Some of you may think, “How can Dharma, which sets limits on thoughts and words, and regulates and controls, make a person free?” Freedom is the name that you give to a certain type of bondage. Genuine freedom is obtained only when delusion is absent, when there is no identification with the body and senses, and no servitude to the objective world. People who have escaped from this servitude and achieved freedom in the genuine sense are very few in number. Bondage lies in every act done with the consciousness of the body as the Self, for one is then the plaything of the senses. Only those who have escaped this fate are free; this ‘freedom’ is the ideal stage to which Dharma leads. With this stage constantly in mind, if you are engaged in the activity of living, then you will become a liberated person (mukta-purusha) in this very life.
Beberapa dari engkau mungkin berpikir, "Bagaimana Dharma bisa menetapkan batasan-batasan pikiran dan kata-kata, mengatur dan mengontrol, serta membuat seseorang bebas?" Kebebasan adalah nama yang engkau berikan untuk jenis tertentu perbudakan. Kebebasan sejati diperoleh hanya ketika ketiadaan khayalan (delusi), tidak ada identifikasi dengan badan dan indera, dan tidak ada perbudakan dengan dunia objektif. Orang-orang yang telah melarikan diri dari perbudakan ini dan mencapai kebebasan dalam arti yang sebenarnya sangat sedikit jumlahnya. Perbudakan terletak pada setiap tindakan yang dilakukan dengan menyadari badan jasmani sebagai Diri, maka seseorang selanjutnya menjadi permainan indera. Hanya mereka yang telah lolos pada takdir ini maka ia bebas; 'kebebasan' ini adalah tahapan yang ideal untuk mengarah pada Dharma. Dengan tahapan ini tetap dalam pikiran, jika engkau terlibat dalam aktivitas kehidupan, maka engkau akan menjadi orang yang dibebaskan (mukta-purusha) dalam kehidupan ini. (Dharma Vahini, Ch 2)
-BABA
No comments:
Post a Comment