiwa-jiwa agung seperti Prahlada yang telah mengalami kehadiran Tuhan yang ada dimana-mana. Sejak jaman dahulu, Bharatiya telah memuliakan bumi, pohon, rumah semut dan gunung karena mereka mempercayai bahwa Tuhan ada dimana-mana dan dalam segala sesuatu. 


- Divine Discourse, 12 Maret 1999.

Miliki keyakinan! Tuhan selalu bergegas lebih cepat menuju bhakta daripada bhakta bergegas menuju Tuhan!

Thought for the Day - 20th February 2025 (Thursday)

It is the Sun God who carries to the deities concerned the offerings made in the yajna. Agni, the God of fire, is an image of the Sun. The flames arising from the fire are the tongues of the Fire-God. The rays coming from the fire are so many heads of the deity. The Agni-Principle is immanent in every person. The inner significance of this is that every person is inherently divine. When the mantras are chanted and offerings are made in the fire to the Lord, the grace of the Lord is showered on the people in the form of peace and plenty. There is a saying: "As is the fire, so is the smoke." As is the smoke, so are the clouds. As are the clouds, so is the rain. As is the rain, so are the crops. As are the crops, so is the food. As is the food, so is the intellect. As the clouds these days are not formed by the smoke coming from yajnas, the food consumed by the people is not conducive to the growth of intelligence. When the smoke going up from the yajna kunda enters the clouds, you have sacred rain, which helps to purify the crops and sanctify the food that is consumed. As a result, the people are sanctified.


- Divine Discourse, Oct 03, 1989.

Whenever the speech is saturated with truth and compassion, or inspired by service to others, it becomes Rig Veda. 


Adalah Dewa Surya yang membawa persembahan yang dilakukan dalam yajna kepada Dewata terkait. Dewa Agni yaitu api adalah gambaran dari matahari. Nyala api yang muncul dari api adalah lidah-lidah dari Dewa Agni. Cahaya yang muncul dari api adalah banyaknya kepala dari Dewata. Prinsip dari Agni adalah bersifat melekat dalam diri setiap orang. Makna mendalam dari hal ini bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki kualitas keilahian. Ketika mantra dilantunkan dan persembahan dilakukan dalam api yang ditujukan kepada Tuhan, maka rahmat Tuhan dicurahkan kepada manusia dalam bentuk kedamaian dan kemakmuran. Ada sebuah ungkapan: "Sebagaimana apinya maka begitulah asapnya." Sebagaimana asapnya maka begitulah awannya. Sebagaimana awannya maka begitulah hujannya. Sebagaimana hujannya maka begitulah panennya. Sebagaimana panennya maka begitulah makanannya. Sebagaimana makanannya maka begitulah kecerdasannya. Karena awan-awan yang ada pada saat sekarang tidak dibentuk dari asap yang berasal dari yajna, maka makanan yang dikonsumsi oleh manusia tidak mendukung pertumbuhan dari kecerdasan. Ketika asap membumbung ke atas dari tempat yajna membentuk awan, maka engkau akan mendapatkan hujan yang murni, membantu menyucikan tanaman dan memurnikan makanan yang dikonsumsi. Sebagai hasilnya, manusia dimurnikan. 


- Divine Discourse, 3 Oktober 1989.

Kapanpun perkataan disucikan dengan kebenaran dan welas asih, atau terinspirasi oleh pelayanan pada orang lain, maka perkataan itu menjadi Rig Weda.

Thought for the Day - 19th February 2025 (Wednesday)

You must look upon all as limbs of your own body, and just as you try to heal any bruise or wound on any limb as quickly and as efficiently as possible, you must heal the woes and pains of others to the best of your ability and as far as your means allow. The Lord is now worshipped by offering Him all things that you crave for, by treating Him with all the honour you like to be done to yourself. The idol is bathed and washed, bedecked with jewels, fed and fanned, surrounded with fragrance, etc., since these are things you desire. But, the Lord is pleased only when you do things the Lord desires! How else can you win His Grace? How else than by nursing and nourishing, succouring and saving His children? How else than by helping them to realise Him, as their Lord and Guardian, and cultivating faith in Him, through your own straight and sincere living?


- Divine Discourse, Feb 19, 1970.

Have the feeling that whomever you serve, you are serving God.


Engkau harus memandang semuanya sebagai bagian anggota tubuhmu sendiri, dan seperti halnya dirimu mencoba menyembuhkan memar atau luka pada bagian tubuh yang mana saja secepat dan seefisien mungkin, engkau harus menyembuhkan penderitaan dan rasa sakit yang di derita orang lain sebisa mungkin, sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang engkau miliki. Saat sekarang Tuhan dipuja dengan mempersembahkan pada-Nya semua hal yang sangat engkau inginkan, dengan menghormati Tuhan sebagaimana engkau ingin dihormati. Arca dimandikan dan dibersihkan, dihiasi dengan perhiasan, diberikan makan dan dikipasi, dikelilingi dengan wewangian, dsb, karena semua itulah yang engkau inginkan. Namun, Tuhan hanya dapat disenangkan ketika engkau melakukan hal yang Tuhan inginkan! Bagaimana lagi caranya mendapatkan Rahmat-Nya? Selain dengan merawat dan melindungi, menolong dan menyelamatkan anak-anak-Nya? Bagaimana lagi jika bukan dengan membantu mereka menyadari-Nya sebagai Tuhan dan pelindung mereka, serta memupuk keyakinan pada Tuhan, melalui kehidupanmu yang lurus dan tulus? 


- Divine Discourse, 19 Februari 1970.

Milikilah perasaan bahwa siapapun yang engkau layani, engkau sedang melayani Tuhan.

Thought for the Day - 18th February 2025 (Tuesday)

There is a selfish motive even in making offerings to the deity. Something small is offered expecting a big return from the deity. A man prays to the Lord: "Oh Lord! If I win ten lakhs of rupees in a lottery I shall offer ten thousand rupees to you." What kind of bargain is this? It is a pity that such silly ideas are rampant today. The reason is that people have forgotten the secret of the Vedas. They offer a molehill and crave for a mountain. This is a complete caricature of devotion. Such pseudo-devotees are on the rise today. They are seeking to enter into petty deals with the Divine, all the time. Every prayer, every sadhana is replete with selfishness and self-interest. Everyone seeks benefits, but is not prepared to make any sacrifice. What is the sacrifice that is to be made to God? First of all, your bad qualities. Acquire good qualities. Shed your narrow outlook. Cultivate a broad vision. Today the foremost need is to develop the spirit of sacrifice. You are not expected to give away all your wealth and possessions. What is required is a sense of compassion at the sight of a suffering being. When the heart melts, that itself becomes a sacrifice. You will not carry your wealth with you when you leave the world. Even while life remains, render help to those in need, as much as you can.


- Divine Discourse, Oct 03, 1989.

The quintessence of the Vedas is the glorification of sacrifice as the supreme virtue.


Ada motif mementingkan diri sendiri bahkan dalam memberikan persembahan kepada Tuhan. Sesuatu yang kecil dipersembahkan dengan harapan agar mendapatkan balasan yang besar dari Tuhan. Seseorang berdoa kepada Tuhan: "Oh Tuhan! Jika hamba menang lotre sebesar 180 juta rupiah maka hamba akan mempersembahkan 1.8 juta kepada-Mu." Tawaran macam apa ini? Betapa menyedihkan bahwa ide konyol seperti ini sedang merajalela saat sekarang. Alasan dibalik semuanya ini adalah orang-orang telah melupakan rahasia yang terkandung dalam Weda. Mereka mempersembahkan sebuah gundukan tanah kecil dan mengharapkan sebuah gunung yang besar. Ini adalah karikatur yang menyedihkan dari bhakti. Jumlah bhakta palsu semakin bertambah banyak saat sekarang. Mereka selalu berusaha sepanjang waktu untuk bernegosiasi dengan Tuhan. Setiap doa dan latihan spiritual yang mereka lakukan dipenuhi dengan pamrih dan kepentingan diri. Setiap orang mencari keuntungan dan manfaat, namun tidak siap untuk berkorban. Lalu, apa bentuk pengorbanan yang sejati bagi Tuhan? Pertama-tama, buang sifat-sifat burukmu. Kembangkan sifat-sifat yang baik. singkirkanlah cara pandangmu yang sempit. Kembangkan sebuah cara pandang yang luas. Hari ini yang paling dibutuhkan adalah mengembangkan semangat berkorban. Engkau tidak diminta untuk menyerahkan semua kekayaan dan harta bendamu. Apa yang dibutuhkan adalah rasa welas asih ketika melihat penderitaan sesama. Ketika hati tergerak oleh welas asih maka itu menjadi sebuah pengorbanan. Engkau tidak akan membawa harta kekayaan bersamamu ketika engkau meninggalkan dunia ini. Selama masih hidup, bantulah mereka yang membutuhkan sebisa mungkin.


- Divine Discourse, 3 Oktober 1989.

Intisari dari Weda adalah menjunjung tinggi pengorbanan sebagai kebajikan yang tertinggi

Wednesday, February 12, 2025

Thought for the Day - 11th February 2025 (Tuesday)

The first sign of spiritual life is detachment (vairagyam). If you have no detachment, you are illiterate as far as spiritual scholarship is concerned. Detachment is the ABC of spiritual effort. Detachment must become strong enough to make you discard the bondage of the senses. Just a few minutes of thought will convince anyone of the hollowness of earthly riches or fame or happiness. When you are affluent, everyone praises you. If a corpse had a few jewels on it, the proverb says, many will claim kinship with the dead person. But if it has no valuables on it, not a single person will come forward to weep for it! When you are adding more and more sums of money to your bank account, ask yourself, whether you are not accumulating troubles for yourselves and your children, making it harder for your children to lead clean, comfortable, and honourable lives. When you struggle to achieve paltry fame by devious means, remember who among crores of your countrymen are honoured today and for what! Don’t you see that only those are honoured everywhere who gave up, renounced, and sought the more difficult road of God-realisation instead of the easier path of world-realisation?


- Divine Discourse, Sep 08, 1963..

Detachment, Faith and Love - these are the pillars on which peace rests.



Tanda awal dari hidup spiritual adalah tanpa keterikatan (vairagyam). Jika engkau tidak memiliki kualitas tanpa keterikatan maka dalam hal pengetahuan spiritual, engkau adalah seperti orang yang buta huruf. Tanpa keterikatan adalah abjad ABC dari usaha spiritual. Tanpa keterikatan harus menjadi cukup kuat untuk membuatmu lepas dari belenggu indera. Hanya dengan beberapa menit perenungan akan meyakinkan siapapun betapa rapuhnya kekayaan, ketenaran dan kesenangan duniawi. Ketika engkau berkecukupan, setiap orang memujimu. Seperti peribahasa mengatakan bahwa jika sebuah mayat dihiasi dengan permata maka banyak orang yang akan mengakui sebagai kerabatnya. Namun jika mayat itu tidak memiliki nilai apapun juga, maka tidak ada satu orangpun yang akan datang untuk menangisinya! Ketika engkau menambahkan lebih banyak uang pada rekeningmu di bank, tanyakan pada dirimu sendiri, apakah engkau tidak sedang mengumpulkan masalah bagi dirimu dan anak-anakmu, membuat lebih sulit bagi anak-anakmu untuk menjalani hidup yang bersih, nyaman dan terhormat. Ketika engkau berjuang untuk mendapatkan ketenaran yang remeh dengan cara-cara yang curang, ingatlah diantara berjuta-juta orang di negaramu, siapa yang dihormati dan karena alasan apa? Tidakkah engkau melihat bahwa mereka yang dihormati dimana-mana hanyalah yang tanpa keterikatan dan mencari jalan yang lebih sulit untuk mencapai kesadaran Tuhan, dan bukan jalan yang lebih gampang untuk kesadaran duniawi?


- Divine Discourse, 08 September 1963.

Tanpa keterikatan keyakinan dan kasih – semuanya ini adalah pilar tempat kedamaian bertumpu.

Thought for the Day - 10th February 2025 (Monday)

Without human values you cannot deliver the fruits of your learning to society. Therefore, human values must be cultivated. Of these, Truth is the most important. Truth is God. Some people went to Buddha and argued about the existence of God. Buddha told them, "All these disputes are a waste of time. Satya, Dharma and Ahimsa (Truth, Righteousness and Nonviolence) are the same as God. Therefore, worship God as the form of Truth first. Speak the truth. Practice Dharma. Observe nonviolence." Now, what is meant by nonviolence? People consider only hurting and harming others as violence. No, no. Harming yourself is also violence. Talking unnecessarily, eating immoderately, and working too much - these are violence. Meaning, one should lead a life of moderation and balance. Anything done beyond limits is violence. Even writing excessively is violence. Why is it bad to transgress limits? Because it wastes energy. By talking more than necessary, we deplete our intellect. Therefore, nonviolence can be defined as the regulation of human life along moderate and beneficial paths.


- Summer Showers, May 30, 1995.

It is not good to completely and rigidly control all your senses nor is it desirable to give them complete freedom. One should adopt the middle path.



Tanpa nilai-nilai kemanusiaan engkau tidak bisa memberikan hasil pembelajaranmu pada masyarakat. Maka dari itu, nilai-nilai kemanusiaan harus dikembangkan. Dari nilai-nilai kemanusiaan ini, kebenaran adalah yang paling penting. Kebenaran adalah Tuhan. Beberapa orang pergi menemui sang Buddha dan menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Sang Buddha mengatakan pada mereka, "semua bentuk perdebatan ini adalah membuang-buang waktu saja. Satya, Dharma dan Ahimsa (kebenaran, kebajikan dan tanpa kekerasan) adalah sama dengan Tuhan. Maka dari itu, pujalah Tuhan dalam bentuk kebenaran terlebih dahulu. Berbicaralah kebenaran. Jalankan Dharma. Terapkan prinsip tanpa kekerasan." Sekarang, apa makna dari tanpa kekerasan? Orang-orang hanya menganggap menyakiti dan melukai yang lain sebagai kekerasan. Bukan, bukan. Menyakiti dirimu sendiri adalah juga kekerasan. Berbicara sesuatu yang tidak perlu dan berlebihan, makan tidak terkendali, dan bekerja terlalu banyak – semuanya ini adalah kekerasan. Artinya, seseorang harus menjalani hidup dengan kesederhanaan dan keseimbangan. Apapun yang dilakukan melewati batas adalah kekerasan. Bahkan menulis terlalu banyakpun adalah kekerasan. Mengapa melewati batas adalah buruk? Karena ini adalah menyia-nyiakan energi. Dengan berbicara lebih dari yang diperlukan, kita menguras kecerdasan kita. Maka dari itu, tanpa kekerasan dapat diartikan sebagai pengaturan hidup manusia di sepanjang jalan kesederhanaan dan bermanfaat.


- Wacana Musim Panas, 30 Mei 1995.

Adalah tidak baik sepenuhnya dan secara ketat mengendalikan semua inderamu tetapi juga tidak bijak memberikan kebebasan sepenuhnya pada indera. Seseorang harus mengambil jalan tengah.


Thought for the Day - 9th February 2025 (Sunday)

The heart full of purity and poise (Satwa) is the ocean of milk. Steady contemplation of the Divine, either as your own reality or as ideal to be reached, is Mandara mountain placed in it as a churning rod. Vasuki, the serpent wound round the churning rod as a rope, is the group of senses emitting poisonous fumes during the process of churning and nearly frightening the asuras (demons) who held the head. The rope is held by good and bad impulses and both struggle with the churning process, eager for the results which each has set the heart on! Grace of God is the Tortoise incarnation, for the Lord Himself comes to the rescue once He knows that you are earnestly seeking the secret of Immortality! He comes, silently and unobserved, as the tortoise did, holding the reflection (manana) process unimpaired and serving as the steady base of all spiritual practices! Many things emerge from the mind, when churned, but the wise wait patiently for the appearance of the guarantor of immortality, and seize upon it with avidity! That is the lesson of the legend. It is a summary of Atma-vidya!


- Divine Discourse, 13 Januari 1965.

The removal of immorality is the way to attain immortality

 


Hati penuh dengan kesucian dan ketenangan (Satwa) adalah lautan susu. Kontemplasi yang tidak tergoyahkan pada Tuhan, baik sebagai kenyataan dirimu yangs ejati atau sebagai cita-cita yang harus dicapai adalah gunung Mandara yang ditempatkan dalam hati sebagai batang pengaduk. Naga Vasuki yang melilit gunung Mandara sebagai tali adalah kelompok Indera yang mengeluarkan asap beracun selama proses pengadukan dan hampir menakuti para raksasa (asura) yang memegang kepala Naga Vasuki. Tali itu dipegang oleh keinginan baik dan buruk dimana keduanya berjuang dalam proses pengadukan, berhasrat untuk mendapatkan hasil  yang ingin mereka capai! Karunia Tuhan adalah inkarnasi kura-kura dimana Tuhan sendiri datang untuk menyampaikan pada saat Tuhan mengetahui bahwa engkau benar-benar mencari rahasia keabadian! Tuhan hadir dengan tenang dan tidak disadari, seperti yang kura-kura lakukan, menjaga proses perenungan (manana) tetap utuh dan berfungsi sebagai dasar yang kokoh bagi semua latihan spiritual! Banyak hal muncul dari pikiran ketika dilakukan pengadukan, namun orang yang bijak akan menunggu dengan tenang hingga jaminan keabadian muncul, dan kemudian meraihnya dengan semangat! Itu adalah hikmah dari legenda ini. Ini adalah ringkasan dari Atma-vidya!


- Divine Discourse, 13 Januari 1965.

Penghapusan keburukan adalah jalan untuk mencapai keabadian

Thought for the Day - 8th February 2025 (Saturday)

All worldly knowledge changes with time and deludes your intellect. For this reason, our ancient sages dedicated their lives to the acquisition of Atma Jnana, which is changeless and illumines the intellect. Some qualities are necessary for earning such wisdom. Sarve Loka Hito Ratah - Desire the welfare of all beings by engaging in actions that benefit others. We should cultivate readiness to serve. Your education should equip you better to render service. Then you will evoke true respect from others. Sarve Jnana Sampannah - Students should excel in all forms of knowledge. This is also called ‘awareness’. You should understand and experience all the angles of a situation. Worldly subjects grant you competence within a narrow scope. Spiritual knowledge is complete and enables one to grasp all fields of knowledge. This is 'total awareness'. Sarve Samudita Gunaihi - the student must embody every virtue or guna. What is meant by guna? Traditionally, the three qualities of creation are called gunas. Indeed, virtue is the union and balance of these three gunas. In practice, it is very important to disregard the faults of others and to express your own Divinity. This is true guna.


- Divine Discourse, May 30, 1995.

By merely changing the garments you wear, you cannot acquire divine qualities. Virtues have to be cultivated. Only the person who transforms his character can sublimate himself.



Semua pengetahuan duniwai berubah sesuai dengan waktu dan menyesatkan kecerdasanmu. Untuk alasan ini, para guru suci jaman dahulu mendedikasikan hidup mereka untuk memperoleh Atma Jnana, yang mana tidak berubah dan menerangi kecerdasan. Ada beberapa kualitas dibutuhkan untuk mendapatkan kebijaksanaan seperti itu. Sarve Loka Hito Ratah – milikilah keinginan untuk mensejahtrakan semua makhluk dengan melakukan tindakan yang menguntungkan orang lain. Kita harus memupuk kesiapan untuk melayani. Pendidikanmu harus mampu membekalimu dengan lebih baik untuk melakukan pelayanan. Kemudian engkau akan membangkitkan rasa hormat sejati dari orang lain. Sarve Jnana Sampannah – para pelajar harus unggul dalam semua bentuk pengetahuan. Ini juga disebut dengan ‘kesadaran’. Engkau harus mengerti dan mengalami semua sudut pandang suatu situasi. Pengetahuan duniawi hanya memberikanmu kompetensi dalam ruang lingkup yang sempit. Pengetahuan spiritual adalah menyeluruh dan memungkinkan seseorang untuk memahami semua bidang pengetahuan. Ini adalah 'kesadaran total'. Sarve Samudita Gunaihi – pelajar harus mewujudkan setiap kebajikan atau guna. Apa arti dari guna? Secara tradisional, ada tiga kualitas penciptaan disebut dengan guna. Sejatinya, kebajikan adalah penyatuan dan keseimbangan dari ketiga guna ini. Dalam praktiknya, adalah sangat penting untuk tidak terpusat pada kesalahan orang lain dan lebih mengungkapkan keilahian dalam dirimu. Ini adalah makna guna yang sejati.


- Divine Discourse, 30 Mei 1995.

Hanya dengan mengganti pakaian yang engkau pakai, engkau tidak bisa mendapatkan kualitas ilahi. Kebajikan harus dikembangkan. Hanya seseorang yang merubah karakternya dapat memurnikan dirinya sendiri.

Thought for the Day - 7th February 2025 (Friday)

The see-er should not attach oneself to the seen; that is the way to get free. The contact of senses with objects arouses desire and attachment; this leads to effort and either elation or despair; then, there is fear of loss or grief at failure and the train of reactions lengthens! With many doors and windows kept open to all the winds that blow, how can the flame of the lamp within survive? That lamp is the mind, which must burn steadily unaffected by the dual demands of the world outside! Complete surrender to the Lord is one way of closing the windows and doors, for then, in that stance of Sharanagati (complete surrender to God), you are bereft of "ego" and so, you are not buffeted by joy or grief. Complete surrender makes you draw upon the grace of the Lord for meeting all the crises in your career and so, it renders you heroic, more stalwart, and better prepared for the battle.


- Divine Discourse, 13 Januari 1965.

The control of the senses is itself a form of Tyaga (sacrifice) which leads to Immortality.

 

Orang yang melihat seharusnya tidak menjadi terikat dengan objek yang dilihatnya; itu adalah cara untuk mendapatkan kebebasan. Kontak antara indera dengan objek memunculkan keinginan dan keterikatan; hal ini menuntun pada usaha dan juga kegembiraan atau keputusasaan; kemudian, muncul ketakutan akan kehilangan atau kesedihan pada kegagalan dan rangkaian reaksi memanjang! Dengan adanya banyak pintu dan jendela yang dibiarkan terbuka bagi angin berhembus, bagaimana bisa nyala api pada lentera di dalam bisa bertahan? Lentera itu adalah pikiran, yang mana harus terus menyala tanpa terpengaruh oleh tuntunan ganda dari dunia luar! Berserah diri sepenuhnya pada Tuhan adalah satu cara untuk menutup jendela dan pintu, karena dengan sikap Sharanagati (berserah sepenuhnya pada Tuhan), engkau menjadi tanpa "ego" sehingga engkau tidak akan diguncang oleh suka dan duka cita. Berserah diri sepenuhnya membuatmu bersandar pada karunia Tuhan untuk menghadapi semua krisis dalam perjalanan hidupmu dan dengan demikian menjadikanmu lebih pemberani, lebih teguh pendirian dan lebih siap untuk menghadapi perjuangan.


- Divine Discourse, 13 Januari 1965.

Pengendalian Indera itu sendiri adalah wujud dari Tyaga (berkorban) yang menuntun pada keabadian.

Thought for the Day - 6th February 2025 (Thursday)

You may doubt whether such a small word like Rama or Sai or Krishna can take you across the boundless sea of worldly life. People cross vast oceans on a tiny raft; they are able to walk through dark jungles with a tiny lamp in their hands. The Name, even the Pranava (Om) which is smaller, has vast potentialities. The raft need not be as big as the sea. The recitation of the Name is like the operation of boring to tap underground water; it is like the chisel-stroke that will release the image of God imprisoned in the marble. Break the encasement and the Lord will appear; cleave the pillar, as Prahlada asked his father to do, and the Lord who is ever present will manifest Himself. Churn and you bring the butter, latent in the milk, into view. That is the experience of every mother which every daughter learns. In the spiritual field, you learn that spiritual practice from yogis, who have gained and offered that navanitam (fresh butter) to Krishna.


- Divine Discourse, Jan 13, 1965.

Remembrance of the Lord's name is the method of crossing over the ocean of worldly life.

 


Engkau mungkin ragu apakah sebuah kata sederhana seperti Rama atau Sai atau Krishna dapat membawamu menyebrangi lautan tidak bertepi dari kehidupan duniawi. Orang-orang menyebrangi lautan luas dengan sebuah rakit kecil; mereka juga mampu menembus gelapnya hutan dengan sebuah lampu kecil di tangan mereka. Nama, bahkan Pranava (Om) yang mana lebih kecil, memiliki potensi yang sangat luas. Rakit yang dibutuhkan tidak perlu sebesar lautan. Pengulangan nama suci Tuhan adalah seperti pengeboran untuk mendapatkan air bawah tanah; ini seperti pukulan pahat yang akan melepaskan gambar Tuhan yang tersembunyi pada batu marmer. Pecahkan bungkusan itu dan Tuhan akan muncul; belah pilar itu seperti halnya yang diminta Prahlada kepada ayahnya, dan Tuhan yang Maha ada akan mewujudkan diri-Nya. Lakukan pengadukan maka engkau akan mendapatkan mentega yang terdapat dalam susu. Itu adalah pengalaman dari setiap ibu yang dipelajari oleh setiap anak perempuan. Dalam bidang spiritual, engkau belajar bahwa praktek spiritual dari para yogi yang telah mendapatkan dan mempersembahkan navanitam (mentega segar) kepada Krishna.


- Divine Discourse, 13 Januari 1965.

Mengingat nama suci Tuhan adalah metode untuk menyebrangi lautan kehidupan duniawi.

Thought for the Day - 5th February 2025 (Wednesday)

The universe is full of many powers. An omniscient, omnipotent and omnipresent power pervades all of creation. This divine Force is immanent in every atom, like sugar in syrup. The Upanishads call this Raso Vai Sah or all-pervading sweetness. God is an embodiment of sweetness. Although this sweetness is everywhere, it is not possible to recognise its omnipresence. However, it is possible for all to observe the existence of Divinity. Sweetness in sugarcane, bitterness in neem leaves, burning in chilli, acerbity in lemon and fire in wood - all these are direct proofs of God’s existence. A plant germinates from a seed. A bird emerges from an egg. The newborn infant becomes a mother one day. These are all living proofs of the existence of Divinity. Man experiences exhilaration upon seeing majestic peaks, gurgling rivers, the deep ocean, lush forests and colourful gardens. What is the basis of these phenomena? It is God’s existence alone. It is not given to everyone to grasp the omnipresence of God, but all have the capacity to identify His presence.


- Divine Discourse, May 30, 1995.

Only when you become the embodiment of love can your love comprehend all. Only then will you realise that it is the same God who is the Indweller in all beings.

 

Alam semesta ini penuh dengan berbagai kekuatan. Ada satu kekuatan yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha Hadir yang meresapi seluruh ciptaan. Kekuatan Tuhan ini hadir dalam setiap atom, seperti gula dalam sirup. Upanishad menyebutnya Raso Vai Sah, atau rasa manis yang meresapi segala sesuatu. Tuhan adalah perwujudan dari rasa manis itu. Meskipun rasa manis itu ada di mana-mana, kita tidak selalu bisa mengenali keberadaannya. Namun, kita semua dapat mengamati keberadaan Tuhan. Rasa manis dalam tebu, rasa pahit dalam daun neem, rasa pedas dalam cabai, rasa asam dalam lemon, dan api dalam kayu - semua ini adalah bukti langsung dari keberadaan Tuhan. Sebuah tanaman tumbuh dari benih. Seekor burung muncul dari telur. Seorang bayi yang baru lahir suatu hari akan menjadi seorang ibu. Semua ini adalah bukti nyata dari keberadaan Tuhan. Manusia merasakan kekaguman saat melihat puncak gunung yang menjulang, sungai yang mengalir deras, lautan yang dalam, hutan yang rimbun, dan taman yang penuh warna. Apa dasar dari semua fenomena ini? Tidak lain adalah keberadaan Tuhan. Tidak semua orang dapat memahami kehadiran-Nya yang meliputi segalanya, tetapi setiap orang memiliki kemampuan untuk mengenali keberadaan-Nya.


- Divine Discourse, 30 Mei 1995.

Hanya ketika engkau menjadi perwujudan kasih, barulah kasihmu mampu memahami segalanya. Saat itulah engkau akan menyadari bahwa Tuhan yang sama bersemayam dalam setiap makhluk.

Thought for the Day - 4th February 2025 (Tuesday)

It is a hard job to know about your own Self. Take the case of the food that you eat with your own mouth. You feel it in your stomach and after that, you do not experience what happens to it at each stage. How then can you know, without acquiring the special knowledge about it, the Truth that lies behind the sheaths that encase and enclose you - the Annamaya, Pranamaya, Manomaya, Vijnanamaya and Anandamaya - (sheaths of material, vital energy, mind, intelligence and bliss)? Clear your intellect or intellectual power (dheeshakti) of the cobwebs of ego, the dust of desire, the soot of greed and envy, and it becomes a fit instrument for revealing the Swarupa - the Inner Truth. "Know yourself, know the Inner Motivator, the Antaryamin" - that is the exhortation of the scriptures of all faiths. For, unless you are armed with spiritual knowledge, you are like a ship without a compass, sailing on a stormy sea!


- Divine Discourse, Apr 16, 1964.

Just as the army becomes dispirited and surrenders when the commander falls, so the army of evil qualities will surrender its arms as soon as egotism (ahamkara) is


Merupakan sebuah pekerjaan yang sulit untuk dapat mengetahui tentang Diri Sejati. Ambilah contoh makanan yang engkau makan dengan mulutmu sendiri. Engkau merasakannya dalam perutmu dan setelah itu, engkau tidak mengalami apa yang terjadi pada makanan itu pada tahap selanjutnya. Bagaimana kemudian engkau bisa mengetahui kebenaran yang tersembunyi pada lapisan yang membungkus dirimu - Annamaya, Pranamaya, Manomaya, Vijnanamaya and Anandamaya - (lapisan material, energi vital, pikiran, kecerdasan dan kebahagiaan) - tanpa mendapatkan pengetahun khusus tentang itu? Bersihkan kecerdasan atau kekuatan kecerdasan (dheeshakti) dari jaring-jaring ego, debu keinginan, jelaga ketamakan dan iri hati dan kemudian kecerdasan itu menjadi alat untuk mengungkapkan Swarupa – kebenaran batin. "Kenalilah Dirimu Sejati, kenalilah motivator dalam diri yaitu Antaryamin" – itu adalah seruan dari naskah suci dari semua keyakinan. Karena, tanpa adanya pengetahuan spiritual maka engkau seperti kapal laut yang berlayar di lautan badai tanpa adanya kompas!


- Divine Discourse, 16 April 1964.

Seperti halnya pasukan yang kehilangan semangat dan menyerah ketika komandannya gugur, jadi pasukan dari sifat-sifat buruk akan menyerahkan senjatanya segera saat egoisme (ahamkara) dihancurkan.  


Tuesday, February 4, 2025

Thought for the Day - 3rd February 2025 (Monday)

That Thou Art. Be firm in that faith. Ponder on a river merging in the ocean. The waters of the ocean rise up as vapour when warmed by the Sun and form clouds, which drop down as drops of rain. Each drop has inside it the yearning to return to the ocean from which it has been exiled. But, the feeling of individuality overcomes the yearning. The raindrops accumulate and flow as brooks and streams which swell into tributaries of rivers, flooding the plains. At last, the river merges into the ocean and loses its name, form and attributes. In spite of all the modifications undergone in the journey from ocean to ocean, water remains as water in vapour, cloud, rain and river. Names and forms and qualities do change but the core remains unchanged. Man too emerges from the ocean of Divinity and his destiny is to merge in it. This is the Truth. This is the Reality.


- Divine Discourse, Jan 02, 1987.

For individuals who have liberated themselves from the narrowness of individuality, the only task is the uplift of humanity, the welfare of the world and the showering of love.



Engkau adalah Aku (Tuhan). Jadilah mantap pada keyakinan itu. Renungkan pada sungai yang menyatu dengan lautan. Air yang ada pada lautan menguap sebagai uap dan ketika dihangatkan oleh matahari dan membentuk awan, yang mana awan jatuh menjadi hujan. Setiap tetes air hujan memiliki kerinduan untuk kembali pada lautan yang mana merupakan tempat asalnya sebelum terpisah. Namun, perasaan keakuan mengalahkan kerinduan itu. Tetesan air hujan berkumpul dan mengalir menjadi anak sungai dan akhirnya menyatu dalam aliran sungai yang lebih besar, membanjiri daratan. Pada akhirnya, Sungai menyatu dengan lautan dan kehilangan identitas nama, wujud dan sifat. Meskipun mengalami berbagai bentuk perubahan dalam perjalanan dari lautan menuju ke lautan – dengan menjadi uap, awan, hujan dan sungai – air tetaplah air. Nama dan wujud dan kualitas dapat berubah namun inti yang sama tidak mengalami perubahan. Manusia juga muncul dari lautan keilahian dan takdirnya adalah menyatu kembali padanya. Ini adalah kebenaran. Ini adalah kenyataan.


- Divine Discourse, 02 Januari 1987.

Bagi individu yang telah membebaskan dirinya dari keterbatasan keakuan, satu-satunya tugas adalah mengangkat derajat kamnusiaan, kesejahtraan dunia dan mencurahkan kasih. 

Sunday, February 2, 2025

Thought for the Day - 2nd February 2025 (Sunday)

Love, adore, serve the Sarveshwara (Almighty Lord) who is resident in all mankind; through that Love, adoration and service, realise Him. That is the highest sadhana (spiritual practice). Serve man as God. Give food to the hunry, food that is the gift of Goddess Nature; give it with love and humility. Give it, sweetened with the name of the Lord. Celestial spheres are revolving and disintegrating; time is fleeting; age follows age; era succeeds era; bodies that have taken birth, grow and end; but, the urge to sanctify life with good works and good thoughts is nowhere evident; the fragrance of sincere sadhana is not traceable anywhere. Through the process of 'giving up’, great things can be achieved. Cultivate detachment, and the Lord will attach Himself to you. The past is beyond recovery; those days are gone. But, tomorrow is coming towards you. Resolve to sanctify it with Love, Service and Sadhana.


- Divine Discourse, Mar 29, 1968.

Man has been endowed with a body for performing actions. Right action renders Time itself holy.



Kasihi, hargai, layani Sarveshwara (Tuhan yang Mahakuasa) yang bersemayam dalam diri semua umat manusia; sadarilah Tuhan melalui kasih, penghargaan dan pelayanan itu. Itu adalah sadhana (latihan spiritual) tertinggi. Layani manusia seperti melayani Tuhan. Berikan makanan pada mereka yang kelaparan, makanan itu yang merupakan anugerah dari Dewi alam; berikan makanan itu dengan kasih dan kerendahan hati. Berikan itu ditambahkan dengan rasa manis nama suci Tuhan. Benda-benda langit berputar dan hancur; waktu berlalu dengan cepat; jaman berganti jaman; era datang silih berganti; tubuh yang lahir tumbuh dan akhirnya musnah; namun, dorongan untuk menyucikan hidup dengan kerja dan pikiran yang baik jarang ditemukan; harum wangi dari sadhana yang tulus sulit terlacak. Melalui proses 'melepaskan’, hal-hal besar dapat dicapai. Kembangkan tanpa keterikatan, dan Tuhan akan melekatkan diri-Nya pada dirimu. Masa lalu tidak bisa diulang; hari-hari itu telah berlalu. Namun, hari esok sedang datang menuju dirimu. Miliki tekad untuk menyucikannya dengan kasih, pelayanan dan Sadhana.


- Divine Discourse, 29 Maret 1968.

Manusia telah diberkati dengan tubuh untuk melakukan perbuatan. Perbuatan baik menjadikan waktu itu sendiri menjadi suci. 

Thought for the Day - 1st February 2025 (Saturday)

Activity finds fulfillment when wisdom dawns. Karma ( sanctified activity) is the path by which Jnana (spiritual wisdom) is attained. And, wisdom in action is the highest Karma. Worthwhile activity must result in purifying the mind. Therefore, no one, not even a recluse or monk can desist from engaging in good deeds. These deeds must originate spontaneously and should not leave any trace of pride in the mind. Nor should any attachment to the result of the deed lead to a craving for claiming it for one self. Renunciation must be the only source of joy. Tyaga (self sacrifice) is the truest bhoga (enjoyment) for the sanyasi (ascetic). The Gita recommends 'inaction in action' and asserts that 'inaction is the most rewarding action for those who strive for supreme peace’. This attitude is named karma sanyasa (non-attachment to action). Action or activity is generally associated with the body only, but the mind is also busy with the world. The Atma alone is the unaffected witness. So, the secret of 'inaction in action' lies in taking refuge in the Atma and in recognising all living beings as fundamentally Atma.


- Divine Discourse, Jan 02, 1987.

Proper use of time, right action and the performance of one's duties together constitute the primary goal of human life. 



Aktifitas mencapai pemenuhan ketika kebijaksanaan muncul. Karma (aktifitas suci) adalah jalan yang melaluinya Jnana (kebijaksanaan spiritual) dicapai. Dan, kebijaksanaan dalam tindakan adalah karma yang tertinggi. Aktifitas yang berguna harus memberikan hasil pada pemurnian pikiran. Maka dari itu, tidak ada seorangpun, tidak bahkan pertapa atau pendeta dapat berhenti dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik. Perbuatan-perbuatan baik ini harus muncul secara spontan dan seharusnya tidak meninggalkan jejak kesombongan dalam pikiran. Tidak juga meninggalkan keterikatan pada hasil atau buah dari perbuatan yang menuntun pada keinginan untuk mengklaim untuk dirinya sendiri. Penyangkalan diri harus menjadi satu-satunya sumber suka cita. Tyaga (pengorbanan diri) adalah kenikmatan (bhoga) yang sesungguhnya bagi sanyasi (pertapa). Dalam Bhagavad Gita mengajarkan konsep 'tidak bertindak dalam tindakan' dan menegaskan bahwa 'tidak bertindak adalah tindakan yang paling berharga bagi mereka yang berusaha untuk mendapatkan kedamaian tertinggi’. Sikap ini disebut dengan karma sanyasa (tanpa keterikatan pada tindakan). Tindakan atau aktifitas pada umumnya hanya dihubungkan dengan tubuh, namun pikiran juga sibuk dengan dunia. Hanya Atma yang menjadi saksi yang tidak terpengaruh. Jadi, rahasia dari 'tidak bertindak dalam tindakan' terdapat pada berlindung dalam Atma dan dalam menyadari semua makhluk hidup pada dasarnya adalah Atma.


- Divine Discourse, 2 Januari 1987.

Pemanfaatan waktu dengan tepat, perbuatan benar dan pelaksanaan kewajiban masing-masing bersama-sama membentuk tujuan utama dari hidup manusia. 

Thought for the Day - 31st January 2025 (Friday)

Be simple and sincere. It is sheer waste of money to burden the pictures and idols in the shrines and altars of your homes with a weight of garlands, and to parade costly utensils, vessels and offerings, to show off your devotion. This is deception; it demeans Divinity, imputing to it the desire for pomp and publicity. I ask only for purity of heart, to shower Grace. Do not posit distance between you and Me; do not interpose the formalities of the Guru-sishya (Preceptor-disciple) relationship, or even the altitudinal distinctions of the God-Devotee relationship, between you and Me. I am neither Guru nor God; I am You; You are I - that is the Truth. There is no distinction. That which appears so is the delusion. You are waves; I am the Ocean. Know this and be free, be Divine. 


- Divine Discourse, Jul 19, 1970.

There is nothing like I am Deva (God) and you are Jiva (individual). You and I are one only. Not realising this, you perceive unity as diversity.



Jadilah pribadi yang sederhana dan tulus. Benar-benar merupakan bentuk pemborosan uang dengan menempatkan banyak gambar dan arca dalam ruang suci di rumahmu dengan kalung bunga yang berat, dan untuk memperlihatkan peralatan sembahyang dan persembahan yang mahal, untuk memamerkan bhaktimu. Ini adalah penipuan; hal ini merendahkan keilahian dengan menghubungkan hal ini dengan keinginan untuk pamer dan terkenal. Aku hanya meminta untuk kesucian hatimu agar bisa diberkati. Jangan menaruh jarak diantara dirimu dan Aku; jangan menempatkan formalitas dalam hubungan _Guru-sishya_ (Guru - murid), atau bahkan menempatkan perbedaan ketinggian hubungan dari Tuhan - bhakta, diantara dirimu dan Aku. Aku bukanlah Guru atau Tuhan; Aku adalah dirimu; engkau adalah Aku – itu adalah kebenaran. Tidak ada perbedaan. Apa yang nampak demikian adalah khayalan. Engkau adalah gelombang; Aku adalah lautan. Ketahuilah hal ini dan jadilah bebas, menjadi ilahi. 


- Divine Discourse, 19 Juli 1970.

Tidak ada hal seperti Aku adalah Deva (Tuhan) dan dirimu adalah Jiva (individu). Engkau dan Aku adalah satu. Dengan tidak menyadari hal ini, engkau menganggap kesatuan sebagai keberagaman. 

Thought for the Day - 30th January 2025 (Thursday)

Men engage themselves in many outward sadhana (spiritual practices). These must be internalised. All scholarship is of no avail if there is no realisation in the heart. A scholar may expound the texts, but lack the internal experience. One who has mastered the Vedas may be able to explain the words, but cannot recognise the Veda Purusha, the Supreme Person hailed by the Vedas. When a person goes to a temple, he closes his eyes in front of the idol, because what he seeks is an internal vision of God and not a sight of the external form of the idol. God is Omnipresent as proclaimed in the Gita. God is One, though names and forms may differ. All education today is related to the physical world. It will not serve to reveal the Divine. It was this which impelled Shankaracharya to teach a scholar who was learning by rote Panini's grammar that at the moment of death only the Lord's name (Govinda) will save him and not the rules of grammar. 


- Divine Discourse, Oct 09, 1994.

All branches of learning are like the rivers. The spiritual learning is like the ocean.


Manusia melibatkan diri mereka dalam banyak sadhana (latihan spiritual) bersifat lahiriah. Berbagai jenis sadhana ini harus dinternalisasikan. Semua pengeathuan menjadi tidak ada gunanya jika tidak ada kesadaran di dalam hati. Seorang sarjana mungkin dapat menguraikan teks-teks yang ada, namun kurang adanya pengalaman batin. Seseorang yang telah menguasai Weda mungkin mampu menjelaskan sloka, namun tidak mampu menyadari Weda Purusha, pribadi tertinggi yang dimuliakan oleh Weda. Ketika seseorang pergi ke tempat suci, dia memejamkan matanya di depan arca, karena apa yang dia cari adalah penglihatan batin tentang Tuhan dan bukan bentuk luar dari arca. Tuhan adalah ada dimana-mana seperti yang dinyatakan dalam Bhagavad Gita. Tuhan adalah Esa, walaupun nama dan wujud-Nya mungkin berbeda. Semua Pendidikan hari ini dikaitkan pada dunia fisik. Pendidikan ini tidak akan mampu untuk mengungkapkan Tuhan. Hal ini yang mendorong Shankaracharya untuk mengajarkan seorang sarjana yang sedang belajar tata bahasa Panini bahwa pada saat kematian hanya nama suci Tuhan (Govinda) yang akan menyelamatkannya dan bukan aturan dalam tata bahasa. 


- Divine Discourse, 19 Oktober 1994.

Semua cabang ilmu pengetahuan adalah seperti sungai. Pengetahuan spiritual adalah seperti lautan. 

Thought for the Day - 29th January 2025 (Wednesday)

Man is afraid of probing into his own truth, lest his pet opinions and attitudes be proved hollow and dangerous. As a result, his actions and thoughts pursue disturbing and discordant paths. What exactly is Truth? Is it the description of a 'thing seen' as one has seen it, without exaggeration or understatement? No. Or is it the narration of an incident in the same word as one has heard it narrated? No. Truth elevates; it holds forth ideals; it inspires the individual and society. It is the light that illumines man's path to God. A life inspired by Truth will enable man to live as man - not degrade himself to the status of a lower species. From dawn to dusk, from the moment of wakefulness to the moment of sleep, if he devotes himself to his own deeds, is that a life inspired by the Truth? No. By his good thoughts translated into good words and manifested as good deeds, man must promote Truth in society and prove its usefulness. He is the image of God. He must be aware of the image of God that shines in society also. 


- Divine Discourse, Dec 08, 1979.

The chief duty of man is investigation into Truth. Truth can be won only through dedication and devotion.


Manusia takut menyelidiki pada kebenaran dirinya, jangan sampai pendapat dan sikap yang menjadi kesukaannya terbukti adalah hampa dan berbahaya. Sebagai hasilnya, tindakan dan pikirannya justru mengikuti jalan yang mengganggu dan penuh ketidakharmonisan. Apa sebenarnya kebenaran itu? Apakah kebenaran adalah penjelasan dari ‘sesuatu yang dilihat’ tanpa dilebih-lebihkan atau dikurangi? Bukan. Atau adalah sebuah narasi dari sebuah suatu kejadian yang diceritakan dengan kata-kata yang sama dari apa yang didengar? Juga bukan. Kebenaran mengangkat; menawarkan idealisme yang mulia; kebenaran menginspirasi individu dan masyarakat. Kebenaran adalah lentera yang menerangi jalan manusia menuju Tuhan. Sebuah hidup yang diinspirasi dengan kebenaran akan memungkinkan bagi manusia untuk hidup layak sebagai manusia – bukan merendahkan dirinya pada status spesies yang lebih rendah. Dari matahari terbit sampai matahari terbenam, dari saat bangun pagi sampai saat tidur, jika manusia tenggelam dalam pekerjaannya sendiri, apakah hidup seperti itu diinspirasi oleh kebenaran? Tidak. Dengan pikiran baiknya yang diterjemahkan dalam perkataan yang baik dan diwujudkan dalam perbuatan yang baik, manusia harus meningkatkan kebenaran dalam masyarakat dan membuktikan kegunaannya. Manusia adalah citra dari Tuhan. Manusia harus menyadari bahwa citra Tuhan juga bersinar dalam masyarakat. 


- Divine Discourse, 8 Desember 1979.

Kewajiban utama manusia adalah melakukan penyelidikan pada kebenaran. Kebenaran hanya dapat diraih melalui dedikasi dan pengabdian.