People everywhere are degrading themselves from their status as children of eternity (amrita-putra) to that of children of futility (anrita-putra)! Holding nectar in their grasp, they are drinking the poison of sensual pleasure. Neglecting the joy of contemplation of the fundamental divine reality of the universe, they are entangling themselves in the external trappings of this objective world of appearances. This immortal dharma (amrita-dharma) is described in the Upanishads, and since the Gita is the kernel of the Upanishads, the same is emphasized in the Gita too. The Gita teaches Arjuna to develop certain qualities that help the practice of the Atma Dharma (the righteousness that springs from the True Self). These are delineated in verses 13 to 20 of Chapter 12. The dharmic (righteous) way of life is like the very breath; it is the road to self-realization. Those who walk along it are dear to the Lord.
Dimana-mana manusia menistakan diri mereka sendiri dari statusnya sebagai putra keabadian (amrita-putra) ke status putra kesia-siaan (anrita-putra)! Meskipun menggenggam nektar di tangan mereka, namun mereka meneguk racun kenikmatan nafsu jasmani. Dengan mengabaikan suka cita dari perenungan pada realitas keiilahian yang bersifat mendasar dari alam semesta ini, manusia melibatkan dirinya dalam perangkap lahiriah duniawi yang kasat mata ini. Dharma yang abadi ini (amrita-dharma) diuraikan dalam Upanishad, dan karena Gita adalah inti dari Upanishad, maka hal yang sama juga ditekankan di dalam Gita. Gita mengajarkan kepada Arjuna untuk mengembangkan sifat-sifat tertentu yang membantunya dalam menjalankan kebajikan yang bersumber dari diri yang sejati (Atma Dharma). Sifat-sifat ini dijelaskan dalam sloka 13 sampai 20 pada Bab 12. Jalan hidup yang mengikuti Dharma adalah seperti nafas hidup kita; ini adalah jalan pada kesadaran diri. Bagi mereka yang berjalan sepanjang jalan ini adalah yang dikasihi oleh Tuhan. (Dharma Vahini, Ch 3)
-BABA
No comments:
Post a Comment